13
P e n d a h u l u a n
Tinjauan konstitusional dan reformasi pemilihan umum. Demokrasi dan sebuah Budaya Demokratis:
Pluralisme agama dan kehidupan bersama yang damai. Peran advokasi dan pengawasan organisasi-organisasi masyarakat sipil.
Partisipasi perempuan dalam politik.
2. Demokrasi dan Reformasi Negara
2.1 Militer dan Kekuasaan Sipil
Siapa yang meletakkan syarat-syarat pengembalian tentara ke barak adalah inti hubungan militer dan sipil. Supremasi kekuasaan sipil atas angkatan bersenjata
membutuhkan militer yang tidak terpolitisasi. Tetapi sejak pembentukannya, Tentara Nasional Indonesia TNI telah menjadi pemain politik yang kuat, baik
di tingkat regional maupun nasional. TNI memainkan peranan penting dalam membangun bangsa dengan mempertahankan kemerdekaan dari kekuasaan
Kolonial Belanda di akhir 1940-an, tetapi satu dasawarsa kemudian komandan- komandan regional menjadi kekuatan penggerak di balik kelompok-kelompok
pemberontak di pulau-pulau luar Jawa. Kecewa terhadap apa yang mereka anggap sebagai keterlaluannya pemerintahan Jakarta dalam urusan-urusan
regional, gerilyawan-gerilyawan PRRI dan Permesta menggalang peperangan singkat terhadap pemerintah pusat di akhir 1950-an dan awal 1960-an, yang
menimbulkan warisan saling tidak percaya antara pemerintah regional dan pemerintah pusat.
Dalam masa-masa pemberontakan-pemberontakan daerah, Jenderal Nasution, seorang perwira tertinggi Indonesia, mengusulkan pertama kali sebuah ide
yang kemudian disebut Dwifungsi. Ide ini adalah bahwa militer harus memiliki kewajiban-kewajiban sosial dan bahkan politik seperti halnya tanggung jawab
pertahanan. Nasution juga mengusulkan dikembalikannya UUD 1945 yang memberikan Presiden kekuatan melampaui parlemen. Dalam kenyataan politik
di akhir 1950-an, mengembalikan UUD 1945 juga membuat Soekarno lebih tergantung pada angkatan bersenjata.
Ini memperlihatkan bahwa asal mula tujuan-tujuan politik lembaga kemiliteran dan keengganan untuk mematuhi kekuasaan sipil sudah ada jauh sebelum naiknya
Jenderal Soeharto ke tampuk kekuasaan pada 1965 dan kekuasaannya selama 30 tahun sesudahnya. Ini mensyaratkan strategi-strategi untuk membawa militer
kembali ke barak harus berdasarkan kenyataan bahwa struktur keterlibatan militer dalam politik tetap kokoh dan akan sulit diatasi dalam waktu dekat.
2.2 Berbagi Kesempatan-Kesempatan untuk Pertumbuhan
Sebuah kemiripan yang kuat antara 1950-an dan saat ini adalah kebutuhan dan
14
Penilaian Demokratisasi di Indonesia
hasrat untuk memastikan pembangunan ekonomi menguntungkan semua orang Indonesia. Ini juga tema yang populer pada 1950-an, dan hal yang diharapkan
Soekarno dengan menasionalisasi perkebunan-perkebunan dan industri-industri milik asing. Idenya adalah untuk mencegah kekayaan yang dibuat di Indonesia
dibawa ke luar negeri, dan dengan begitu dapat digunakan untuk membangun Indonesia. Akan tetapi, karena pertimbangan manajerial, kontrol atas perusahaan-
perusahaan yang baru dinasionalisasi jatuh ke tangan militer, yang segera sadar bahwa keuntungan yang dihasilkan perusahaan-perusahaan yang baru mereka
peroleh adalah sumber yang kaya untuk penghasilan mereka sendiri. Pemborosan sumber daya masyarakat seperti itu berlanjut dan kian meningkat
selama Orde Baru berkuasa. Pada saat itu kontrak-kontrak bisnis makin kerap menjadi alat patronase, dan bisnis dikuasai oleh orang-orang yang dekat dengan
keluarga presiden. Kedalaman dan tingkat perkoncoan pada masa Soeharto ditunjukkan dengan kenyataan bahwa 75 persen pinjaman yang macet ada di
tangan 50 keluarga, banyak di antaranya memperoleh kredit dengan cara yang tidak jujur. Keuntungan menumpuk di kantung para pengusaha dan sedikit yang
dikembalikan ke negara, dalam bentuk pajak perusahaan. Manipulasi bisnis dan usaha-usaha ekonomi menyumbat kewirausahaan
di Indonesia; hanya ada insentif yang sangat kecil bagi seseorang untuk menginvestasikan waktu dan modal dalam suatu usaha tanpa “kesetaraan posisi
permainan” atau aturan hukum untuk memastikan lingkungan bisnis yang sehat. Konsekuensinya, sebagian besar masyarakat Indonesia tetap di sektor
ekonomi informal, biasanya dalam aktivitas perdagangan ataupun pertanian berpendapatan rendah.
Sistem ini dapat dijalankan selama ekonomi tumbuh dan masyarakat dapat bekerja. Memang jatuhnya angka kemiskinan, meski pertumbuhan populasi yang
luar biasa cepat, adalah kesaksian atas dinamika ekonomi selama sebagian besar era Orde Baru. Itulah rekor ekonomi Orde Baru yang selalu digunakan sebagai
sumber dasar legitimasi bagi rezim tersebut. Tetapi, ketika krisis ekonomi terjadi di akhir 1997, segera itu memperlihatkan betapa rentannya sebagian besar dari
populasi yang tak lagi bisa membeli kebutuhan-kebutuhan hidup mendasar. Begitu Orde Baru tumbang Mei 1998 dan Indonesia memulai transisinya ke
demokrasi, kesadaran akan kebutuhan mereformasi semua struktur-struktur, lembaga-lembaga, dan praktek-praktek ekonomi pun tumbuh. Ini akan membawa
masyarakat “kembali ke ekonomi” dengan memberi mereka paling tidak kesempatan dan insentif untuk lebih aktif terlibat dalam sistem ekonomi. Untuk
yang lain, paling tidak memperluas hak-hak dan perlindungan dalam upaya membatasi kondisi kerja yang eksploitatif.
Secara ekonomi, Indonesia kini adalah bangsa yang jauh lebih beragam dan kompleks dibandingkan keadaan pada 1950-an, tetapi baik keinginan
15
P e n d a h u l u a n
dan kesempatan untuk memperbaiki penyelewengan-penyelewengan dan ketidakadilan-ketidakadilan dalam sistem ekonomi bangkit kembali. Perubahan-
perubahan yang dibutuhkan menghendaki penyesuaian baik proses pengambilan keputusan dari atas ke bawah maupun praktek-praktek kerjanya. Di atas segalanya,
mereka menuntut penegakan hukum dan pelaksanaannya yang akan menciptakan kepercayaan diri masyarakat dan berfungsi sebagai landasan hukum yang kuat
yang mengikat semua aktivitas di Indonesia, bukan saja pada hal-hal yang jelas berhubungan dengan pembangunan ekonomi. Jika tercapai, ada jaminan bagi
peran seseorang sebagai wirausaha, sebagaimana juga hak kaum buruh dan warga negara. Reformasi juga dibutuhkan untuk menyegarkan birokrasi, dan
juga memperjelas peran militer, khususnya dalam aktivitas ekonomi mereka. Hubungan pusat dan daerah juga harus dinilai ulang, khususnya berdasarkan
undang-undang baru mengenai otonomi daerah yang mulai diberlakukan Januari 2001. Perubahan-perubahan ini, sebagaimana didibahas dalam bab Pembangunan
Sosio-Ekonomi, akan membantu meletakkan landasan bagi ekonomi yang lebih terbuka dan partisipatif.
2.3 Desentralisasi dan Demokratisasi