Latar Belakang Simpulan dan Saran 1 Simpulan

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa merupakan alat yang utama dalam komunikasi. Dengan bahasa, seseorang dapat menyampaikan informasi, pesan, ataupun ungkapan-ungkapan kepada mitra wicara. Bahkan, bahasa tidak semata-mata untuk menyampaikan informasi, tetapi juga dapat digunakan untuk membangun dan membina hubungan antarwarga masyarakat. Selain itu, bahasa digunakan sebagai alat komunikasi yang beroperasi dalam suatu masyarakat atau budaya. Bahasa, masyarakat, dan budaya sangatlah berkaitan. Bahasa adalah alat pengembangan kebudayaan dan inventaris ciri-ciri kebudayaan. Dengan demikian, bahasa merupakan faktor penting dalam membentuk identitas kultural masyarakat Rahardi, 2010:31. Sehubungan dengan itu, bahasa yang digunakan seseorang hendaknya disesuaikan dengan konteks situasi. Halliday dan Hasan 1994:63 dengan tegas mengatakan bahwa semua pemakaian bahasa mempunyai konteks. Konteks yang dimaksud adalah konteks situasi yang terdiri atas tiga unsur: 1 medan wacana, yaitu jenis kegiatan yang dikenal dalam kebudayaan yang sebagian diperankan oleh bahasa; 2 pelibat wacana, yaitu pemain, pelaku, atau tepatnya peran interaksi antara yang terlibat dalam penciptaan teks; dan 3 sarana wacana, yaitu fungsi khas yang diberikan kepada bahasa dan saluran retorisnya. Maksud konteks situasi di atas adalah lingkungan langsung tempat teks atau tuturan itu benar-benar berfungsi. Artinya, konteks situasi menjelaskan mengapa hal-hal tertentu dituturkan atau ditulis dalam suatu kesempatan dan hal lainnya mungkin tidak dapat dituturkan atau tidak dapat dituliskan. Menurut Moeliono 1988 dan Samsuri 1987, ed, konteks terdiri atas beberapa hal, yaitu: situasi, partisipan, tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk, amanat, kode, dan saluran, sedangkan Syafi‟ie menyatakan bahwa konteks terjadinya suatu percakapan dapat dipilah menjadi empat macam, yaitu: 1 konteks linguistik linguistics context, yaitu kalimat-kalimat dalam percakapan, 2 konteks efistemis epistemic context adalah latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh partisipan, 3 konteks fisik physical context meliputi tempat terjadinya percakapan, objek yang disajikan dalam percakapan, dan tindakan para partisipan, dan 4 konteks sosial social context, yaitu relasi sosio- kultural yang melingkupi hubungan antarpelaku atau partisipan dalam percakapan. Menurut Ibrahim 1994:89, alih style mengacu pada perubahan dalam varietas bahasa yang melibatkan perubahan hanya pada pemarkah-pemarkah kode. Lebih lanjut, dikatakan bahwa semua hal ini merupakan ciri-ciri variabel yang dihubungkan dengan dimensi sosial dan kebudayaan, seperti usia, jenis kelamin, kelas sosial, dan hubungan antarpenutur. Alih ragam atau alih style sering juga dilakukan oleh masyarakat Bali yang secara adat tradisional masih mengenal bahasa Bali halus BBH dan bahasa Bali lumrah BBL. Kedua bentuk bahasa tersebut digunakan sesuai dengan sistem kasta yang dianut oleh para partisipan, apakah dia berasal dari kasta Brahmana, Ksatria, Waisya, ataupun Jaba. Seorang Jaba akan dikatakan mempunyai tata krama berbahasa yang baik jika dia berbicara dengan seseorang yang berkasta lebih tinggi Brahmana, Ksatria, Waisya dengan menggunakan BBH ragam tinggi. Fenomena kebahasaan yang demikian tidak menutup kemungkinan terjadi juga pada guyub tutur masyarakat Bali di Parigi, Sulawesi Tengah. Status partisipan sangat berpengaruh dalam komunikasi. Maksudnya, dalam komunikasi, seorang penutur hendaknya menggunakan bahasa sesuai dengan status mitra wicara. Dengan demikian, akan muncul fenomena-fenomena kebahasaan lainnya, seperti alih kode, campur kode, dan interferensi. Hal ini sangat menarik untuk diteliti dari segi sosiolinguistik. Namun, dalam kenyataan di lapangan berbanding berbalik dengan pernyataan di atas. Tidak jarang seseorang yang berkasta Brahmana merasa canggung menggunakan BBL ketika berbicara dengan mitra wicara berkasta Jaba yang memiliki status sosial lebih tinggi. Zaman sekarang, seseorang yang berasal dari kasta Brahmana pun cenderung menggunakan bahasa Bali halus apabila mitra wicaranya seseorang yang memiliki kedudukan lebih tinggi di dalam masyarakat. Situasi kebahasaan yang demikian sangat menarik diteliti dengan menggunakan pendekatan sosiolinguistik. Jika diamati secara saksama tentang fenomena kebahasaan dalam kehidupan sehari-hari, tidak ada suatu peristiwa tutur terjadi tanpa melibatkan konteks sosial, seperti yang telah dipaparkan. Sebuah kalimat atau wacana yang terlepas dari konteks sosial sulit dipahami, baik oleh mitra wicara maupun pembaca. Bahkan, Achmad dan Alek Abdullah 2012:147 mengemukakan bahwa konteks memegang peranan penting dalam memberi bantuan untuk menafsirkan suatu wacana. Dengan kata lain, dalam berbahasa atau berkomunikasi, konteks adalah segala-galanya. Misalnya, ada tuturan, “Saya pingin turun, sudah capek”. Makna tuturan tersebut masih ambigu. Kalau yang mengucapkan tuturan tersebut adalah seorang pejabat, sangat mungkin yang dimaksud dengan turun adalah „turun dari jabatan‟. Namun, pengertian itu bisa keliru bila tuturan tersebut diucapkan oleh anak kecil yang sedang memanjat pohon. Maknanya bisa berubah, yaitu „turun dari pohon‟. Ragam bahasa yang digunakan seseorang juga ditentukan oleh kondisi sekelompok orang menyatukan diri untuk mempertahankan dan membangun kehidupan Muhammad, 2011:63. Muhammad mencontohkan kata kamu, anda, dan kau yang digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk menunjuk mitra wicara. Secara sosial ketiga kata ganti itu tidak dapat dipakai untuk menyapa mitra wicara. Bentuknya bervariasi, rujukannya sama mitra wicara bisa berbeda sesuai dengan usia, jenis kelamin, status, dan hubungan sosial pembicara dengan mitra wicara. Hal yang berbeda itu disebut sebagai faktor sosial. Kedua unsur tersebut, baik bahasa maupun sosial berperan dalam komunikasi. Ketika berkomunikasi dengan menggunakan bahasa, terdapat delapan unsur yang diperhatikan oleh Hymes 1972. Unsur-unsur itu diakronimkan menjadi SPEAKING. Penjelasan masing-masing tuturannya dapat dilihat pada uraian berikut. 1 Setting and Scene. Maksudnya, percakapan dapat dilakukan di suatu tempat dalam waktu tertentu, misalnya di kantin, sekolah, masjid, pura, gereja, dan lain-lain pada waktu istirahat, siang, malam. 2 Partisipants. Unsur ini merujuk kepada orang-orang yang terlibat dalam percakapan, yaitu pembicara, mitra wicara, dan lain-lain. 3 End. Maksudnya, pembicara mempunyai maksud ketika percakapan berlangsung. 4 Act Sequeness. Artinya, percakapan mempunyai bentuk dan isi. 5 Key. Maksudnya, percakapan juga memiliki cara atau semangat. 6 Instrumentalitiet. Artinya, percakapan memiliki jalur percakapan ketika dilaksanakan. Jalurnya dapat secara lisan dan tulis. Dengan perkataan lain, instrumentalites merujuk pada ungkapan lisan atau tulisan. 7 Norms. Artinya, ketika percakapan berlangsung, pelakunya memiliki norma perilaku. Dalam hal ini, kegiatan berbahasa itu juga mempertimbangkan kaidah tata bahasa dan nonbahasa. Kaidah tata bahasa berkaitan dengan tata bahasanya, sedangkan kaidah nonbahasa terkait dengan paralinguistik, seperti gerak-gerik mata, tangan, muka, dan lain-lain. 8 Genres. Dalam percakapan, maksud diungkapkan oleh kategori atau ragam bahasa. Artinya, ragam bahasa terkait dengan formal dan informal. Selain itu, ragam ini dapat terkait dengan jenis teks, misalnya naratif, deskriptif, argumentaif, eksposisi, dan lain-lain. Masyarakat Bali di daerah transmigrasi biasanya membawa serta adat istiadat, budaya dan bahasa dari daerah asalnya. Di tempat yang baru para transmigran memelihara dan mengembangkan adat istiadat, budaya, dan bahasanya dengan baik. Secara tidak langsung daerah transmigrasi merupakan tempat berkumpulnya bermacam-macam adat istiadat, budaya dan bahasa dari berbagai daerah Budiono dkk.,1997. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan terjadinya kontak antara adat istiadat, budaya, dan bahasa dari berbagai daerah. Apalagi mereka telah lama hidup berdampingan. Namun, penelitian di Parigi lebih terfokus pada terjadinya kontak antara bahasa satu dan bahasa lainnya. Akibat terjadinya kontak bahasa, yaitu pihak yang berkontak atau salah satu di antaranya melakukan penyesuaian diri secara verbal melalui modifikasi tuturan sehingga menjadi sama atau lebih mirip dengan tuturan yang dipakai mitra wicaranya. Peristiwa itu disebut konvergensi linguistik. Sebaliknya, di antara komunitas yang melakukan kontak tersebut melakukan modifikasi tuturannya sehingga menjadi semakin tidak sama atau tidak mirip dengan tuturan mitra kontaknya disebut divergensi linguistik. Kedua peristiwa tersebut dikemukakan oleh Giles dalam Trudgill, 1986. Topik penelitian ini mendeskripsikan penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi. Penggunaan bahasa yang dimaksud berkaitan dengan pilihan penggunaan bahasa dalam ranah pekerjaan, kekariban, agama, kesenian, dan keluarga. Selain pilihan bahasa, topik penelitian ini juga mendeskripsikan alih kode, campur kode, dan interferensi. Berdasarkan pengamatan sepintas, masyarakat Bali yang bertransmigrasi ke Parigi dibekali penguasaan dua bahasa atau lebih. Hal tersebut memperkuat terjadinya kontak bahasa dengan masyarakat tutur di sekitarnya. Tidak menutup kemungkinan mereka menguasai bahasa-bahasa di wilayah yang mereka tempati, apakah itu bahasa Kaili, Bugis, Jawa, dan sebagainya. Sehubungan dengan itu, penelitian ini dilakukan di Parigi, Sulawesi Tengah. Selain itu, Parigi dipilih sebagai lokasi penelitian disebabkan oleh daerah ini merupakan daerah transmigrasi pertama masyarakat Bali, yaitu sekitar tahun 1950-an. Lamanya masyarakat Bali hidup berdampingan dengan etnis lain mengakibatkan terjadinya kontak bahasa. Hal itu menimbulkan perilaku berbahasa yang beragam Weinreich, 1979 Seperti diketahui, kontak bahasa terjadi pada masyarakat terbuka, sama halnya dengan masyarakat Bali di Parigi. Melalui kontak bahasa itulah masyarakat saling memengaruhi. Kontak bahasa juga memunculkan bilingualisme dan multilingualisme. Dengan kontak ini juga muncul berbagai macam kasus, seperti pilihan kode, alih kode, campur kode ataupun interferensi Wijana dan Rohmadi, 2012:6. Di Indonesia terdapat banyak bahasa daerah. Artinya, masyarakat bersifat multilingual. Para anggota masyarakat menggunakan bahasa daerah itu untuk keperluan yang bersifat kedaerahan. Jika masyarakatnya bergaul luas, seperti halnya masyarakat Bali di Parigi, anggota-anggota masyarakatnya cenderung menggunakan dua bahasalebih sesuai dengan kebutuhannya. Peristiwa kebahasaan tersebut tampak pada penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi. Namun, dalam kehidupan sehari-hari seorang penutur sering mengalami kesulitan berkomunikasi dengan mitra wicara. Kesulitan yang dimaksud adalah bahasa apa yang digunakan jika dihadapkan kepada mitra wicara yang usianya lebih muda, tetapi status sosialnya lebih tinggi, atau sebaliknya, status sosialnya lebih rendah, tetapi usianya lebih tua. Kerumitan tersebut perlu mendapatkan perhatian peneliti bahasa, khususnya peneliti sosiolinguistik.

1.2 Rumusan Masalah