Guyub tutur masyarakat Bali di Parigi

Topik sering sekali sangat berpengaruh terhadap pilihan bahasa dalam konteks masyarakat multilingual. Bahkan, orang yang bilingual cenderung belajar tentang beberapa topik melalui satu bahasa dan topik yang lain melalui medium bahasa kedua. Selain topik, pilihan bahasa yang tepat juga bergantung pada latar lokasi dan partisipan termasuk usia, jenis kelamin, dan status sosialnya Ibrahim, 1994:78. Lebih lanjut, Ibrahim menjelaskan bahwa seorang anak yang bilingual bisa menggunakan bahasa Inggris secara reguler di sekolah dan bahasa Spanyol di rumah, tetapi bisa menggunakan bahasa Spanyol di sekolah dengan neneknya apabila kebetulan neneknya mengunjunginya di sekolah dan berbicara bahasa Inggris di rumah dengan gurunya apabila gurunya berkunjung ke rumahnya.

2.2.2 Guyub tutur masyarakat Bali di Parigi

Parigi adalah nama sebuah kecamatan yang ada di Kabupaten Parigi Moutong, Provinsi Sulawesi Tengah. Parigi sebagian besar penduduknya memeluk agama Islam. Kecamatan Parigi terdiri atas 10 desa, yaitu Desa Olaya, Desa Pombalowo, Desa Mertasari, Desa Maesa, Desa Loji, Desa Masigi, Desa Bantaya, Desa Kampal, Desa Bambalemo, dan Desa Lebo. Dari sepuluh desa yang ada di Kecamatan Parigi, dipilih Desa Mertasari sebagai lokasi penelitian. Selain Desa Mertasari, ada juga beberapa desa yang dijadikan lokasi penelitian. Desa-desa tersebut, yaitu Desa Nambaru dan Desa Sumbersari. Kedua desa tersebut berada di Kecamatan Parigi Selatan, Kabupaten Parigi Moutong, Provinsi Sulawesi Tengah. Warga Bali di Desa Mertasari, Desa Nambaru, dan Sumbersari, ketiganya tergolong masyarakat tutur yang menggunakan bahasa yang sama dan diatur dengan kaidah-kaidah berdasarkan kesepakatan warganya. Oleh karena itu, warga Bali di ketiga desa tersebut dapat digolongkan sebagai guyub tutur. Uraian selengkapnya tentang konsep guyub tutur dapat dilihat pada uraian berikut. Ada pendapat yang memandang guyub tutur sebagai penggunaan bahasa yang sama dari masyarakat yang bersangkutan. Namun, ada pula pendapat yang mengatakan guyub tutur itu sebagai suatu persamaan kaidah-kaidah bicara dari masyarakat yang bersangkutan, seperti yang dikemukakan oleh Troike 1968. Troike juga menyebut bahwa dalam guyub tutur persamaan bahasa itu tidak perlu, yang penting adalah terdapatnya kaidah bicara, sedangkan Hymes memandang dalam guyub tutur semua warga guyub tutur saling terpaut bukan hanya oleh kaidah bicara yang sama, melainkan juga oleh setidak-tidaknya satu ragam varietas bahasa. Menurut Lyons 1970, guyub tutur adalah semua orang yang memakai suatu bahasa atau dialek tertentu. Batasan ini dapat saja menimbulkan guyub tutur mengalami tumpang tindih jika terdapat para dwibahasawan dan tidak perlu mengacu pada kesatuan sosial atau kesatuan kultural. Berdasarkan batasan para ahli di atas, disimpulkan bahwa guyub tutur adalah guyub yang memiliki pengetahuan bersama tentang kaidah tutur, baik dalam bertutur maupun dalam menginterpretasikannya. Simpulan tersebut dipertegas lagi oleh Sumarsono 2002:35 bahwa tutur dalam suatu komunikasi memiliki kaidah tertentu dan yang menentukan kaidah tersebut adalah guyub tutur.

2.2.3 Ranah