Alih kode Landasan Teori

teori akomodasi bahasa mungkin merupakan refleksi keinginan seseorang untuk memperoleh penerimaan secara sosial. Teori tersebut digunakan untuk menganalisis masalah yang berkaitan dengan macam, fungsi, dan makna alih kode serta faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya alih kode dalam penggunaan bahasa oleh guyub tutur masyarakat Bali di Parigi. Alasan yang menjadi dasar pertimbangan digunakannya teori tersebut adalah bahwa teori akomodasi cenderung mengambil bentuk konvergensi atau menyatu atau menuju ke suatu arah, yaitu penutur akan memilih satu bahasa atau ragam bahasa yang sesuai dengan kebutuhan atau kemampuan mitra wicara. Fenomena kebahasaan yang demikian mengakibatkan terjadinya alih kode. Oleh karena itu, teori akomodasi tersebut dipergunakan untuk menganalisis masalah nomor 2 dan 3.

2.3.5 Alih kode

Konsep alih kode secara lengkap dapat dilihat pada uriaian berikut. Alih kode didefinisikan sebagai perubahan bahasa dalam suatu peristiwa tutur Gumperz, 1976. Perubahan kode tersebut mengacu pada perubahan dalam bahasa menurut domain, alih style mengacu pada perubahan dalam varietas bahasa yang melibatkan perubahan hanya pada pemarkah-pemarkah kode. Semua hal itu merupakan ciri-ciri nonverbal yang dihubungkan dengan dimensi sosial dan kebudayaan, seperti jenis kelamin, kelas sosial, usia, dan hubungan antarpenutur. Konsep alih kode yang dikemukakan oleh Gumperz diperjelas lagi oleh Appel. Appel 1976:99 mendefinisikan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena perubahan situasi. Appel lebih terfokus pada konteks situasi dalam mendefinisikan alih kode. Memang, sesungguhnya situasilah yang menyebabkan seorang penuturpetutur beralih kode ketika interaksi verbal berlangsung. Selain Appel, Romaine 1995:121 mendefinisikan alih kode sebagai pergantian subsistem atau sistem gramatikal yang berbeda dalam suatu pergantian tuturan. Hymes 1976:103 mendefinisikan alih kode sebagai pergantian atau peralihan dua bahasa atau lebih, beberapa variasi dari satu bahasa bahkan beberapa gaya dari satu ragam. Alih kode berawal dari pinjaman kata-kata baru yang pada awalnya belum terintegrasi ke dalam bahasa kedua Spolsky, 2008:49. Begitu alaminya ihwal pengalihan bahasa itu sehingga semua masyarakat bahasa yang memiliki kemampuan berdwibahasa pasti memiliki peranan dalam memunculkan peralihan bahasa ketika interaksi verbal berlangsung. Hal ini tentu ditemukan juga di tengah-tengah masyarakat penutur bahasa Indonesia yang memiliki kemampuan berdwibahasa. Masyarakat ini beralih bahasa dari bahasa Indonesia ke bahasa daerah ataupun bahasa asing atau sebaliknya Siregar,1996:67. Suasana budaya yang secara langsung atau tidak langsung ditentukan oleh penggunaan bahasa akan menghendaki seseorang memilih dan menggunakan variasi bahasa tertentu. Misalnya, sekelompok pegawai yang sedang terlibat dalam suatu pembicaraan yang berkaitan dengan pekerjaan cenderung akan mengubah variasi bahasa yang digunakan jika pada saat itu pimpinan mereka datang Malini dan Puspani,2008:175. Dari beberapa konsep alih kode yang telah dipaparkan, ternyata ada kesamaan konsep. Konsep alih kode yang dikemukakan oleh para pakar bahasa sebagian besar mengacu pada peralihan dari dua bahasa atau lebih. Walaupun demikian, penelitian tentang penggunaan alih kode di Kecamatan Parigi menggunakan konsep alih kode yang dikemukakan oleh Hymes. Hal itu disebabkan objek fenomena alih kode yang diteliti tidak terfokus pada peralihan antarbahasa, tetapi juga pada peralihan intrabahasa. Alih kode dan campur kode di samping memiliki persamaan juga memiliki sedikit perbedaan. Persamaannya, yaitu digunakannya dua bahasa atau lebih atau dua varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur. Perbedaannya, yaitu jika dalam alih kode setiap bahasa atau ragam bahasa yang digunakan itu masih memiliki otonomi masing-masing, dilakukan secara sadar dan sengaja dengan sebab-sebab tertentu, sedangkan dalam campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiannya dan kode- kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan- serpihan tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode Aslinda dan Leni Syafyahya,2007:87. Jika seorang penutur dalam berbahasa Indonesia sering menyelipkan serpihan-serpihan bahasa daerahnya dapat dikatakan telah melakukan campur kode. Dengan demikian, muncullah ragam bahasa Indonesia yang kebali-balian kalau bahasa daerahnya bahasa Bali atau bahasa Indonesia kebatak-batakan kalau bahasa daerahnya adalah bahasa Batak. Perbedaan antara alih kode dan campur kode dikemukakan juga oleh Thelander 1976:103. Menurut Thelander, bila di dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain, peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Namun, jika dalam suatu peristiwa tutur, klausa- klausa ataupun frasa-frasa yang digunakan terdiri atas klausa dan frasa campuran dan tiap-tiap klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, peristiwa yang terjadi adalah campur kode. Pandangan berikutnya tentang perbedaan antara alih kode dan campur kode dikemukakan oleh Ohuiwutun. Menurut Ohuiwutun 2002:69, campur kode adalah penggunaan unsur-unsur dari suatu bahasa tertentu dalam suatu kalimat atau wacana bahasa lain. Ohuiwutun mencontohkan penggunaan bahasa campuran antara bahasa Indonesia dan salah satu bahasa daerah; sedangkan alih kode adalah peralihan pemakaian dari satu bahasa atau dialek ke bahasa atau dialek lainnya. Ohuiwutun juga mengatakan bahwa alih kode sepenuhnya terjadi karena perubahan-perubahan sosiokultural dalam situasi berbahasa. Berdasarkan pandangan para pakar tentang perbedaan alih kode dan campur kode, penelitian ini cenderung mengacu pada pandangan Thelander. Thelander lebih jelas mendeskripsikan perbedaan tersebut dibandingkan dengan pakar lainnya, sedangkan untuk menganalisis fenomena alih kode pada masalah nomor 2 dan 3, penelitian ini menggunakan teori alih kode yang dikemukakan oleh Hymes.

2.3.6 Perbedaan antara alih kode dan pinjaman borrowing