Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat Bali di Parigi, Sulawesi Tengah.

(1)

DISERTASI

PENGGUNAAN BAHASA GUYUB TUTUR

MASYARAKAT BALI DI PARIGI,

SULAWESI TENGAH

GUSTI KETUT ALIT SUPUTRA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

i DISERTASI

PENGGUNAAN BAHASA GUYUB TUTUR

MASYARAKAT BALI DI PARIGI,

SULAWESI TENGAH

GUSTI KETUT ALIT SUPUTRA NIM 0890171005

PROGRAM DOKTOR

PROGRAM STUDI LINGUISTIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

PENGGUNAAN BAHASA GUYUB TUTUR

MASYARAKAT BALI DI PARIGI,

SULAWESI TENGAH

Disertasi untuk Memperoleh Gelar

Doktor pada Program Doktor, Program Studi Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana

GUSTI KETUT ALIT SUPUTRA NIM 0890171005

PROGRAM DOKTOR

PROGRAM STUDI LINGUISTIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(4)

iii

LEMBAR PENGESAHAN

DISERTASI INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 17 JUNI 2016

Promotor,

Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A. NIP 195301071981031002

Kopromotor I, Kopromotor II,

Dr. Ni Made Dhanawaty, M.S. Dr. A.A. Putu Putra, M.Hum.

NIP 195608061983032001 NIP 196008251986021001

Mengetahui

Ketua Program Studi Doktor Linguistik Direktur

Program Pascasarjana Program Pascasarjana

Universitas Udayana, Universitas Udayana,

Prof. Dr. I Nengah Sudipa, M.A. Prof. Dr.dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S.(K)


(5)

Disertasi ini telah Diuji pada Ujian Tertutup Tanggal 26 Oktober 2015

Panitia Penguji Disertasi, Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor : 3645/UN.14.4/HK/2015

Tanggal : 12 Oktober 2015

Ketua : Prof. Dr. Aron Meko Mbete Anggota :

1. Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A. (Promotor)

2. Dr. Ni Made Dhanawaty, M.S. (Kopromotor I) 3. Dr. A.A. Putu Putra, M.Hum. (Kopromotor II) 4. Prof. Dr. Drs. I Ketut Riana, S.U.

5. Prof. Drs. I Made Suastra, Ph.D. 6. Prof. Dr. I Ketut Darma Laksana, M.Hum. 7. Prof. Dr. Putu Kerti Nitiasih, M.A.


(6)

v

PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Nama : Gusti Ketut Alit Suputra

NIM : 0890171005

Program Studi : Doktor Linguistik

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Disertasi ini bebas plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, Juni 2016 Saya yang membuat pernyataan,


(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nya semua kegiatan penelitian yang berkaitan dengan penulisan disertasi dapat terlaksana dengan baik. Disertasi ini tidak mungkin terselesaikan dengan baik tanpa melibatkan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, melalui kesempatan yang baik ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah banyak membantu penyelesaian disertasi ini.

Pertama, penulis sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD.KEMD., yang telah memberikan fasilitas kepada penulis dalam rangka menyelesaikan studi doktor; Direktur Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S. (K), Asisten Direktur I, Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A., dan Asisten Direktur II, Prof. Made Sudiana Mahendra, Ph.D., yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Doktor pada Program Pascasarjana, Universitas Udayana, Denpasar.

Ucapan terima kasih yang tulus juga ditujukan kepada Dekan FKIP, Universitas Tadulako, Dr. H. Gazali Lemba, M.Pd. yang telah memberikan izin kepada penulis untuk menjadi mahasiswa pada Program Pascasarjana Universitas Udayana; Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan


(8)

vii

Daerah, FKIP, Universitas Tadulako yang telah memberikan motivasi kepada penulis untuk melanjutkan studi pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Demikian juga Pemerintah melalui Menteri Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa BPPS kepada penulis dalam menyelesaikan studi; Ketua Program Studi Doktor Linguistik, Prof. Dr. I Nengah Sudipa, M.A., dan Sekretaris Program Studi Doktor Linguistik, Dr. Made Sri Satyawati, S.S.,M.Hum. yang telah memberikan semangat dan arahan kepada penulis dalam rangka menyelesaikan studi.

Ucapan terima kasih dan rasa hormat juga penulis sampaikan kepada Tim Penguji, yaitu Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A., Prof. Dr. Drs. I Ketut Riana, S.U., Prof. Drs. I Made Suastra, Ph.D., Prof. Dr. Aron Meko Mbete, Prof. Dr. I Ketut Darma Laksana, H.Hum., Prof. Dr. Putu Kerti Nitiasih, M.A., Dr. Ni Made Dhanawati, M.S., dan Dr. A.A. Putu Putra, M.Hum. yang banyak memberikan saran dan masukan berharga demi penyempurnaan disertasi ini.

Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A., promotor, yang telah berusaha semaksimal mungkin memberikan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan disertasi; Dr. Ni Made Dhanawaty, M.S., kopromotor I, yang telah memberikan masukan berharga kepada penulis dalam menyelesaikan studi; Dr. A.A. Putu Putra, M.Hum., kopromotor II, yang memberikan motivasi, saran, dan pemikiran demi terselesainya disertasi penulis.


(9)

Ucapan terima kasih yang mendalam juga ditujukan kepada semua dosen Program Studi Doktor Linguistik yang telah memberikan informasi, pengetahuan, dan semangat kepada penulis selama mengikuti perkuliahan pada Program Studi Doktor Linguistik, Universitas Udayana; Seluruh staf administrasi Program Studi Doktor (S-3) Linguistik, Program Pascasarjana Universitas Udayana yang telah memberikan pelayanan administrasi dengan baik; Seluruh staf administrasi perpustakaan yang telah memberikan pinjaman buku-buku yang penulis perlukan selama mengikuti perkuliahan.

Ucapan terima kasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada teman-teman angkatan 2008/2009 yang telah banyak memberikan motivasi dan saran; Kepala Desa Mertasari, I Made Karyanto, yang telah memberikan data langsung kepada penulis selama di lapangan; Kepala Desa Sumbersari, yang telah memberikan informasi tentang sejarah transmigran Bali di Sulawesi Tengah; Kepala Desa Nambaru, yang telah memberikan gambaran tentang kehidupan warga transmigran Bali di Sulawesi Tengah; Bapak Nyoman Sukawan sekeluarga yang telah bersedia membantu menyiapkan tempat tinggal selama penelitian di Parigi.

Selanjutnya, ucapan terima kasih ditujukan kepada Ibunda, I Gusti Putu Raka (Alm.), Ayahnda, I Gusti Made Oka (Alm.) atas kasih sayang dan doanya; kedua kakak, I Gusti Putu Suasih, S.Pd. dan dr. I Gusti Made Suardika, Sp.A. serta kedua adik, I Gusti Putu Suyasa, S.H. dan I Gusti Made Suputri, S.H., yang telah banyak memberikan dukungan, baik berupa materi, pemikiran, maupun


(10)

ix

saran; istri, Dra. Raelin Posumah, anak-anak, I Gusti Ayu Putu Antari dan I Gusti Made Suweca Antara, yang telah memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan studi; Bapak Ketut Darma sekeluarga yang telah banyak memberikan bantuan dan informasi selama penelitian berlangsung; dan Para informan yang telah bersedia meluangkan waktunya mengisi kuesioner yang dibagikan penulis.

Terselesainya disertasi ini tidak menutup kemungkinan masih ada kekurangan yang tidak disengaja. Oleh karena itu, kritik konstruktif dari semua pihak sangat penulis harapkan.

Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah bersedia membantu penyelesaian disertasi ini.

Denpasar, Juni 2016 Penulis,


(11)

ABSTRAK

PENGGUNAAN BAHASA GUYUB TUTUR MASYARAKAT BALI DI PARIGI

SULAWESI TENGAH

Penelitian ini membahas empat masalah utama yang menjadi kajian penelitian, yaitu: (1) pilihan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi dilihat dari segi ranah penggunaannya, (2) macam, fungsi, dan makna alih kode penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi, (3) faktor-faktor penyebab guyub tutur masyarakat Bali di Parigi beralih kode ketika interaksi verbal berlangsung, dan (4) wujud campur kode dan interferensi penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi serta faktor-faktor yang menyebabkannya. Kajian tersebut dibahas berdasarkan suatu pemikiran bahwa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi tergolong masyarakat bilingual. Selain itu, daerah transmigrasi merupakan tempat berkumpulnya adat istiadat, budaya, dan bahasa dari berbagai etnis. Hal itu mengakibatkan terjadinya berbagai fenomena kebahasaan, seperti pilihan bahasa, alih kode, campur kode, dan interferensi.

Penelitian ini dilakukan di wilayah transmigran Bali di Kecamatan Parigi dan Kecamatan Parigi Selatan, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Dari dua kecamatan tersebut diambil tiga desa sebagai sumber data primer, yaitu Desa Mertasari, Desa Sumbersari, dan Desa Nambaru. Sebagai payungnya penelitian ini menggunakan teori sosiolinguistik. Teori tersebut ditunjang dengan teori-teori yang lebih spesifik, seperti teori pilihan bahasa, teori komponen tutur, dan teori akomodasi. Dalam pengumpulan data digunakan metode simak dan cakap. Setelah terkumpul, data dianalisis dengan menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif digunakan untuk menganalisis masalah (1) dan metode kualitatif digunakan untuk menganalisis masalah (2), (3), dan (4).

Hasil analisis menunjukkan bahwa dilihat dari segi ranah penggunaannya, pilihan bahasa antaretnis didominasi oleh penggunaan bahasa Indonesia, sedangkan pilihan bahasa intraetnis didominasi oleh penggunaan bahasa Bali. Pilihan bahasa lainnya, yaitu adanya perbedaan yang sangat signifikan antara penggunaan bahasa kelompok dewasa dan penggunaan bahasa kelompok remaja. Pada penggunaan bahasa antaretnis kelompok dewasa frekuensi penggunaan bahasa Indonesianya lebih rendah dibandingkan dengan kelompok remaja, sedangkan penggunaan bahasa intraetnis kelompok remaja frekuensi penggunaan bahasa Balinya lebih rendah dibandingkan dengan kelompok dewasa. Selain itu, hasil analisis juga menemukan fenomena kebahasaan, seperti alih kode, campur kode, dan interferensi penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi, Sulawesi Tengah.


(12)

xi ABSTRACT

THE LANGUAGE USE OF THE BALINESE SPEECH COMMUNITY IN PARIGI CENTRAL SULAWESI

The research discusses four main issues which become the research study, namely: (1) the language choice of the Balinese speech community in Parigi in terms of the domain of its use, (2) types, functions, and meanings of code switching of Balinese speech community in Parigi, (3) factors that cause the Balinese speech community in Parigi to switch code when verbal interaction takes place, and (4) the forms of code-mixing and interference of language use of the Balinese speech community in Parigi and the causing factors. The study is based on an idea that the speech community of the people of Bali in Parigi classified as bilingual society. In addition, the transmigration area is a melting pot of customs, culture, and languages of the various ethnic groups. It resulted in a wide range of linguistic phenomena, such as language choice, code switching, code-mixing, and interference.

This research was conducted in the Balinese people transmigration area, in the Sub-district of Parigi, and the Sub-district of South Parigi, the Parigi Moutong Regency, Central Sulawesi. Of the two sub-districts, it was taken three villages as the primary data source, namely Villages of Mertasari, Sumbersari, and Nambaru. The study used sociolinguistic theory as its umbrella. The theory is supported by more specific theories, such as language choice theory, the theory of speech components, and the theory of accommodation. The data collection method is note taking. Once collected, the data were analyzed by using quantitative and qualitative methods. Quantitative methods were used to analyze problem (1) and qualitative methods were used to analyze problems (2), (3) and (4).

The analysis showed that in terms of the domain of their use, inter-ethnic language choice is dominated by the use of Indonesian, while intra-ethnic language choice is dominated by the use of the Balinese language. Other language choice, namely the existence of a very significant difference between the language use of the adult groups with those of the youth groups. On the language use of adult ethnic groups, the Indonesian language usage frequency is lower than the adolescent group, on the contrary, the Balinese language usage frequency in the intra-ethnic language use of adolescent groups is lower than the adult group. In addition, the results of the analysis also discovered the phenomenon of language, such as code switching, code-mixing, and the interference of language use of the Balinese speech community in Parigi, Central Sulawesi.

Keywords: speech community, language choice, code switching, code-mixing, interference.


(13)

RINGKASAN DISERTASI

PENGGUNAAN BAHASA GUYUB TUTUR

MASYARAKAT BALI DI PARIGI, SULAWESI TENGAH

1. Pendahuluan

Salah satu fungsi bahasa yang utama adalah alat komunikasi. Sebagai alat komunikasi, bahasa bukan saja digunakan untuk menyampaikan informasi, pesan, ataupun ungkapan-ungkapan kepada mitra wicara, melainkan bahasa dipergunakan juga untuk membangun dan membina hubungan antarwarga masyarakat, seperti halnya guyub tutur masyarakat Bali, di Parigi, Sulawesi Tengah.

Guyub tutur masyarakat Bali sudah ada di Parigi sejak 1950-an melalui transmigrasi spontan. Para transmigran tersebut hidup berdampingan dengan warga dari suku lain, seperti Jawa, Bugis, Kaili, dan Manado. Banyaknya suku di Parigi mengakibatkan warga transmigran Bali mengenal dua bahasa atau lebih sehingga mereka dapat digolongkan sebagai masyarakat bilingual atau multilingual.

Dalam masyarakat bilingual atau multilingual, beberapa fenomena kebahasaan sering muncul, seperti pilihan bahasa, alih kode, campur kode, dan interferensi. Fenomena kebahasaan yang demikian sangat menarik dikaji dengan menggunakan pendekatan sosiolinguistik. Selain itu, fenomena kebahasaan tersebut memberikan manfaat yang cukup besar, baik secara teoretis maupun praktis. Secara teoretis, kajian ini bermanfaat, baik bagi perkembangan linguistik maupun perkembangan metode, konsep, ataupun teori-teori sosiolinguistik. Secara praktis, kajian ini bermanfaat bagi pelestarian bahasa Bali sebagai bahasa ibu bagi guyub tutur masyarakat Bali di luar daerah asal.

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini mengkaji penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi, Sulawesi Tengah. Pemilihan lokasi penelitian tersebut berdasar pada suatu kenyataan bahwa para transmigran Bali tiba di lokasi tersebut paling awal, yaitu 1950-an. Lamanya transmigran Bali hidup berdampingan dengan etnis lainnya mengakibatkan mereka mengenal dua bahasa atau lebih. Bahkan, ada seorang informan mengatakan bahwa orang Bali yang lahir di Parigi sudah mampu menggunakan bahasa Kaili, Bugis, dan Jawa. Artinya, kalau bertemu dengan etnis Kaili, dia akan menggunakan bahasa Kaili; kalau bertemu dengan etnis Bugis, dia akan menggunakan bahasa Bugis; dan kalau bertemu dengan etnis Jawa, dia akan menggunakan bahasa Jawa. Namun, sangat disayangkan orang Bali yang lahir di Parigi belum mampu menggunakan bahasa Bali halus. Dia hanya mampu menggunakan bahasa Bali lumrah (bahasa Bali umum).

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi dan secara khusus penelitian ini bertujuan mendeskripsikan: (1) pilihan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi, baik kelompok dewasa maupun remaja, (2) macam, fungsi, dan makna alih


(14)

xiii

kode, (3) faktor penyebab alih kode, dan (4) wujud dan faktor penyebab terjadinya campur kode dan interferensi.

2. Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiolinguistik. Artinya, sosiolinguistik dipakai sebagai landasan dalam meneliti penggunaan bahasa guyub tutur oleh masyarakat Bali di Parigi, Sulawesi Tengah. Dalam hal ini, sosiolinguistik memberikan suatu pengetahuan bagaimana cara menggunakan bahasa, bagaimana bahasa itu dipakai dalam aspek-aspek sosial tertentu.

Ada beberapa teori dipergunakan dalam penelitian ini. Pertama, teori pilihan bahasa dipergunakan untuk menganalisis masalah nomor 1 tentang pilihan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi. Kedua, teori komponen tutur dan konvergensi dipergunakan untuk menganalisis masalah nomor 2 dan 3. Ketiga, teori campur kode dan interferensi dipergunakan untuk menganalisis masalah nomor 4.

3. Metode Penelitian

Penggunaan bahasa merupakan salah satu fenomena bahasa dalam kehidupan bermasyarakat. Artinya, kapan seseorang menggunakan bahasa “y” dan kapan seseorang menggunakan bahasa “x” sangat bergantung pada tempat, topik ataupun partisipan. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologis.

Penelitian ini dilakukan di wilayah transmigran Bali di Kecamatan Parigi dan Parigi Selatan, Kabupaten Parigi Moutong, Provinsi Sulawesi Tengah. Kabupaten Parigi Moutong merupakan pemekaran dari Kabupaten Donggala yang dibentuk berdasarkan undang-undang no. 10 tahun 2002. Kabupaten ini terdiri atas 20 wilayah kecamatan. Dua di antaranya adalah Kecamatan Parigi dan Parigi Selatan. Dua kecamatan tersebut merupakan tempat paling awal dihuni transmigran asal Bali, yaitu sejak 1950-an. Oleh karena itu, kedua tempat tersebut dijadikan lokasi penelitian.

Penelitian ini memiliki dua sumber data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer bersumber dari semua etnis Bali yang berdomisili di tiga desa, yaitu Desa Mertasari, Desa Sumbersari, dan Desa Nambaru. Data sekunder dapat digunakan sebagai pelengkap data primer. Data sekunder sangat diperlukan peneliti, baik berupa dokumentasi yang berkaitan dengan teori-teori sosioliguistik ataupun dokumentasi yang berkaitan dengan hasil-hasil penelitian terdahulu.

Ada beberapa tahapan dipakai dalam pengumpulan data. Pertama, metode simak dengan menggunakan teknik dasar sadap. Teknik dasar tersebut dibantu dengan teknik lanjutan berupa teknik simak bebas libat cakap, teknik simak libat cakap, catat, dan rekam. Kedua, metode cakap dengan menggunakan teknik pancing yang dibantu dengan teknik cakap semuka dan teknik cakap tansemuka. Kedua metode itu digunakan untuk menghasilkan data kualitatif. Ketiga, metode survei digunakan melalui penyebaran kuesioner atau daftar pertanyaan yang terstruktur dan rinci untuk memperoleh informasi dari sejumlah besar informan yang dipandang representatif mewakili populasi penelitian. Metode survei tersebut digunakan untuk menghasilkan data kuantitatif (Mahsun, 2005:246). Selanjutnya,


(15)

data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan analisis data secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis data secara kualitatif dilakukan sejak peneliti terjun di lapangan berbaur dengan informan. Kegiatan peneliti di lapangan tidak terlepas dari fenomena kebahasaan yang terjadi di lapangan yang menjadi lokasi penelitian, sedangkan analisis data secara kuantitatif dipergunakan untuk menentukan jumlah persentase pengguna bahasa.

4. Hasil Penelitian

4.1Pilihan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat Bali di Parigi Dilihat dari Segi Ranah Penggunaannya

Pilihan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi dapat diklasifikasikan menjadi lima bagian, yaitu (1) penggunaan bahasa antaretnis dan intraetnis pada ranah pekerjaan, (2) penggunaan bahasa antaretnis dan intraetnis pada ranah kekariban, (3) penggunaan bahasa antaretnis dan intraetnis pada ranah agama, (4) penggunaan bahasa intraetnis pada ranah kesenian, dan (5) penggunaan bahasa intraetnis pada ranah keluarga.

Penggunaan bahasa antaretnis pada ranah pekerjaan didominasi oleh penggunaan bahasa Indonesia, yaitu sebesar 89,1%, penggunaan bahasa Bali sebesar 4%, penggunaan bahasa Kaili sebesar 4,9%, penggunaan bahasa Bugis sebesar 2% (kelompok dewasa), penggunaan bahasa Indonesia sebesar 93,4%, penggunaan bahasa Bali/bahasa Indonesia sebesar 6,6% (kelompok remaja). Penggunaan bahasa intraetnis pada ranah pekerjaan didominasi oleh penggunaan bahasa Bali, yaitu sebesar 78,6%, penggunaan bahasa Indonesia sebesar 10%, penggunaan bahasa Bali/bahasa Indonesia sebesar 11,4% (kelompok dewasa), penggunaan bahasa Bali sebesar 70%, penggunaan bahasa Indonesia sebesar 12%, dan penggunaan bahasa Bali/bahasa Indonesia sebesar 18% (kelompok remaja).

Penggunaan bahasa antaretnis pada ranah kekariban didominasi oleh penggunaan bahasa Indonesia, yaitu sebesar 91%, penggunaan bahasa Bali sebesar 3%, penggunaan bahasa Kaili sebesar 4%, penggunaan bahasa Bugis sebesar 2% (kelompok dewasa), penggunaan bahasa Indonesia sebesar 98%, dan penggunaan bahasa Bali sebesar 2% (kelompok remaja). Penggunaan bahasa intraetnis pada ranah kekariban didominasi oleh penggunaan bahasa Bali, yaitu sebesar 62%, penggunaan bahasa Bali/bahasa Indonesia sebesar 20%, penggunaan bahasa Indonesia sebesar 18% (kelompok dewasa), penggunaan Bahasa Bali sebesar 59%, penggunaan bahasa Bali/bahasa Indonesia sebesar 18%, dan penggunaan bahasa Indonesia sebesar 23% (kelompok remaja).

Penggunaan bahasa antaretnis pada ranah agama didominasi oleh penggunaan bahasa Indonesia, yaitu sebesar 93,25%, penggunaan bahasa Bali sebesar 3%, penggunaan bahasa Kaili sebesar 3%, penggunaan bahasa Bugis sebesar 0,75% (kelompok dewasa), penggunaan bahasa Indonesia sebesar 95,5%, penggunaan bahasa Bugis sebesar 3%, dan penggunaan bahasa Kaili sebesar 1,5% (kelompok remaja). Penggunaan bahasa intraetnis pada ranah agama didominasi oleh penggunaan bahasa Bali/bahasa Indonesia, yaitu sebesar 43%, penggunaan bahasa Bali sebesar 4%, penggunaan bahasa Indonesia sebesar 36,3%, penggunaan bahasa Sanskerta sebesar 16,7% (kelompok dewasa), penggunaan bahasa Indonesia sebesar 16,8%, penggunaan bahasa Bali sebesar 39,2%, penggunaan


(16)

xv

bahasa Sanskerta sebesar 16,7%, dan penggunaan bahasa Bali/bahasa Indonesia sebesar 27,3% (kelompok remaja).

Penggunaan bahasa intraetnis pada ranah kesenian didominasi oleh penggunaan bahasa Bali, yaitu sebesar 87%, penggunaan bahasa Bali/bahasa Indonesia sebesar 10,5%, penggunaan bahasa Indonesia sebesar 2,5% (kelompok dewasa), penggunaan bahasa Bali sebesar 68%, penggunaan bahasa Bali/bahasa Indonesia sebesar 12%, dan penggunaan bahasa Indonesia sebesar 20% (kelompok remaja).

Penggunaan bahasa intraetnis pada ranah keluarga didominasi oleh penggunaan bahasa Bali, yaitu sebesar 71%, penggunaan bahasa Bali/bahasa Indonesia sebesar 12%, penggunaan bahasa Indonesia sebesar 17% (kelompok dewasa), penggunaan bahasa Bali sebesar 53%, penggunaan bahasa Bali/bahasa Indonesia sebesar 19%, dan penggunaan bahasa Indonesia sebesar 28% (kelompok remaja).

Dominannya penggunaan bahasa Indonesia antaretnis, baik pada ranah pekerjaan, kekariban, maupun agama membuktikan bahwa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi telah menguasai dua bahasa atau lebih. Dengan kata lain, guyub tutur masyarakat Bali di Parigi dapat digolongkan sebagai masyarakat bilingual atau multilingual. Selain itu, bahasa Indonesia dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional telah menjalankan fungsinya dengan baik, yaitu sebagai alat penghubung antaretnis yang berbeda latar belakang sosial dan budayanya.

Dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa Bali di Parigi pun telah menjalankan fungsinya dengan baik, yaitu sebagai alat penghubung intradaerah/intraetnis. Hal ini dapat dibuktikan dari penggunaan bahasa intraetnis, baik pada ranah pekerjaan, kekariban, kesenian, maupun keluarga yang didominasi oleh penggunaan bahasa Bali. Dari lima macam ranah yang ada, hanya penggunaan bahasa intraetnis ranah agama didominasi oleh penggunaan bahasa Bali/ bahasa Indonesia.

4.2Macam-macam Alih Kode dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat Bali di Parigi

4.2.1 Alih Kode Berdasarkan Kekerabatan Bahasa

Berdasarkan kekerabatan bahasa, alih kode dalam penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: (1) alih kode ke dalam (internal code switching), dan (2) alih kode ke luar (external code switching). Alih kode ke dalam adalah alih kode yang terjadi pada bahasa-bahasa yang serumpun. Alih kode tersebut dapat dilihat pada data 14, sedangkan alih kode ke luar adalah alih kode yang terjadi pada bahasa-bahasa yang tidak serumpun. Alih kode yang demikian dapat dilihat pada data 3.

4.2.2 Alih Kode Berdasarkan Variasi Lingual

Berdasarkan variasi lingual, alih kode dalam penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi dapat dibedakan menjadi: (1) alih kode yang berpola dari bahasa Bali ke bahasa Indonesia, (2) alih kode yang berpola dari bahasa Bali ke bahasa Inggris, (3) alih kode yang berpola dari bahasa Bali ke bahasa Kaili, dan (4) alih kode yang berpola dari bahasa Bali ke bahasa Bugis. Alih kode yang


(17)

berpola dari bahasa Bali ke bahasa asing dalam penelitian ini juga ditemukan. Alih kode yang berpola dari bahasa Bali ke bahasa Indonesia dapat dilihat pada data 9. Alih kode yang berpola dari bahasa Bali ke bahasa Inggris dapat dilihat pada data 3. Alih kode yang berpola dari bahasa Bali ke bahasa Kaili dapat dilihat pada data 10. Alih kode yang berpola dari bahasa Bali ke bahasa Bugis dapat dilihat pada data 11.

4.2.3 Alih Kode Berdasarkan Kelengkapan Tutur

Berdasarkan kelengkapan tutur, alih kode dalam penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi dapat dibedakan menjadi: (1) alih kode dari tuturan yang lengkap ke tuturan yang taklengkap, dan (2) alih kode dari tuturan yang tidak lengkap ke tuturan yang lengkap. Alih kode dari tuturan yang lengkap ke tuturan yang taklengkap dapat dilihat pada data 12, demikian juga alih kode dari tuturan yang tidak lengkap ke tuturan yang lengkap dapat dilihat pada data 12.

4.2.4 Alih Kode Berdasarkan Ruang Lingkup Peralihan

Berdasarkan ruang lingkup peralihan, alih kode dalam penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi dapat dibedakan menjadi (1) alih kode interkalimat (intersentential switching), dan (2) alih kode intrakalimat (intrasentential switching). Alih kode interkalimat dapat dilihat pada data 8, sedangkan alih kode intrakalimat dapat dilihat pada data 7.

4.2.5 Alih Kode Menurut Bloom dan Gumperz

Dalam penelitian ini ditemukan juga pembagian alih kode yang dikemukakan oleh Bloom dan Gumperz. Bloom dan Gumperz membedakan alih kode situasional (situational code-switching), dan (2) alih kode metaforis (metaphorical code-switching). Alih kode situasional dapat dibedakan menjadi: (1) alih kode situasional dalam bentuk alih bahasa, dan (2) alih kode situasional dalam bentuk alih style. Alih kode situasional dalam bentuk alih bahasa dapat dilihat pada data 9, sedangkan alih kode situasional dalam bentuk alih style dapat dilihat pada data 5. Alih kode metaforis dapat dibedakan menjadi: (1) alih kode metaforis dalam bentuk alih bahasa, dan (2) alih kode metaforis dalam bentuk alih style. Alih kode metaforis dalam bentuk alih bahasa dapat dilihat pada data 13, sedangkan alih kode metaforis dalam bentuk alih style dapat dilihat pada data 14.

4.3Fungsi Alih Kode dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat Bali di Parigi

Alih kode yang dilakukan oleh guyub tutur masyarakat Bali memiliki fungsi sebagai berikut: (1) menawar sesuatu (data 15 dan data 13), (2) personal (data 10 dan data 16), (3) memperoleh pengetahuan (data 10 dan data 12), (4) berimajinatif (data 8 dan data 14), (5) menggambarkan suatu pemikiran atau wawasan (data 17 dan data 8), (6) menunjukkan rasa sosial (data 5 dan data 10), (7) merahasiakan sesuatu (data 11), (8) menunjukkan sikap akrab (data 3), (9) menunjukkan sikap toleransi (data 12 dan data 13), dan (10) mengutip pembicaraan orang lain (data 8 dan data 20).


(18)

xvii

4.4Makna Alih Kode dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat Bali di Parigi

Dalam penelitian ini digunakan teori makna yang dikemukakan oleh Halliday. Menurut Halliday, dalam menentukan komponen semantis bahasa ada tiga unsur yang tidak dapat dipisahkan. Ketiga unsur itu meliputi: (1) ideasional, yaitu isi pesan yang ingin disampaikan, (2) interpersonal, yaitu makna yang hadir bagi pemeran di dalam peristiwa tutur, dan (3) tekstual, yaitu bentuk kebahasaan serta konteks tuturan yang mempresentasikan serta menunjang terwujudnya makna ujaran. Selanjutnya, teori tersebut digunakan untuk menganalisis makna alih kode pada guyub tutur masyarakat Bali di Parigi.

Makna alih kode dalam penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi meliputi: (1) sosial (data 10 dan data 5), (2) metaforis (data 8 dan data 13), (3) merendahkan diri (data 18), (4) janji (data 3), (5) kejelasan suatu topik (data 8 dan data 19), (6) akrab (data 3 dan data 16), dan (7) rahasia (data 11).

4.5Sebab-sebab Terjadinya Alih Kode dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat Bali di Parigi

Berkumpulnya beberapa etnis, seperti Kaili, Bugis, Jawa, Manado, dan Bali di Parigi mengakibatkan terjadinya kontak bahasa, budaya, dan adat istiadat. Unsur bahasa merupakan salah satu aspek yang paling rentan mengalami kontak bahasa karena sifatnya yang terbuka. Akibat kontak bahasa, sering terjadi fenomena alih kode ketika komunikasi berlangsung. Sebab-sebab terjadinya alih kode dalam penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi adalah sebagai berikut: (1) O1 ingin memberikan penekanan pada topik pembicaraan, (2) O1 bermaksud lebih akrab dengan O2, (3) O1 bermaksud merahasiakan sesuatu, (4) O1 terpengaruh oleh ucapan O2, (5) O1 ingin merendahkan diri, (6) O2 ingin menunjukkan bahwa dirinya terpelajar, (7) O2 ingin mengutip pembicaraan orang lain, (8) O2 ingin memperjelas keterangan yang telah dipaparkan, (9) kehadiran O3, (10) materi pembicaraan, (11) situasi, (12) pembicaraan sebelumnya, (13) perjanjian, (14) kurang menguasai bahasa daerah, dan (15) partisipan menunjukkan rasa toleransi.

4.6Campur Kode dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat Bali di Parigi

Bilamana orang mencampur dua atau lebih bahasa dalam suatu tindak berbahasa tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut percampuran bahasa itu disebut campur kode. Ciri yang menonjol dalam campur kode adalah kesantaian atau situasi informal. Dalam situasi formal jarang terjadi campur kode. Fenomena campur kode tersebut dapat dilihat pada data 24, data 18, data 25, data 26, data 27, data 28, dan data 29.

4.6.1 Macam-macam Wujud Campur Kode dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat Bali di Parigi

Berdasarkan unsur-unsur yang terlibat di dalamnya, campur kode dalam penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi dapat dibedakan menjadi: (1) penyisipan unsur yang berupa kata, dan (2) penyisipan


(19)

unsur-unsur yang berupa frasa. Penyisipan unsur-unsur-unsur-unsur yang berwujud kata dapat dilihat pada data 24 (K3, K1, K10), data 18 (K8, K5, K6), data 25 (K8), data 26 (K3), data 27 (K2, K5, K8, K10), data 28 (K1, K2, K3, K8), data 30 (K3, K6) dan penyisipan unsur-unsur yang berupa frasa dapat dilihat pada data 24 (K2), data 26 (K2), data 28 (K4).

4.6.2 Sebab-sebab Terjadinya Campur Kode dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat Bali di Parigi

Campur kode dalam penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi disebabkan oleh beberapa faktor: (1) penutur kurang menguasai BBH. Hal ini dapat dilihat pada data 24 (K5), (2) kesetiaan yang tinggi penutur terhadap bahasa ibu. Penyebab tersebut dapat dilihat pada data 18 (K3), dan (3) partisipan ingin mempertegas ujaran atau tuturan sebelumnya. Penyebab tersebut dapat dilihat pada data 25 (K8).

4.7Interferensi dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat Bali di Parigi

Interferensi dapat didefinisikan sebagai masuknya unsur serapan ke dalam bahasa lain yang bersifat melanggar bahasa yang menyerap. Dengan kata lain, interferensi adalah masuknya unsur suatu bahasa ke dalam bahasa lain yang mengakibatkan pelanggaran kaidah bahasa yang dimasukinya, baik pelanggaran fonologis, leksikal, maupun gramatikal.

4.7.1 Macam-macam Interferensi dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat Bali di Parigi

Interferensi dapat terjadi pada semua komponen kebahasaan, baik pada tataran fonologi, leksikal, maupun gramatikal. Namun, interferensi yang terjadi pada penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi hanya ditemukan interferensi pada tataran leksikal dan gramatikal.

Interferensi pada tataran leksikal dapat dilihat pada data berikut. (a) Bawa kemari jo, nanti saya yang antar.

„Bawa kemari saja, nanti saya yang antar‟

(b) Sama le.

„Sama juga.‟

Interferensi pada tataran gramatikal dapat dilihat pada data berikut. (a) Data 3

K3 : Bayah ditu keto. Ane ngadaang pertemuane nake mayah.

„Bayar di situ begitu. Yang mengadakan pertemuannya seharusnya membayar.‟

(b) Begitu memang, harus antre dulu.

„Memang begitu, harus antre dulu.‟

4.7.2 Sebab-Sebab Terjadinya Interferensi dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat Bali di Parigi

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya interferensi dalam penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi adalah sebagai berikut:


(20)

xix

(1) kesetiaan yang tinggi terhadap bahasa pertama, (2) pengaruh struktur bahasa daerah ketika menggunakan bahasa Indonesia, (3) prestise bahasa sumber, (4) kedwibahasaan penutur, dan (5) kepentingan akan sinonim.

5. Temuan Baru

Hasil analisis data menemukan beberapa hal, seperti di bawah ini.

(1) Bahasa Bali sebagai alat komunikasi intradaerah masih menjalankan fungsinya, baik pada ranah pekerjaan, kekariban, agama, kesenian, maupun keluarga. Namun, penggunaan bahasa Bali pada ranah-ranah tersebut ada juga yang dicampur dengan bahasa Indonesia. Hal ini dapat dimaklumi sebab warga Bali di Parigi sudah lama hidup berbaur dengan etnis non-Bali, seperti suku Kaili, Bugis, Jawa, dan Manado.

(2) Bahasa Bali sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah belum menjalankan fungsinya secara maksimal sebab bahasa daerah yang digunakan sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah adalah bahasa Kaili sebagai bahasa lokal.

(3) Dilihat dari segi usia, pilihan bahasa antaretnis pada kelompok remaja lebih dominan penggunaan bahasa Indonesia-nya dibandingkan dengan kelompok dewasa. Namun, pilihan bahasa intraetnis pada kelompok remaja lebih rendah penggunaan bahasa Bali-nya dibandingkan dengan kelompok dewasa.

(4) Dalam penelitian ini ditemukan 14 macam alih kode penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi.

(5) Selain macam-macam alih kode, dalam penelitian ini juga ditemukan 10 fungsi alih kode, 7 makna alih kode, dan 15 penyebab terjadinya alih kode penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi, Sulawesi Tengah. (6) Di samping fenomena kebahasaan berupa alih kode, dalam penelitian ini juga

ditemukan tiga penyebab terjadinya campur kode dan lima penyebab terjadinya interferensi penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi, Sulawesi Tengah.

6. Simpulan dan Saran 6.1Simpulan

Berdasarkan analisis data, diperoleh simpulan sebagai berikut.

(1) Sebagian besar guyub tutur masyarakat Bali di Parigi memilih menggunakan bahasa Indonesia ketika berkomunikasi dengan etnis lain, baik pada ranah pekerjaan, kekariban, maupun agama. Hal ini membuktikan bahwa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi dapat digolongkan sebagai masyarakat bilingual. Artinya, selain menguasai bahasa Bali sebagai bahasa ibu, guyub tutur masyarakat Bali di Parigi juga menguasai bahasa Indonesia.

Selain itu, guyub tutur masyarakat Bali di Parigi lebih dominan memilih menggunakan bahasa Bali ketika berkomunikasi dengan sesama etnis, baik pada ranah pekerjaan, kekariban, agama, kesenian, maupun keluarga. Hal ini membuktikan bahwa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi memiliki loyalitas / kesetiaan yang tinggi terhadap bahasa daerahnya, yaitu bahasa Bali. Artinya,


(21)

bahasa Bali dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah telah menjalankan fungsinya dengan baik, yaitu sebagai alat penghubung intradaerah atau intraetnis.

(2) Sebagai akibat terjadinya kontak bahasa, guyub tutur masyarakat Bali di Parigi mengenal dua bahasa atau lebih. Hal ini mengakibatkan munculnya fenomena kebahasaan, seperti alih kode, campur kode, dan interferensi. Macam-macam alih kode dalam penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi dapat dilihat dari: (1) kekerabatan bahasa, (2) variasi lingual, (3) kelengkapan tutur, (4) ruang lingkup peralihan, (5) Bloom dan Gumperz. Berdasarkan kekerabatan bahasa, alih kode dalam penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi dibedakan menjadi: (a) alih kode ke dalam, dan (b) alih kode ke luar. Berdasarkan variasi lingual, alih kode dalam penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi dapat dibedakan menjadi: (a) alih kode yang berpola dari bahasa Bali ke bahasa Indonesia, (b) alih kode yang berpola dari bahasa Bali ke bahasa Inggris, (c) alih kode yang berpola dari bahasa Bali ke bahasa Kaili, dan (d) alih kode yang berpola dari bahasa Bali ke bahasa Bugis. Berdasarkan kelengkapan tutur, alih kode dalam penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi dapat dibedakan menjadi: (a) alih kode dari tuturan yang lengkap ke tuturan yang taklengkap, dan (b) alih kode dari tuturan yang taklengkap ke tuturan yang lengkap. Berdasarkan ruang lingkup peralihan, alih kode dalam penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi dapat dibedakan menjadi: (a) alih kode interkalimat, dan (b) alih kode intrakalimat. Dalam penelitian ini juga ditemukan pembagian alih kode yang dikemukakan oleh Bloom dan Gumperz. Menurut Bloom dan Gumperz, alih kode dalam penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi dapat dibedakan menjadi: (a) alih kode situasional, dan (b) alih kode metaforis.

Alih kode dalam penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi memiliki beberapa fungsi, antara lain: (1) menawar sesuatu, (2) personal, (3) memperoleh pengetahuan, (4) berimajinatif, (5) menggambarkan suatu pemikiran atau wawasan, (6) menunjukkan rasa sosial, (7) merahasiakan sesuatu, (8) menunjukkan sikap akrab, (9) menunjukkan sikap toleransi, dan (10) mengutip pembicaraan orang lain. Selain fungsi, tuturan dalam alih kode pun memiliki makna, antara lain: (1) sosial, (2) metaforis, (3) merendahkan diri, (4) janji, (5) kejelasan suatu topik, (6) akrab, dan (7) rahasia.

(3) Alih kode sebagai salah satu fenomena kebahasaan dalam penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1) pembicara (O1), (2) mitra wicara (O2), (3) orang ketiga (O3), (4) materi pembicaraan, (5) situasi, (6) pembicaraan sebelumnya, (7) perjanjian, (8) kurang menguasai bahasa, dan (9) toleransi antaretnis.

(4) Akibat terjadinya kontak bahasa antara etnis satu dan etnis lainnya, penggunaan campur kode tidak dapat dihindari ketika komunikasi berlangsung. Masuknya unsur-unsur bahasa lain ketika seseorang


(22)

xxi

menggunakan bahasa mengakibatkan terjadinya campur kode. Berdasarkan unsur-unsur yang terlibat di dalamnya, campur kode dalam penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi dapat dibedakan menjadi: (1) penyisipan unsur-unsur yang berupa kata, dan (2) penyisipan unsur-unsur yang berupa frasa.

Selain campur kode, interferensi sebagai salah satu fenomena kebahasaan juga ditemukan dalam penelitian ini. Interferensi didefinisikan sebagai masuknya unsur serapan ke dalam bahasa lain yang bersifat melanggar kaidah gramatikal bahasa yang menyerap. Dalam penelitian ini ditemukan interferensi pada tataran leksikal dan gramatikal.

6.2Saran

Penelitian ini terfokus pada penggunaan bahasa di daerah transmigrasi, yaitu Parigi, Sulawesi Tengah. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lanjutan agar diperoleh gambaran yang menyeluruh tentang penggunaan bahasa di daerah transmigrasi lainnya.

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, peneliti memperoleh suatu gambaran tentang belum maksimalnya guyub tutur masyarakat Bali di Parigi menggunakan BBH ketika berkomunikasi dengan sesama etnis. Sehubungan dengan itu, guyub tutur masyarakat Bali, khususnya remaja Bali perlu diberikan kesempatan untuk mempelajari BB. Dengan demikian, mereka mampu menggunakan BB sesuai dengan situasi konteks sosial. Selain itu, Pemerintah Sulteng, khususnya PHDI, diharapkan kepeduliannya dengan jalan membangun pasraman untuk kepentingan umat di daerah transmigrasi. Pasraman bukan digunakan untuk pembelajaran agama Hindu saja, melainkan digunakan juga untuk pembelajaran bahasa Bali bagi remaja Bali di Parigi, baik tingkat SD, SMP, maupun SMA.


(23)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PRASYARAT GELAR ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN ... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

ABSTRAK ... x ABSTRACT ... xi

RINGKASAN ... xii

DAFTAR ISI ... xxii

DAFTAR BAGAN ... xxvii

DAFTAR TABEL ... xxviii

DAFTAR DIAGRAM ... xxx

DAFTAR SINGKATAN ... xxxi

DAFTAR TANDA/LAMBANG ... xxxii

BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 8 1.3 Ruang Lingkup Penelitian ... 9 1.4 Tujuan Penelitian ... 9 1.4.1 Tujun umum ... 10 1.4.2 Tujuan khusus ... 10 1.5 Manfaat Penelitian ... 10 1.5.1 Manfaat teoretis ... 11 1.5.2 Manfaat praktis ... 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN... 12 2.1 Kajian Pustaka ... 12 2.2 Konsep ... 21 2.2.1 Penggunaan bahasa ... 21 2.2.2 Guyub tutur masyarakat Bali di Parigi ... 22 2.2.3 Ranah ... 24 2.3 Landasan Teori ... 24 2.3.1 Teori sosiolinguistik ... 25 2.3.2 Teori pilihan bahasa ... 27 2.3.3 Teori komponen tutur ... 28 2.3.4 Teori akomodasi ... 30 2.3.5 Alih kode ... 32 2.3.6 Perbedaan antara alih kode dan pinjaman (borrowing) ... 36


(24)

xxiii

2.3.7 Campur kode ... 36 2.3.8 Interferensi ... 37 2.4 Model Penelitian ... 38

BAB III METODE PENELITIAN ... 41 3.1 Pendekatan Penelitian ... 41 3.2 Lokasi Penelitian ... 42 3.3 Jenis dan Sumber Data ... 44 3.4 Instrumen Penelitian ... 46 3.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 47 3.5.1 Metode simak ... 48 3.5.2 Metode cakap ... 49 3.5.3 Metode survei ... 50 3.6 Metode dan Teknik Analisis Data ... 51 3.6.1 Analisis data secara kualitatif ... 52 3.6.2 Analisis data secara kuantitatif ... 53

BAB IV SITUASI KEBAHASAAN GUYUB TUTUR MASYARAKAT BALI DI PARIGI, SULAWESI TENGAH ... 54 4.1 Hubungan antara Variasi Bahasa dan Bilingualisme ... 55 4.2 Masyarakat Bali dalam Situasi Kedwibahasaan atau

Keanekabahasaan ... 56 4.3 Kedudukan dan Fungsi Bahasa Bali ... 58 4.4 Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia ... 59

BAB V PILIHAN BAHASA GUYUB TUTUR MASYARAKAT BALI DI PARIGI, SULAWESI TENGAH ... 61 5.1 Penggunaan Bahasa dalam Ranah Pekerjaan (Kelompok Usia

Dewasa) ... 61 5.1.1 Penggunaan bahasa antaretnis ... 62 5.1.2 Penggunaan bahasa intraetnis ... 66 5.2 Penggunaan Bahasa dalam Ranah Kekariban ... 71 5.3 Penggunaan Bahasa dalam Ranah Agama ... 77 5.4 Penggunaan Bahasa dalam Ranah Kesenian ... 84 5.5 Penggunaan Bahasa dalam Ranah Keluarga ... 87 5.6 Penggunaan Bahasa dalam Ranah Pekerjaan (Kelompok Usia

Remaja) ... 93 5.6.1 Penggunaan bahasa antaretnis ... 93 5.6.2 Penggunaan bahasa intraetnis ... 96 5.7 Penggunaan Bahasa dalam Ranah Kekariban ... 100 5.8 Penggunaan Bahasa dalam Ranah Agama ... 103 5.9 Penggunaan Bahasa dalam Ranah Kesenian ... 108 5.10 Penggunaan Bahasa dalam Ranah Keluarga ... 110

BAB VI ALIH KODE GUYUB TUTUR MASYARAKAT BALI DI PARIGI, SULAWESI TENGAH ... 113


(25)

6.1 Alih Kode dalam Peristiwa Tutur ... 113 6.2 Kaitan Alih Kode dengan Konteks Sosial ... 114 6.2.1 Alih kode dalam situasi resmi (formal) ... 116 6.2.2 Alih kode dalam situasi takresmi ... 118 6.2.3 Alih kode dalam situasi akrab ... 119 6.3 Macam-macam Alih Kode dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur

Masyarakat Bali di Parigi ... 122 6.3.1 Alih kode berdasarkan kekerabatan bahasa... 123 6.3.1.1Alih kode ke dalam (internal code-switching) ... 124 6.3.1.2Alih kode ke luar (external code-switching) ... 125 6.3.2 Alih kode berdasarkan variasi lingual ... 125 6.3.2.1Alih kode yang berpola dari bahasa Bali ke bahasa Indonesia ... 126 6.3.2.2Alih kode yang berpola dari bahasa Bali ke bahasa Inggris... 127 6.3.2.3Alih kode yang berpola dari bahasa Bali ke bahasa Kaili ... 128 6.3.2.4Alih kode yang berpola dari bahasa Bali ke bahasa Bugis... 130 6.3.3 Alih kode berdasarkan kelengkapan tutur ... 131 6.3.3.1Alih kode dari tuturan yang lengkap ke tuturan yang taklengkap ... 131 6.3.3.2Alih kode dari tuturan yang taklengkap ke tuturan yang lengkap ... 133 6.3.4 Alih kode berdasarkan ruang lingkup peralihan ... 134 6.3.4.1Alih kode interkalimat (intersentential switching) ... 134 6.3.4.2Alih kode intrakalimat (intrasentential switching) ... 135 6.3.5 Alih kode menurut Bloom dan Gumperz ... 136 6.3.5.1Alih kode situasional ... 137 6.3.5.1.1 Alih kode situasional dalam bentuk alih bahasa ... 137 6.3.5.1.2 Alih kode situasional dalam bentuk alih style ... 138 6.3.5.2Alih kode metaforis ... 139 6.3.5.2.1 Alih kode metaforis dalam bentuk alih bahasa ... 140 6.3.5.2.2 Alih kode metaforis dalam bentuk alih style ... 141 6.4 Fungsi Alih Kode dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur

Masyarakat Bali di Parigi ... 143 6.4.1 Fungsi alih kode untuk menawar sesuatu ... 144 6.4.2 Fungsi alih kode sebagai personal ... 146 6.4.3 Fungsi alih kode untuk memperoleh pengetahuan ... 148 6.4.4 Fungsi alih kode untuk berimajinatif ... 151 6.4.5 Fungsi alih kode untuk menggambarkan sesuatu pemikiran atau

wawasan ... 153 6.4.6 Fungsi alih kode untuk menunjukkan rasa sosial ... 155 6.4.7 Fungsi alih kode untuk merahasiakan sesuatu ... 157 6.4.8 Fungsi alih kode untuk menunjukkan sikap akrab ... 158 6.4.9 Fungsi alih kode untuk menunjukkan sikap toleransi ... 160 6.4.10 Fungsi alih kode untuk mengutip pembicaraan orang lain ... 163 6.5 Makna Alih Kode dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur

Masyarakat Bali di Parigi ... 165 6.5.1 Alih kode yang bermakna sosial ... 167 6.5.2 Alih kode yang bermakna metaforis ... 169


(26)

xxv

6.5.3 Alih kode yang bermakna merendahkan diri ... 172 6.5.4 Alih kode yang bermakna janji ... 173 6.5.5 Alih kode yang bermakna kejelasan suatu topik ... 175 6.5.6 Alih kode yang bermakna akrab ... 177 6.5.7 Alih kode yang bermakna rahasia ... 180 6.6 Sebab-sebab Terjadinya Alih Kode dalam Penggunaan Bahasa

Guyub Tutur Masyarakat Bali di Parigi ... 181 6.6.1 Alih kode karena faktor pembicara (O1) ... 183 6.6.1.1O1 ingin memberikan penekanan pada topik pembicaraan ... 183 6.6.1.2O1 bermaksud lebih akrab dengan O2... 184 6.6.1.3O1 bermaksud merahasiakan sesuatu ... 185 6.6.1.4O1 terpengaruh oleh ucapan O2 ... 187 6.6.1.5O1 ingin merendahkan diri ... 188 6.6.2 Alih kode karena faktor mitra wicara (O2) ... 189 6.6.2.1O2 ingin menunjukkan bahwa dirinya terpelajar ... 189 6.6.2.2O2 ingin mengutip pembicaraan ... 190 6.6.2.3O2 ingin memperjelas keterangan yang telah dipaparkan ... 192 6.6.3 Alih kode karena kehadiran O3 ... 193 6.6.4 Alih kode karena materi pembicaraan ... 194 6.6.5 Alih kode karena situasi ... 198 6.6.6 Alih kode karena pembicaraan sebelumnya ... 200 6.6.7 Alih kode karena perjanjian ... 201 6.6.8 Alih kode karena kurang menguasai bahasa daerah ... 202 6.6.9 Alih kode karena keinginan partisipan menunjukkan rasa toleransi

antaretnis ... 204

BAB VII CAMPUR KODE DAN INTERFERENSI DALAM

PENGGUNAAN BAHASA GUYUB TUTUR MASYARAKAT BALI DI PARIGI ... 210 7.1 Campur Kode dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat

Bali di Parigi ... 210 7.1.1 Macam-macam wujud campur kode ... 223 7.1.2 Sebab-sebab terjadinya campur kode ... 232 7.1.2.1Penutur kurang menguasai BBH ... 233 7.1.2.2Kesetiaan yang tinggi terhadap bahasa ibu ... 234 7.1.2.3Partisipan ingin mempertegas tuturan sebelumnya ... 236 7.2 Interferensi dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat

Bali di Parigi ... 237 7.2.1 Macam-macam interferensi ... 237 7.2.1.1Interferensi pada tataran leksikal ... 238 7.2.1.2Interferensi pada tataran gramatikal ... 241 7.2.2 Sebab-sebab terjadinya interferensi ... 245


(27)

BAB IX SIMPULAN DAN SARAN ... 251 9.1 Simpulan ... 251 9.2 Saran ... 255

DAFTAR PUSTAKA ... 256

LAMPIRAN :

1) Peta Lokasi Penelitian ... 261 2) Data Penelitian ... 264 3) Daftar Responden (Kelompok Usia Dewasa) ... 282 4) Daftar Responden (Kelompok Usia Remaja) ... 284 5) Daftar Informan... 286 6) Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat Bali di Parigi, Sulawesi

Tengah (Kelompok Usia Dewasa) ... 287 7) Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat Bali di Parigi, Sulawesi


(28)

xxvii

DAFTAR BAGAN

2.1 Model Penelitian ... 38 6.1 Macam-macam Alih Kode Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat

Bali di Parigi ... 142 6.2 Fungsi Alih Kode dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat

Bali di Parigi ... 165 6.3 Makna Alih Kode dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat

Bali di Parigi ... 181 6.4 Sebab-sebab Terjadinya Alih Kode dalam Penggunaan Bahasa Guyub

Tutur Masyarakat Bali di Parigi ... 209 7.1 Macam-macam Wujud Campur Kode dalam Penggunaan Bahasa

Guyub Tutur Masyarakat Bali di Parigi ... 232 7.2 Sebab-sebab Terjadinya Campur Kode dalam Penggunaan Bahasa

Guyub Tutur Masyarakat Bali di Parigi ... 237 7.3 Macam-macam Wujud Interferensi dalam Penggunaan Bahasa Guyub

Tutur Masyarakat Bali di Parigi ... 245 7.4 Sebab-sebab Terjadinya Interferensi dalam Penggunaan Bahasa Guyub


(29)

DAFTAR TABEL

3.1 Jumlah Penduduk, Rumah Tangga, dan Rata-rata Anggota Rumah Tangga Menurut Kabupaten/Kota, 2011 ... 43 3.2 Jumlah Penduduk, Desa/Kelurahan, dan Kepadatan Penduduk

per-Desa/Kelurahan Menurut Kabupaten/Kota, 2011... 43 3.3 Jumlah Penduduk, Rumah Tangga dan Rata-rata Penduduk

per-Rumah Tangga ... 44 3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 51 5.1 Penggunaan Bahasa Antaretnis ketika Memetik Coklat dan Istirahat

(Kelompok Usia Dewasa) ... 62 5.2 Penggunaan Bahasa Antaretnis ketika Jual-Beli Hasil Pertanian ... 64 5.3 Penggunaan Bahasa Antaretnis ketika Penyuluhan Pertanian/

Perkebunan Berlangsung ... 65 5.4 Penggunaan Bahasa Intraetnis ketika Memetik Coklat dan Istirahat ... 67 5.5 Penggunaan Bahasa Intraetnis ketika Interaksi Jual-Beli Hasil

Pertanian/Perkebunan ... 68 5.6 Penggunaan Bahasa Antaretnis ketika Aktivitas Berlangsung ... 68 5.7 Penggunaan Bahasa Intraetnis Bali ketika Aktivitas Berlangsung ... 69 5.8 Penggunaan Bahasa Intraetnis Bali ketika Penyuluhan Pertanian/

Perkebunan Berlangsung ... 70 5.9 Penggunaan Bahasa Antaretnis dalam Surat-menyurat ... 71 5.10 Penggunaan Bahasa Antaretnis ketika Aktivitas Berlangsung ... 72 5.11 Penggunaan Bahasa Intraetnis Bali dalam Surat-menyurat ... 74 5.12 Penggunaan Bahasa dengan Etnis Kaili dalam Kegiatan Keagamaan ... 79 5.13 Penggunaan Bahasa dengan Etnis Bugis dalam Kegiatan Keagamaan .. 80 5.14 Penggunaan Bahasa Intraetnis Bali dalam Kegiatan Keagamaan ... 81 5.15 Penggunaan Bahasa Intraetnis Bali dalam Kegiatan Keagamaan

Lainnya ... 83 5.16 Penggunaan Bahasa ketika Etnis Bali Latihan Seni ... 85 5.17 Penggunaan Bahasa ketika Pentas Seni ... 86


(30)

xxix

5.18 Penggunaan Bahasa dalam Kehidupan Sehari-hari di Rumah ... 88 5.19 Penggunaan Bahasa kepada Bapak Berdasarkan Topik ... 89 5.20 Penggunaan Bahasa kepada Anak Berdasarkan Topik ... 91 5.21 Penggunaan Bahasa ketika Memetik Coklat dan Istirahat (Kelompok

Usia Remaja) ... 93 5.22 Penggunaan Bahasa Antaretnis ketika Jual-Beli Hasil Pertanian ... 95 5.23 Penggunaan Bahasa Antaretnis ketika Penyuluhan Pertanian/

Perkebunan Berlangsung ... 95 5.24 Penggunaan Bahasa Intraretnis ketika Memetik Coklat dan Istirahat .... 97 5.25 Penggunaan Bahasa Intraretnis ketika Interaksi Jual-Beli Hasil

Pertanian/Perkebunan ... 98 5.26 Penggunaan Bahasa Antaretnis ketika Aktivitas Berlangsung ... 98 5.27 Penggunaan Bahasa Intraretnis Bali ketika Aktivitas Berlangsung ... 99 5.28 Penggunaan Bahasa Intraretnis Bali ketika Penyuluhan Pertanian/

Perkebunan ... 99 5.29 Penggunaan Bahasa Antaretnis dalam Surat-menyurat ... 100 5.30 Penggunaan Bahasa Antaretnis ketika Aktivitas Berlangsung ... 101 5.31 Penggunaan Bahasa Intraretnis Bali dalam Surat-menyurat ... 102 5.32 Penggunaan Bahasa dengan Etnis Kaili dalam Kegiatan Keagamaan ... 103 5.33 Penggunaan Bahasa dengan Etnis Bugis dalam Kegiatan Keagamaan .. 104 5.34 Penggunaan Bahasa Intraetnis dalam Kegiatan Keagamaan ... 105 5.35 Penggunaan Bahasa Intraetnis Bali dalam Kegiatan Agama Lainnya .... 106 5.36 Penggunaan Bahasa ketika Etnis Bali Latihan Seni ... 108 5.37 Penggunaan Bahasa ketika Pentas Seni ... 109 5.38 Penggunaan Bahasa dalam Kehidupan Sehari-hari di Rumah ... 110 5.39 Penggunaan Bahasa kepada Bapak Berdasarkan Topik ... 111


(31)

DAFTAR DIAGRAM

5.1 Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Antaretnis pada Ranah Pekerjaan (Kelompok Usia Dewasa) ... 66 5.2 Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Intraretnis pada Ranah Pekerjaan ... 70 5.3 Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Antaretnis pada Ranah Kekariban .... 73 5.4 Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Intraetnis pada Ranah Kekariban ... 77 5.5 Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Antaretnis pada Ranah Agama ... 81 5.6 Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Intraetnis pada Ranah Agama ... 84 5.7 Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Intraetnis pada Ranah Kesenian ... 87 5.8 Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Intraetnis pada Ranah Keluarga ... 93 5.9 Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Antaretnis pada Ranah Pekerjaan

(Kelompok Usia Remaja) ... 96 5.10 Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Intraetnis pada Ranah Pekerjaan... 100 5.11 Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Antaretnis pada Ranah Kekariban .... 102 5.12 Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Intraetnis pada Ranah Kekariban ... 103 5.13 Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Antaretnis pada Ranah Agama ... 105 5.14 Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Intraetnis pada Ranah Agama ... 107 5.15 Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Intraetnis pada Ranah Kesenian ... 110 5.16 Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Intraetnis pada Ranah Keluarga ... 112


(32)

xxxi

DAFTAR SINGKATAN

AK : Alih Kode

BB : Bahasa Bali

BB/BI : Bahasa Bali dan Bahasa Indonesia BBC : Bahasa Bali Campur

BBg : Bahasa Bugis

BBH : Bahasa Bali Halus BBL : Bahasa Bali Lumrah

BI : Bahasa Indonesia

BJ : Bahasa Jawa

BK : Bahasa Kaili

BM : Bahasa Manado

BS : Bahasa Sanskerta

CK : Campur Kode

K : Kalimat

Ket. : Keterangan

KK : Kepala Keluarga

O : Objek


(33)

DAFTAR TANDA / LAMBANG

… : Bagian ujaran yang dihilangkan

//…// : Frasa

/…/ : Kata

“…” : Klausa

#...# : Kalimat

„…‟ : Makna

{…} : Morfem

O1 : Penutur O2 : Mitra Wicara O3 : Pendengar


(34)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa merupakan alat yang utama dalam komunikasi. Dengan bahasa, seseorang dapat menyampaikan informasi, pesan, ataupun ungkapan-ungkapan kepada mitra wicara. Bahkan, bahasa tidak semata-mata untuk menyampaikan informasi, tetapi juga dapat digunakan untuk membangun dan membina hubungan antarwarga masyarakat.

Selain itu, bahasa digunakan sebagai alat komunikasi yang beroperasi dalam suatu masyarakat atau budaya. Bahasa, masyarakat, dan budaya sangatlah berkaitan. Bahasa adalah alat pengembangan kebudayaan dan inventaris ciri-ciri kebudayaan. Dengan demikian, bahasa merupakan faktor penting dalam membentuk identitas kultural masyarakat (Rahardi, 2010:31).

Sehubungan dengan itu, bahasa yang digunakan seseorang hendaknya disesuaikan dengan konteks situasi. Halliday dan Hasan (1994:63) dengan tegas mengatakan bahwa semua pemakaian bahasa mempunyai konteks. Konteks yang dimaksud adalah konteks situasi yang terdiri atas tiga unsur:

(1) medan wacana, yaitu jenis kegiatan yang dikenal dalam kebudayaan yang sebagian diperankan oleh bahasa;

(2) pelibat wacana, yaitu pemain, pelaku, atau tepatnya peran interaksi antara yang terlibat dalam penciptaan teks; dan

(3) sarana wacana, yaitu fungsi khas yang diberikan kepada bahasa dan saluran retorisnya.


(35)

2

Maksud konteks situasi di atas adalah lingkungan langsung tempat teks atau tuturan itu benar-benar berfungsi. Artinya, konteks situasi menjelaskan mengapa hal-hal tertentu dituturkan atau ditulis dalam suatu kesempatan dan hal lainnya mungkin tidak dapat dituturkan atau tidak dapat dituliskan.

Menurut Moeliono (1988) dan Samsuri (1987, ed), konteks terdiri atas beberapa hal, yaitu: situasi, partisipan, tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk,

amanat, kode, dan saluran, sedangkan Syafi‟ie menyatakan bahwa konteks terjadinya suatu percakapan dapat dipilah menjadi empat macam, yaitu: (1) konteks linguistik (linguistics context), yaitu kalimat-kalimat dalam percakapan, (2) konteks efistemis (epistemic context) adalah latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh partisipan, (3) konteks fisik (physical context) meliputi tempat terjadinya percakapan, objek yang disajikan dalam percakapan, dan tindakan para partisipan, dan (4) konteks sosial (social context), yaitu relasi sosio-kultural yang melingkupi hubungan antarpelaku atau partisipan dalam percakapan.

Menurut Ibrahim (1994:89), alih style mengacu pada perubahan dalam varietas bahasa yang melibatkan perubahan hanya pada pemarkah-pemarkah kode. Lebih lanjut, dikatakan bahwa semua hal ini merupakan ciri-ciri variabel yang dihubungkan dengan dimensi sosial dan kebudayaan, seperti usia, jenis kelamin, kelas sosial, dan hubungan antarpenutur.

Alih ragam atau alih style sering juga dilakukan oleh masyarakat Bali yang secara adat tradisional masih mengenal bahasa Bali halus (BBH) dan bahasa Bali lumrah (BBL). Kedua bentuk bahasa tersebut digunakan sesuai dengan sistem kasta yang dianut oleh para partisipan, apakah dia berasal dari kasta Brahmana,


(36)

3

Ksatria, Waisya, ataupun Jaba. Seorang Jaba akan dikatakan mempunyai tata krama berbahasa yang baik jika dia berbicara dengan seseorang yang berkasta lebih tinggi (Brahmana, Ksatria, Waisya) dengan menggunakan BBH (ragam tinggi).

Fenomena kebahasaan yang demikian tidak menutup kemungkinan terjadi juga pada guyub tutur masyarakat Bali di Parigi, Sulawesi Tengah. Status partisipan sangat berpengaruh dalam komunikasi. Maksudnya, dalam komunikasi, seorang penutur hendaknya menggunakan bahasa sesuai dengan status mitra wicara. Dengan demikian, akan muncul fenomena-fenomena kebahasaan lainnya, seperti alih kode, campur kode, dan interferensi. Hal ini sangat menarik untuk diteliti dari segi sosiolinguistik.

Namun, dalam kenyataan di lapangan berbanding berbalik dengan pernyataan di atas. Tidak jarang seseorang yang berkasta Brahmana merasa canggung menggunakan BBL ketika berbicara dengan mitra wicara berkasta Jaba yang memiliki status sosial lebih tinggi. Zaman sekarang, seseorang yang berasal dari kasta Brahmana pun cenderung menggunakan bahasa Bali halus apabila mitra wicaranya seseorang yang memiliki kedudukan lebih tinggi di dalam masyarakat. Situasi kebahasaan yang demikian sangat menarik diteliti dengan menggunakan pendekatan sosiolinguistik.

Jika diamati secara saksama tentang fenomena kebahasaan dalam kehidupan sehari-hari, tidak ada suatu peristiwa tutur terjadi tanpa melibatkan konteks sosial, seperti yang telah dipaparkan. Sebuah kalimat atau wacana yang terlepas dari konteks sosial sulit dipahami, baik oleh mitra wicara maupun


(37)

4

pembaca. Bahkan, Achmad dan Alek Abdullah (2012:147) mengemukakan bahwa konteks memegang peranan penting dalam memberi bantuan untuk menafsirkan suatu wacana. Dengan kata lain, dalam berbahasa atau berkomunikasi, konteks adalah segala-galanya. Misalnya, ada tuturan, “Saya pingin turun, sudah capek”. Makna tuturan tersebut masih ambigu. Kalau yang mengucapkan tuturan tersebut adalah seorang pejabat, sangat mungkin yang dimaksud dengan turun adalah

„turun dari jabatan‟. Namun, pengertian itu bisa keliru bila tuturan tersebut

diucapkan oleh anak kecil yang sedang memanjat pohon. Maknanya bisa berubah,

yaitu „turun dari pohon‟.

Ragam bahasa yang digunakan seseorang juga ditentukan oleh kondisi sekelompok orang menyatukan diri untuk mempertahankan dan membangun kehidupan (Muhammad, 2011:63). Muhammad mencontohkan kata kamu, anda, dan kau yang digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk menunjuk mitra wicara. Secara sosial ketiga kata ganti itu tidak dapat dipakai untuk menyapa mitra wicara. Bentuknya bervariasi, rujukannya sama (mitra wicara) bisa berbeda sesuai dengan usia, jenis kelamin, status, dan hubungan sosial pembicara dengan mitra wicara. Hal yang berbeda itu disebut sebagai faktor sosial. Kedua unsur tersebut, baik bahasa maupun sosial berperan dalam komunikasi.

Ketika berkomunikasi dengan menggunakan bahasa, terdapat delapan unsur yang diperhatikan oleh Hymes (1972). Unsur-unsur itu diakronimkan menjadi SPEAKING. Penjelasan masing-masing tuturannya dapat dilihat pada uraian berikut.


(38)

5

(1) Setting and Scene. Maksudnya, percakapan dapat dilakukan di suatu tempat dalam waktu tertentu, misalnya di kantin, sekolah, masjid, pura, gereja, dan lain-lain pada waktu istirahat, siang, malam.

(2) Partisipants. Unsur ini merujuk kepada orang-orang yang terlibat dalam percakapan, yaitu pembicara, mitra wicara, dan lain-lain.

(3) End. Maksudnya, pembicara mempunyai maksud ketika percakapan berlangsung.

(4) Act Sequeness. Artinya, percakapan mempunyai bentuk dan isi. (5) Key. Maksudnya, percakapan juga memiliki cara atau semangat.

(6) Instrumentalitiet. Artinya, percakapan memiliki jalur percakapan ketika dilaksanakan. Jalurnya dapat secara lisan dan tulis. Dengan perkataan lain, instrumentalites merujuk pada ungkapan lisan atau tulisan.

(7) Norms. Artinya, ketika percakapan berlangsung, pelakunya memiliki norma perilaku. Dalam hal ini, kegiatan berbahasa itu juga mempertimbangkan kaidah tata bahasa dan nonbahasa. Kaidah tata bahasa berkaitan dengan tata bahasanya, sedangkan kaidah nonbahasa terkait dengan paralinguistik, seperti gerak-gerik mata, tangan, muka, dan lain-lain.

(8) Genres. Dalam percakapan, maksud diungkapkan oleh kategori atau ragam bahasa. Artinya, ragam bahasa terkait dengan formal dan informal. Selain itu, ragam ini dapat terkait dengan jenis teks, misalnya naratif, deskriptif, argumentaif, eksposisi, dan lain-lain.

Masyarakat Bali di daerah transmigrasi biasanya membawa serta adat istiadat, budaya dan bahasa dari daerah asalnya. Di tempat yang baru para


(39)

6

transmigran memelihara dan mengembangkan adat istiadat, budaya, dan bahasanya dengan baik. Secara tidak langsung daerah transmigrasi merupakan tempat berkumpulnya bermacam-macam adat istiadat, budaya dan bahasa dari berbagai daerah (Budiono dkk.,1997). Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan terjadinya kontak antara adat istiadat, budaya, dan bahasa dari berbagai daerah. Apalagi mereka telah lama hidup berdampingan. Namun, penelitian di Parigi lebih terfokus pada terjadinya kontak antara bahasa satu dan bahasa lainnya.

Akibat terjadinya kontak bahasa, yaitu pihak yang berkontak atau salah satu di antaranya melakukan penyesuaian diri secara verbal melalui modifikasi tuturan sehingga menjadi sama atau lebih mirip dengan tuturan yang dipakai mitra wicaranya. Peristiwa itu disebut konvergensi linguistik. Sebaliknya, di antara komunitas yang melakukan kontak tersebut melakukan modifikasi tuturannya sehingga menjadi semakin tidak sama atau tidak mirip dengan tuturan mitra kontaknya disebut divergensi linguistik. Kedua peristiwa tersebut dikemukakan oleh Giles (dalam Trudgill, 1986).

Topik penelitian ini mendeskripsikan penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi. Penggunaan bahasa yang dimaksud berkaitan dengan pilihan penggunaan bahasa dalam ranah pekerjaan, kekariban, agama, kesenian, dan keluarga. Selain pilihan bahasa, topik penelitian ini juga mendeskripsikan alih kode, campur kode, dan interferensi.

Berdasarkan pengamatan sepintas, masyarakat Bali yang bertransmigrasi ke Parigi dibekali penguasaan dua bahasa atau lebih. Hal tersebut memperkuat


(40)

7

terjadinya kontak bahasa dengan masyarakat tutur di sekitarnya. Tidak menutup kemungkinan mereka menguasai bahasa-bahasa di wilayah yang mereka tempati, apakah itu bahasa Kaili, Bugis, Jawa, dan sebagainya. Sehubungan dengan itu, penelitian ini dilakukan di Parigi, Sulawesi Tengah. Selain itu, Parigi dipilih sebagai lokasi penelitian disebabkan oleh daerah ini merupakan daerah transmigrasi pertama masyarakat Bali, yaitu sekitar tahun 1950-an. Lamanya masyarakat Bali hidup berdampingan dengan etnis lain mengakibatkan terjadinya kontak bahasa. Hal itu menimbulkan perilaku berbahasa yang beragam (Weinreich, 1979)

Seperti diketahui, kontak bahasa terjadi pada masyarakat terbuka, sama halnya dengan masyarakat Bali di Parigi. Melalui kontak bahasa itulah masyarakat saling memengaruhi. Kontak bahasa juga memunculkan bilingualisme dan multilingualisme. Dengan kontak ini juga muncul berbagai macam kasus, seperti pilihan kode, alih kode, campur kode ataupun interferensi (Wijana dan Rohmadi, 2012:6).

Di Indonesia terdapat banyak bahasa daerah. Artinya, masyarakat bersifat multilingual. Para anggota masyarakat menggunakan bahasa daerah itu untuk keperluan yang bersifat kedaerahan. Jika masyarakatnya bergaul luas, seperti halnya masyarakat Bali di Parigi, anggota-anggota masyarakatnya cenderung menggunakan dua bahasa/lebih sesuai dengan kebutuhannya. Peristiwa kebahasaan tersebut tampak pada penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi.


(41)

8

Namun, dalam kehidupan sehari-hari seorang penutur sering mengalami kesulitan berkomunikasi dengan mitra wicara. Kesulitan yang dimaksud adalah bahasa apa yang digunakan jika dihadapkan kepada mitra wicara yang usianya lebih muda, tetapi status sosialnya lebih tinggi, atau sebaliknya, status sosialnya lebih rendah, tetapi usianya lebih tua. Kerumitan tersebut perlu mendapatkan perhatian peneliti bahasa, khususnya peneliti sosiolinguistik.

1.2 Rumusan Masalah

Kompleksnya kehidupan masyarakat Bali di Parigi telah menimbulkan masalah, khususnya yang berkaitan dengan penggunaan bahasa. Masalah tersebut dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut.

(1) Bagaimanakah pilihan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi dilihat dari segi ranah penggunaannya?

(2) Macam alih kode apakah yang dilakukan guyub tutur masyarakat Bali di Parigi serta fungsi dan makna alih kode apakah yang ditimbulkannya?

(3) Faktor-faktor apakah yang menyebabkan guyub tutur masyarakat Bali di Parigi beralih kode ketika interaksi verbal berlangsung?

(4) Bagaimanakah wujud campur kode dan interferensi penggunaan bahasa oleh guyub tutur masyarakat Bali di Parigi serta faktor-faktor apa yang menyebabkannya?

Masalah yang dikemukakan tersebut saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Pilihan bahasa pada guyub tutur masyarakat Bali di Parigi pada hakikatnya terjadi dalam berbagai ranah, seperti ranah pekerjaan, kekariban,


(42)

9

agama, kesenian, dan keluarga. Berdasarkan pilihan penggunaan bahasa di berbagai ranah tersebut, diketahui apakah guyub tutur masyarakat Bali di Parigi tergolong masyarakat multilingual atau tidak. Masyarakat multilingual adalah masyarakat yang mengenal dua bahasa atau lebih. Situasi kebahasaan yang demikian mengakibatkan terjadinya alih kode, campur kode, dan interferensi.

1.3 Ruang Lingkup Penelitian

Pada umumnya penelitian yang baik harus dibatasi ruang lingkupnya agar pembahasannya tidak melebar ataupun menyempit. Oleh karena itu, ruang lingkup penelitian ini terbatas pada penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi, Sulawesi Tengah yang meliputi: (1) pilihan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi, baik pada ranah pekerjaan, kekariban, agama, kesenian, maupun keluarga, (2) macam, fungsi, dan makna alih kode penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi, (3) faktor-faktor yang menyebabkan guyub tutur masyarakat Bali di Parigi beralih kode ketika komunikasi berlangsung, dan (4) wujud campur kode dan interferensi penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi, Sulawesi Tengah, serta faktor-faktor yang menyebabkannya.

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Kedua tujuan penelitian tersebut dapat dilihat pada uraian berikut.


(43)

10

1.4.1 Tujuan umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memaparkan secara mendalam tentang penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi. Melalui penggunaan bahasa tersebut diketahui pilihan bahasa apa saja yang digunakan penutur ketika berkomunikasi di berbagai ranah, seperti ranah pekerjaan, kekariban, agama, kesenian, dan keluarga. Sebagai akibat digunakannya pilihan bahasa ketika berkomunikasi, dalam penelitian ini ditemukan juga fenomena kebahasaan, seperti alih kode, campur kode, dan interferensi.

1.4.2 Tujuan khusus

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan mengkritisi:

(1) pilihan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi; (2) macam, fungsi, dan makna alih kode penggunaan bahasa;

(3) faktor-faktor yang menyebabkan guyub tutur masyarakat Bali di Parigi beralih kode ketika interaksi verbal berlangsung; dan

(4) wujud serta faktor penyebab terjadinya campur kode dan interferensi penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki dua manfaat, yaitu (1) manfaat teoretis dan (2) manfaat praktis. Kedua manfaat penelitian tersebut dapat dilihat pada uraian berikut.


(44)

11

1.5.1 Manfaat teoretis

Secara teoretis, penelitian ini bermanfaat bagi perkembangan sosiolinguistik sehubungan dengan penggunaan bahasa antaretnis dan intraetnis di berbagai ranah. Selain itu, hasil penelitian ini juga bermanfaat bagi perkembangan kaidah-kaidah penggunaan bahasa dalam kehidupan bermasyarakat.

1.5.2 Manfaat praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini bermanfaat bagi:

(1) pelestarian bahasa Bali sebagai bahasa ibu bagi guyub tutur masyarakat Bali di Parigi;

(2) guyub tutur masyarakat Bali di Parigi dalam menggunakan bahasa sesuai dengan situasi konteks sosial;

(3) masyarakat majemuk dengan menggunakan bahasa sebagai alat untuk menjalin kehidupan yang harmonis, baik dengan sesama etnis maupun dengan etnis lain;

(4) penutur masyarakat Bali di Parigi dalam menjalin rasa toleransi dengan etnis lain melalui bahasa yang digunakan;

(5) Dinas Pendidikan di Sulawesi Tengah sehubungan dengan perlunya pembinaan bahasa daerah Bali di daerah transmigrasi;

(6) Balai Bahasa di Sulawesi Tengah sebagai bahan dokumentasi; dan

(7) para peneliti sebagai bahan rujukan dalam melaksanakan penelitian bahasa di daerah transmigrasi yang warganya tergolong masyarakat multilingual.


(45)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Beberapa hasil penelitian dapat dijadikan acuan dalam penelitian ini. Hasil penelitian yang dimaksud dapat dilihat pada uraian berikut.

Pertama, hasil penelitian Jendra (1988) yang berjudul “Alih Kode Pemakaian Bahasa Indonesia dalam Kehidupan Masyarakat Kota Denpasar.” Penelitian yang dilakukan oleh Jendra terfokus pada peralihan bahasa Indonesia ke bahasa lain. Peralihan ke dialek atau variasi bahasa lain juga mendapatkan perhatian. Dalam penelitiannya, Jendra menggunakan teori-teori kebahasaan yang dikemukakan oleh Verhaar. Menurut Verhaar, teori-teori tentang kebahasaan dikelompokkan menjadi empat tipe, yaitu l) teori yang mengakui tingkat ekspresi, makna, dan tidak mengakui tingkat situasi, jika situasi diakuinya, hal itu sekadar pengakuan lahiriah saja, 2) teori yang mengakui tingkat ekspresi dengan mengesampingkan tingkat makna. Makna dianggap identik dengan situasi, 3) teori yang mengakui ekspresi dan situasi, keduanya dianggap penentu terhadap makna, dan 4) teori yang mengakui dan memperhitungkan makna, ekspresi, dan situasi.

Dari beberapa teori kebahasaan tersebut, Jendra lebih terfokus pada teori keempat, yaitu teori yang mengakui makna, ekspresi, dan situasi. Selain teori yang dikemukakan oleh Verhaar (1980:14), penelitian tersebut juga menggunakan teori Hymes (1972). Menurut Hymes, ada delapan komponen tutur yang selalu terdapat dalam peristiwa tutur. Kedelapan komponen tutur tersebut diformulasikan menjadi akronim “Speaking”dalam bahasa Inggris.


(46)

13

Beberapa teori yang digunakan Jendra dalam penelitiannya berkaitan erat satu dengan yang lainnya. Keduanya, sama-sama memperhatikan aspek situasi dalam peristiwa tutur. Khusus teori speaking sangat relevan untuk dijadikan acuan dalam meneliti fenomena alih kode di Kecamatan Parigi. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya suatu peristiwa tutur terlepas dari kedelapan komponen tutur tersebut. Minimal tiga komponen tutur yang disampaikan oleh Hymes selalu terlibat dalam peristiwa tutur, yaitu setting, partisipant, dan act sequence.

Simpulan yang diperoleh dari penelitian Jendra adalah sebagai berikut. Fenomena alih kode muncul pada setiap situasi bicara, hanya kadar ketinggian frekuensinya berbeda. Ada kecenderungan korelasi positif antara kadar ketinggian frekuensi alih kode dan kadar tingkat keformalan situasi bicara. Semakin akrab dan santai situasi bicara semakin memberi peluang terhadap kemungkinan terjadinya fenomena alih kode dan kebalikannya.

Situasi bicara yang formal lebih menuntut pola struktur kalimat yang lengkap dalam fungsi sintaktisnya sehingga kalimatnya menjadi lebih panjang dibandingkan dengan situasi bicara yang informal. Dalam situasi formal pada umumnya digunakan ragam bahasa yang lebih baku atau dapat disebut ragam lengkap, sedangkan dalam situasi informal lebih banyak terdapat kalimat ragam ringkas yang pendek.

Ada beberapa perbedaan mendasar antara penelitian Jendra dan penelitian yang dilakukan di Kecamatan Parigi. Penelitian Jendra terfokus pada subjek masyarakat Kota Denpasar, sedangkan penelitian yang dilakukan di Kecamatan Parigi terfokus pada subjek masyarakat Bali yang berdomisili di daerah


(47)

14

transmigrasi. Perbedaan lainnya, objek penelitian Jendra terfokus pada alih kode pemakaian bahasa Indonesia, sedangkan objek penelitian yang dilakukan di Kecamatan Parigi tidak hanya terfokus pada alih kode, tetapi juga campur kode dan interferensi pada penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi.

Kedua, hasil penelitian Dhanawaty (2002) yang berjudul “Variasi Dialektal Bahasa Bali di Daerah Transmigrasi, Lampung Tengah.” Masalah yang dikaji dalam penelitian Dhanawaty adalah pengaruh kontak bahasa dan kontak dialek terhadap bahasa Bali di Lampung Tengah. Dalam penelitiannya, terutama tentang penelitian variasi fonologis, Dhanawaty menerapkan dialektologi struktural dengan kerangka kerja Kurath (1974) yang memberi nilai berbeda di antara variasi fonemis dan variasi subfonemis. Yang dikategorikan sebagai variasi fonemis adalah variasi khazanah fonem dan variasi distribusi fonem, sedangkan yang dikategorikan sebagai variasi subfonemis adalah variasi realisasi fonem, baik yang sifatnya beraturan, tidak beraturan maupun variasi insidental.

Dalam mengkaji faktor-faktor yang menyebabkan munculnya variasi dan proses terjadinya variasi diterapkan teori akomodasi. Teori akomodasi ini merupakan cabang sosiolinguistik yang memfokuskan diri pada penyesuaian diri yang dilakukan oleh pewicara dalam mengadaptasi, memodifikasi, dan mengakomodasi tuturannya dalam merespons mitra wicara, misalnya penutur dialek atau bahasa lain, sehingga tuturan mereka menjadi lebih mirip satu dengan yang lain (Matthews, 1997:5).

Teori akomodasi tersebut berguna untuk membahas persoalan-persoalan yang berkaitan dengan mengapa pewicara cenderung memodifikasi tuturannya


(48)

15

dalam kehadiran orang lain atau berinteraksi dengan orang lain, bagaimana cara mereka berakomodasi, sejauh mana mereka berakomodasi, dan beberapa masalah lainnya (Trudgill, 1986: 2).

Dalam penelitian bahasa Bali di Lampung Tengah tersebut juga diterapkan teori prototipe yang dikembangkan oleh Rosch pada fase awal pemikirannya tentang kategorisasi. Teori ini mengemukakan bahwa dalam kategori ada anggota yang paling mewakili kategori yang disebut anggota prototipe. Anggota ini dianggap sebagai contoh terbaik di dalam kategori. Dhanawaty (2002) mencontohkan kursi meja dianggap lebih mewakili kategori kursi daripada kursi goyang, kursi kantong, atau kursi plastik.

Dari beberapa teori yang digunakan Dhanawaty dalam penelitiannya, rupanya teori akomodasi dapat dipakai sebagai acuan dalam meneliti fenomena alih kode di Kecamatan Parigi. Hal ini disebabkan oleh seorang penutur yang melakukan alih kode karena ingin menyesuaikan tuturannya dengan mitra wicaranya. Dengan demikian, tuturannya menjadi lebih mirip satu sama lain.

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pemakaian bahasa dan dialek dalam fungsi yang berbeda-beda menunjukkan adanya diglosia di daerah Lampung Tengah. Pemakaian beberapa bahasa dan dialek secara silih berganti menandai adanya kontak bahasa dan kontak dialek di daerah itu. Kontak yang cukup intensif dengan bahasa Indonesia, kontak dengan bahasa daerah lain, terutama bahasa Jawa, dan kontak dialek intrabahasa menyebabkan bahasa Bali di Lampung Tengah mengalami derap perubahan yang lebih tinggi daripada bahasa yang sama di daerah asal. Hal ini menyebabkan bahasa Bali di Lampung Tengah


(1)

pada kata /memaksa/ dalam bahasa Indonesia dipengaruhi oleh bentuk {ba-} pada kata /bapaksa/ dalam bahasa Manado. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kalimat (1) merupakan interferensi bahasa Manado ke dalam pemakaian bahasa Indonesia. Dengan perkataan lain, penggunaan bahasa Indonesia, seperti tampak pada kalimat (1) telah menyalahi aturan morfologis bahasa Indonesia. Kalimat (1) seharusnya diubah menjadi, #Jangan memaksa!#

(2) Kita ini basudara. „Kita ini bersaudara.‟

Akibat pengaruh bahasa daerah, khususnya bahasa Manado, tidak jarang etnis Bali di Parigi menggunakan bahasa Indonesia yang tidak sesuai dengan aturan/kaidah. Menurut kaidah bahasa Indonesia, tuturan pada kalimat (2) seharusnya berbunyi #Kita bersaudara.# Namun, kenyataan dalam keseharian kata /kita/ diikuti dengan kata /ini/ dan kata /bersaudara/ diubah menjadi kata /basudara/. Memang, kata /bersaudara/ dan /basudara/ mirip sekali, tetapi tetap penggunaan kata /basudara/ tidak sesuai dengan aturan bahasa Indonesia sehingga boleh dikatakan telah terjadi kekeliruan dalam menggunakan prefiks bahasa Indonesia. Artinya, kata /bersaudara/ telah diinterferensi oleh kata /basudara/ dalam penggunaan bahasa Indonesia.

(3) Data 3

K3 : Bayah ditu keto. Ane ngadaang pertemuane nake mayah.

„Bayar di situ begitu. Yang mengadakan pertemuannya seharusnya membayar.‟ Kata /pertemuane/ pada K3 dipengaruhi oleh afiks BI, khususnya prefiks {per-}. Dalam bahasa Bali tidak dikenal pretiks {per-}, tetapi prefiks


(2)

{pa-}. Dengan demikian, kata /pertemuane/ pada K3 seharusnya diubah menjadi kata /patemuane/ „pertemuannya.‟ Dalam hal ini, kata /pertemuane/ telah diinterferensi oleh prefiks bahasa Indonesia.

(4) Data 26

K7 : Ya selama tiang hidup di Sulawesi/Parigi selamane sing ada terjadi bentrokanlah antarsuku.

„Ya selama saya hidup di Sulawesi/Parigi selama itu tidak ada terjadi

bentrokan antarsuku.‟

Kata /selamane/ merupakan campuran antara BI dan BB. Kata /selama/ berasal dari BI dan bentuk {-ne} berasal dari BB. Dalam hal ini, telah terjadi interferensi BB dalam pemakaian BI. Bentuk {-ne} dalam BB menginterferensi BI sehingga muncul bentuk /selamane/. Bentuk tersebut merupakan hybrid antara BB dan BI. Bentuk yang benar adalah /selamanya/ bukan /selamane/.

(5) Data 27

K10 : Ya di SMP Negeri 1 siswane kira-kira ada 26 orang.

„Ya di SMP Negeri 1 siswanya kira-kira ada 26 orang.‟

Kata /siswane/ pada K10 dibentuk oleh dua morfem, yaitu morfem bebas {siswa} dan morfem terikat {-ne}. Kedua morfem tersebut merupakan hybrid antara BI dan BB. Dalam hal ini, morfem terikat {-ne} menginterferensi BI sehingga muncul kata /siswane/. Dengan perkataan lain, kata /siswane/ merupakan bentuk hybrid kaidah BI dan BB. Bentuk yang benar adalah /siswanya/ bukan /siswane/.


(3)

2) Interferensi pada tataran sintaksis

Interferensi pada tataran sintaksis antara lain meliputi penggunaan bahasa pertama pada bahasa kedua atau sebaliknya dan pada pola konstruksi frasa. Interferensi pada tataran sintaksis dapat dilihat pada data berikut.

(1) Begitu memang, harus antre dulu. „Memang begitu, harus antre dulu.‟

Kalimat (1) sering diujarkan oleh etnis Bali di Parigi dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa etnis Bali di Parigi tidak menyadari bahwa tururan yang mereka pergunakan dalam komunikasi telah terpengaruh oleh kaidah-kaidah gramatikal bahasa lain, yaitu bahasa Kaili.

Bentuk //begitu memang// sepintas tidak memperlihatkan suatu kejanggalan/penyimpangan ketika digunakan dalam komunikasi. Namun, jika diperhatikan secara cermat, ternyata ada bentukan yang terbalik susunannya, yaitu //begitu memang//. Bentuk tersebut merupakan kaidah struktur bahasa Kaili /vetu muni/ yang menginterferensi kaidah struktur bahasa Indonesia. Dengan demikian, telah terjadi suatu pengaruh kaidah bahasa Kaili terhadap bahasa Indonesia, khususnya di bidang sintaksis. Kalimat (1) seharusnya diubah menjadi, #Memang begitu, harus antre dulu.#

Macam-macam interferensi tersebut diringkas seperti tampak pada bagan di bawah ini.


(4)

Macam-macam Interferensi

Interferensi pada tataran gramatikal Interferensi pada

tataran leksikal

Bagan 7.3

Macam-macam Interferensi dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat Bali di Parigi

7.2.2 Sebab-sebab terjadinya interferensi

Sehubungan dengan pembicaraan tentang sebab-sebab terjadinya interferensi, Suparno dan Ibrahim (2000:4.22) mengemukakan bahwa ada dua faktor penyebab terjadinya interferensi, yaitu faktor kontak bahasa dan faktor kemampuan bahasa, sementara Weinreich mengemukakan enam faktor penyebab terjadinya interferensi, yaitu: (1) kedwibahasaan penutur, (2) tipisnya kesediaan pemakaian bahasa pertama, (3) tidak cukupnya kosakata bahasa pertama untuk mengungkapkan suatu makna, (4) punahnya kosakata yang jarang digunakan, (5) kebutuhan akan sinonim, dan (6) prestise bahasa sumber dan gaya bahasa. Kemudian, Chaer mengemukakan kemampuan penutur dalam menggunakan bahasa tertentu sebagai penyebab terjadinya interferensi.

Penelitian ini menemukan lima penyebab terjadinya interferensi dalam penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi. Penyebab interferensi tersebut mirip dengan penyebab interferensi yang dikemukakan oleh Weinreich antara lain : (1) pengaruh struktur bahasa daerah ketika menggunakan bahasa


(5)

Indonesia, (2) kesetiaan yang tinggi terhadap bahasa pertama, (3) prestise bahasa sumber, (4) kedwibahasaan penutur, dan (5) kepentingan akan sinonim.

Sebab-sebab terjadinya interferensi tersebut dapat diringkas seperti tampak pada bagan di bawah ini.

Sebab-sebab Terjadinya Interferensi

Kesetiaan terhadap Bahasa Ibu Prestise Bahasa Sumber Kedwibahasaan Penutur Kepentingan akan Sinonim Pengaruh Struktur Bahasa Daerah

Bagan 7.4

Sebab-sebab Terjadinya Interferensi dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat Bali di Parigi


(6)