Alih kode yang bermakna sosial

komponen semantis bahasa, ada tiga unsur yang tidak dapat dipisahkan. Ketiga unsur itu meliputi: 1 ideasional, yaitu isi pesan yang ingin disampaikan, 2 interpersonal, yaitu makna yang hadir bagi pemeran di dalam peristiwa tutur, dan 3 tekstual, yaitu bentuk kebahasaan serta konteks tuturan yang mempresentasikan serta menunjang terwujudkan makna tuturan. Berdasarkan penjelasan tentang makna tuturan di atas, teori makna yang dikemukakan oleh Halliday dianggap paling tepat dipakai dalam penelitian ini. Halliday lebih menekankan pada analisis makna yang tidak terlepas dari situasi tuturan dan konteks pemakaian tuturan.

6.5.1 Alih kode yang bermakna sosial

Komunikasi yang terjadi antara individu satu dan individu lainnya cenderung memiliki makna sosial. Makna sosial ini pada umumnya terjadi ketika komunikasi sedang berlangsung. Hal ini dapat dilihat pada data berikut. Data 10 O 1 : 1 … Anggona kue, nggih „… Dipakai kue, ya‟ O 2 : 2 Nggih. „Ya.‟ : 3 Apa le? „Cari apa?‟ O 3 : 4 Minyak kelapa, berapa? datang O3 O 2 : 5 Minyak, tujuh ribu, tujuh ribu. Beberapa tuturan yang terdapat pada data 10 menggunakan BBC, BB, BK, dan BI. Penggunaan BBC dapat dilihat pada K 1 , penggunaan BB dapat dilihat pada K 2 , penggunaan BK dapat dilihat pada K 3 , dan penggunaan BI dapat dilihat pada K 4 dan K 5 . Penggunaan bahasa yang demikian wajar karena situasinya takresmi. Fenomena alih kode terjadi ketika pembicaraan sampai pada K 3 , Apa le? „Cari apa?‟ Peralihan kode itu dilakukan oleh O 2 dari BB pada K 2 , Nggih „Ya.‟ ke BK pada K 3 , Apa le ? „Cari apa?‟ Peralihan kode itu dilakukan oleh O 2 dari BB pada K 2 , Nggih „Ya,‟ ke BK pada K 3 , Apa le ? „Cari apa?‟ Peralihan kode itu disebabkan oleh kehadiran O 3 dalam peristiwa tutur. Kebetulan O 3 berasal dari etnis Kaili dan tidak bisa berbahasa Bali. Alangkah tidak etisnya jika O 2 tetap berbahasa Bali. Peralihan kode yang dilakukan oleh O 2 sangat tepat. Dalam peristiwa tutur tersebut O 2 bermaksud menghormati hadirnya orang ketiga yang ikut terlibat dalam pembicaraan. Oleh karena itu, peralihan kode yang dilakukan oleh O 2 pada data 10 dapat dikatakan memiliki makna sosial. Contoh alih kode yang bermakna sosial lainnya dapat dilihat pada data berikut. Data 5 01 : 4 Ada rezeki kita terima, syukur. : 5 Ada yang dimasak, syukur. : 6 Jadi manusia tidak pernah syukur, wah. 02 : 7 Bahaya 01 : 8 Saya tidak sarjana, tapi saya hanya belajar otodidak, baca buku, mendengar orang bijak, kalau diskusi kita catat. 03 : 9 Tiang pamit, nggih? datang 03 „Saya permisi ya?‟ 01 : 10 Mai wa, kenken bapanne seger? „Kemari Bibi, bagaimana bapaknya sehat?‟ 03 : 11 Keto dogen ba, nak rematik. „Begitu saja sudah, orang rematik.‟ 12 Sing taen kija-kija, jumah dogen. „Tidak pernah ke mana-mana, di rumah saja.‟ Pembicaraan di atas dimulai dengan menggunakan BI pada K 4 . Kemudian, pembicaraan juga diikuti dengan menggunakan BI, seperti tampak pada K 5 , K 6 , K 7 , dan K 8 . Penggunaan BB muncul ketika pembicaraan sampai pada K 9 , K 10 , K 11 , dan K 12 . Peralihan kode dari BI ke BB terjadi saat kehadiran O 3 . Dalam hal ini O 3 memulai pembicaraan dengan menggunakan BB, seperti tampak pada K 9 , Tiang pamit, nggih ? „Saya permisi ya?‟ Akhirnya, O 1 pun terpengaruh oleh bahasa yang digunakan O 3 , yaitu BB. Dengan demikian, terjadilah alih kode dari BI ke BB. Alih kode tersebut dilakukan oleh O 1 . Berhubung dilakukan setelah kehadiran O 3 , tuturan dalam alih kode itu dapat dikatakan memiliki makna sosial. Maksudnya, peralihan kode yang dilakukan oleh O 1 semata-mata untuk menghormati hadirnya O 3 . Apalagi O 3 memulai pembicaraannya dengan menggunakan BB. Secara tidak langsung O 1 pun beralih kode untuk mengimbangi bahasa yang digunakan oleh O 3 .

6.5.2 Alih kode yang bermakna metaforis