12
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Beberapa hasil penelitian dapat dijadikan acuan dalam penelitian ini. Hasil penelitian yang dimaksud dapat dilihat pada uraian berikut.
Pertama, hasil penelitian Jendra 1988 yang berjudul “Alih Kode
Pemakaian Bahasa Indonesia dalam Kehidupan Masyarakat Kota Denpasar. ”
Penelitian yang dilakukan oleh Jendra terfokus pada peralihan bahasa Indonesia ke bahasa lain. Peralihan ke dialek atau variasi bahasa lain juga mendapatkan
perhatian. Dalam penelitiannya, Jendra menggunakan teori-teori kebahasaan yang dikemukakan oleh Verhaar. Menurut Verhaar, teori-teori tentang kebahasaan
dikelompokkan menjadi empat tipe, yaitu l teori yang mengakui tingkat ekspresi, makna, dan tidak mengakui tingkat situasi, jika situasi diakuinya, hal itu sekadar
pengakuan lahiriah saja, 2 teori yang mengakui tingkat ekspresi dengan mengesampingkan tingkat makna. Makna dianggap identik dengan situasi, 3 teori
yang mengakui ekspresi dan situasi, keduanya dianggap penentu terhadap makna, dan 4 teori yang mengakui dan memperhitungkan makna, ekspresi, dan situasi.
Dari beberapa teori kebahasaan tersebut, Jendra lebih terfokus pada teori keempat, yaitu teori yang mengakui makna, ekspresi, dan situasi. Selain teori yang
dikemukakan oleh Verhaar 1980:14, penelitian tersebut juga menggunakan teori Hymes 1972. Menurut Hymes, ada delapan komponen tutur yang selalu terdapat
dalam peristiwa tutur. Kedelapan komponen tutur tersebut diformulasikan menjadi akronim
“Speaking” dalam bahasa Inggris.
Beberapa teori yang digunakan Jendra dalam penelitiannya berkaitan erat satu dengan yang lainnya. Keduanya, sama-sama memperhatikan aspek situasi
dalam peristiwa tutur. Khusus teori speaking sangat relevan untuk dijadikan acuan dalam meneliti fenomena alih kode di Kecamatan Parigi. Hal ini disebabkan oleh
tidak adanya suatu peristiwa tutur terlepas dari kedelapan komponen tutur tersebut. Minimal tiga komponen tutur yang disampaikan oleh Hymes selalu
terlibat dalam peristiwa tutur, yaitu setting, partisipant, dan act sequence. Simpulan yang diperoleh dari penelitian Jendra adalah sebagai berikut.
Fenomena alih kode muncul pada setiap situasi bicara, hanya kadar ketinggian frekuensinya berbeda. Ada kecenderungan korelasi positif antara kadar ketinggian
frekuensi alih kode dan kadar tingkat keformalan situasi bicara. Semakin akrab dan santai situasi bicara semakin memberi peluang terhadap kemungkinan
terjadinya fenomena alih kode dan kebalikannya. Situasi bicara yang formal lebih menuntut pola struktur kalimat yang
lengkap dalam fungsi sintaktisnya sehingga kalimatnya menjadi lebih panjang dibandingkan dengan situasi bicara yang informal. Dalam situasi formal pada
umumnya digunakan ragam bahasa yang lebih baku atau dapat disebut ragam lengkap, sedangkan dalam situasi informal lebih banyak terdapat kalimat ragam
ringkas yang pendek. Ada beberapa perbedaan mendasar antara penelitian Jendra dan penelitian
yang dilakukan di Kecamatan Parigi. Penelitian Jendra terfokus pada subjek masyarakat Kota Denpasar, sedangkan penelitian yang dilakukan di Kecamatan
Parigi terfokus pada subjek masyarakat Bali yang berdomisili di daerah
transmigrasi. Perbedaan lainnya, objek penelitian Jendra terfokus pada alih kode pemakaian bahasa Indonesia, sedangkan objek penelitian yang dilakukan di
Kecamatan Parigi tidak hanya terfokus pada alih kode, tetapi juga campur kode dan interferensi pada penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi.
Kedua, hasil penelitian Dhanawaty 2002 yang berjudul “Variasi
Dialektal Bahasa Bali di Daerah Transmigrasi, Lampung Tengah. ” Masalah yang
dikaji dalam penelitian Dhanawaty adalah pengaruh kontak bahasa dan kontak dialek terhadap bahasa Bali di Lampung Tengah. Dalam penelitiannya, terutama
tentang penelitian variasi fonologis, Dhanawaty menerapkan dialektologi struktural dengan kerangka kerja Kurath 1974 yang memberi nilai berbeda di
antara variasi fonemis dan variasi subfonemis. Yang dikategorikan sebagai variasi fonemis adalah variasi khazanah fonem dan variasi distribusi fonem, sedangkan
yang dikategorikan sebagai variasi subfonemis adalah variasi realisasi fonem, baik yang sifatnya beraturan, tidak beraturan maupun variasi insidental.
Dalam mengkaji faktor-faktor yang menyebabkan munculnya variasi dan proses terjadinya variasi diterapkan teori akomodasi. Teori akomodasi ini
merupakan cabang sosiolinguistik yang memfokuskan diri pada penyesuaian diri yang dilakukan oleh pewicara dalam mengadaptasi, memodifikasi, dan
mengakomodasi tuturannya dalam merespons mitra wicara, misalnya penutur dialek atau bahasa lain, sehingga tuturan mereka menjadi lebih mirip satu dengan
yang lain Matthews, 1997:5. Teori akomodasi tersebut berguna untuk membahas persoalan-persoalan
yang berkaitan dengan mengapa pewicara cenderung memodifikasi tuturannya
dalam kehadiran orang lain atau berinteraksi dengan orang lain, bagaimana cara mereka berakomodasi, sejauh mana mereka berakomodasi, dan beberapa masalah
lainnya Trudgill, 1986: 2. Dalam penelitian bahasa Bali di Lampung Tengah tersebut juga diterapkan
teori prototipe yang dikembangkan oleh Rosch pada fase awal pemikirannya tentang kategorisasi. Teori ini mengemukakan bahwa dalam kategori ada anggota
yang paling mewakili kategori yang disebut anggota prototipe. Anggota ini dianggap sebagai contoh terbaik di dalam kategori. Dhanawaty 2002
mencontohkan kursi meja dianggap lebih mewakili kategori kursi daripada kursi goyang, kursi kantong, atau kursi plastik.
Dari beberapa teori yang digunakan Dhanawaty dalam penelitiannya, rupanya teori akomodasi dapat dipakai sebagai acuan dalam meneliti fenomena
alih kode di Kecamatan Parigi. Hal ini disebabkan oleh seorang penutur yang melakukan alih kode karena ingin menyesuaikan tuturannya dengan mitra
wicaranya. Dengan demikian, tuturannya menjadi lebih mirip satu sama lain. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pemakaian bahasa dan dialek
dalam fungsi yang berbeda-beda menunjukkan adanya diglosia di daerah Lampung Tengah. Pemakaian beberapa bahasa dan dialek secara silih berganti
menandai adanya kontak bahasa dan kontak dialek di daerah itu. Kontak yang cukup intensif dengan bahasa Indonesia, kontak dengan bahasa daerah lain,
terutama bahasa Jawa, dan kontak dialek intrabahasa menyebabkan bahasa Bali di Lampung Tengah mengalami derap perubahan yang lebih tinggi daripada bahasa
yang sama di daerah asal. Hal ini menyebabkan bahasa Bali di Lampung Tengah
bervariasi dan berbeda dengan bahasa Bali di Bali. Salah satu kebervariasiannya terletak pada tuturan fonologi.
Ketiga, hasil penelitian Maksan 2005 yang berjudul “Alih Kode dalam
Pengajian Ramadan. ” Dalam penelitian itu, Maksan mengupas bahasa yang
digunakan oleh para dai dalam pengajian-pengajian yang jumlah rekamannya 26 buah. Pembahasan lebih difokuskan pada masalah alih kode sebagai berikut:
1 Apa penyebab alih kode pada dai dalam wirid bulan puasa itu; dan 2 Apakah latar belakang pendidikan dai berpengaruh terhadap alih kode dari bahasa
Indonesia BI ke bahasa Melayu BM tersebut. Hasil pembahasannya menunjukkan bahwa alih kode tidak selalu
disebabkan oleh faktor pembicara, mitra wicara, situasi informal atau formal, kehadiran orang ketiga dan perubahan topik pembicaraan seperti yang
dikemukakan oleh Fishman dalam Chaer dan Agustina, 1995. Maksan dalam hal ini telah menemukan penyebab alih kode mirip dengan pendapat Grosjean dalam
Fatimah, 1996 yang mengatakan bahwa alih kode disebabkan oleh kepahaman, menghindarkan seseorang dari peristiwa tutur, menjalin keakraban, dan
menunjukkan status. Selain itu, Maksan juga menemukan penyebab alih kode karena mempergunjingkan orang yang berkelakuan tidak seperti seharusnya.
Dengan melihat bervariasinya faktor-faktor penyebab alih kode tersebut, baik yang dikemukakan oleh Fishman maupun Maksan, penelitian yang dilakukan
di Parigi tidak menutup kemungkinan akan menemukan faktor-faktor penyebab alih kode yang lainnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lanjut yang
berkaitan dengan fenomena alih kode. Apalagi penelitian yang dilakukan di Parigi
tidak fokus pada peristiwa tutur satu arah saja, seperti yang dilakukan oleh Maksan, tetapi fokus juga pada penelitian terhadap peristiwa tutur dua arah.
Keempat, hasil penelitian Putra 2008 yang berjudul “Penggunaan Kode
oleh Masyarakat Muslim Bali Pegayaman : Kajian Sosiolinguistik. ” Teori yang
digunakan oleh Putra dalam penelitian tersebut meliputi: Teori tentang Skala Implikasional Pilihan Kode dari Gal 1979, Teori Situasi Kontekstual Pilihan
Kode dari Hymes 1972, Teori Faktor-faktor Sosial dan Dimensi Sosial Pilihan Kode dari Holmes 1997, dan Teori Sosiobiologi dari Dawkins 1995.
Selama proses pengumpulan data, subjek diminta menentukan pilihan kode apa saja yang paling sering digunakan terhadap interlokutor tertentu, di
lokasi-lokasi tertentu dan dalam membicarakan topik-topik tertentu. Hasil laporan pribadi mereka disajikan secara umum dalam bentuk pilihan dan penggunaan
kode di antara tiga sampai empat generasi - dari generasi Ego satu di bawahnya anaknya si Ego, satu generasi di atasnya orang tuanya, dan dua generasi
kakek-neneknya. Hasil pemaparan pilihan kode sesuai dengan ketujuh ranah ranah keluarga, ranah ketetanggaan, ranah kekariban, ranah pendidikan, ranah
pemerintahan, ranah transaksi, dan ranah agama dimanfaatkan untuk menjawab permasalahan penelitian tentang kode-kode apa saja yang ada dan digunakan oleh
masyarakat tutur Muslim Bali Pegayaman dalam melakukan interaksi verbal. Simpulan umum menunjukkan bahwa dalam ketujuh ranah yang diteliti
masyarakat tutur Muslim Bali Pegayaman, BB dipilih dan digunakan di seluruh ranah. Penggunaan BB terlihat jelas, terutama pada ranah keluarga, kekariban, dan
ranah ketetanggaan. Pada ranah-ranah lainnya, seperti pendidikan, transaksi, dan
pemerintahan, BB juga dipilih dan digunakan. Penggunaan BB bahkan telah merembes masuk sampai ke ranah yang sensitif, seperti ranah agama.
Perbedaan mendasar antara penelitian Putra dan penelitian di Kecamatan Parigi, yaitu tentang objek dan subjek penelitian. Objek penelitian Putra adalah
penggunaan kode dan subjeknya terfokus pada masyarakat Muslim, sedangkan objek penelitian yang dilakukan di Kecamatan Parigi berupa penggunaan bahasa
dan subjeknya terfokus pada masyarakat Bali. Kelima, hasil penelitian Sri Malini 2011 yang berjudul
“Dinamika Bahasa Bali di Daerah Transmigrasi di Provinsi Lampung
.” Masalah yang dibahas adalah karakteristik kebahasaan transmigrasi Bali di Lampung, kebertahanan
bahasa Bali, dan implementasi kebahasaan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah pendekatan
etnografi komunikasi. Pendekatan ini bertujuan untuk mengungkap pola-pola komunikasi bahasa sebagai bagian dari pengetahuan dan perilaku budaya yang
dimiliki oleh satu guyub tutur dengan cara menghubungkan bentuk dan fungsi bahasa yang digunakan itu dalam guyub tutur yang bersangkutan.
Menurut Hymes 1972, etnografi komunikasi bertujuan untuk mengisi kesenjangan di dalam melihat secara langsung penggunaan bahasa dalam konteks
situasi sehingga pola-pola aktivitas tutur dapat diketahui dengan jelas. Hymes mengusulkan komponen wicara sebagai parameter dalam menganalisis bentuk
kontekstual bahasa yang diakronimkan menjadi “SPEAKING”. SPEAKING itu
mencakup setting dan scene latar dan suasana, participants pelibat, ends tujuan, act squence amanat, key petunjuk, instrumentalities alat, norms
norma, dan genre jenis. Konsep SPEAKING ini dapat dipakai sebagai acuan dalam penelitian mengenai penggunaan bahasa pada guyub tutur masyarakat Bali
di Parigi, Sulawesi Tengah. Selain pendekatan Etnografi Komunikasi, Sri Malini juga menggunakan
teori perubahan bahasa untuk menganalisis karakteristik kebahasaan dan hubungan antara karakteristik kebahasaan dan hubungan kategori sosial dengan
tingkah laku berbahasa penutur bahasa Bali yang terkena gejala pergeseran tersebut. Selain itu, dengan pendekatan tersebut juga ditemukan sikap para
penutur bahasa Bali terhadap perubahan bahasa yang sedang terjadi di Provinsi Lampung.
Dalam penelitiannya, Sri Malini juga menggunakan teori pilihan bahasa. Teori ini dalam pemilihan bahasa memiliki tiga kategori pilihan. Pertama, dengan
memilih satu variasi dari bahasa yang sama. Artinya, apabila seorang penutur bahasa berbicara kepada orang lain dengan menggunakan BBH, ia telah
melakukan pilihan bahasa kategori pertama. Kedua, dengan melakukan alih kode, artinya menggunakan satu bahasa pada satu keperluan dan menggunakan bahasa
lain pada keperluan lain dalam satu peristiwa komunikasi. Ketiga, dengan melakukan campur kode, artinya dengan menggunakan satu bahasa tertentu
dengan bercampur serpihan-serpihan dari bahasa lain. Teori pilihan bahasa tersebut dapat dipakai sebagai acuan dalam penelitian mengenai penggunaan
bahasa pada guyub tutur masyarakat Bali di Parigi, Sulawesi Tengah. Evin
– Trip dalam Grosjean, 1982:125 mengidentifikasikan empat faktor utama sebagai penanda pilihan bahasa penutur dalam interaksi sosial, yaitu 1
latar waktu dan tempat dan situasi, 2 partisipan dalam interaksi, 3 topik percakapan, dan 4 fungsi interaksi.
Dalam penelitiannya Sri Malini juga menggunakan teori sikap bahasa. Teori ini digunakan untuk menganalisis sikap bahasa para transmigran terhadap
bahasa Bali. Sikap dalam hal ini bisa positif dan bisa juga negatif. Sikap positif dapat dilihat dari kesetiaan atau loyalitas masyarakat bahasa terhadap bahasa
tertentu. Lebih lanjut dijelaskan bahwa ciri-ciri sikap bahasa positif yang dirumuskan oleh Garvin dan Mathiot 1968 adalah sebagai berikut: 1 kesetiaan
bahasa language loyalty, 2 kebanggaan bahasa language pride, dan 3 kesadaran adanya norma bahasa awareness of language norms. Sri Malini juga
menggunakan teori perencanaan bahasa dalam penelitiannya untuk membahas perencanaan bahasa di Provinsi Lampung. Penerapan teori perencanaan bahasa ini
diharapkan dapat memberikan langkah-langkah konkret dalam implementasi kebijakan bahasanya demi kebertahanan, keberlangsungan, dan pewarisan bahasa
daerah, khususnya bahasa yang hidup di daerah migran. Selain itu, Sri Malini dalam penelitiannya juga menggunaan teori
struktural untuk mendeskripsikan BB berdasarkan sifat atau ciri yang dimiliki bahasa itu. Menurut pandangan strukturalis, tiap-tiap bahasa mempunyai hak
untuk mempunyai sistem sendiri sehingga harus dianalisis secara khas pula. Hasil analisis menyimpulkan bahwa bahasa yang dipakaidigunakan oleh
transmigran Bali di Lampung terdiri atas tiga bahasa, yaitu bahasa Bali, bahasa Indonesia, dan bahasa Jawa. Karakteristik kebahasaan yang dituturkan
transmigran Bali di daerah transmigrasi di Lampung ditandai dengan a degradasi
penguasaan leksikal transmigran Bali di kalangan generasi muda yang ditandai dengan rendahnya penguasaan bahasa Bali, khususnya bahasa Bali halus dan
aksara Bali di kalangan transmigran Bali, b adanya interferensi fonologi pada tuturan transmigran Bali yang terlihat dari perbedaan penulisan dan pengucapan,
bunyi vokal-sedang-tengah dan vokal-tinggi ke vokal sedang-belakang dan bunyi tinggi ke bunyi sedang, dan c terdapatnya pembentukan kata-kata melalui proses
morfofonemis. Pewarisan dan penguasaan bahasa Bali sebagai bahasa Ibu etnis Bali di
Lampung berlangsung
secara informal.
Meskipun demikian,
kondisi pemertahanan BB di daerah transmigrasi Provinsi Lampung dianggap cukup baik.
Berkaitan dengan perencanaan pembelajaran dihasilkan bahwa BB di Lampung tidak diajarkan di sekolah sebagai suatu bidang studi, tetapi diselipkan
dalam pelajaran Agama Hindu dan diajarkan pada kegiatan nonformal.
2.2 Konsep 2.2.1 Penggunaan bahasa