132 Total harga produksi cabai merah tahun 2007 untuk 1 kali periode musim
tanam selama enam bulan sebesar 5.250 kg0,m5 ha adalah kualitas A adalah 5.250 kg x 80 x Rp. 7.500,- = Rp. 31.500.000,-, kualitas B adalah 5.250 kg x 18
x Rp. 5.500,- = Rp. 5.197.500,- dan kualitas C adalah 5.250 kg x 2 x Rp. 3.500,- = Rp. 367.500,-, total harga produksi cabai merah untuk satu kali periode
musim tanam selama enam bulan adalah sebesar Rp. 37.065.000,- Penghitungan pendapatan dalam usahatani ini digunakan cara cash flow seperti disajikan pada
Tabel 29. Tabel 29 Cash flow pendapatan dalam usahatani cabai merah seluas 0,5 ha di
KAMM tahun 2007
Kegiatan Jumlah Biaya
Keterangan In flow
Pinjaman 9.184.000
Penjualan 37.065.000 Jumlah 46.249.000
Out flow
Sarana Prod 9.184.000
Tenaga kerja 2.972.500
Infras. dan Angkutan 637.500
Sewa tanah 3.750.000
Pengembalian kredit 9.505.440
Jumlah 26.049.440
Pendapatan 20.199.560
RC ratio 1,77
Tabel di atas dapat diketahui bahwa in flow atau penerimaan adalah sebesar Rp. 46.249.000,-, sedangkan out flow atau biaya produksi adalah sebesar Rp.
26.049.440,- Total pendapatan petani cabai merah dalam satu kali periode musim panen selama enam bulan adalah Rp. 46.249.000 – Rp. 26.049.440 = Rp .
20.199.560,-0,5 ha, atau Rp. 3.366.593,-bulan. RC ratio
adalah perbandingan antara total penerimaan dengan total biaya produksi. RC ratio dapat dikategorikan layak secara financial apabila nilai RC
Ratio lebih besar dari 1 1. Hasil analisis RC Ratio ini mendapatkan hasil
133
133 bahwa besarnya RC ratio adalah Rp. 46.249.000 : Rp. 26.049.440 = 1,77 atau
keuntungan Rp. 20.199.5600,5 ha. Hal tersebut dapat diartikan bahwa untuk setiap Rp 100,- yang dikeluarkan dalam suatu awal kegiatan usahatani cabai
merah petani dapat memperoleh penerimaan sebesar Rp. 177,- pada akhir kegiatan usaha. Hasil tersebut dapat dikatakan bahwa petani cabai merah di KAMM telah
memperoleh keuntungan dalam melaksanakan usahatani. Semakin besar RC ratio akan semakin besar pula keuntungan yang diperoleh petani. Hal ini dapat dicapai
bila petani mengalokasikan faktor produksi dengan lebih efisien.
4.2.2.3 Analisis Pengolahan Hasil
Komponen pengolahan hasil pertanian dari semula produk primer menjadi produk olahan baik dalam bentuk intermediate product maupun final product,
menjadi sangat penting karena dapat menghasilkan, antara lain: 1 meningkatkan nilai tambah added value;
2 meningkatkan kualitas hasil; 3 meningkatkan penyerapan tenaga kerja;
4 meningkatkan keterampilan produsen; dan 5 meningkatkan pendapatan produsen.
Namun disisi lain komponen pengolahan hasil ini membutuhkan keterampilan, teknologi dan peralatan, energi listrik, sarana bangunan yang
memadai, sarana air bersih, sarana pembuangan limbah, termasuk merubah budaya masyarakat yang selama ini masih terbatas dalam mengkonsumsi produk
olahan hortikultura. Jenis produk hortikultura di KAMM yang kebanyakan dikonsumsi dalam bentuk segar seperti kubis, kentang, cabai disajikan pada
Gambar 41.
Gambar 41 Produk hortikultura yang kebanyakan dikonsumsi dalam bentuk segar.
134
1 Meningkatkan nilai tambah added value
Komoditi pertanian hortikultura seperti : bawang daun, bawang merah, bawang putih, wortel, kentang, kubis, sawi, kacang panjang, ketimun, labu siam,
kangkung, bayam, terong, buncis, cabai, dan tomat, secara umum memang banyak dikonsumsi dalam bentuk segar fresh. Pada dasarnya dapat dikatakan bahwa
petani yang mempunyai sense of business kemampuan memanfaatkan business bidang pertanian yang melaksanakan kegiatan pengolahan hasil pertanian masih
relatif belum banyak. Bagi pengusaha yang berskala besar kegiatan pengolahan hasil dijadikan
kegiatan utama dalam mata rantai bisnisnya, dan dilakukan sampai pada tahap final product
. Hal ini disebabkan karena dengan pengolahan yang baik maka nilai tambah barang pertanian menjadi meningkat karena barang tersebut bisa bertahan
lebih lama dan mampu menerobos pasar, baik pasar domestik maupun pasar luar negeri. Disisi lain, khususnya petani yang dengan segala keterbatasan yang
dimiliki seringkali kurang memperhatikan aspek pengolahan hasil ini. Masih banyak ditemui hasil pertanian ytang langsung dijual tidak melalui pengolahan
hasil yang dilakukan sendiri. Contoh dari hal tersebut, jenis komoditi wortel langsung dijual dalam bentuk kotor bercampur tanah tanpa dicuci, sortasi,
grading, maupun packeging karena mereka ingin mendapatkan uang dalam waktu yang singkat dalam bentuk kontan untuk keperluan yang mendesak. Akibat tidak
adanya proses pengolahan hasil ini, maka nilai tambah hasil pertanian menjadi rendah.
Proses pengolahan hasil jenis komoditi hortikultura, dilakukan dalam dua kategori, pertama: intermadiate product, yaitu untuk jenis komoditi sayur-sayuran
yang memang biasanya dikonsumsi dalam bentuk segar fresh. Pengolahan hanya dilakukan berupa kegiatan sortasi pemisahan terhadap produk kualitas A, B, C,
dan grading pembersihan terhadap kotoran-kotoran dan daun-daun tua dan akar- akaran, serta packaging pengemasanpengepakan. Packaging yang dilakukan di
KAMM masih sangat sederhana, hanya dengan memasukkan produk hortikultura ke dalam keranjang besar dan karung besar untuk dikirim ke pasar-pasar
tradisional atau pasar induk. Packaging dalam bentuk kemasan plastik untuk konsumsi supermarket tidak dilakukan sendiri oleh petani, tetapi dilakukan oleh
135
135 pedagang pengumpul di tempat-tempat packing house milik pedagang
pengumpul, sehingga nilai tambah tersebut tidak dimiliki oleh petani. Kedua : final product,
yaitu untuk jenis komoditi buah dan biji-bijian maupun umbi- umbian, sebagian sudah diolah sampai pada tahap final product.
Dari hasil pengamatan lapangan serta melalui indepth interview yang dilakukan di KAMM, ada sekitar sepuluh jenis produk hortikultura dan tanaman
pangan yang telah dilakukan pengolahannya, yaitu : 1 cabai segar menjadi cabai giling serbuk dan saos cabai; 2 ketela pohon menjadi slondok; 3 wortel
menjadi kripik wortel dan serbuk wortel; 4 kobis bunga menjadi kripik kobis bunga; 5 kentang menjadi kripik kentang; 6 brokoli menjadi kripik brokoli; 7
buncis menjadi kripik buncis; 8 salak menjadi kripik salak; 9 kacang panjang menjadi kripik kacang panjang; dan 10 buah nangka menjadi kripik nangka.
Dalam studi ini, analisis nilai tambah added value atas pengolahan hasil dilakukan terhadap komoditas unggulan cabai merah menjadi cabai giling serbuk
secara tradisional dalam skala industri rumah tangga home industri. Kondisi pengolahan yang dilaksanakan para petani cabai merah di lokasi studi adalah
melalui dua alternatif. Alternatif pertama, apabila pada saat panen raya harga cabai merah masih tetap bagus sekitar 15 di atas BEP sehingga petani masih
mendapatkan keuntungan yang wajar apabila menjual cabai merah dalam bentuk segar produk primer, maka petani disarankan tidak perlu melakukan pengolahan
hasil menjadi cabai giling serbuk dalam partai besar perbandingannya 20 diolah dan 80 lagi dijual dalam bentuk segar. Alternatif kedua, apabila pada
saat panen raya cabai merah menimbulkan fluktuasi harga di bawah BEP, maka para petani melakukan proses pengolahan cabai merah menjadi cabai giling
serbuk dengan perbandingan 40 jual segar: 60 diolah menjadi cabai giling serbuk. Kondisi penjualan produk segar dalam bobot 40 ini dilakukan para
petani karena mereka membutuhkan dana tunai dan cepat untuk menutupi kebutuhan rumah tangga. Diantara produk cabai segar 60 yang mau diolah
tersebut, sebagian disimpan dalam bentuk stok bahan baku yang masih bersifat intermediate product
. Tujuan penyimpanan bahan baku ini adalah agar pada saat musim paceklik cabai merah bahan baku ini dapat diolah secara bertahap sesuai
kebutuhan pasar. Proses pengolahan stok bahan baku dalam bentuk intermediate
136 product
dilakukan dengan menyimpannya dalam sebuah wadah yang terdiri dari drum plastik ukuran 500 liter, dengan susunan bahan baku terdiri dari lapisan
bawah pertama garam setebal 10 cm, lapisan kedua cabai merah yang telah disortasi, cuci, dan dikeringkan dengan ketebalan 30 cm, lapisan ketiga dan
seterusnya berulang seperti lapisan sebelumnya sampai drum plastik penuh dan permukaan drum ditutup rapat sampai kedap udara. Kondisi penyimpanan stok
bahan baku cabai merah dengan cara seperti ini tetap dalam kondisi baik, higienis, tidak berjamur, tidak merubah warna cabai, tidak membusuk, dan dapat bertahan
selama setahun. Proses pengolahan cabai segar menjadi cabai giling serbuk, dilakukan dengan proses dan tahapan sebagaimana disajikan pada Gambar 42.
Gambar 42 Proses pengolahan cabai merah menjadi cabai giling serbuk. Hasil analisis pengolahan cabai merah segar menjadi cabai giling serbuk
dilakukan para pengrajin dengan bobot produksi dalam sekali pengolahan adalah 110 kg cabai segar saat disortasi 10 terbuang yang terdiri dari tangkai dan
cabai jelek yang dikerjakan oleh 5 orang dalam ukuran 1 hari kerja. Bobothasil bersih pengolahan cabai giling serbuk ini sebesar 10 dari komoditas segar 100
kg cabai merah segar menjadi 10 kg cabai giling serbuk. Nilai tambah yang dapat diperoleh 1 keluarga pengrajin dalam 1 bulan 8 kali pengolahan disajikan pada
Tabel 30. Dari hasil analisis terhadap proses pengolahan cabai merah segar menjadi
cabai giling segar, dalam 1 bulan dengan 8 kali proses pengolahan 1 keluarga pengrajin dapat memperoleh nilai tambah sebesar Rp. 4.403.440,- yang dianggap
memadai untuk biaya hidup sebuah rumah tangga petani di wilayah perdesaan.
137
137 Nilai tambah Rp. 4.403.440,- ini bisa didapat dengan kondisi apabila harga
produk cabai merah segar maksimal 15 diatas BEP produksi, dan hasil pengolahan cabai giling serbuk dijual oleh para pengrajin kepada pedagang
pengumpul. Namun apabila para pengrajin dapat menjualnya langsung kepada pedagang besardistributor di sub-terminal agribisnis maka nilai tambah bisa
didapat para pengrajin dengan kenaikan sekitar 11,60 lagi atau menjadi Rp 4.914.239,- dalam sebulan. Namun sebaliknya apabila harga cabai merah segar
pada saat panen jauh di atas BEP produksi di atas 50 , maka para petani tidak melakukan pengolahan hasil karena akan merugi, dan hasil panen cabai merah
segar akan dijual dalam bentuk produk primer secara keseluruhan karena akan mendapatkan keuntungan yang cukup besar, melebihi hasil penjualan dalam
bentuk produk olahan cabai giling serbuk. Tabel 30 Nilai tambah added value yang dapat diperoleh 1 keluarga pengrajin
dari hasil pengolahan cabai merah segar menjadi cabai giling serbuk
Proses Pengolahan Jumlah
Proses Bobot
Nilai Rp
Bobot kg
Hrg Jual Rp
Nilai Rp Biaya Pengolahan
3.596.560 Cabai Merah Segar
8 kali 880 kg
3.212 2.826.560
Tenaga Kerja 40 OH
600.000 Biaya Gas Alat
120.000 Biaya Kemasan
50.000 Cabai Giling Segar
10 80
100.000 8.000.000
Pendapatan 4.403.440
BEP Pengolahan
4.087 Added Value
122,43 RCRatio
2,22
2 Meningkatkan kualitas hasil
Salah satu tujuan dari pengolahan hasil pertanian adalah meningkatkan kualitas hasil. Adanya kualitas hasil yang lebih baik, maka nilai barang menjadi
lebih tinggi dan keinginan konsumen menjadi terpenuhi. Perbedaan kualitas bukan saja menyebabkan adanya perbedaan segmentasi pasar tetapi juga mempengaruhi
harga barang itu sendiri. Kualitas barang yang rendah akan menyebabkan harga
138 yang rendah juga dan bahkan perbedaan harga karena perbedaan kualitas ini juga
relatif besar.
3 Penyerapan Tenaga Kerja
Bila saat pasca panen tiba biasanya petani langsung menjual hasil panennya tanpa diolah terlebih dahulu, bahkan seringkali terjadi hasil tanaman yang sudah
siap panen langsung diborongkan kepada pedagang pengumpul dalam keadaan masih terhampar di lahan pertanian, sehingga pekerja yang memanen hasil
pertanian bukan lagi dilakukan sendiri oleh petani. Tindakan seperti ini akan menghilangkan kesempatan orang lain yang ingin bekerja pada kegiatan
pengolahan yang semestinya bisa dilakukan. Sebaliknya bila proses pengolahan hasil itu dilakukan, maka akan banyak tenaga kerja yang terserap. Penyerapan
tenaga hari kerja setara pria HKSP maupun tenaga hari kerja setara wanita HKSW pada saat pengolahan untuk komoditi cabai merah untuk sekali
pengolahan dengan bobot 110 kg, disajikan pada Tabel 31. Tabel 31 Penyerapan tenaga hari kerja setara pria HKSP dan tenaga hari kerja
setara wanita HKSW untuk komoditi cabai merah sebesar 110 kg di KAMM
Kegiatan Pengolahan Cabai Giling Serbuk
Jumlah TK HKSP Jumlah TK HKSW
Sortasi sampai membelah cabai 1
Rebus sampai kukus 1
Giling dan saring 1
1 Pengemasan dan pemasaran
1
Total 3 2
Hasil analisis penyerapan tenaga kerja untuk sekali pengolahan dengan bobot 110 kg cabai merah segar membutuhkan 3 HKSP dan 2 HKSW. Hal ini
berarti untuk 1 bulan dengan 8 kali pengolahan dapat menyerap 24 HKSP dan 16 HKSW Total 40 orangbulan dengan upah rata-rata Rp 15.000,-hari.
4 Meningkatkan Keterampilan
Adanya keterampilan mengolah hasil komoditi pertanian hortikultura, maka akan terjadi peningkatan keterampilan secara kumulatif sehingga pada akhirnya
139
139 juga akan memperoleh hasil penerimaan usahatani yang lebih besar. Peningkatan
keterampilan para petani di KAMM dilakukan melalui bimbingan baik langsung maupun tidak langsung. Bimbingan secara langsung dilakukan melalui Pusat-
Pusat Pelatihan seperti P4S Pusat Pelatihan dan Pengembangan Perdesaan Swadaya yang ada di KAMM, ataupun mendatangi secara langsung ke rumah-
rumah petani oleh kader-kader penyuluh swakarsa. Bimbingan secara tidak langsung dilakukan melalui penyediaan bookletleaflet penyuluhan, media cetak
koran dan media elektronik antara lain RRI. Hasil penelitian ini melalui penyebaran kuisioner dan indepth interview
kepada pejabat terkait di Pemerintahan Kabupaten Magelang, pelatihan-pelatihan bidang pertanian yang telah pernah dilakukan antara lain adalah :
- Pelatihan budidaya, yang meliputi topik agrotecknopark, antara lain : pengelolaan lahan pertanian, tata cara pengolahan pupuk organik, metoda
pertanian dengan teknologi screenhouse, persemaian, perawatan tanaman, pengendalian hama terpadu PHT, dan pasca panen.
- Pelatihan pengolahan hasil, yang meliputi topik industri kreatif, antara lain: pembuatan cabai giling serbuk, pembuatan saus tomat, pembuatan sambal,
pembuatan kripik sayur dan buah, pembuatan slondok, pembuatan dodol buah, pembuatan kripik kentang, pembuatan sirup buah, dan pelatihan sortasi-
grading dan pembuatan peralatan packaging.
- Pelatihan bidang manajemen dan pemasaran: manajemen kewirausahaan, kelembagaan usahatani, sales promotion, dan manajemen pemasaran. Kegiatan
pelatihan bidang pertanian di KAMM disajikan pada Gambar 43.
Gambar 43 Pelatihan bidang pertanian di KAMM.
140
5 Meningkatkan Pendapatan Produsen
Dengan adanya proses pengolahan hasil dari semula cabai merah segar dengan BEP Produksi Rp 3.212, diolah menjadi cabai giling serbuk dengan
BEP Pengolahan Rp 4.087, dapat meningkatkan pendapatan petani selaku produsen dan pengrajin sampai 27,24. Bagi masyarakat petani yang bertindak
sebagai pekerja maka telah dapat meningkatkan pendapatan melalui penerimaan gaji harian pengolahan cabai giling serbuk.
4.2.2.4 Analisis Pemasaran Hasil
Kondisi pemasaran hasil pertanian hortikultura, dicirikan oleh lemahnya sistem pemasaran dan lemahnya kompetisi pasar yang sempurna, karena produk
pertanian hortikultura umumnya mempunyai sifat dan karakteristik: a diproduksi secara musiman; a selalu segar freshable; b mudah rusak; c jumlahnya
banyak tetapi nilainya relatif sedikit bulky; dan d bersifat lokal dan spesifik tidak dapat diproduksi di semua tempat, dan e budidaya sangat tergantung
dengan ketersediaan air. Sifat dan karakteristik produk pertanian hortikultura ini akan mempengaruhi
mekanisme pemasaran, yang kadangkala akan dapat merugikan para petani selaku produsen karena sering sekali terjadi harga produksi hortikultura yang dipasarkan
menjadi naik-turun berfluktuasi secara tajam. Adanya fluktuasi harga produksi pertanian seringkali mengakibatkan kerugian pada pihak petani atau produsen.
Dalam rangka menjaga agar pemasaran tetap stabil dan berjalan dengan baik, maka manajemen dan strategi pemasaran penting untuk ditingkatkan.
Manajemen pemasaran yang modern memang mendahulukan kepentingan- kepentingan konsumen seperti yang dikatakan Kotler et al. dalam Soekartawi
2005. Hal ini mengandung arti bahwa perubahan konsumen ini menentukan jumlah barang yang diminta. Selanjutnya agar harga tidak melonjak tinggi karena
perubahan tersebut, maka produksi harus ditingkatkan. Ini berarti produsen diminta untuk meningkatkan produksinya untuk memenuhi permintaan, seperti
yang disajikan pada Gambar 44. Gambar 44 menunjukkan bahwa untuk memenuhi permintaan dari Q
1
ke Q
2,
maka produsen juga harus meningkatkan produksi yang dihasilkan pada jumlah
141
141 yang sama bila dikehendaki harga di pasaran tetap. Bila tidak terjadi demikian,
misalnya jumlah barang yang diminta lebih banyak dari yang disediakan, maka harga akan naik. Begitu pula sebaliknya bila terjadi kelebihan produksi yang
disediakan over supply, maka harga akan cenderung turun bagi barang-barang atau produk yang mempunyai elastisitas permintaan yang lebih besar dari nol.
Gambar 44 Perubahan permintaan dan penyediaan produk hortikultura pada kondisi harga tetap.
Daftar jenis komoditas hortikultura dan produk rata-rata selama enam bulan terhitung mulai bulan Juli s.d. Desember 2007 di KAMM disajikan pada
Lampiran 7, dan pengelompokan produk hortikultura berdasarkan prospek pemasaran melalui pendekatan BCG disajikan pada Tabel 32.
Hasil analisis finansial tersebut, prospek produk pertanian hortikultura di KAMM dapat dikelompokkan ke dalam empat kuadran Gambar 45:
- Kuadran I ”stars” prospek, group produk yang paling menguntungkan dan prioritas ada 5 produk, dengan jenis produk antara lain : cabai keritinghijau,
cabai rawit hijau, cabai merah, cabai rawit bangkok, dan cabai rawit putih. - Kuadran II ”cash cows” prospek, group produk yang masih mendatangkan
keuntungan dan perlu dipertahankan ada 5 produk, dengan jenis produk antara lain : kapri, loncang, pare, kentang, dan cabai TW.
- Kuadran III ”children” prospek, group produk yang belum mempunyai prospek yang jelas ada 11 produk, dengan jenis produk antara lain : singkong,
kol, buncis, brokoli, salak, jagung manis, kacang panjang, grambas, wortel, ubi jalar, dan bunga kol.
S
A B
S
1
Q
2
Q
1
O H
D D
142 - Kuadran IV ”dogs” prospek, group produk yang benar-benar tidak dapat
dipertahankan ada 9 produk, dengan jenis produk antara lain : terong, selada, timun, tomat, salak, sawi sendok, ceisin, jipang, sawi putih, dan seledri.
Tabel 32 Pengelompokan produk hortikultura berdasarkan prospek pemasaran melalui pendekatan BCG
HARGA Rp
JENIS KOMODITAS JUMLAH
KOMODITAS PROSPEK
5.764 Cabai rawit hijau
5 “Stars” prospek,
group produk yang paling
menguntungkan Cabai keritinghijau
Cabai merah Cabai rawit bangkok
Cabai rawit putih
3.840 Loncang 5
“Cash cows” prospek, group
produk yang masih mendatangkan
keuntungan dan perlu dipertahankan
Kapri Pare
Kentang
Cabai TW
2.570 Singkong
11 “Children” prospek,
group produk yang belum mempunyai
prospek yang jelas Kol
Buncis Brokoli
Salad Jagung manis
Kacang panjang Grambas
Wortel Ubi jalar
Bunga kol
1.280 Terong
9 “Dogs” prospek,
group produk yang benar-benar tidak
dapat dipertahankan Selada
Timun Tomat
Sawi sendok Ceisin
Sawi putih Jipang
Seledri
Dalam pemasaran produk-produk komoditi pertanian hortikultura di KAMM, baik produk-produk yang termasuk dalam kategori kuadran I, II, III, dan
IV, seringkali dijumpai adanya mata rantai pemasaran yang panjang, sehingga banyak juga pelaku lembaga pemasaran yang terlibat dalam mata rantai
pemasaran tersebut, berharap semuanya dapat keuntungan. Lembaga pemasaran
143
143 tersebut biasanya terdiri dari : produsen petani; pedagang pengumpul; pedagang
besardistributor, pedagang pengecer, atau lainnya menjadi amat penting.
Keterangan : : arus kas : arus produk
Gambar 45 Hasil analisis finansial produk hortikultura di STA Sewukan, melalui model BCG.
Dari hasil identifikasi terhadap lembaga-lembaga yang terlibat dalam pemasaran produk hortikultura di KAMM, struktur dan jumlahnya disajikan pada
Gambar 46. Petani produsen
Konsumen Akhir
Gambar 46 Struktur pemasaran komoditas pertanian hortikultura di KAMM.
Pedagang Pengumpul
Pedagang Besar Distributor
Pengecer di kota
40 Petani
10 Pedagang
Pengumpul
12 . Dari
Kawasan KAMM
38 Dari Luar
KAMM
Petani Sekaligus Pedagang Pengumpul
I
II III
IV Tinggi
Tinggi
Pertumbuhan Pasar
Sedang Rendah
“Stars” Prospek
5 komoditas “ Children”
Prospek 11 komoditas
“ Dogs” Prospek
9 komoditas “ Cash cows”
Prospek 5 komoditas
Bagian Pasar
Sangat rendah Sangat rendah
Rendah
144 Beberapa sebab mengapa terjadi rantai pemasaran hasil pertanian yang
panjang dan produsen petani sering dirugikan sementara pedagang yang berada di sektor hilir pedagang besar pengecer dapat menikmati keuntungan yang
jauh lebih besar adalah antara lain karena : a pasar yang tidak bekerja secara sempurna; b lemahnya informasi pasar; c lemahnya produsen petani
memanfaatkan peluang pasar; d lemahnya posisi produsen petani untuk melakukan penawaran untuk mendapatkan harga yang lebih baik; e produsen
petani melakukan usahatani tidak didasarkan pada permintaan pasar, melainkan karena usahatani yang diusahakan secara turun temurun budaya, dan f kurang
tersedianya infrastruktur pendukung yang dapat memperpendek mata rantai pemasaran mulai dari petani selaku produsen sampai kepada masyarakat selaku
konsumen. Kompetisi pasar yang sempurna perfect market competition yang tidak
bekerja semestinya, memang sering terjadi terutama di wilayah perdesaan yang aksesnya kurang terbuka ke wilayah pemasaran di perkotaan, sehingga posisi
petani sering dirugikan apalagi kalau produsen petani tersebut tidak mempunyai kekuatan untuk menawar harga jual hasil pertaniannya, maka akan terjadi suatu
transaksi jual-beli yang menguntungkan pembelinya dalam hal ini pedagang. Dari hasil pengamatan dan indepth interview, sistem pemasaran hasil
pertanian hortikultura di KAMM tertdiri dari tiga sub-sistem, yaitu : 1 Sub-Sistem pemasaran tradisional: Hasil panen dari para petani dibeli oleh
para pedagang pengepul dengan mendatangi langsung para petani yang sedang mengalami panen. Hasil panen yang masih dalam kondisi kotor dibeli
oleh pedagang pengepul dengan potongan berat sekitar 5 , untuk selanjutnya oleh pedagang pengepul dibawa dengan kendaraan pickup ke
tempat pengemasan packing house milik para pedagang pengepul. Aktifitas di dalam packing house ini meliputi :sortasi, grading, dan packaging. Hasil
pengemasan dari pedagang pengepul ini dibeli oleh pedagang besar distributor untuk dibawa ke kota-kota tujuan akhir outlet. Pemasaran hasil
pertanian di kota-kota tujuan akhir ini dilakukan oleh pedagang pengecer untuk dijual kepada konsumen akhir.
145
145 2 Sub-sistem transit: Pada sub-sistem pemasaran seperti ini hasil panen dibawa
sendiri oleh para petani ke sub terminal agribisnis STA yang ada di Wilayah Sewukan dan Ngablak. Hasil panen pada umumnya sudah terlebih dahulu
dilakukan sortasi, grading, dan packaging oleh para petani, namun dalam kondisi sederhana dan biasanya dilakukan di lahan pertanian. Dengan kondisi
demikian ukuran berat tidak lagi mendapat pemotongan oleh pedagang besar distributor yang datang ke STA. Cara pengangkutan hasil pertanian ke STA
para petani secara patungan sekitar 5 orang menyewa mobil pickup. Aktifitas perdagangan di dalam STA ini meliputi : transaksi dari petani kepada
pedagang pengepul, dan dari petani langsung kepada pedagang besar distributor, serta dari petani mengecer langsung kepada konsumen akhir.
Hasil pertanian di STA ini dibawa langsung oleh pedagang besar distributor untuk dibawa ke kota-kota tujuan akhir outlet. Kota-kota pemasaran akhir
outlet komoditas hortikultura dari KAMM, disajikan pada Lampiran 8. Kota pemasaran akhir dalam skala regional meliputi kota-kota : Semarang,
Jogjakarta, Cilacap, Magetan, Malang, Surabaya, Bangkalan, Bandung, Jakarta. Jangkauan pemasaran dalam skala regional di Pulau Jawa disajikan
pada Gambar 47.
JANGKAUAN PEMASARAN
S
ub
T
erminal
A
gribisnis
Sewukan
JAKARTA BANDUNG
CILACAP DI YOGYAKARTA
. MAGETAN MALANG
SURABAYA BANGKALAN
KALIMANTAN SEMARANG
Gambar 47 Jangkauan pemasaran regional dalam Pulau Jawa.
146 Pada skala nasionalantar pulau, pemasaran produk hortikultura dari KAMM
di pasarkan ke Banjarmasin, Pangkalan Bun, Pontianak, Balikpapan. Tempat pemasaran lainnya adalah Lampung, Palembang, Pangkal Pinang, Pekan Baru,
Batam, dan Denpasar disajikan pada Gambar 48.
Jaringan Pemasaran Produk Hortikultura dari Kawasan Agropolitan Merapi-Merbabu antar pulau
Sub Terminal Agro antar pulau
Sub Terminal Agro Merapi-Merbabu
Batam Pontianak
P. pinang Pkl.Bun
B. Papan
KAMM Denpasar
Palembang Lampung
B. Masin P.Baru
Gambar 48 Jangkauan pemasaran nasional dari KAMM. 3 Sub-sistem kemitraan: Para petani dalam model kemitraan ini tergabung
dalam gabungan kelompok tani Gapoktan, dan penjualan hasil panennya dikoordinir oleh seksi pemasaran Gapoktan untuk dijual langsung ke terminal
akhir TA milik investor swasta di kota-kota outlet pemasaran akhir. Pola kemitraan ini dilaksanakan dengan sistem bagi hasil antara petani dengan
investor swasta. Di dalam model kemitraan ini, keterlibatan petani lebih tinggi karena sampai kepada mata rantai pemasaran pada konsumen akhir.
Salah satu jenis komoditas hortikultura yang telah dipasarkan melalui model kemitraan ini adalah cabai merah.
Dari hasil analisis yang dilakukan pada ketiga sub-sistem pemasaran komoditas unggulan cabai merah di KAMM, provit margin yang diraih para
pelaku pemasaran adalah sebagai berikut: harga produksiBEP cabai merah adalah sebesar Rp. 3.212,-kg. Bagi petani yang memanen sendiri hasil pertaniannya dan
147
147 menjualnya ke pedagang pengepul, harga jual cabai merah bisa mencapai
Rp 3.725,kg kenaikan mencapai 15,97 . Ketika petani membawa sendiri hasil pertaniannya ke sub terminal agribisnis STA dengan menyewa mobil roda empat
secara berkelompok dan menjual produknya langsung kepada pedagang pengepul atau pedagang besar distributor, maka harga jual cabai merah bisa mencapai Rp.
4.100,-kg kenaikan mencapai 27,64 dari harga produksiBEP. Bagi petani yang telah melakukan pola kemitraan dengan pihak swasta, dan membawa
produknya langsung ke terminal agribisnis TA maka harga jual cabai merah bisa mencapai Rp. 6.250,kg kenaikan mencapai 94,58 dari harga produksiBEP.
Harga produk cabai merah bisa mencapai tinggi karena di dalamnya ada komponen transportasi antar kota sekitar 20 . Produk cabai merah ketika dijual
di tempat pengecer, harga jualnya bisa mencapai Rp. 7.500,-kg kenaikan mencapai 133,50 dari harga produksiBEP.
Hirarki profit margin yang dapat diraih para pelaku pemasaran disajikan pada Gambar 49.
Gambar 49 Hirarki profit margin yang dapat diraih para pelaku pemasaran. Provit margin
yang dapat diraih para petani pada ketiga hierarki sub-model pemasaran sub-model tradisional, sub-model transit, dan sub-model kemitraan
produk hortikultura komoditas cabai, adalah sebagai berikut: 1. Nilai keuntungan petani jika memasarkannya melalui sub-sistem Tradisional:
Rp 3.725 – Rp 3.212 = Rp 513,-Kg keuntungan petani 15,97 2. Nilai keuntungan petani jika memasarkannya melalui sub-sistem Transit:
148 Rp 4.100 – Rp 3.212 = Rp 888,-Kg keuntungan petani 27,64
3. Nilai keuntungan petani jika memasarkannya melalui sub-sistem Kemitraan : Rp 6.250 – Rp 3.212 = Rp 3.038,-Kg keuntungan petani 94,58
Grafik kenaikan keuntungan pada masing-masing sub-sistem pemasaran yang dapat dinikmati petani disajikan pada Gambar 50.
Gambar 50 Kenaikan profit margin pada ketiga hirarki sub-sistem pemasaran. Pada penelitian ini dilakukan FGD dengan para pelaku pemasaran mulai
dari tingkat petanipedagang pengepul sampai distributorpedagang besar. Model pemasaran di KAMM ini mempunyai keuntungan dan kerugian bagi para petani,
untuk lebih jelasnya dapat dilihat disajikan pada Tabel 33. Panjangnya mata rantai sistem pemasaran hasil pertanian produk hortikultura di KAMM, keuntungan
terbesar selalu berada di sektor hilir pedagang besardistributor dan pedagang pengecer dan pihak petani selaku produsen yang berada di sektor hulu selalu
berada pada keuntungan yang sangat kecil bahkan kadangkala merugi, sebagaimana hasil analisis disajikan pada Tabel 34.
149
149 Tabel 33 Keuntungan dan kerugian bagi para petani pada ke tiga sub-model
pemasaran produk hortikultura di KAMM Model Pemasaran
Menguntungkan Merugikan
Sub-Model Tradisional - Dana hasil penjualan
diterima cepat dari pengepul - Semua kualitas A, B, C hasil
pertanian dapat terjual - Keuntungan petani relatif
lebih kecil - Akses terhadap pemasaran
tertutup - Pemetikan sebagian besar
oleh pedagang pengepul Sub-Model Transit
- Pasca panen pemetikan, sortasi, grading, packaging,
pengangkutan dilakukan sendiri oleh petani
- Terbuka akses ke pemasaran - Mempunyai posisi tawar
- Keuntungan lebih besar - Membutuhkan
modal untuk biaya pasca panen
- Resiko produk tidak terjual habis
-
Sub-Model Kemitraan - Peran petani dalam mata
rantai agribisnis lebih tinggi - Keuntungan lebih tinggi
- Petani dituntut
mempunyai jiwa enterpreneur
- Membuka akses
ke pemasaran
- Hasil penjualan
agak lambat diterima
- Kualitas produk pertanian yang dapat diterima
biasanya hanya kualitas A
Tabel 34 Profit margin pada pemasaran hortikultura di KAMM Level :
Profit Margin : BEP
Petani selaku Produsen 42,82
10,12 Pedagang Pengumpul
10,06 Pedagang Besar Distributor
17,00 Pedagang Pengecer
20,00 Jumlah 100,00
150
4.2.3 Analisis Permodalan
Permodalan adalah sumberdaya utama pengembangan perekonomian. Tanpa modal tidak akan ada investasi, dan tanpa investasi tidak akan ada pertumbuhan
ekonomi. Menurut De Soto, negara-negara barat mampu memproduksi modal bagi pengembangan ekonominya, sedangkan negara-negara berkembang termasuk
Indonesia tidak mampu memproduksi modal sehingga kekayaan tidak terbentuk. Aset petani berupa lahan dan rumah seharusnya bisa digunakan oleh petani di
Indonesia sebagai sumber permodalan, apalagi aset tersebut dapat di dorong untuk mendapat legalisasi kepemilikan property right, yang mempunyai kejelasan
tentang nama pemilik aset, alamatnya, nilai moneter asetnya dan sebagainya, sehingga dengan demikian bisa dikonversikan menjadi modal. Permodalan di
bidang pengembangan usahatani agribisnis, peranan permodalan merupakan energi yang dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan hasil pertanian.
Hal yang perlu disadari diantaranya adalah sangat sulitnya petani mendapatkan modal kerja, akibat akses petani yang tidak terbuka terhadap sistem keuangan
yang begitu sulit untuk ditembus dengan berbagai persyaratan-persyaratan birokrasi dan perbankan yang cukup rumit seperti harus adanya agunan dan
kelayakan usaha. Sistem permodalan usahatani di KAMM terdiri dari empat jenis
permodalan, yaitu : 1 Modal sendiri; 2 Pinjaman modal dari perbankan; 3 Pinjaman modal dari tengkulak; dan 4 Pinjaman modal berupa lahan dengan
bagi hasil. Dari keempat jenis permodalan ini, para petani menyesuaikan dengan kondisi dan kemampuan masing-masing, antara lain :
1 Petani dengan modal sendiri : yaitu dengan mengandalkan biaya yang ada pada petani baik dana tunai maupun biaya barter hasil pertanian ataupun
tabungan yang dimiliki petani sebagai hasil saving dari pendapatan sebelumnya. Dari jumlah petani di KAMM sebesar 95.664 jiwa atau 23.948
KK, jumlah petani yang mampu mengembangkan usahatani dengan modal sendiri adalah 57,02 .
2 Petani dengan pinjaman modal dari Perbankan : yaitu dengan skim kredit yang dapat membantu petani dalam mendapatkan modal usahatani.
Sebenarnya pihak perbankan pun tahu bahwa keluarga tani merupakan pasar
151
151 yang sangat potensial bagi penyaluran modal perbankan yang saat ini
tersendat akibat sektor riil yang kurang berjalan, sehingga Pemerintah menggulirkan skim kredit yaitu Kredit Usaha Tani KUT, dengan jumlah
petani yang telah mendapat modal pinjaman kredit adalah sebesar 5.842 petani 24,39 yang tergabung dalam 455 kelompok, baik dari bank
pemerintah maupun swasta. Jumlah petani yang mendapat pinjaman kredit usaha tani KUT dari perbankan dapat dilihat pada Tabel 35.
Tabel 35 Jumlah petani yang mendapat kredit usaha tani KUT tahun 2007 di KAMM
No Sumber Pinjaman
Jumlah kelompok
Jumlah petani
Rata2 pinjaman Rp juta
Lama pengembalian
1 Pemkab Magelang
6 46
1.5 12 bulan
2 KUD Sawangan
34 480
3 6 bulan
3 BMT Bima Kab. Maglng
282 3.778
2,76 5 bulan
4 Bank BRI Ngablak
19 189
5,4 6 bulan
5 BPR
BKK Sawangan
9 85 3,72 6
bulan 6
Bank BRI Sawangan 62
721 5,8
6 bulan 7
Bank BRI Pakis 19
218 5,5
6 bulan 8
Bank Bapas Ngablak 1
20 2,5
12 bulan 9
BPR BKK Ngablak 24
325 2,46
6 bulan Pinjaman modal melalui skim kredit yang baru digulirkan pemerintah yaitu
kredit ketahanan pangan dan energi KKP-E dan kredit usaha rakyat KUR, diharapkan dapat membantu petani dalam mendapatkan modal usahatani
dengan berbagai kemudahan-kemudahan seperti proses yang lebih cepat dan tanpa agunan. Menurut Pusat Pembiayaan Deptan 2007, kredit ketahanan
pangan dan energi KKP-E adalah kredit tanpa agunan melalui skim kredit bersubsidi untuk petani. KKP-E merupakan kredit investasi dan atau modal
kerja yang diberikan oleh bank pelaksana kepada petani melalui kelompok tani atau koperasi. Pola penyalurannya executing, sumber dana 100 dari
perbankan dan resiko ditanggung oleh perbankan. Suku bunga yang dibayar petani peserta KKP-E adalah sebesar suku bunga komersial dikurangi subsidi
152 yang dibayar oleh pemerintah. Suku bunga bersubsidi yang dibayar oleh
petani hortikultura sebesar 7 per tahun, dengan jangka waktu kredit disesuaikan dengan siklus usahatani, paling lama 5 tahun. Plafon kredit per
debitur petani maksimum Rp 25 juta. Skim kredit berikutnya adalah kredit usaha rakyat KUR, yaitu kredit modal kerja usaha produktif, dimana para
petani atau kelompok dapat meminjam modal melalui skim kredit pola penjaminan untuk sektor pertanian. KUR merupakan kredit modal kerja dan
atau kredit investasi yang diberikan oleh perbankan kepada usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi UMKM-K yang memiliki usaha produktif
yang didukung dengan program penjaminan agunan. Plafon kredit maksimum Rp 500 jutanasabah dengan suku bunga 16 efektif per tahun.
Namun dalam realisasi pinjaman modal baik melalui KKP-E maupun KUR kepada para petani di KAMM masih belum menggembirakan karena berbagai
kendala antara lain karena informasi yang belum sampai ke tingkat petani. 3 Pinjaman modal dari tengkulak, merupakan pinjaman modal usahatani dari
pengusaha atau tengkulak kepada petani dengan berbagai persyaratan dan ketentuan yang cenderung memberatkan petani, seperti bunga yang tinggi dan
harus menjual hasil panen kepada tengkulak dengan harga sepihak. Walaupun persyaratan pinjaman modal dari tengkulak ini cukup memberatkan para
petani, namun karena proses penyalurannya yang begitu cepat dan tidak berbelit-belit serta azas yang dibangun adalah saling percaya, maka pinjaman
modal melalui tengkulak ini tetap menjadi incaran para petani. Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa ada 4.285 petani 17,89 yang
tergabung dalam 400 kelompok telah mendapatkan pinjaman modal dari tengkulak, dengan besar pinjaman modal antara Rp 500.000 sampai dengan
Rp 4.000.000,- per petani. 4 Pinjaman modal dengan sistem bagi hasil, yaitu pemilik lahan memberikan
lahannya kepada petani penggarap dengan sistem bagi hasil pada saat panen tiba. Pola bagi hasil ini terjadi akibat adanya interaksi antara masyarakat yang
pada umumnya non petani namun memiliki lahan yang cukup luas dengan para buruh tani yang mempunyai lahan pertanian sangat terbatas sehingga
membutuhkan tambahan luas lahan untuk pertanian. Porsi bagi hasil biasanya
153
153 adalah kesepakatan antara pemilikm lahan dengan petani penggarap, n amun
dari hasil pendataan di lapangan pola bagi hasil ini mereka sepakati 50 : 50 . Jumlah petani yang melakukan pinjaman modal dengan sistem bagi hasil
masih sangat terbatas, yaitu sekitar 168 petani 0,70 . Hasil analisis permodalan ini, memperlihatkan bahwa jumlah petani
yang masih membutuhkan bantuan permodalan adalah sebesar 42,98 , dan 21,72 diantaranya adalah petani cabai 2.235 KK dengan besar modal Rp
9.184.000,-petani, dan besar bunga modal sebesar Rp 321.440,-0,5 ha. Total permodalan yang dibutuhkan oleh petani cabai adalah 2.235 KK x Rp.
9.184.000,- = Rp 20.526.240.000,- Pinjaman modal untuk petani cabai ini diharapkan dapat dikucurkan melalui perbankan dengan bunga subsidi tanpa
agunan. Komposisi permodalan petani di KAMM yang meliputi : modal
sendiri, pinjaman modal dari bank, pinjaman modal dari tengkulak, dan pinjaman dari sistem bagi hasil disajikan pada Gambar 51.
57,02
24,39 17,89
0,70 10
20 30
40 50
60
Modal sendiri
Pinjaman modal
dari bank
Pinjaman modal
dari tengkulak
Pinjaman dari
sistem bagi hasil
Jenis Pinjaman
Ju m
lah Pe
ta n
i
Gambar 51 Komposisi permodalan petani di KAMM.
4.2.4 Analisis Kelembagaan
Pada penelitian ini hasil pendapat pakar yang didapat melalui FGD diperoleh 16 sub elemen lembaga yang terkait dalam pengembangan infrastruktur
KAMM seperti disajikan pada Tabel 36.
154 Tabel 36 Lembaga yang terkait dalam pengembangan KAMM
No Lembaga Keterkaitan dalam Pengembangan
Infrastruktur 1
Pemerintah Pusat Dep PU Stimulasi pembangunan infrastruktur,
pengadaan bantuan teknis pembangunan infrastruktur
2 Pemerintah Provinsi Dinas PU
Provinsi Pembangunan infrastruktur lintas
kabupaten, bimbingan teknis pembangunan infrastruktur,
pembangunan infrastruktur tertentu jalan antar kabupaten
3 Pemerintah KabKota
Dinas PU Kabupaten
Pembangunan infrastruktur sebagian besar kawasan jalan usahatani, jalan
poros desa, industri, dll dan pemeliharaan
4 Pemerintah Kecamatan
Fasilitasi dan pengawasan pelaksanaan pembangunan dan pemeliharaan
5 Pemerintah Desa
Pengawasan penggunaan infrastruktur 6
Pokja Agropolitan Perencanaan program pembangunan
infrastruktur 7
Kelompok Tani Pengawasan penggunaan dan
pemeliharaan infrastruktur 8
Disperindag Pembangunan infrastruktur tertentu
agroindustri 9
Balai Penyuluh Pertanian Penggunaan dan perawatan infrastruktur
bangunan BPP 10
Koperasi Penggunaan dan perawatan infrastruktur
bangunan koperasi 11
Dinas Pertanian Memberi masukan kebutuhan
infrastruktur pendukung usahatani 12
LSM Pengawasan pembangunan, penggunaan
dan pemeliharaan infrastruktur 13
Lembaga Keuangan Dukungan dana pembangunan
infrastruktur 14
Asosiasi Petani dan Pedagang Perawatan dan penggunaan infrastruktur
15 Perguruan Tinggi
Penelitian kebutuhan dan pengembangan infrastruktur kawasan pada masa yang
akan datang 16
InvestorPengusaha Pembangunan infrastruktur tertentu
pabrik pengolahan
Berdasarkan hasil analisis ISM interpretative structural modeling di KAMM Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah, struktur hirarki hubungan
sub elemen lembaga yang terlibat secara rinci disajikan pada Gambar 52.
155
155 l
Gambar 52 Struktur hirarki sub elemen lembaga yang terlibat dalam program pengembangan KAMM.
Lembaga yang paling berperan dalam pengembangan infrastruktur KAMM, Kabupaten Magelang adalah Dinas PU KabupatenKota 3. Kawasan ini sudah
cukup maju dan terkait dengan otonomi daerah maka pengembangan infrastruktur kawasan agropolitan lebih lanjut menjadi tanggung jawab oleh Dinas PU
KabupatenKota. Pemerintah pusatDepartemen PU 1 dan Pemerintah ProvinsiDinas PU Provinsi 2 lebih bersifat stimulasi atau pendampingan
program. Peran pemerintah pusat adalah membantu pemerintah provinsi dan pemerintah kabupatenkota dalam pengembangan kawasan agropolitan serta
kewenangan dalam bidang pemerintahan yang menyangkut lintas provinsi. Peran pemerintah provinsi adalah membantu memfasilitasi pemerintah kabupatenkota
dalam pengembangan kawasan agropolitan, dan bertanggung jawab dalam pengembangan kawasan agropolitan di tingkat provinsi, serta kegiatan pemerintah
yang bersifat lintas kabupatenkota.
4.3 Analisis Tingkat Kemandirian KAMM
KAMM dengan luas kawasan 32.502 ha, merupakan salah satu kawasan agropolitan yang dikembangkan di Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah,
berdasarkan Surat Menteri Pertanian No. 312TU.210AX2002. Kawasan yang terletak di bagian timur wilayah administratif Kabupaten Magelang ini meliputi
7 kecamatan.
Di Kawasan Agropolitan Merapi-Merbabu, hampir seluruh aktivitas ekonomi masyarakat berkait dengan sektor pertanian. Hal tersebut disebabkan
156 oleh adanya potensi lahan, peluang dan budaya masyarakat yang telah mendarah
daging internalized. Usaha lain di luar pertanian yang dapat berkembang adalah yang terkait dengan permintaan dari sektor pertanian, seperti usaha pengangkutan
hasil bumi, dan lain-lain. Potensi pertanian yang dikembangkan terutaman adalah sayuran yang
meliputi cabai merah, cabai rawit, kentang, kapri, pare, kubis, buncis, brokoli, selada, jagung manis, kacang panjang, gambas, bunga kol, wortel, terong, tomat,
sawi, mentimun, sawi, caisin, sawi putih, jipang, dan seledri. Selain itu terdapat juga tanaman buah-buahan jeruk keprok grabag, jeruk manis, kelengkeng, durian,
dan duku; palawija jagung, ketela rambat, dan ketela pohon; peternakan sapi potong, sapi perah; perkebunan kopi, cengkeh, dan kapulaga; serta tanaman
hias sedap malam dan krisan. Kawasan ini mampu memproduksi komoditas unggulan sepanjang tahun.
Perkembangan KAMM pada umumya sudah berjalan cukup baik, namun demikian sektor agroindustri belum berkembang dengan baik. Produk dari
kawasan sebagian besar masih dalam bentuk produk primer, hanya sebagian kecil yang berbentuk produk sekunderproduk olahan.
Dalam penelitian ini analisis tingkat kemandirian kawasan dinilai berdasarkan dimensi usahatani, agroindustri, pemasaran, infrastruktur, dan
suprastruktur. Data yang digunakan dalam analisis merupakan data primer yang diperoleh berdasarkan survei pakar.
4.3.1. Dimensi Usahatani
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai indeks tingkat kemandirian kawasan agropolitan untuk dimensi usahatani sebesar 84,62 pada skala
kemandirian 0-100 Gambar 53. Nilai ini menunjukkan bahwa tingkat kemandirian kawasan untuk dimensi usahatani sudah memasuki tahap mandiri.
Hasil ini menggambarkan fakta di lapangan bahwa teknik usahatani sayuran yang dilakukan oleh masyarakat di kawasan agropolitan sudah optimal. Namun
demikian, peningkatan kemandirian kawasan agropolitan pada dimensi usahatani, dapat dilakukan dengan perbaikan-perbaikan terhadap atribut-atribut yang
diperkirakan berpengaruh terhadap nilai indeks dimensi usahatani, yang terdiri dari 1 ketersediaan sarana produksi, 2 ketersedian alat pertanian, 3 komoditas
157
157 unggulan, 4 nilai ekonomi komoditas unggulan, 5 teknologi budidaya
komoditas unggulan, 6 produktivitas komoditas unggulan, 7 masyarakat yang terlibat dalam usahatani komoditas unggulan, 8 luas kawasan usahatani
komoditas unggulan, 9 akses mayoritas petani terhadap lahan, 10 pengelolaan pasca panen, 11 kelayakan usahatani RC, dan 12 ketersediaan modal
usahatani.
RAPAGROP Ordination
84.62
DOWN UP
BAD GOOD
-60 -40
-20 20
40 60
20 40
60 80
100 120
Dimensi Usahatani
Gambar 53 Indeks tingkat kemandirian kawasan agropolitan pada dimensi usahatani KAMM.
Untuk melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks kemandirian dimensi usahatani, dilakukan analisis leverage.
Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh tiga atribut yang sensitif terhadap nilai indeks dimensi usahatani yaitu 1 akses petani terhadap lahan, 2
pengelolaan pasca panen, dan 3 ketersediaan modal usahatani Gambar 54. Akses petani terhadap lahan merupakan faktor yang sangat penting, di mana
kepemilikan lahan usahatani tidak merata dan lebih banyak petani yang berstatus buruh tani, penggarap atau penyewa tanah dibandingkan dengan petani pemilik
lahan. Faktor penting lain adalah di seluruh kawasan, pengelolaan pascapanen sangat minim, jumlah komoditas pertanian hortikultura yang sudah mendapat
pengolahan hasil dalam skala home industry baru berkisar 10 macam komoditas. Mayoritas produk hortikultura dari kebun dijual secara bulk langsung ke pasar
158 tanpa dibersihkan, dipilah atau dikemas secara memadai. Ketersediaan modal
usahatani juga menjadi salah satu faktor penting. Sebagian besar pelaku usahatani memiliki modal yang terbatas sehingga usahatani yang dijalankan sebagian besar
berskala kecil. Oleh karena itu, untuk meningkatkan status tingkat kemandirian kawasan agropolitan dari dimensi usahatani, ketiga atribut tersebut harus
diperbaiki.
Leverage of Attributes Usahatani
2.03 2.21
2.21 2.13
2.05 1.99
1.75 1.48
5.85 5.39
0.18 3.95
1 2
3 4
5 6
7 ketersediaan sarana produksi
ketersediaan alat pertanian komoditas unggulan
nilai ekonomi komoditas unggulan teknologi budidaya komoditas unggulan
produktivitas komoditas unggulan masyarakat yang telibat dalam usahatani komoditas
unggulan luas kaw asan usahatani komoditas unggulan
akses mayoritas petani terhadap lahan pengelolaan pasca panen
kelayakan usahatani RC Ketersediaan permodalan usahatani
Root Mean Square Change in Ordination w hen Selected Attribute Removed on scale 0 to 100
Gambar 54 Peran masing-masing atribut dimensi usahatani yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai rms root mean square.
4.3.2. Dimensi Agroindustri
Hasil analisis multiatribut untuk menilai tingkat kemandirian kawasan agropolitan menunjukkan bahwa dimensi agroindustri sangat rendah, dengan nilai
15.64 pada skala kemandirian 0-100 Gambar 55. Hal ini mengindikasikan bahwa hampir seluruh atribut dari dimensi agroindustri memiliki nilai yang
rendah. Berdasarkan fakta di lapangan, di kawasan agropolitan dengan komoditas unggulan sayuran ini, agroindustri belum berkembang. Sebagian besar produk
usahatani dijual dalam bentuk segar, bahkan tanpa pengelolaan pascapanen yang memadai.
Ada beberapa cara untuk meningkatkan status tingkat kemandirian kawasan agropolitan pada dimensi agroindustri, ada beberapa atribut-atribut yang
diperkirakan berpengaruh terhadap nilai indeks dimensi agroindustri, yang terdiri dari 1 pengolahan hasil pertanian, 2 produk yang dihasilkan agroindustri, 3
159
159 skala industri pengolahan komoditas unggulan, 4 jumlah jenis produk olahan,
5 jumlah tenaga kerja yang terlibat agroindustri, 6 pengolahan limbah agroindustri, 7 kelayakan usaha agroindustri.
RAPAGROP Ordination
15.64
DOWN UP
BAD GOOD
-60 -40
-20 20
40 60
20 40
60 80
100 120
Dimensi Agroindustri
Gambar 55 Indeks tingkat kemandirian kawasan agropolitan pada dimensi agroindustri KAMM.
Untuk melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks kemandirian dimensi agroindustri, dilakukan analisis leverage.
Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh tiga atribut yang sensitif yang dapat menjadi faktor pengungkit leverage terhadap nilai indeks dimensi agroindustri,
yaitu 1 produk agroindustri yang dihasilkan, 2 kelayakan usaha agroindustri, dan 3 variasi jenis produk yang dihasilkan Gambar 56.
Adanya upaya untuk meningkatkan nilai ketiga atribut pengungkit tersebut, diharapkan dapat meningkatkan status tingkat kemandirian kawasan. Produk
agroindustri harus tahan disimpan lama, tidak merusak kesehatan manusia. Kelayakan usaha agroindustri harus memperhatikan waktu yang tepat untuk
melakukan pengolahan hasil, yaitu pada saat harga komoditas rendah atau minimal sama dengan BEP. Variasi jenis produk yang dihasilkan juga harus
diperhatikan oleh petani pengrajin, antara lain memperhatikan jenis-jenis produk yang diminati masyarakat, seperti kripik, serbuk, bumbu, juice, saos, dan lain-lain.
Namun demikian, oleh karena hampir semua atribut pada dimensi agroindustri memiliki nilai rendah, maka perbaikan status setiap atribut perlu dilakukan untuk
160 meningkatkan kemandirian kawasan pada dimensi agroindustri hingga mencapai
tingkat baik atau sangat baik.
Leverage of Attributes Agroindustri
1.35 6.98
3.09 3.68
3.31 2.13
4.18
1 2
3 4
5 6
7 8
pengolahan hasil pertanian produk yang dihasilkan agroindustri
skala industri pengolahan komoditas unggulan
jumlah jenis produk olahan jumlah tenaga kerja terlibat
agroindustri pengolahan limbah agroindustri
kelayakan usaha agroindustri
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed on scale 0 to 100
Gambar 56 Peran masing-masing atribut dimensi agroindustri yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai rms.
4.3.3. Dimensi Pemasaran
Hasil analisis terhadap dimensi pemasaran menunjukkan bahwa tingkat kemandirian kawasan untuk dimensi pemasaran sudah cukup baik dengan nilai
ordinasi sebesar 51.35 pada skala 0-100 Gambar 57.
RAPAGROP Ordination
51.35
DOWN UP
BAD GOOD
-60 -40
-20 20
40 60
20 40
60 80
100 120
Dimensi Pemasaran
Gambar 57 Indeks tingkat kemandirian kawasan agropolitan pada dimensi pemasaran KAMM.
161
161 Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas pemasaran di kawasan agropolitan berjalan
cukup baik dimana produk yang dihasilkan dari kegiatan usahatani sebagian besar dapat dijual ke pasar.
Status tingkat kemandirian kawasan agropolitan pada dimensi pemasaran tetap harus ditingkatkan melalui atribut-atribut yang diperkirakan berpengaruh
terhadap nilai indeks dimensi pemasaran, yang terdiri dari 1 sub-terminal agribisnis, 2 ketersediaan pasar sarana produksi saprodi, 3 sistem pemasaran,
4 produk yang dipasarkan, 5 tujuan pemasaran, 6 standarisasi mutu, dan 7 penggunan teknologi informasi. Untuk melihat atribut-atribut yang sensitif
memberikan pengaruh terhadap nilai indeks kemandirian dimensi pemasaran, dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh tiga
atribut yang sensitif yang dapat menjadi faktor pengungkit leverage terhadap nilai indeks dimensi pemasaran, yaitu 1 tujuan pemasaran, 2 penggunaan
teknologi informasi, dan 3 ketersediaan pasar sarana produksi Gambar 58.
Leverage of Attributes Pem as aran
0.17 1.39
0.82 0.62
2.74 1.06
1.44
0.5 1
1.5 2
2.5 3
Terminal agribisnis SubTerm inal Agribis nis
keters ediaan pas ar s arana produks i
s is tem pem as aran produk yang dipasarkan
tujuan pem as aran standarisasi mutu
Penggunaan Teknologi Inform as i
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Rem oved on scale 0 to 100
Gambar 58 Peran masing-masing atribut dimensi pemasaran yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai rms.
Tujuan pemasaran perlu melirik wilayah-wilayah atau kota-kota yang langka terhadap komoditas hortikultura, dan pemasaran diupayakan sampai
mencapai kota-kota pemasaran akhir outlet baik dalam skala kabupaten, provinsi, regional, nasional, bahkan diupayakan dapat dipasarkan ke luar negeri.
162 Peranan teknologi informasi sangat dibutuhkan dalam membantu pemasaran,
untuk mendapatkan informasi harga tertinggi sehingga para petanipedagang bisa mengarahkan pemasaran produk-produk hortikulturanya ke kota-kota yang harga
komoditasnya lagi tinggi. Ketersediaan pasar sarana produksi saprodi pada sentra-sentra pemasaran juga sangat dibutuhkan, untuk memberi kemudahan
kepada para petani dalam mendapatkan sarana-sarana produksi, seperti bibit, pupuk, pestisida. Ketika para petani sudah selesai menjual hasil pasca panen
hortikultura nya pada sentra-sentra pemasaran, mereka dapat langsung membeli kebutuhan-kebutuhan sarana produksi yang dibutuhkan untuk musim tanam
berikutnya.
4.3.4. Dimensi Infrastruktur
Hasil analisis multiatribut menunjukkan bahwa dimensi infrastruktur sudah cukup baik dengan nilai ordinasi 73,26 pada skala 0-100 Gambar 59. Hal
ini mengindikasikan bahwa infrastruktur kawasan agropolitan secara keseluruhan sudah mendekati optimal dan efektif untuk melayani kebutuhan seluruh kawasan.
RAPAGROP Ordination
73.26
DOWN UP
BAD GOOD
-60 -40
-20 20
40 60
20 40
60 80
100 120
Dimensi Infrastruktur
Gambar 59 Indeks tingkat kemandirian kawasan agropolitan pada dimensi infrastruktur KAMM.
Namun demikian status kemandirian kawasan agropolitan tetap perlu ditingkatkan melaui atribut-atribut yang diperkirakan berpengaruh terhadap nilai
163
163 indeks dimensi infrastruktur, yang terdiri dari 1 jalan usahatani, 2 jalan poros
desa, 3 jalan antar desa-kota, 4 jaringan irigasi, 5 jaringan air bersih, 6 jaringan drainase permukiman, 7 jaringan listrik, 8 jaringan telekomunikasi,
9 bangunan penyuluh pertanian, dan 10 bangunan penunjang pertanian. Untuk melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks
kemandirian dimensi infrastruktur, dilakukan analisis leverage. Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh tiga atribut yang sensitif yang dapat menjadi faktor
pengungkit leverage terhadap nilai indeks dimensi infrastruktur, yaitu 1 jaringan irigasi, 2 jaringan drainase permukiman, dan 3 jaringan listrik.
Perbaikan terhadap ketiga atribut tersebut akan meningkatkan status tingkat kemandirian dimensi infrastruktur lebih signifikan dibandingkan atribut lainnya.
Peningkatan jaringan irigasi akan meningkatkan produktivitas lahan karena memungkinkan penanaman pada musim kemarau. Peningkatan jaringan drainase
permukiman akan meningkatkan kelayakhunian permukiman di kawasan agropolitan. Penyediaan jaringan listrik akan membantu dalam proses pengolahan
hasil karena proses ini akan membutuhkan peralatan-peralatan seperti pencacah, penggilingan, pengeringan maupun pendinginan. Ketiga elemen tersebut
merupakan elemen yang paling sensitif sehingga perbaikan ketiganya akan meningkatkan status kemandirian kawasan agropolitan pada dimensi infrastruktur
Gambar 60.
Leverage of Attributes Infrastruktur
3.47 3.07
2.11 5.49
3.79 4.13
3.86 3.39
1.88 0.44
1 2
3 4
5 6
jalan usahatani jalan poros
jalan penghubung desa- kota
jaringan irigasi jaringan air bersih
jaringan drainase permukiman
jaringan listrik jaringan telekomunikasi
Bangunan penyuluh pertanian
Bangunan penunjang pertanian
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed on Sustainability scale 0 to 100
Gambar 60 Peran masing-masing atribut dimensi infrastruktur yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai rms.
164
4.3.5. Dimensi Suprastruktur
Analisis multiatribut terhadap dimensi suprastruktur memberikah hasil ordinasi sebesar 66,49 pada skala 0-100 Gambar 61. Hasil ini
menunjukkan bahwa dimensi suprastruktur di KAMM secara umum sudah mendekati kemandirian. Namun demikian status kemandirian KAMM tetap perlu
ditingkatkan melaui atribut-atribut yang diperkirakan berpengaruh terhadap nilai indeks dimensi suprastruktur, yang terdiri dari 1 kualitas sumberdaya manusia,
2 ketersediaan kelompok tani, 3 ketersediaan koperasi, 4 ketersediaan lembaga keuanganbank, 5 ketersediaan lembaga penyuluhan, 6 ketersediaan
lembaga sosial, 7 ketersediaan lembaga konsultasi agribisnis, dan 8 badan pengelola kawasan agropolitan. Untuk melihat atribut-atribut yang sensitif
memberikan pengaruh terhadap nilai indeks kemandirian dimensi suprastruktur, dilakukan analisis leverage.
RAPAGROP Ordination
66.49
DOWN UP
BAD GOOD
-60 -40
-20 20
40 60
20 40
60 80
100 120
Dimensi Suprastruktur
Gambar 61 Indeks tingkat kemandirian kawasan agropolitan pada dimensi suprastruktur KAMM.
Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh tiga atribut yang sensitif yang dapat menjadi faktor pengungkit leverage terhadap nilai indeks dimensi
suprastruktur, yaitu 1 ketersediaan lembaga penyuluhan, 2 ketersediaan lembaga keuangan, dan 3 ketersediaan koperasi Gambar 62. Ketersediaan dan
keberfungsian lembaga penyuluhan membantu petani meningkatkan produktivitas usahataninya. Lembaga keuangan membantu petani dalam penyediaan modal,
terutama bagi petani yang belum mampu berusaha dengan modal sendiri.
165
165 Koperasi berperan dalam penyediaan sarana produksi dan pemasaran hasil
usahatani. Perbaikan ketiga faktor tersebut akan mendorong peningkatan status dimensi suprastruktur lebih baik dibandingkan dengan atribut lainnya.
Leverage of Attributes Suprastruktur
2.76 4.37
5.76 5.86
6.03 5.51
4.43 1.51
1 2
3 4
5 6
7 kualitas SDM
masyarakat ketersediaan kelompok
tani ketersediaan koperasi
ketersediaan lembaga keuanganbank
ketersediaan lembaga penyuluhan
ketersediaan lembaga sosial
Ketersediaan lembaga konsultasi Agribisnis
Badan Pengelola Kawasan agropolitan
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed on Sustainability scale 0 to 100
Gambar 62 Peran masing-masing atribut dimensi suprastruktur yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai rms.
4.3.6. Indeks Gabungan
Hasil analisis tingkat kemandirian kawasan agropolitan dengan MDS berdasarkan teknik rapid appraisal modifikasi dari rapfish pada dimensi
usahatani, agroindustri, pemasaran, infrastruktur dan suprastruktur menunjukkan indeks gabungan kemandirian kawasan sebesar 63.31 pada skala 0-100
Tabel 37. Nilai ini diperoleh berdasarkan penilaian 44 atribut dari lima dimensi kemandirian tersebut. Indeks tersebut diperoleh dengan menggabungkan seluruh
dimensi yang diteliti dengan pembobotan yang berbeda sesuai dengan pendapat responden. Jika dibuat skala bahwa nilai indeks gabungan 0-24,99 adalah pra
kawasan agropolitan I, 25-49,99 indeks pra kawasan agropolitan II, 50- 74,99 adalah kawasan agropolitan, dan Indeks 75-100 adalah kawasan
agropolitan mandiri, maka nilai indeks gabungan KAMM sebesar 63,31 termasuk ke dalam kategori “kawasan agropolitan” sekalipun belum mandiri.
Nilai indeks gabungan tersebut menunjukkan tingkat kemandirian KAMM sudah cukup baik. Namun demikian dalam rangka menuju kawasan agropolitan mandiri
beberapa dimensi masih perlu ditingkatkan melalui perbaikan terhadap atribut- atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks kemandirian.
166 Tabel 37 Hasil analisis MDS untuk menentukan tingkat kemandirian KAMM
Dimensi Agropolitan
Indeks Rap-agro Bobot
Indeks Terboboti
Usahatani 84.62 0.49
41.49 Agroindustri 15.64
0.16 2.57 Pemasaran 51.35
0.25 12.87
Infrastruktur 73.26 0.06 4.39
Suprastruktur 66.49 0.04 1.99
Indeks Gabungan 63.31
Sebagaimana telah diuraikan di atas, dimensi tingkat kemandirian kawasan agropolitan yang paling prioritas ditingkatkan adalah dimensi agroindustri
Gambar 63. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa agroindustri belum berkembang di KAMM sehingga nilai tambah yang dapat dinikmati oleh kawasan
ini dari produk olahan hortikultura yang dihasilkan belum optimal. Sebagian besar produk yang dihasilkan dari KAMM dijual dalam bentuk produk primer.
Nilai tambah yang dihasilkan dari pengolahan produk tersebut akan dinikmati oleh kawasan di luar agropolitan.
Gambar 63 Diagram layang-layang tingkat kemandirian KAMM .
Prioritas berikutnya yang perlu ditingkatkan adalah aspek pemasaran. Sekalipun sub-terminal agribisnis STA sudah ada dan berfungsi cukup baik,
tetapi sebagian besar pemasaran dilakukan tanpa sistem yang baik. Pedagang perantara di STA senantiasa berebut barang dagangan yang dibawa ke STA oleh
84.62
15.64
51.35 73.17
66.49 20
40 60
80 100
Usahatani
Agroindustri
Pemasaran Infrastruktur
Suprastruktur
167
167 pedagang pengumpul desa atau oleh petani, kemudian pedagang perantara di STA
tersebut menjual barang ke pedagang pengumpul dari luar kawasan. Di KAMM agroindustri komoditas unggulan sayur-sayuran belum berkembang secara
signifikan. Sebagian besar produk komoditas unggulan yang diproduksi di kawasan tersebut umumnya dijual dalam bentuk produk primer tanpa ada
perlakuan pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah. Hanya sebagian kecil saja, untuk tujuan pemasaran ke luar Pulau Jawa ada perlakuan pemberian bahan
untuk memperlambat hilangnya kadar air dan pengepakan.
4.3.7. Agroindustri Sebagai Upaya Meningkatkan Kemandirian KAMM
Agroindustri adalah industri berbasis pertanian yang meliputi industri pengolahan pertanian dalam arti luas dan jasa penunjangnya. Agroindustri
memiliki keunggulan karena 1 berbasis pada potensi SDA dalam negeri, sehingga dapat memulihkan dan memacu pertumbuhan ekonomi, 2
industrialisasi sektor pertanian dalam rangka meningkatkan nilai tambah dan daya saing, 3 sebagai strategi pemberdayaan ekonomi masyarakat, 4 sifat sektor
pertanian yang bertumpu pada proses biologis dengan memanfaatkan SDA di wilayah perdesaan, 5 karakteristik sektor pertanian sebagai bahan baku indiustri
yang mudah rusak dan tergantung pada alam, dan 6 karakteristik sektor industri memiliki fleksibilitas tinggi.
Keberadaan agroindustri dalam sistem pengembangan kemandirian KAMM, merupakan penyempurna yang merangkai semua komponen menjadi satu
kesatuan pengembangan yang kuat, utuh dan menyeluruh. Ini berarti bahwa pengembangan agroindustri mempunyai keterkaitan ke depan memenuhi
permintaan pasar melalui penguatan industri hilir dan ke belakang memberikan nilai tambah terhadap produk pertanian. Keterpaduan yang dibangun melalui
pengembangan agroindustri mempunyai dimensi yang amat luas mulai dari penguatan pasar hasil pertanian sampai dengan pembentukan nilai tambah dan
daya saing komoditas pertanian, seperti disajikan pada gambar 64.
168
Source : Schffrus, Schorader, and earle 1998 dalam Tajudin 2007
Gambar 64. Sistem Pengembangan agribisnis dan KAMM Peran agroindustri di KAMM sangat penting dalam rangka menuju kawasan
agropolitan mandiri. Kesadaran bahwa pembangunan pertanian dalam konteks global dinilai tidak bermakna dalam era globalisasi karena terjadinya peningkatan
mobile capital dan adanya kebijakan yang mendorong investasi di KAMM. Hal
ini menyebabkan munculnya pemikiran yang berpihak pada sektor non-pertanian justru yang lebih potensial untuk mengurangi kemiskinan Haggblade, Hazell, and
Reardon, 2001. Menafikan keberadaan pertanian yang dinamis dalam situasi keterbatasan pembiayaan, keberadaan tenaga kerja, dan kekurangan pengajaran
memperjelas hubungan antara sektor non-pertanian dan ketimpangan pendapatan Reardon at al., 2000. Bank Dunia meyakini bahwa tantangan dunia ketiga
adalah pembangunan struktur pertanian dan standar kehidupan petani Harriss, 1992. Disinilah peran industrialisasi perdesaan berbasis pertanian sangat penting.
169
169 Pengembangan agroindustri di KAMM merupakan upaya untuk
meningkatkan kemandirian dalam menunjang pengembangan kawasan agropolitan mandiri. Inti dari upaya tersebut adalah bergerak meninggalkan
pertanian subsisten dan berstruktur tradisional menjadi lebih modern dan komersial atau bisnis. Ini berarti pengembangan KAMM tidak dibelenggu dengan
perbaikan produktivitas dan pendapatan pertanian, tetapi harus dikaitkan dengan penciptaan kesempatan kerja non-pertanian melalui pertumbuhan usaha kecil dan
menengah UKM Rehber 1998. Sektor penghubung yang dapat mensinergiskan industri non-pertanian dengan kegiatan pertanian adalah agroindustri yang
memungkinkan petani menginvestasi lebih pada usahatani mereka Galor 1998. Secara alami, agroindustri melibatkan banyak tahapan dan proses, sehingga
memerlukan berbagai keterampilan dalam setiap tahapan sistem pengembangan agroindustri, seperti disajikan pada Gambar 65. Tahapan dan proses dalam sistem
pengembangan agroindustri di KAMM meliputi 1 tahapan pengumpulan produk pertanian bahan baku dalam bentuk primer, 2 tahapan industri pengolahan dalam
bentuk produk sekunder intermediate product dan produk tersier final product, dan 3 tahapan pemasaran produk. Kekurangan dalam keterampilan berakibat
pada mutu produk menjadi sangat rendah. Keterbatasan keterampilan disebabkan oleh berbagai faktor antara lain pendidikan rendah, kurangnya pelatihan, motivasi
dan insentif rendah, dan kurangnya paparan terhadap sistem yang lebih baik. Konsekwensi logis dari kurangnya keterampilan adalah i produk yang dihasilkan
bermutu rendah, ii kemungkinan pencemaran bahan berbahaya, iii pengelolaan usaha dan pasar kurang baik, iv tidak ada pengembangan produk, dan v tidak
ada inovasi dan penemuan baru. Keterbatasan penggunaan teknologi yang efisien dan modern dapat
dikatakan sebagai ciri dari agroindustri perdesaan. Hal ini dapat diamati dalam berbagai agroindustri pengolahan komoditas hortikultura seperti sayur-sayuran
dan buah-buahan. Teknologi tradisional tidak efektif biaya not-cost effective dan tidak mampu menghasilkan produk bermutu tinggi. Hal ini menyebabkan biaya
produksi tinggi karena penggunaan teknologi yang tidak tepat. Untuk menghasilkan produk yang sama sering digunakan teknologi yang sangat berbeda
sehingga mutu produk sangat beragam dan tidak memiliki standar. Keberagaman
170 mutu adalah penyebab ketidakpastian yang menghambat penguasaan dan
perluasan pasar.
Gambar 65 Sistem pengembangan agroindustri di KAMM
4.3.8. Industri Kreatif Produksi Bersih sebagai sebuah Inovasi
Agroindustri di KAMM
Industri kreatif merupakan sebuah inovasi dalam pengembangan agroindustri di KAMM dalam menuju kawasan agropolitan mandiri. Porter, et al.
1999 berpendapat bahwa kesejahteraan harus diawali dengan perbaikan produktivitas dan peningkatan nilai tambah melalui pengolahan hasil yang
berkualitas dan berdaya saing. Nisbah antara output terhadap input atau kapasitas untuk melakukan perbaikan produksi dan pengolahan hasil merupakan ukuran
daya saing usaha. Semakin tinggi produktivitas maka semakin baik daya saing usaha tersebut, dan semakin kreatif dalam melakukan tahapan dan proses
171
171 pengolahan hasil maka semakin tinggi pula nilai tambah added value yang akan
didapatkan. Hal ini berlaku umum bagi semua usaha industri dalam semua skala baik kecil, menengah, maupun besar. Persaingan produktivitas dan nilai tambah
added value akan dapat dimenangkan melalui sebuah inovasi industri kreatif dan produksi yang bersih. Inovasi diperlukan untuk meningkatkan pendapatan
keuntungan. Kegiatan pengembangan produksi bersih merupakan upaya yang dapat
mengurangi jumlah bahan berbahaya, polutan atau kontaminan yang terbuang melalui saluran pembuangan limbah atau terlepas ke lingkungan termasuk emisi-
emisi yang cepat menguap di udara sebelum didaur ulang, diolah atau dibuang. Produksi bersih tidak saja menyangkut proses produksi, tetapi juga menyangkut
pengelolaan seluruh daur produksi, dimulai dari pengadaan bahan baku pembantu, proses dan operasionalnya, hasil produksi dan limbahnya, sampai ke
distribusi dan konsumsi. Di dalamnya menyangkut pula masalah pola pikir, sikap dan tingkah laku baik pemerintah, masyarakat maupun dunia usaha.
Proses produksi kotor dan industri pengolahan tanpa kreatifitas dengan metode biasa tidak akan mampu menghasilkan keuntungan yang tinggi. Lebih dari
itu, inovasi diperlukan dalam konteks persaingan antar wilayah dan bahkan antar negara karena semuanya berupaya menciptakannya untuk mengokohkan
persaingan nasional maupun internasional. Dalam konteks global, konsumen akan memilih yang berkualitas baik dengan harga yang rendah tanpa memperhatikan
asal usul produk tersebut. Inovasi melalui pengembangan industri kreatif dan produksi bersih adalah
sebuah simpul penting yang dapat memperbaiki produktivitas, menyederhanakan tahapan proses, serta memperbaiki penampilan dan rasa, pada akhirnya akan
meningkatkan nilai ekonomi di KAMM. Agroindustrialisasi dalam rangka meningkatkan kemandirian KAMM
dengan skala usaha yang sangat terbatas, baik secara teknis maupun ekonomis, maka tidak ada pilihan kecuali melakukan inovasi melalui industri kreatif dan
produksi bersih untuk memperoleh nilai tambah added value komoditas pertanian di KAMM. Pada tahap awal pengembangan agroindustri di KAMM,
adalah mengupayakan secara maksimal perbaikan mutu melalui standarisasi
172 proses dan peralatan. Mutu produk yang tetap bagus, kreatif, dan bersih akan
membangun kepercayaan konsumen sehingga perluasan pasar akan dapat dilakukan dengan mudah.
4.3.9. Kemitraan sebagai sebuah alternatif solusi Peningkatan Kemandirian
KAMM
Dalam buku Indonesia Business Links 2001 dijelaskan kemitraan adalah hubungan antar-sektor yang mencakup perorangan, kelompok atau organisasi
yang setuju untuk bekerjasama memenuhi kewajiban atau mengerjakan tugas tertentu; menanggung bersama resiko dan manfaatnya; dan meninjau kembali
hubungan tersebut secara teratur, dan merevisi persetujuan sesuai dengan kebutuhan.
Pendapat lain mengemukakan model kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk
menciptakan keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan, membesarkan Hafsah, 1999, mengembangkan serta memiliki kesetaraan antar
stakeholders yang bermitra. Bersinergi antar stakeholders yang memiliki
resources berbeda merupakan suatu kegiatan kemitraan. Kemitraan dalam bentuk
seperti ini merupakan suatu proses yang dibutuhkan bersama oleh pihak yang bermitra dengan tujuan untuk menciptakan nilai tambah serta mendapatkan
manfaat. Pola kemitraan yang saling memberikan manfaat dan menguntungkan, saling membutuhkan, dan saling memperkuat, kelompok produsen dan dunia
usaha yang bermitra akan lebih mampu bersaing di pasar lokal, nasional, maupun global.
Era pasar global dituntut menghasilkan produk-produk berkualitas tinggi, aman untuk dikonsumsi, bermanfaat, ramah lingkungan, serta harga terjangkau.
Menghasilkan produk-produk yang memenuhi standar global dibutuhkan inovasi- inovasi produk secara berkelanjutan. Melalui pola kemitraan akan sangat
memungkinkan untuk menciptakan produk dan industri yang memiliki daya saing dalam suatu kawasan agropolitan.
Prinsip kemitraan secara umum dapat diidentifikasi terdiri dari tiga prinsip dasar yang dapat dijadikan titik awal yang kuat bagi semua stakeholders untuk
173
173 bekerja sama, yaitu kesetaraan, transparansi, bermanfaat dan saling
menguntungkan bagi semua stakeholders. Kemitraan akan menjadi suatu wahana bagi semua stakeholders untuk
berdialog tidak terbatas pada bagaimana mengembangkan komoditas unggulan, tetapi juga akan bisa membahas tentang perencanaan, mekanisme, mobilitas
sumber daya, jaringan, regulasi, kebijakan, dan yang lebih penting lagi kebersamaan untuk meningkatkan kemandirian KAMM agar menjadi kawasan
agropolitan mandiri melalui pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya yang dimiliki.
Pihak-pihak yang terkait secara langsung dalam kemitraan terdiri atas stakeholders
dalam satu komunitas yang terlibat dalam pengembangan KAMM. Stakeholders
dimaksud mulai dari penyedia prasarana dan sarana, pra-produksi, pengolahan hasil, pendanaan, pemasaran, publikasi, pendampingan, hingga
kebijakan. Berdasarkan hal-hal tersebut, kemitraan dalam peningkatan kemandirian KAMM terdiri atas beberapa stakeholders yaitu produsen petani,
pengrajin dan organisasinya, pengusaha dan organisasinya, pemerintah, masyarakat LSM, tokoh masyarakat, perguruan tinggi dan lembaga penelitian.
Kemitraan akan menghasilkan banyak manfaat, antara lain bagi kelompok produsen petani dan pengrajin terjadi peningkatan harga jual komoditas dan
kemudahan akses pasar karena pembeli komoditas tersebut adalah salah satu anggota kemitraan yang dapat menjamin harga lebih baik dengan kualitas tertentu.
Disisi lain, produsen harus meningkatkan kualitas produk komoditi yang mereka hasilkan. Manfaat bagi pengusaha akan menerima peningkatan jumlah produk
dengan kualitas yang baik dari produsen. Selain itu, keluhan-keluhan pengusaha dalam melakukan bisnis industrialisasi di KAMM akan direspon oleh pemerintah
dengan memberikan kemudahan regulasi bagi pengusaha dan kemudahan lain dalam bentuk pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan produsen dan investor
untuk mengembangkan agroindustri dalam meningkatkan kemandirian KAMM.
4.4 Analisis Model Pembangunan Infrastruktur Berkelanjutan KAMM 4.4.1 Analisis Kebutuhan
Analisis kebutuhan need analysis bertujuan mengidentifikasi kebutuhan setiap
174 stakeholders
yang terlibat dalam pembangunan infrastruktur berkelanjutan KAMM. Stakeholders yang terkait dengan pembangunan infrastruktur
berkelanjutan KAMM terdiri dari unsur : Pemerintah, Swasta, PenelitiPakar, MasyarakatPetani, DPRD, dan LSM. Hasil analisis kebutuhan stakeholders
dalam pembangunan infrastruktur berkelanjutan KAMM disajikan pada Tabel 38.
4.4.2 Formulasi
Masalah
Formulasi masalah merupakan identifikasi dari kebutuhan stakeholders yang kontradiktif, yang dapat menyebabkan terjadinya konflik kepentingan. Dari
hasil analisis kebutuhan stakeholders, teridentifikasi beberapa kebutuhan yang kontradiktif, antara lain :
1 Konflik penggunaan lahan untuk pembangunan infrastruktur :
Pemerintah menginginkan adanya sebuah acuan dalam pembangunan kawasan agropolitan berupa rencana umum tata ruang RUTR dan master plan
kawasan agropolitan, sehingga pembangunan sektor-sektor yang ada di dalamnya dapat lebih terarah dan terkendali agar tidak menimbulkan masalah
dikemudian hari. RUTR dan master plan KAMM yang berisikan ketentuan dan peraturan-peraturan serta zonasi-zonasi penggunaan lahan yang tidak boleh
dilanggar penggunaannya. Sebaliknya menurut keinginan pihak swasta dan masyarakat, peraturan-peraturan dan zonasi-zonasi yang telah ditentukan dalam
RUTR dan master plan KAMM, menjadi hal yang kurang diinginkan mereka karena membatasi kebebasan untuk membangun kebutuhan lahan.
Kondisi yang ditemui di lapangan, adanya pembangunan sarana pengolahan hasil berupa packing house milik para petani yang sekaligus
merangkap sebagai pedagang pengepul, yang dibangun menempel dengan bangunan rumah dan sangat dekat dengan jalan raya sehingga aktifitasnya
menimbulkan kesemrawutan lingkungan, tata letak tidak beraturan, pembuangan limbah padat hasil sortiran sayur dan limbah cair hasil pencucian sayur tidak
ditangani dengan baik, dan menimbulkan kemacetan lalu lintas karena aktifitas bongkar muat dilakukan di pinggir jalan raya. Berdasarkan RUTR dan master
plan KAMM bahwa lahan untuk area pembangunan industri pengolahan harus dipisahkan dengan lahan untuk area perumahan.
175
175 Tabel 38 Kebutuhan stakeholders dalam pembangunan infrastruktur berkelanjutan
KAMM
No. Stakeholders
Kebutuhan
1. Pemerintah
1.1 Terumuskannya kebijakan pembangunan infrastruktur KAMM
1.2 Tersusunnya Master Plan dan RPJM KAMM
1.3 Terbangunnya infrastruktur yang dapat menunjang agribisnis dan agropolis di KAMM
1.4 Tersedianya lahan untuk pembangunan infrastruktur kawasan agropolitan
1.5 Peningkatan pendapatan
petani 1.6 Produksi pertanian meningkat
1.7 Terciptanya lapangan pekerjaan 2. Swasta 2.1 Tersedianya kegiatan jasa dibidang pembangunan
infrastruktur di kawasan agropolitan 2.2
Terciptanya persaingan usaha yang sehat dan transparan dibidang pembangunan infrastruktur
2.3 Terbangunnya infrastruktur yang dapat menunjang pengembangan agribisnis dan agropolisnya
2.4 Menginginkan adanya kemudahan memperoleh modal
usaha pembangunan infrastruktur 2.5 Margin
keuntungan tinggi
3. PenelitiPakar 3.1
Terwujudnya konsep pembangunan kawasan agropolitan berkelanjutan
3.2 Hasil penelitian ditindaklanjuti oleh para stakeholders
3.3 Berkembangnya inovasi-inovasi baru dalam mendorong
terwujudnya kawasan agropolitan berkelanjutan 3.4
Terimplementasikannya teknologi tepat guna hasil penelitian
176 Tabel 38 Kebutuhan stakeholders dalam pembangunan infrastruktur berkelanjutan
KAMM lanjutan
No. Stakeholders
Kebutuhan
4. Masyarakat
Petani 4.1
Tersedianya infrastruktur yang dapat meningkatkan produksi, pengolahan dan pemasarkan hasil pertanian
4.2 Tersedianya infrastruktur permukiman yang layak bagi
masyarakatpetani 4.3
Tersedianya infrastruktur yang dapat mempermudah perolehan saprodi dengan harga yg terjangkau
4.4. Peningkatan pendapatan
petani 4.5 Terjalinnya kemitraan antara pemerintah, swasta dan
masyarakatpetani 4.6 Produksi
pertanian meningkat
5. DPRD 5.1
Adanya regulasi yang dapat mendorong iklim usaha dan pembangunan infrastruktur kawasan agropolitan
5.2 Adanya alokasi APBD I-II yang dapat menyentuh langsung kehidupan masyarakat di wilayah perdesaan
5.3 Tersedianya pelayanan infrastruktur yang dapat menunjang kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat
6. LSM 6.1 Terwujudnya kontrol sosial dalam mewujudkan
pembangunan infrastruktur berkelanjutan di KAMM 6.2 Tidak terjadi konflik sosial dimasyarakat akibat
pembangunan infrastruktur 6.3
Penguatan kelembagaan di bidang pengembangan infrastruktur
2 Porsi pembangunan infrastruktur yang tidak seimbang :
Berdasarkan kebijakan yang dituangkan dalam RPJMN 2005-2009 dan PP No. 38 Tahun 2007, serta beberapa perundang-undangan lainnya, bahwa pemerintah
telah membagi kewenangan pembangunan infrastruktur antara pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, swasta dan masyarakat. Porsi pembangunan yang menjadi
tugas pemerintah pusat adalah membangun infrastruktur yang bersifat strategis
177
177 dan primer, sedangkan pemerintah provinsi dan kabupaten membangun
infrastruktur yang bersifat sekunder, dan infrastruktur yang bersifat tersier dan individual menjadi tugas dari pihak swasta dan masyarakat.
Implementasi di lapangan ditemui bahwa mayoritas pembangunan infrastruktur yang bersifat primer dan sekunder dibangun oleh pemerintah pusat,
provinsi, dan kabupaten dengan konstruksi permanen seperti pembangunan jalan poros desa dan antar desa-kota dengan perkerasan aspal, pembangunan saluran
air baku dengan pasangan batu kali, pembangunan sarana pemasaran berupa pasar dan sub terminal agribisnis STA secara permanen. Sedangkan
pembangunan infrastruktur yang bersifat tersier dan individual, seperti jalan usahatani farm-road skala kecil pejalan kaki menuju masing-masing lahan
petani hanya dibuat berupa pematang lahan yang terdiri dari tanah, pembuatan saluran tersier air baku hanya terdiri dari galian tanah di sisi pematang lahan,
serta pembangunan packing house yang tidak permanen. Porsi pembiayaan pembangunan infrastruktur antara yang dibangun oleh
pemerintah dengan swasta dan masyarakat di KAMM kelihatan sangat tidak seimbang karena masih didominasi oleh pembiayaan dari pemerintah. Namun
dari kesepakatan yang telah dituangkan dalam master plan KAMM bahwa porsi pembiayaan ini akan bergeser ke pihak pemerintah kabupaten, swasta dan
masyarakat pasca fasilitasi tiga tahun dari pemerintah pusat.
3 Konflik pelestarian SDA dan Lingkungan : Berdasarkan UU No. 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, bahwa dalam rangka mendayagunakan sumberdaya alam dan melestarikan lingkungan hidup yang
serasi, selaras, dan seimbang guna menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup, maka sangat diperlukan peran
dan partisipasi dari seluruh stakeholders, yang meliputi pemerintah, swasta, dan masyarakat.
Kondisi yang ditemui di lapangan, kurangnya peran dan partisipasi pihak swasta dan masyarakatpetani dalam melestarikan sumberdaya alam dan
lingkungan. Kondisi ini terlihat dari dimanfaatkannya lahan-lahan yang berada pada kemiringan tinggi untuk tempat lahan pertanian, yang seharusnya disisakan
untuk daerah konservasi lahan dan pelestarian hutan lindung. Kondisi lainnya
178 yang bertentangan dengan kaidah-kaidah konservasi lahan, yaitu tidak adanya
usaha pihak masyarakatpetani untuk mengupayakan konservasi melalui pembuatan tanggul-tanggul penahan air berupa teras-teras bangku pada lahan-
lahan dengan kemiringan tinggi. Banyak dijumpai lahan-lahan pertanian pada lereng-lereng gunung merapi-merbabu, dengan alasan efisiensi luas lahan
mengolah lahan kritis tanpa adanya kemauan untuk membuat teras-teras bangku yang bisa menghambat laju aliran air hujan di permukaan lahan pertanian,
sehingga air hujan langsung mengalir ke bawah dan menimbulkan erosi.
4.4.3 Identifikasi Sistem Kawasan Agropolitan
Kawasan agropolitan berbasis komoditas hortikultura sayuran secara umum memiliki kegiatan utama usahatani sayuran, agroindustri pengolahan sayuran
menjadi produk sekunder, dan pemasaran produk sayuran dalam bentuk segar maupun olahan. Peningkatan jumlah penduduk akan meningkatkan jumlah petani
sayuran yang pada akhirnya meningkatkan aktivitas usaha tani sayuran. Peningkatan aktivitas usahatani akan meningkatkan jumlah produk sayuran yang
dihasilkan sehingga pemasaran sayuran segar juga akan meningkat. Peningkatan aktivitas pemasaran produk sayuran juga dipengaruhi oleh peningkatan jumlah
penduduk dari sisi peningkatan jumlah permintaan akan sayuran ataupun peningkatan jumlah masyarakat yang terlibat dalam aktivitas pemasaran sayuran
segar. Peningkatan aktivitas pemasaran akan meningkatkan nilai ekonomi kawasan dan pendapatan masyarakat yang selanjutnya akan berdampak terhadap
tingkat kesejahteraan dan pertumbuhan penduduk. Peningkatan aktivitas usahatani sayuran dapat menumbuhkan aktivitas pengolahan produk segar
menjadi produk olahan dalam rangka untuk meningkatkan nilai tambah dan menjaga stabilitas harga karena produk segar bersifat sangat mudah rusak.
Sekalipun dari satu sisi tumbuhnya agroindustri akan menurunkan pemasaran produk segar di pasaran, tetapi dari sisi lain, pemasaran produk olahan
memberikan nilai tambah yang lebih tinggi yang akan menyebabkan peningkatan nilai ekonomi kawasan lebih tinggi pula.
Sistem tersebut akan dapat berlangsung dengan lebih baik jika didukung oleh infrastruktur yang memadai. Dalam pengembangan kawasan agropolitan,
179
179
Penduduk
Usahatani Sayuran
Pemasaran Segar
+
Nilai Ekonomi Kawasan
Pendapatan Masyarakat
Pemasaran Olahan
Pengolahan Sayuran
Pembangunan infrastruksur
Petani +
+ +
+ +
+ +
+ +
+ +
+
+ +
+
- -
diperlukan infrastruktur yang mendukung bergeraknya subsistem-subsistem usahatani, agroindustri dan pemasaran produk, serta infrastruktur yang
mendukung perkembangan permukiman. Diagram sebab akibat dalam pengembangan kawasan agropolitan disajikan pada Gambar 66.
Gambar 66 Causal loop model peyediaan infrastruktur kawasan agropolitan berbasis komoditas hortikultura sayuran.
Infrastruktur utama bagi kawasan agropolitan berbasis komoditas sayuran antara lain adalah jalan jalan usahatani, jalan poros antar desa dan jalan
penghubung desa-kota, infrastruktur air air irigasi dan air bersih, jaringan drainase, dan bangunan pendukung sub terminal agribisnis, packing house dan
cold storage , dan bangunan penyuluh pertanian lapangan. Jaringan jalan,
terutama jalan poros dan jalan usahatani, mendukung peningkatan usahatani melalui peningkatan jumlah sarana produksi yang mampu diangkut ke lahan, dan
hasil panen yang diangkut ke tempat pengumpul dan pemasaran. Sarana irigasi meningkatkan usahatani melalui penambahan ketersediaan air pertanian sehingga
frekuensi penanaman dapat ditingkatkan pada musim kemarau. Jaringan jalan, terutama jalan poros dan penghubung, juga menunjang
peningkatan kegiatan agroindustri melalui peningkatan jumlah produk yang diangkut ke lokasi packing house atau pabrik pengolah. Jaringan jalan tersebut
180 juga menunjang peningkatan pemasaran melalui jumlah produk yang dapat
diangkut antar desa, kota di dalam kawasan maupun ke luar kawasan. Infrastruktur bangunan sub terminal agribisnis STA atau pasar sayuran
mendukung kegiatan pemasaran melalui kemudahan proses pemasaran sehingga akumulasi produk usahatani maupun hasil pengolahan yang dapat dipasarkan
meningkat. Peningkatan pasar juga dapat ditunjang oleh aksesibilitas pasar melalui jaringan telekomunikasi. Keberadaan packing house dan cold storage
mendukung peningkatan agroindustri baik dalam bentuk pengolahan sayuran menjadi sayuran dalam kemasan intermediate product ataupun pengolahan cabai
segar menjadi menjadi cabai giling serbuk final product. Pembangunan infrastruktur dapat tercapai melalui ketersediaan anggaran
pembangunan, salah satunya melalui peningkatan pendapatan asli daerah PAD kawasan agropolitan. PAD kawasan dapat secara tidak langsung akan meningkat
sejalan dengan peningkatan aktivitas perekonomian yang terjadi di kawasan yang dapat diukur berdasarkan peningkatan nilai ekonomi kawasan.
Pada rancangan model sistem pengembangan kawasan agropolitan, terdapat input terkontrol, input tidak terkontrol, dan input lingkungan. Selain itu terdapat
juga output yang dikehendaki dan input yang tidak dikehendaki Gambar 67. Identifikasi sistem berdasarkan data primer pendapat pakar, data sekunder dan
pengamatan di lapangan dapat dikelompokkan bahwa input terkontrol di dalam sistem pengembangan kawasan agropolitan meliputi antara lain manajemen
usahatani, kerjasama lintas sektor, keterampilan petani, kualitas dan kuantitas sarana prasarana, kelembagaan, infrastruktur penunjang usahatani dan
agroindustri, infrastruktur pemasaran, dan modal investasi. Input yang tidak terkontrol yang dapat mempengaruhi kinerja sistem antara lain harga sarana
produksi dan harga produk yang ditentukan oleh mekanisme pasar, gangguan hama dan penyakit tanaman, tingkat suku bunga bank, kondisi iklim dan cuaca,
kondisi lahan pertanian, sosial budaya petani dan laju pertambahan penduduk. Input lain yang berpengaruh terhadap sistem antara lain adalah kebijakan
pemerintah dalam pengembangan kawasan agropolitan dan kondisi agroklimat kawasan. Input tersebut diharapkan dapat menghasilkan output berupa kawasan
agropolitan mandiri yang berkelanjutan, peningkatan kesejahteraan masyarakat,
181
181
Input Terkontrol
− Manajemen usahatani − Kerjasama lintas sektor.
− Keterampilan petani − Kualitas dan kuantitas sarana
prasarana. − Kelembagaan.
− Infrastruktur penunjang usahatani dan agroindustri
sayuran − Infrastruktur penunjang
pemasaran − Modal investasi
Output Tidak Diinginkan
− Alih fungsi lahan. − Konflik antar masyarakat.
− Kerusakan lingkungan. − Masyarakat menjadi miskin.
− Ketimpangan pendapatan. − Kelebihan produksi dan
kesulitan pemasaran produk pertanian.
− Berkembang pesatnya sektor non pertanian di kawasan
agropolitan
Output yang Dikehendaki
:
− Kawasan agropolitan mandiri yang berkelanjutan.
− Peningkatan kesejahteraan masyarakat
− Peningkatan lapangan kerja. − Peningkatan nilai ekonomi
produk di kawasan − Peluang investasi meningkat
− Produktivitasnilai tambah meningkat
Input Lingkungan :
− Kebijakan Pemerintah dalam Pengembangan
Kawasan Agropolitan. − Agroklimat kawasan
Input Tak Terkontrol:
− Harga sarana produksi − Penyakit dan hama
− Tingkat suku bunga bank − Kondisi iklim dan cuaca.
− Kondisi lahan pertanian. − Harga produk.
− Kondisi sosial budaya. − Laju pertambahan penduduk
Model Pembangunan Infrastruktur Berkelanjutan
Dalam Mendukung Pengembangan KAMM
Manajemen Pengendalian dan
Pengembangan
peningkatan lapangan pekerjaan, peningkatan ekonomi kawasan, peningkatan peluang investasi dan produktivitas serta nilai tambah komoditas di kawasan.
Gambar 67 Diagram input-output pembangunan infrastruktur kawasan agropolitan berbasis komoditas hortikultura sayuran.
Pada pengembangan kawasan ada beberapa output yang tidak diharapkan tetapi berpeluang terjadi sebagai akibat proses pembangunan kawasan agropolitan,
antara lain terjadinya alih fungsi lahan, konflik kepentingan antar stakeholders, kerusakan lingkungan, meningkatnya angka kemiskinan karena tidak meratanya
distribusi pendapatan, ketimpangan pendapatan antar masyarakat, kelebihan produksi dan kesulitan pemasaran, dan berkembang pesatnya sektor non pertanian
di kawasan agropolitan. Oleh karena itu fungsi pengelolaan harus dapat berjalan dengan baik dalam pengendalian dan pengembangan kawasan sehingga output
yang tidak diharapkan dapat dikelola menjadi input yang dapat dikendalikan.
182
4.4.4 Simulasi Model Pembangunan Infrastruktur KAMM
Model dinamik pengembangan infrastruktur kawasan agropolitan berbasis komoditas unggulan sayuran dibangun melalui logika hubungan dan interaksi
antar komponen terkait. Komponen-komponen tersebut antara lain meliputi pertumbuhan penduduk, luas lahan pertanian dan kawasan lindung, produksi
usahatani, pemasaran produk sayuran segar, pengolahan hasil usahatani, pemasaran produk olahan, infrastruktur penunjang usahatani, penunjang
pemasaran, penunjang pengolahan hasil, dan nilai ekonomi produk kawasan agropolitan, dan penyerapan tenaga kerja. Keterkaitan antar komponen tersebut
dikelompokkan ke dalam sub-sub model: 1 penduduk, 2 penggunaan lahan, 3 usahatani, pengolahan, dan pemasaran, 4 infrastruktur penunjang usahatani,
pengolahan dan pemasaran, 5 nilai ekonomi kawasan, dan 6 tenaga kerja. Perkembangan jumlah penduduk sangat menentukan penggunaan lahan
melalui perkembangan lahan permukiman dan perkembangan luas lahan pertanian. Dinamika perkembangan luas lahan dan pembangunan infrasturktur
usahatani menentukan laju produksi usahatani melalui peningkatan produktivitas usahatani. Selanjutnya dimanika produksi hasil pertanian, ketersediaan
infrastruktur penunjang pemasaran bangunan pasar, jalan poros dan jalan penghubung desa kota dan perkembangan agroindustri akan mempengaruhi
dimanika pemasaran produk pertanian dalam bentuk segar maupun produk olahan. Dinamika pemasaran produk usahatani dan produk agroindustri menentukan
dinamika nilai ekonomi kawasan yang pada akhirnya berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan penduduk. Dinamika tingkat kesejahteraan berpengaruh
terhadap dinamika penduduk melalui tingkat harapan hidup masyarakat. Pada sisi lain, aktivitas usahatani dan pemasaran produk secara dinamis juga berpengaruh
terhadap keterserapan tenaga kerja yang berkembang akibat dinamika pertumbuhan jumlah penduduk. Sub-sub model tersebut juga disimulasikan
berkaitan satu sama lain secara logis Gambar 68.
183
183 Gambar 68 Stock flow diagram SFD pembangunan infrastruktur kawasan
agropolitan berbasis komoditas sayuran. Asumsi yang digunakan dalam pengembangan model pembangunan
infrastruktur berkelanjutan dalam mendukung pengembangan kawasan agropolitan mandiri antara lain adalah:
1. Lingkup kawasan meliputi 7 kecamatan, yaitu Kecamatan Grabag, Pakis, Tegalrejo, Candimulyo, Sawangan, Ngablak dan Dukun
Usahatani, Pengolahan dan Pemasaran
Infrastruktur Penunjang Usahatani Infrastruktur Penunjang Pemasaran
Penduduk Ekonomi
Tenaga Kerja
I nfr. Penunjang Pengolahan Hasil
Penggunaan Lahan
JDESKO T_ e x is
JPO RS_ EXI ST STA_ e x is t
I RGS_ EXI ST JUST_ EXI ST
p e m b _ JUST Fr _ TK
k a p j u a lo la h TK_ Tr s p _ la in
TK_ PMSR Fr _ TK_ Ps r _ o l
Fr _ TK_ PMSR Fr _ TK_ O LH
Fr _ TK_ p r o d
EKO N_ AGRI ND EKO N_ AGRB
p e m b _ I RGS p r o d _ ca b a i
p r o d _ ca b a i
p r o p _ ca b a i An g k _ p r i
Lj _ j u a l_ p r i Lj _ j u a l_ p r i
Lj _ j u a l_ p r i
fr _ o la h lj _ p r o d
k a p s j u a l Efe k _ STA
Fr _ s t a Lj _ o la h
Lj _ o la h
Fr _ m ilik Fr _ KK
Pe k e m b _ L_ Ho r t h r g _ p r o d u k _ p r im e r
h a r g a _ o la h TK_ TRSRP
Pe m b _ JDESKO T
Pe m b _ JPO RS RC_ Sa o s
Pb r _ Sa o s _ ca b a i n _ SC
Pe m b _ I n d Pe m b _ I n d
Fr _ n SC FK_ T
KK_ t a n i L_ h o r t
p r o p _ KKt a n i L_ KW S_ AGRO P
Fr _ Lin d u n g
K_ BDY
Pe m b _ STA Pr o d u k t iv it a s
Fk t _ p r o d Pr o d _ p _ h a
Fr _ la h a n _ p e r t a L_ PERT
Fr _ L_ p e r m k L_ PERMK
n _ p r o d _ s t a
e fk _ t r a n s p
Pe n in g _ JPO RS t r a n s p
p e n in g _ JDESKO T Pe n in g _ STA
Lj _ j u a l_ o l Lj _ j u a l_ o l
Fr _ Tr a n s
e fk _ t a n Fr _ t n m _ p r o d
FR_ TNM p e n in g _ I RGS
fr _ L_ UST Fr _ Ju s t _ Lu s t
p e n in g k _ k e t e r s _ s a p r o d
Fr _ Ju s t _ s a p p e n in g _ JUST
EKO N_ TO T
PRO D_ PRI PDDK
RI NCO ME
Fr _ KLHR PEGGR
fr _ p e m _ in f
fr _ p e m _ in f fr _ p e m _ in f
fr _ p e m _ in f
fr _ p e m _ in f fr _ p e m _ in f
Fr _ I MI TK_ O LH
TK_ Pr o d
I NCO ME PDRB_ TO _ I NCO ME
Fr _ EMI HHDP_ KSJH
HHDP
O LAH JKK
PMSO L TK_ TSD
PMSPR Lj _ EMI
Lj _ KMT Lj _ KLHR
Lj _ I MI
184 2. Angka kelahiran di kawasan agropolitan adalah tetap, yaitu 1.39
3. Angka imigrasi ke dalam kawasan adalah tetap, yaitu 0.4 4. Angka emigrasi ke luar kawasan adalah tetap, yaitu 0.25
5. Laju kematian ditentukan oleh harapan hidup rata-rata penduduk, yaitu 86 tahun
6. Ada pengaruh tingkat pendapatan masyarakat terhadap harapan hidup penduduk
7. Kawasan lindung adalah tetap, yaitu 30 dari total kawasan 8. Penyediaan lahan permukiman sekitar 45m
2
jiwa 9. Lahan pertanian adalah 85 dari lahan budidaya
10. Kepemilikan lahan hortikultura setiap KK cenderung semakin berkurang akibat pola warisan antar generasi
11. Ada pengaruh ketersediaan infrastruktur terhadap produktivitas tanaman, jumlah produk yang dipasarkan dan kapasitas pengolahan.
12. Seluruh produk segar yang dihasilkan dari kegiatan usahatani dapat terserap oleh pasar.
13. Seluruh produk olahan dari kegiatan agroindustri dapat terserap oleh pasar 14. Proporsi angkatan kerja setiap tahun adalah tetap yaitu 45 dari jumlah
penduduk 15. Proporsi tenaga kerja yang terlibat secara langsung dalam kegiatan agropolitan
adalah tetap yaitu 50 dari total angkatan kerja. Sedangkan daftar persamaan model dinamik pembangunan infrastruktur
berkelanjutan KAMM dalam menunjang pengembangan kawasan agropolitan mandiri disajikan pada Lampiran 9.
4.4.4.1 Sub Model Penduduk
Stock flow diagram sub model penduduk yang menggambarkan hubungan
beberapa komponen seperti: jumlah kelahiran, imigrasi, kematian, serta emigrasi yang selanjutnya diikuti oleh komponen lainnya disajikan pada Gambar 69.
Pertambahan penduduk ditentukan oleh angka kelahiran dan laju imigrasi sedangkan pengurangan jumlah penduduk disebabkan oleh adanya emigrasi dan
akan kematian.
185
185
Penduduk
Lj_IMI Lj_KLHR
Lj_KMT Lj_EMI
TK_TSD
JKK HHDP
HHDP_KSJH Fr_EMI
PDRB_TO_INCOME INCOME
Fr_TK
Fr_IMI PEGGR
Fr_KLHR RINCOME
PDDK TK_Trsp_lain
Fr_KK
Keterangan: Fr_EMI
= Proporsi jumlah orang yang migrasi ke luar wilayah kawasan agropolitan Fr_IMI
= Fraksi Imigrasi per tahun Fr_KK
= Jumlah jiwa per KK Fr_KLHR
= Angka kelahiran per tahun HHDP
= Harapan hidup rata-rata penduduk JKK
= Jumlah KK di kawasan agropolitan Lj_EMI
= Laju penduduk yang pindah ke luar kawasan agropolitan per tahun Lj_IMI
= Laju pertambahan penduduk karena imgrasi per tahun Lj_KLHR
= Laju pertambahan penduduk karena kelahiran per tahun Lj_KMT
= Laju kematian penduduk di kawasan agropolitan PDDK
= Jumlah penduduk kawasan agropolitan
Gambar 69 Struktur model dinamik untuk sub model penduduk di kawasan agropolitan berbasis komoditas sayuran.
Jumlah penduduk dipengaruhi oleh pertambahan penduduk secara alami yaitu kelahiran dan kematian, serta jumlah penduduk yang migrasi imigrasi dan
emigrasi. Hasil simulasi pertumbuhan penduduk memperlihatkan kecenderungan pertumbuhan positif positive growth naik mengikuti kurva eksponensial pada
tahun simulasi 2005 sampai 2035 30 tahun yang akan datang. Hal ini disebabkan laju tingkat kelahiran lebih besar dibandingkan dengan laju kematian. Namun
demikian, laju pertambahan penduduk ini akan diimbangi oleh adanya kematian dan dapat menyebabkan terjadinya pertumbuhan negatif negative growth apabila
tingkat kematian penduduk jauh lebih besar dari tingkat kelahiran. Hasil simulasi pertumbuhan penduduk disajikan pada Gambar 70 dan Tabel 39. Grafik jumlah
penduduk memperlihatkan prediksi peningkatan yang signifikan mulai tahun 2005 sebanyak 367.019 jiwa sampai menjadi 470.404 jiwa pada tahun 2035.
186
01 Jan 2010 01 Jan 2020
01 Jan 2030 1.000
2.000 3.000
4.000 5.000
6.000
Lj_EMI Lj_IMI
Lj_KLHR Lj_KMT
Tahun P
DDK j
iw a
Gambar 70 Hasil simulasi jumlah penduduk PDDK. Tabel 39 Hasil simulasi pertumbuhan penduduk di KAMM
Time PDDK
Lj_EMI Lj_I MI
Lj_KMT Lj_KLHR
01 Jan 2005 01 Jan 2010
01 Jan 2015 01 Jan 2020
01 Jan 2025 01 Jan 2030
01 Jan 2035 367. 019, 00
382. 518, 47 398. 672, 49
415. 508, 71 433. 055, 93
451. 344, 19 470. 404, 77
917, 55 956, 30
996, 68 1. 038, 77
1. 082, 64 1. 128, 36
1. 176, 01 1. 468, 08
1. 530, 07 1. 594, 69
1. 662, 03 1. 732, 22
1. 805, 38 1. 881, 62
2. 603, 27 2. 713, 21
2. 827, 79 2. 947, 21
3. 071, 68 3. 201, 39
3. 336, 59 5. 101, 56
5. 317, 01 5. 541, 55
5. 775, 57 6. 019, 48
6. 273, 68 6. 538, 63
4.4.4.2 Sub Model Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan di dalam kawasan agropolitan dikelompokkan ke dalam kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung memiliki fungsi
melindungi kawasan lainnya dalam hal konservasi sumberdaya air dan sebagai penyerap dan penyimpan CO2 dari udara. Kawasan lindung di KAMM, berupa
hutan lindung yang berada di lereng gunung Merapi dan Merbabu dengan luas ideal minimum 30 dari kawasan agropolitan secara keseluruhan. Kawasan
budidaya adalah kawasan selain kawasan lindung, dan secara umum dapat dikelompokkan ke dalam kawasan produksi pertanian dan non pertanian, serta
kawasan permukiman. Lahan pertanian sekitar 85 dari luas kawasan budidaya sedangkan sisanya adalah lahan produksi lainnya, seperti industri dan
pertambangan yang ada di kawasan. Lahan permukiman meliputi lahan yang
187
187 digunakan untuk perumahan dan sarana prasarana permukiman. Lahan
hortikultura adalah bagian dari lahan pertanian yang perkembangannya sangat ditentukan oleh jumlah keluarka petani dan kepemilikan rata-rata setiap petani.
Stock flow diagram sub model penggunaan lahan disajikan pada Gambar 71.
Penggunaan Lahan
L_PERMK Fr_L_permk
Pekemb_L_Hort L_PERT
Fr_lahan_perta
PDDK K_BDY
Fr_Lindung L_KWS_AGROP
prop_KKtani
L_hort Fr_milik
KK_tani FK_T
Keterangan: Fr_L_permk
= luas rata-rata lahan permukiman per orang Fr_lahan_perta
= fraksi lahan pertanian Fr_Lindung
= Proporsi kawasan lindung yang harus dipertahankan Fr_milik
= rata-rata luas lahan sayuiran per KK K_BDY
= Kawasan budidaya di kawasan agropolitan KK_tani
= jumla keluarga tani L_hort
= luas lahan hortikultura L_KWS_AGROP = Luas kawasan agropolitan
L_PERMK = Luas lahan untuk permukiman
L_PERT = Luas lahan untuk pertanian di kawasan agropolitan
PDDK = Jumlah penduduk kawasan agropolitan tahun 2004
Pekemb_L_Hort = perkembangan luas lahan hortikultura prop_KKtani
= proporsi keluarga petani hortikultura
Gambar 71 Stock flow diagram sub model penggunaan lahan. Hasil simulasi menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan peningkatan
penggunaan lahan untuk permukiman dan penurunan lahan hortikultura, serta lahan pertanian secara umum Gambar 72. Selama periode simulasi, hingga
tahun 2030 diperkirakan terjadi peningkatan lahan untuk permukiman sekitar 13,5 hatahun, menjadi 1.805 ha Tabel 40. Peningkatan ini terutama terkait dengan
peningkatan jumlah penduduk. Sementara itu luas lahan kering untuk tanaman hortikultura cenderung mengalami penurunan secara signifikan. Berdasarkan data
faktual yang ada tingkat penurunan lahan hortikultura setiap tahun mencapai rata-
188 rata sekitar 9,7 hatahun. Oleh karena itu secara simulatif, hingga tahun 2030
diperkirakan akan terjadi penurunan lahan hortikultura sekitar 243 ha, atau menjadi sekitar 18.844 ha. Penurunan lahan hortikultura tersebut dikarenakan alih
fungsi menjadi lahan permukiman dan areal produksi non pertanian, bahkan dalam jumlah terbatas juga beralih fungsi menjadi lahan sawah.
Gambar 72 Hasil simulasi penggunaan lahan pertanian L_PERT, lahan
permukiman L_PERMK, dan lahan hortikultura Perkemb_L_Hort.
Tabel 40 Hasil simulasi perkembangan lahan pertanian, lahan permukiman, dan lahan hortikultura di KAMM
Tahun Lahan Pertanian
ha Lahan
Permukiman ha Lahan Hortikultura
ha
2005 23.823,92 1.468,08 19.087,14
2010 23.768,12 1.530,07 19.042,50
2015 23.709,97 1.594,69 18.995,98
2020 23.649,36 1.662,03 18.947,49
2025 23.586,19 1.732,22 18.896,95
2030 23.520,35 1.805,38 18.844,28
4.4.4.3 Sub Model Usahatani, Pengolahan dan Pemasaran
Stock flow diagram sub model usahatani, pengolahan, dan pemasaran
sayuran disajikan pada Gambar 73. Gambar tersebut menunjukkan laju produksi sayuran di kawasan agropolitan ditentukan oleh perkembangan luas lahan
2010 2020
2030 5.000
10.000 15.000
20.000
L_PERT L_PERMK
Pekemb_L_Hort
Tahun Luas
L a
h a
n ha
189
189 hortikulutura yang tersedia tingkat produktivitas komoditas sayuran secara
keseluruhan. Jumlah produk olahan sayuran ditentukan olah jumlah produksi komoditas sayuran yang dapat diolah dan kapasitas olah pabrik pengolahan
sayuran. Jumlah produk sayuran yang terjual dipengaruhi oleh laju produksi sayuran, maupun produk olahan sayuran, kapasitas jual dari pasar tradisional
maupun STA. Aktivitas pemasaran juga didukung oleh sarana dan prasarana transportasi angkutan barang antar desa maupun dari desa ke kota.
Usahatani, Pengolahan dan Pemasaran
PMSPR PMSOL
OLAH kapjualolah
fr_olah Pemb_Ind
PROD_PRI
Fr_Trans Lj_jual_ol
Angk_pri Fr_sta
n_prod_sta Efek_STA
kapsjual Lj_jual_pri
Prod_p_ha lj_prod
Produktivitas RC_Saos
prod_cabai Lj_olah
Keterangan: Angk_pri
= angkutan primer Efek_STA
= efektivitas STA Fr_Trans
= fraksi transportasi Fr_sta
= fraksi STA fr_olah
= proporsi sayuran primer yang terjual kapjualolah
= kapasitas penjualan produk olahan kapsjual
= kemampuan jual produk primer Lj_jual_ol
= laju produk olahan yang dapat dipasarkan Lj_jual_pri
= laju produk primer yang dipasarkan Lj_olah
= laju produk yang terolah lj_prod
= laju peningkatan produksi sayuran n_prod_sta =
produktivitas STA
OLAH = olahan sayuran
PMSOL = sayuran olahan yang terjual
PMSPR = sayuran primer yang terjual
PROD_PRI = produksi sayuran di kawasan agropolitan
Pemb_Ind = efek pembangunan industri pengolahan
prod_cabai = produksi bahan baku cabai
Produktivitas = produktivitas lahan Prod_p_ha
= produksi rata-rata per hektar RC_Saos
= Konversi cabai segar ke saos
Gambar 73 Stock flow diagram sub model usahatani, pengolahan, dan pemasaran.
Simulasi model dinamik pada sub model ini dilihat dari laju produksi sayuran, sehingga dapat diketahui perilaku sistem pada sub model tersebut.
Perilaku laju produksi sayuran disajikan pada Gambar 74. Grafik laju produksi sayuran memperlihatkan kecenderungan peningkatan, meskipun terjadi penurunan
190 luas lahan pertanian akibat peningkatan lahan permukiman. Pada tahun 2005
sebanyak 87.403 tontahun menjadi 92.890 tontahun pada tahun 2030 Tabel 41. Peningkatan tersebut sangat terkait dengan peningkatan produktivitas yang
didorong oleh semakin membaiknya infrastruktur penunjang produksi. Infrastruktur penunjang produktivitas yang utama adalah jaringan irigasi dan
jalan usahatani. Selain itu, sumberdaya manusia yang terlibat dalam bidang pertanian juga meningkat, sehingga mempengaruhi peningkatan aktifitas pertanian
yang mendorong peningkatan produksi pertanian. Kepala keluarga tani sayuran di Kawasan Agropolitan Merapi-Merbabu, meningkat sejalan dengan jumlah
penduduk, yaitu dari 60.316 KK pada tahun 2005 dan meningkat hingga 66.748 KK pada tahun 2030.
Gambar 74 Hasil simulasi laju produksi sayuran lj_prod. Tabel 41 Hasil simulasi kepala keluarga tani KK_tani dan laju produksi
sayuran di Kawasan Agropolitan Merapi-Merbabu
Tahun KK Tani
jiwa Laju Produksi
ton
2005 60.315,90 87.402,69 2010 61.600,77 90.042,14
2015 62.886,60 91.516,33 2020 64.171,16 92.415,99
2025 65.452,07 93.137,58 2030 66.747,58 92.890,25
2010 2015
2020 2025
2030 20.000
40.000 60.000
80.000
Tahun Laju P
rod uk
si t
on
Lj_prod
191
191
4.4.4.4 Sub Model Infrastruktur
Sub model infrastruktur memberi gambaran mengenai pembangunan irigasi, peningkatan jalan desa, peningkatan sub terminal agribisnis STA,
pembangunan jalan poros desa kota, dan pembangunan sarana home industry pengolahan cabai giling serbuk. Jalan usahatani dan saluran irigasi merupakan
infrastruktur pendukung usahatani sehingga keduanya akan berpengaruh terhadap produktivitas usahatani. Jalan usahatani akan memperlancar pengangkutan sarana
produksi ke lahan usahatani dan pengangkutan hasil panen. Oleh karena itu pembangunan jalan usahatani sampai batas tertentu akan meningkatkan
produktivitas usahatani masyarakat, demikian juga dengan sarana irigasi. Pembangunan sarana irigasi sampai batas tertentu juga akan meningkatkan
produktivitas lahan melalui frekuensi tanam dalam satu tahun. Ketika irigasi memadai dan menjangkau seluruh lahan pertanian, maka pada musim kemarau
lahan dapat ditanami sehingga frekuensi tanam dalam satu tahun bisa meningkat. Stock flow diagram
sub model infrastruktur disajikan pada Gambar 75. Simulasi penyediaan infrastruktur pendukung usahatani dalam bentuk
jalan usahatani dan jaringan irigasi dapat dilihat pada Gambar 76 dan Tabel 42. Pada tahun 2005, jalan usahatani yang tersebar di seluruh kawasan adalah sekitar
70 km. Panjang jalan usahatani tersebut merupakan hasil pembangunan dalam jangka waktu yang relatif lama. Berdasarkan kondisi yang ada sekarang maka
perkembangan jalan usahatani hingga akhir simulasi diprediksi tidak terlalu tinggi, yaitu menjadi 72,9 km pada tahun 2030. Berdasarkan perkembangan
hingga tahun 2005, peningkatan jaringan irigasi diprediksi pada tahun-tahun yang akan datang tidak mengalami peningkatan yang terlalu tinggi. Panjang saluran
irigasi pada tahun 2005 adalah 20,3 km diperkirakan akan meningkat menjadi 25,9 km pada tahun 2030.
192
Keterangan: Fr_Just_sap
= fraksi jalan usahatani menunjang saprodi Fkt_prod
= peningkatan faktor produksi Fr_tnm_prod =
fraksi tanaman
produktif fr_pemb_inf
= fraksi pembangunan infrastruktur Fr_Just_Lust
= fraksi jalan usahatani terhadap lahan usahatani Fr_LUST
= fraksi lahan usahatani FR_TNM =
fraksi tanaman
pening_IRGS = peningkatan irigasi
IRGS_EXIST = panjang irigasi tahun 2009
pemb_IRGS = persen peningkatan jaringan irigasi
efk_tan = efektivitas
tanaman pening_keters_saprod= peningkatan ketersediaan saprodi
pening_JUST = peningkatan jalan usahatani
pemb_JUST = persen peningkatan jalan usahatani
JUST_EXIST = panjang jalan usahatani tahun 2009
Pening_STA = peningkatan kapasitas STA
Pemb_STA = kapasitas STA yang dibangun
STA_exist = Kapasitas STA yang ada
JPORS_EXIST = panjang jalan poros yang sudah ada
Pemb_JPORS = pembangunan jalan poros
Pening_JPORS = peningkatan jalan poros
JDESKOT_exis = Jalan desa-kota yang sudah ada
Pemb_JDESKOT = jalan desa-kota yang dibangun pening_JDESKOT = persen peningkatan jalan desa-kota
lj_prod = laju peningkatan produksi sayuran
prod_cabai = produksi bahan baku cabai
prop_cabai = proporsi cabai dari total sayuran
n_SC = nisbah kapasitas pabrik terhadap laju produksi cabai
Pbr_Saos_cabai = kapasitas olah pabrik saos yang dibangun Pemb_Ind
= efek pembangunan industri pengolahan
Gambar 75 Stock flow diagram sub model infrastruktur penunjang usahatani, pemasaran, dan pengolahan hasil.
193
193 Gambar 76
Simulasi jalan usahatani JUST_EXIST dan jaringan irigasi IRGS_EXIST.
Tabel 42 Hasil simulasi perkembangan jalan usahatani dan jaringan irigasi di
KAMM
Tahun Panjang Jalan
Usahatani km Panjang Irigasi
km
2005 70,00 20,30
2010 70,80 21,90
2015 71,60 23,30
2020 72,20 24,50
2025 72,70 25,20
2030 72,90 25,90
Sub model lainnya adalah infrastruktur penunjang pemasaran yang berupa sarana penunjang transportasi pemasaran sayuran. Infrastruktur penunjang
tersebut adalah jalan poros desa, jalan poros desa-kota, dan STA. Jalan poros desa mempermudah dan mempercepat mobilisasi produksi sayuran dari lokasi
pengumpulan di areal kebun menuju STA. Jalan poros desa menuju kota mempermudah dan mempercepat mobilisasi produksi sayuran dari STA menuju
lokasi pemasaran. STA sendiri berfungsi sebagai simpul pengumpulan dan distribusi produk sayuran dari seluruh kawasan agropolitan. Keberadaan jalan
poros desa, jalan poros desa-kota, dan STA tersebut tentu saja sangat mendukung pemasaran produk sayuran dari kawasan agropolitan. Kemudahan dan kecepatan
distribusi sayuran ini juga menunjang terjaganya kesegaran dan kualitas sayuran
2010 2020
2030 20
40 60
JUST_EXIST IRGS_EXIST
Tahun Pan
ja ng k
m
194 yang dipasarkan, sehingga bisa meningkatkan nilai jual di pasaran.
Simulasi penyediaan infrastruktur pendukung pemasaran dalam bentuk jalan poros desa dan jalan poros desa-kota dapat dilihat pada Gambar 77 dan
Tabel 43. Jalan poros desa yang tersebar di seluruh kawasan agropolitan pada tahun 2005 adalah sekitar 30,1 km. Panjang jalan poros desa ini diperkirakan akan
bertambah menjadi 32,3 km pada tahun 2030. Selain itu, jalan poros yang menghubungkan kawasan agropolitan dengan daerah perkotaan pada tahun 2005
memiliki panjang 20,4 km. Jalan ini diperkirakan panjangnya akan menjadi 24,3 km pada tahun 2030.
Gambar 77 Simulasi jalan poros JPORS_EXIST dan jalan penghubung desa - kota JDESKOT_exis.
Tabel 43 Hasil simulasi perkembangan jalan poros dan jalan penghubung
desa-kota di KAMM
Tahun Panjang Jalan Poros
km Panjang Jalan Desa-
Kota km
2005 30,10 20,40
2010 30,80 21,90
2015 31,30 22,90
2020 31,60 23,60
2025 32,00 24,10
2030 32,30 24,30
Infrastruktur penunjang lainnya adalah STA yang memiliki kapasitas 7.450 ton pada tahun 2005 yang akan mengalami peningkatan kapasitas menjadi
01 Jan 2010 01 Jan 2020
01 Jan 2030 10
20 30
JPORS_EXIST JDESKOT_exis
Tahun Pan
ja ng k
m
195
195 9.270 ton pada tahun 2030. Simulasi terhadap kapasitas STA sebagai infrastruktur
penunjang pemasaran disajikan pada Gambar 78 dan Tabel 44.
Gambar 78 Simulasi kapasitas STA STA_exist. Tabel 44 Hasil simulasi perkembangan kapasitas STA di KAMM
Tahun Kapasitas STA ton
2005 7.450 2010 8.370
2015 8.880 2020 9.130
2025 9.190 2030 9.270
Peningkatan infrastruktur penunjang usahatani dan pemasaran ini tentunya harus diikuti dengan peningkatan infrastruktur penunjang pengolahan hasil. Hal
ini diperlukan untuk meningkatkan nilai tambah hasil pertanian yang bisa mendorong kesejahteraan petani di kawasan agropolitan. Komoditas sayuran yang
paling ekonomis untuk ditingkatkan nilai tambahnya di KAMM saat ini adalah cabai merah. Cabai ini bisa diolah terlebih dahulu menjadi cabai serbuk giling
kemasan yang harganya di pasaran bisa lebih tinggi nilainya dibandingkan komoditas mentahnya. Selain itu, daya tahan dan keawetan cabai serbuk giling
kemasan memiliki jangka waktu yang jauh lebih tinggi bisa bertahan sampai 1
2010 2020
2030 2.000
4.000 6.000
8.000
Tahun Ka
p a
sita s to
n
STA_exist
196 tahun dibandingkan komoditas mentahnya. Hal ini bisa menjadi solusi jika
terdapat kelebihan produksi cabai yang tidak dapat dipasarkan dalam bentuk mentah, atau pada saat harga komoditas cabai segar sedang jatuh.
Produksi cabai pada tahun 2005 adalah 17.481 ton diperkirakan akan meningkat menjadi 18.578 ton pada tahun 2030. Hal ini berarti diperkirakan akan
terjadi peningkatan produksi sebesar 44 tontahun Tabel 45. Peningkatan produksi ini menjadi peluang untuk meningkatkan nilai tambah cabai mentah
menjadi produk olahan. Produk olahan bisa ditunjang oleh keberadaan infrastruktur berupa pabrik rumahan home industry hingga industri moderen.
Saat ini di kawasan agropolitan baru bisa dikembangkan industri pada skala rumah tangga yang mengolah cabai mentah menjadi cabai giling kering kemasan
yang nilainya lebih tinggi dibandingkan produk mentahnya. Tabel 45 Simulasi infrastruktur penunjang pengolahan
Tahun Pengolahan Produksi
Cabai Segar
unit ton
2005 10,00 17.480,54
2010 14,00 18.008,43
2015 19,00 18.303,27
2020 23,00 18.483,20
2025 26,30 18.627,52
2030 26,30 18.578,05
Peningkatan produksi cabai yang memerlukan pengolahan lebih lanjut ini mendorong tumbuhnya industri rumahan pengolah cabai mentah menjadi cabai
kering giling kemasan. Simulasi peningkatan infrastruktur penunjang pengolahan hasil ini disajikan pada Gambar 79. Hasil simulasi menunjukkan keberadaan
industri rumahan pengolah cabai mentah yang berjumlah 10 unit pada tahun 2005 akan meningkat dari tahun ke tahun seiring peningkatan produksi cabai. Unit
pengolahan ini diperkirakan akan mencapai 26 unit pada tahun 2030.
197
197 Gambar 79 Simulasi infrastruktur penunjang pengolahan hasil.
4.4.4.5 Sub Model Ekonomi
Stock flow diagram sub model ekonomi disajikan pada Gambar 80.
Gambar tersebut menunjukkan bahwa ekonomi total yang diperoleh di suatu kawasan dipengaruhi oleh ekonomi yang dihasilkan pada usaha ekonomi
agribisnis jumlah sayuran primer yang terjual dan usaha ekonomi agroindustri jumlah sayuran olahan yang terjual.
Ekonomi
PMSPR PMSOL
harga_olah
hrg_produk_primer EKON_AGRB
EKON_AGRIND EKON_TOT
Keterangan: EKON_AGRB = Nilai PDRB dari agrib
EKON_AGRIND = nilai PDRB dari industri EKON_TOT = Nilai PDRB total
harga_olah = harga produk olahan per kg hrg_produk_primer = Harga rata-rata produk olahan
PMSOL = sayuran olahan yang terjual PMSPR = sayuran primer yang terjual
Gambar 80 Stock flow diagram sub model ekonomi.
2010 2020
2030 10
20 30
Inf_Olah un it
Tahun
198 Simulasi model dinamik pada sub model ini dilihat dari jumlah ekonomi
total, sehingga dapat diketahui perilaku sistem pada sub model tersebut. Perilaku ekonomi total dari komoditas sayuran disajikan pada Gambar 81 dan Tabel 46.
Grafik ekonomi total memperlihatkan prediksi peningkatan yang signifikan mulai tahun 2005 sampai tahun 2030. Ekonomi total yang dihasilkan kawasan
agropolitan pada tahun 2005 sekitar sebesar 52,5 milyar rupiah bisa meningkat menjadi sekitar 55,7 milyar rupiah pada tahun 2030.
Gambar 81 Hasil simulasi nilai ekonomi total EKON_TOT. Tabel 46 Simulasi ekonomi total di Kawasan Agropolitan Merapi-Merbabu
Tahun Ekonomi Total Rp
2005 52.445.616.242,22 2010 54.029.285.187,65
2015 54.913.798.908,43 2020 55.453.591.824,88
2025 55.886.549.969,40 2030 55.738.148.874,03
4.4.4.6 Sub Model Tenaga Kerja
Stock flow diagram sub model tenaga kerja disajikan pada Gambar 82.
Gambar tersebut memperlihatkan bahwa tenaga kerja yang terserap di KAMM dipengaruhi oleh jumlah produk sayuran primer, produk olahan, dan produk
olahan yang terjual.
2010 2015
2020 2025
2030 52.000.000.000
53.000.000.000 54.000.000.000
55.000.000.000
Tahun N
ilai Ek on
omi R
p
EKON_TOT
199
199
Tenaga Kerja
Lj_olah Lj_jual_pri
Lj_jual_ol TK_PMSR
TK_Prod
lj_prod TK_OLH
Fr_TK_PMSR
Fr_TK_OLH TK_TRSRP
Fr_TK_prod
Keterangan : Fr_TK_OLH
= tenaga kerja terserap untuk pengolahan setiap satuan produk Fr_TK_PMSR
= tenaga kerja terserap untuk pemasaran setiap satuan produk Fr_TK_prod
= tenaga kerja yang terserap untuk memproduksi setiap satuan produk sayuran Lj_jual_ol
= laju produk olahan yang dapat dipasarkan Lj_jual_pri
= laju produk primer yang dipasarkan Lj_olah
= laju produk yang terolah lj_prod
= laju peningkatan produksi sayuran TK_PMSR
= tenaga kerja yang terserap untuk pemasaran produk TK_Prod
= tenaga kerja terserap dari sektor agribisnis TK_TRSRP
= total tenaga kerja yang terserap
Gambar 82 Stock flow diagram sub model tenaga kerja. Simulasi model dinamik pada sub model ini dilihat dari jumlah tenaga kerja
terserap, sehingga dapat diketahui perilaku sistem pada sub model tersebut. Perilaku jumlah tenaga kerja terserap dari komoditas sayuran disajikan pada
Gambar 83 dan Tabel 47. Grafik jumlah tenaga kerja terserap memperlihatkan prediksi peningkatan yang signifikan mulai tahun 2005 sampai tahun 2030.
Gambar 83 Hasil simulasi penyerapan tenaga kerja TK_TRSRP.
2010 2015
2020 2025
2030 26.000
26.500 27.000
27.500
Tahun Tena
g a
K e
rj a Ters
e rap jiwa
TK_TRSRP
200 Tenaga kerja yang bisa terserap pada tahun 2005 sebesar 25.948 jiwa dan
akan terus meningkat hingga mencapai 27.577 jiwa pada tahun 2030. Penyerapan yang terjadi relatif kecil, di mana hanya terjadi penyerapan tenaga kerja kurang
dari 100 jiwa setiap tahunnya. Hal ini dimungkinkan dengan makin sempitnya lahan pertanian di KAMM dari tahun ke tahun. Sehingga diperlukan alternatif
lapangan kerja baru di bidang agroindustri yang bisa menyerap lebih banyak lagi tenaga kerja.
Tabel 47 Simulasi penyerapan tenaga kerja di Kawasan Agropolitan Merapi- Merbabu
Tahun Total Tenaga Kerja Terserap
jiwa
2005 25.948 2010 26.732
2015 27.169 2020 27.436
2025 27.651 2030 27.577
4.4.5 Validasi Model
Validasi kinerjaoutput model adalah aspek pelengkap dalam metode berpikir sistem yang bertujuan untuk memperoleh keyakinan sejauh mana kinerja
model sesuai dengan kinerja sistem nyata sehingga memenuhi syarat sebagai model ilmiah yang taat fakta. Caranya adalah membandingkan validasi kinerja
model dengan data empiris untuk melihat sejauh mana perilaku kinerja model sesuai dengan data empiris Muhammadi et al. 2001.
Validasi perilaku model dilakukan dengan membandingkan antara besar dan sifat kesalahan dapat digunakan: 1 Absolute mean error AME adalah
penyimpangan selisih antara nilai rata-rata mean hasil simulasi terhadap nilai actual, 2 Absolute variation error AVE adalah penyimpangan nilai variasi
variance simulasi terhadap aktual. Batas penyimpangan yang dapat diterima adalah antara 1 -10. Adapun rumus untuk menghitung nilai AME dan AVE
seperti di bawah ini.
201
201 AME =
100 x
A A
S −
; N
Si S
∑ =
N Ai
A ∑
=
100 ×
− =
Sa Sa
Ss AVE
; N
S Si
Ss ∑
− =
2
; N
A Ai
Sa ∑
− =
2
S, A dan N berturut-turut adalah nilai simulasi, nilai aktual, dan interval waktu pengamatan. Ss, Sa dan N berturut-turut adalah nilai standar deviasi
simulasi, nilai standar deviasi aktual, dan interval waktu pengamatan. Berdasarkan hasil analisis sistem dinamis dapat dilihat bahwa perilaku
model pengembangan infrastruktur kawasan agropolitan berbasis komoditas unggulan dapat terpenuhi syarat kecukupan struktur dari suatu modelnya dengan
melakukan validasi atas perilaku yang dihasilkan oleh suatu struktur model. Data validasi disajikan pada Tabel 48 dan Gambar 84.
Tabel 48 Data validasi model pengembangan agropolitan berbasis komoditas unggulan sayuran berdasarkan perkembangan jumlah penduduk
Tahun Jumlah Penduduk
Nilai Aktual Nilai Simulasi
2004 367,019
367,019 2005
369,313 370,067
2006 372,887 373,142
2007 375,756
376,241 mean 372,652
373,150 var
10,420,219 9,529,617
AME 0.001336626 AVE -0.085468626
362,000 364,000
366,000 368,000
370,000 372,000
374,000 376,000
378,000
2004 2005
2006 2007
tahun ji
w a
AKTUAL SIMULASI
Gambar 84 Jumlah penduduk aktual dan jumlah penduduk simulasi pada tahun 2004 – 2007.
202 Hasil uji validasi berdasarkan jumlah penduduk menunjukkan bahwa, AME
menyimpang 0,13 untuk pertambahan penduduk dari data aktual dan AVE menyimpang sebesar 8,54. Hasil uji validasi berdasarkan perkembangan luas
lahan hortikultura terlihat bahwa AME menyimpang 0,06 dan AVE menyimpang sebesar 2,01 dari data aktual Tabel 49 dan Gambar 85. Batas penyimpangan
kedua variabel tersebut pada parameter AME dan AVE adalah 10, yang menunjukkan bahwa model ini mampu mensimulasikan perubahan-perubahan
yang terjadi secara aktual di lapangan. Tabel 49 Data validasi model pengembangan agropolitan berbasis komoditas
unggulan sayuran berdasarkan perkembangan luas lahan hortikultura
Tahun Lahan Hortikultura Ha
Aktual Simulasi
2004 18.195
18.195 2005
18.178 18.153
2006 18.122
18.108 2007
18.072 18.064
mean 18.142
18.130 var
3.135 3.198
AME -0.00064768 AVE 0.02012281
10,000 12,500
15,000 17,500
20,000
2004 2005
2006 2007
tahun Ha
AKTUAL SIMULASI
Gambar 85 Perkembangan luas lahan hortikultura aktual dan simulasi pada tahun 2004 – 2007.
4.4.6 Skenario Pembangunan Infrastruktur Kawasan Agropolitan
Skenario bertujuan untuk memprediksi kemungkinan yang akan terjadi dimasa yang akan datang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Skenario
203
203 dikembangkan dengan melakukan simulasi intervensi terhadap variabel
infrastruktur penunjang usahatani, pemasaran dan pengolahan hasil komoditas sayuran dengan indikator nilai ekonomi kawasan dan jumlah pengangguran
sebagai indikator kemajuan pembangunan kawasan agropolitan. Variabel yang diintervensi tersebut adalah input yang dapat terkontrol dari sistem pengembangan
infrastruktur kawasan agropolitan menuju kawasan agropolitan mandiri. Skenario yang dikaji adalah berbagai alternatif intervensi yang dapat dikategorikan sebagai
skenario pesimis, moderat dan optimis. Skenario pesimis adalah meningkatkan sebagian variabel dari kondisi existing ke kondisi yang lebih baik dengan
meningkatkan pembangunan infrastruktur penunjang usahatani. Skenario moderat adalah meningkatkan sebagian besar variabel ke kondisi yang lebih baik melalui
pembangunan infrastruktur penunjang usahatani dan infrastruktur pemasaran. Skenario optimis adalah meningkatkan kondisi seluruh variabel menjadi lebih
baik, melalui pembangunan infrastruktur penunjang usahatani, pemasaran dan pengolahan hasil. Intervensi dilakukan dengan meningkatkan kapasitas
infrastruktur sebesar 100 dari kondisi existing dan dilakukan secara bertahap.
Skenario Pesimis
Pada skenario pesimis, peningkatan infrastruktur dilakukan hanya pada infrastruktur jalan yang berupa jalan usahatani, jalan poros dan jalan desa-kota.
Skenario ini diharapkan akan meningkatkan pengangkutan sarana produksi ke lahan petani dan meningkatkan pengangkutan produk usahatani ke luar lahan
pertanian. Hasil simulasi skenario ini menunjukkan bahwa dengan pembangunan
infrastruktur jalan ternyata mampu meningkatkan laju produksi sekalipun dalam intensitas yang tidak terlalu tinggi. Trend laju produksi hampir sama dengan tren
laju produksi kondisi eksisting Gambar 86. Pembangunan infrastruktur jalan ini relatif meningkatkan laju produksi sayuran. Pada tahun 2010, jika pembangunan
infrastruktur dilakukan meningkatkan laju produksi sebesar 1,55 tetapi 25 tahun kemudian akan mencapai peningkatan 8,3 dibandingkan dengan laju produksi
pada kondisi existing Tabel 50. Peningkatan laju produksi tersebut terkait
204 dengan dukungan infrastruktur terhadap meningkatnya laju pengangkutan sarana
produksi sehingga aktivitas usahatani akan semakin meningkat.
Gambar 86 Simulasi skenario pengembangan infrastruktur KAMM, Kabupaten Magelang, terhadap laju produksi sayuran: kondisi existing lj_prod,
skenario 1 pesimis lj_prod_1, skenario 2 moderat lj_prod_2, skenario 3 optimis lj_prod_3.
Tabel 50 Simulasi skenario pengembangan infrastruktur KAMM, terhadap laju produksi sayuran
Tahun Laju produksi sayuran tonth
Existing Skenario 1
Skenario 2 Skenario 3
2010 86.339,42 87.678,85
1,55 96.123,33 11,33 96.123,33 11,33 2015 87.814,06
90.553,56 3,12 100.472,38 14,41 100.472,38 14,41
2020 88.677,41 92.821,80
4,67 103.629,22 16,86 103.629,22 16,86 2025 89.369,93
94.823,04 6,10 105.867,90 18,46 105.867,90 18,46
2030 89.132,72 95.794,75
7,47 107.231,67 20,31 107.231,67 20,31 2035 88.781,46
96.617,26 8,83 108.253,14 21,93 108.253,14 21,93
Pembangunan infrastruktur jalan yang dilakukan di samping meningkatkan laju produksi sayuran, juga meningkatkan jumlah barang yang dapat dipasarkan.
Peningkatan laju produksi dan pemasaran menyebabkan ekonomi total kawasan secara langsung akan meningkat sekalipun intensitas peningkatannya masih
rendah dengan pola yang hampir sama dengan kondisi existing Gambar 87. Secara kuantitatif, dampak pembangunan infrastruktur jalan yang dibangun secara
2015 2020
2025 2030
2035 50.000
100.000
lj_prod lj_prod_1
lj_prod_2 lj_prod_3
Tahun Laj
u Pro duk
si t
on
205
205 bertahap selama 25 tahun akan meningkatkan nilai ekonomi total sebesar 8,83
dibandingkan kondisi tanpa peningkatan infrastruktur jalan Tabel 51.
Gambar 87 Simulasi skenario pengembangan infrastruktur KAMM, terhadap nilai ekonomi total: kondisi existing EKON_TOT, skenario 1
pesimis EKON_TOT_1, skenario 2 moderat EKON_TOT_2, skenario 3 optimis EKON_TOT_3.
Tabel 51 Simulasi skenario pengembangan infrastruktur KAMM, terhadap ekonomi total kawasan.
Tahun Ekonomi total kawasan Rp 1000
Existing Skenario 1
Skenario 2 Skenario 3
2010 51.843.654 52.611.311 1,48
57.678.399 11,25
70.280.180 35,56 2015 52.692.434 54.336.133
3,12 60.288.027
14,41 79.966.715 51,76
2020 53.210.448 55.697.079 4,67
62.182.332 16,86
89.112.162 67,47 2025 53.625.957 56.897.826
6,10 63.525.737
18,46 97.801.010 82,38
2030 53.483.632 57.480.847 7,47
64.344.202 20,31
105.922.547 98,05 2035 53.272.877 57.974.357
8,83 64.957.282
21,93 113.856.775 113,72
Pada kondisi existing, jumlah pengangguran cenderung meningkat karena pertumbuhan angkatan kerja selalu lebih tinggi dibandingkan dengan
pertumbuhan ketersediaan lapangan kerja dan hal tersebut semakin meningkat setiap tahunnya. Pembangunan infrastruktur jalan yang berdampak tidak
langsung terhadap peningkatan produktivitas kawasan sedikit menekan laju pertumbuhan pengangguran, sekalipun masih sangat rendah Gambar 88.
Intervensi yang dilakukan tersebut hanya mampu mengurangi angka
2015 2020
2025 2030
2035 50.000.000.000
75.000.000.000 100.000.000.000
EKON_TOT EKON_TOT_1
EKON_TOT_2 EKON_TOT_3
Tahun Ekon
om i Tot
a l
Rp
206 pengangguran sebesar 0,66 pada awal simulasi dan 3,09 pada tahun 2035
Tabel 52.
Gambar 88 Simulasi skenario pengembangan infrastruktur KAMM, terhadap pengangguran: kondisi existing PEGGR, skenario 1 pesimis
PEGGR_1, skenario 2 moderat PEGGR_2, skenario 3 optimis PEGGR_3.
Tabel 52 Simulasi skenario pengembangan infrastruktur KAMM, terhadap tingkat pengangguran di kawasan
Tahun Tingkat pengangguran
Existing Skenario 1
Skenario 2 Skenario 3
2010 54.029.285 54.829.308 1,48
60.110.014 11,25 73.196.749
35,48 2015 54.913.798 56.626.796
3,12 62.829.600
14,41 83.204.434 51,52
2020 54.453.591 58.045.058 6,60
64.803.690 19,01 92.690.853
70,22 2025 55.886.549 59.296.354
6,10 66.203.642
18,46 101.701.397 81,98
2030 55.738.148 59.903.872 7,47
67.056.511 20,31 110.120.683
97,57 2035 55.518.427 60.418.098
8,83 67.695.330
21,93 118.344.738 113,16
Skenario Moderat
Pada skenario moderat, peningkatan infrastruktur dilakukan pada infrastruktur jalan yang berupa jalan usahatani, jalan poros dan jalan desa-kota;
peningkatan jaringan irigasi dan peningkatan kapasitas Sub terminal agribisnis STA. Skenario ini diharapkan akan meningkatkan pengangkutan sarana
produksi ke lahan petani dan meningkatkan pengangkutan produk usahatani ke luar lahan pertanian, meningkatkan produktivitas lahan melalui peningkatan
2015 2020
2025 2030
2035 55.000
60.000 65.000
70.000 75.000
PEGGR PEGGR_1
PEGGR_2 PEGGR_3
Tahun J
u ml
ah Peng a
n g
gur a
n j
iw a
207
207 frekuensi tanam karena ketersediaan air di musim kemarau meningkat, dan
meningkatkan pemasaran. Hasil simulasi menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur jalan dan
irigasi secara bersama-sama meningkatkan laju produksi Gambar 86. Secara kuantitatif, dampak pembangunan infrastruktur dalam skenario ini akan
meningkatkan laju produksi sayuran sebesar 11,33 pada tahun 2010 dan 21,93 pada tahun 2035 dibandingkan dengan tanpa intervensi Tabel 50. Jalan usahatani
dan jalan poros membantu peningkatan sarana produksi yang sampai ke lahan petani dan peningkatan angkutan hasil panen dari lahan petani. Adanya
peningkatan infrastruktur air pertanian menyebabkan peningkatan frekuensi tanam karena lahan-lahan kering yang tidak dapat digunakan pada musim kemarau dapat
dimanfaatkan untuk menanam sayuran dengan adanya sarana irigasi. Infrastruktur jalan poros dan jalan penghubung desa-kota serta peningkatan
kapasitas STA akan meningkatkan secara signifikan pemasaran jumlah produk yang dihasilkan usahatani, pada akhirnya berdampak pada peningkatan nilai
ekonomi total kawasan Gambar 87. Peningkatan tersebut akan mencapai 11,25 pada tahun 2010 dan 21,93 pada tahun 2035, dibandingkan kondisi
tanpa pembangunan infrastruktur Tabel 51. Di samping lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi tanpa intervensi, terlihat pula ada tren nilai ekonomi
total kawasan yang meningkat pula dari tahun ke tahun selama periode simulasi. Simulasi pembangunan infrastruktur juga dapat menurunkan jumlah
pengangguran secara signifikan dibandingkan dengan kondisi tanpa intervensi Gambar 88. Pada Gambar tersebut juga terlihat bahwa sekalipun angka
pengangguran masih cenderung meningkat dari tahun ke tahun, dengan skenario moderat ini peningkatan angka pengangguran tersebut lebih rendah dibandingkan
dengan kondisi tanpa intervensi. Secara kuantitatif, pembangunan infrastruktur dapat mengurangi 5,07 angka pengangguran pada tahun 2010. Sedangkan pada
akhir tahun 2035 penurunan jumlah pengangguran akan mencapai 7,69 dibandingkan dengan kondisi tanpa pembangunan infrastruktur Tabel 52.
Skenario Optimis
Pada skenario optimis, peningkatan infrastruktur dilakukan pada infrastruktur jalan yang berupa jalan usahatani, jalan poros dan jalan desa-kota;
208 peningkatan jaringan irigasi, peningkatan kapasitas Sub terminal agribisnis
STA; dan pembangunan sarana home industry pengolahan cabai khususnya cabai merah menjadi produk olahan cabai giling serbuk. Skenario ini
diharapkan akan meningkatkan produktivitas lahan, pemasaran dan agroindustri. Pembangunan infrastruktur jalan akan pengangkutan sarana produksi ke lahan
petani dan meningkatkan pengangkutan produk usahatani ke luar lahan pertanian, meningkatkan produktivitas lahan melalui peningkatan frekuensi tanam karena
ketersediaan air di musim kemarau meningkat, dan meningkatkan pemasaran. Skenario tersebut akan dapat meningkatkan kegiatan agroindustri yang akan
meningkatkan nilai tambah produk sayuran tertentu. Simulasi skenario optimis ini akan meningkatkan laju produksi sayuran
secara signifikan karena pembangunan infrastruktur jalan usahatani, jalan poros dan jaringan irigasi yang akan meningkatkan produktivitas lahan Gambar 86.
Intensitas peningkatan laju produksi sayuran akan mencapai 11,33 pada tahun 2010 dan 21,93 pada tahun 2035 dibandingkan kondisi tanpa intervensi Tabel
50. Pembangunan sarana home industry akan meningkatkan produk olahan dan nilai tambah produk sayuran tertentu cabai merah. Pembangunan jalan
penghubung desa-kota dan peningkatan kapasitas sub terminal agribisnis akan meningkatkan pemasaran sayuran segar maupun olahan. Peningkatan produk
yang dapat dipasarkan maka akan meningkatkan nilai ekonomi total kawasan. Pembangunan infrastruktur penunjang usahatani, agroindustri dan pemasaran
sekaligus akan meningkatkan nilai ekonomi total kawasan dengan sangat signifikan dengan tren yang semakin meningkat setiap tahun Gambar 87.
Skenario ini diharapkan akan dapat meningkatkan nilai ekonomi total kawasan sebesar 35,56 pada awal simulasi dan 113,72 pada tahun 2035 dibandingkan
dengan kondisi tanpa pembangunan infrastruktur Tabel 51. Skenario optimis ini juga berimplikasi terhadap penurunan angka
pengangguran yang lebih tinggi dibandingkan pada skenario yang lain Gambar 88. Trend penurunan angka pengangguran juga semakin meningkat setiap
tahunnya. Sekalipun belum dapat menyelesaikan persoalan pengangguran yang semakin meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk, skenario
pembangunan infrastruktur ini mampu menekan angka penggangguran yang
209
209 relatif tinggi, yaitu 5,69 pada tahun 2010 dan 9,53 pada tahun 2035
dibandingkan dengan kondisi tanpa intervensi Tabel 52. Hasil analisis skenario pembangunan infrastruktur berikut keadaan yang
mungkin terjadi dimasa depan dalam mendukung pengembangan kawasan agropolitan mandiri disajikan pada Tabel 53. Berdasarkan tabel tersebut, hasil
prediksi yang bisa dicapai jika skenario pesimis dijalankan adalah sebatas meningkatnya a laju produksi 87.678 ton pada tahun 2010 menjadi 96.617 ton
pada tahun 2035. b ekonomi total sebesar Rp 52,61 milyar pada tahun 2010 menjadi Rp 57,97 milyar pada tahun 2035. c penyerapan tenaga kerja pada tahun
2010 sebesar 54.829 jiwa menjadi 60.418 jiwa pada tahun 2035. Hasil prediksi jika skenario moderat dijalankan, bisa menambah laju produksi ke tingkat yang
lebih tinggi, sekaligus memperluas jaringan hasil produksi melalui STA yang ada, yaitu a meningkatnya laju produksi dari 96.123 ton pada tahun 2010 menjadi
108.253 ton pada tahun 2035. b ekonomi total sebesar Rp 57,67 milyar pada tahun 2010 menjadi Rp 64,95 milyar pada tahun 2035. c penyerapan tenaga
kerja pada tahun 2010 sebesar 60.110 jiwa menjadi 67.695 jiwa pada tahun 2035. Hasil paling optimal yang bisa dilakukan adalah dengan menjalankan skenario
optimis, di mana selain bisa mencapai peningkatan laju produksi dan jaringan pemasaran, juga bisa meningkatkan nilai tambah produk pertanian melalui
pengolahan hasil. Hasil prediksi skenario optimis a meningkatnya laju produksi dari 96.123 ton pada tahun 2010 menjadi 108.253 ton pada tahun 2035. b
ekonomi total sebesar Rp 70,28 milyar pada tahun 2010 menjadi Rp 113,85 milyar pada tahun 2035. c penyerapan tenaga kerja pada tahun 2010 sebesar
73.196 jiwa menjadi 118.344 jiwa pada tahun 2035. Skenario yang dipilih adalah skenario optimis, karena akan berdampak secara signifikan dalam meningkatkan
ekonomi total kawasan dan penurunan tingkat pengangguran, dan pengembangan agribisnis di KAMM dapat berjalan secara utuh dan menyeluruh mulai dari
pengembangan usahatani, pengolahan hasil, serta pemasaran hasil pertanian.
210 Tabel 53 Skenario pembangunan infrastruktur dan keadaan yang mungkin
terjadi dimasa depan dalam menuju kawasan agropolitan mandiri
Variabel intervensi Tahun
Skenario Eksisting Pesimis Moderat Optimis
Jalan usahatani km T-01 70,00
79,80 79,80 79,80
T-25 72,90 119,80
119,80 119,80
Jalan poros km T-01 30,10
30,70 30,70 30,70
T-25 32,30 45,75 45,75
45,75 Jalan desa-kota km
T-01 20,40 20,81 20,81
20,81 T-25 24,30
31,01 31,01 31,01
Jaringan irigasi km T-01 20,30
- 20,71
20,71 T-25 25,90
30,86 30,86
Kapasitas STA ton T-01 7.450,00
- 3.077,00
3.077,00 T-25 9.270,00
80.000,00 80.000,00
Home industry unit T-01 10,00
- -
10,00 T-25 27,00
- -
27,00 Laju Produksi tontahun
T-01 86.339,00 87.678,00 96.123,00
96.123,00 T-25 88.781,00
96.617,00 108.253,00
108.253,00 Ekonomi Total Rp 1000
T-01 51.843.654,00 52.611.311,00 57.678.399,00
70.280.180,00 T-25 53.272.877,00
57.974.357,00 64.957.282,00 113.856.775,00
Tingkat Pengangguran jiwa T-01 54.029.285,00
54.829.308,00 60.110.014,00 73.196.749,00
T-25 55.518.427,00 60.418.098,00 67.695.330,00
118.344.738,00
4.4.7 Norma, Standar, Prosedur, Kriteria NSPK Infrastruktur KAMM
Infrastruktur yang dibangun di kawasan agropolitan harus memenuhi aspek-aspek kecukupan dan kelayakan secara teknis, sosial, ekonomi, dan manfaat
baik infrastruktur penunjang agribisnis maupun penunjang politan agropolis. Aspek teknis : - memenuhi ukuran yang cukup; konstruksi yang kuat, dan
berusia lama. Aspek sosial : - dapat mempersatukan komunitas dan jejaring masyarakat,
nyaman untuk digunakan, kesehatan lingkungan terpenuhi, dan mempunyai estetika.
Aspek ekonomi : - efisien, efektif, dan menguntungkan. Aspek manfaat
: - bermanfaat, mempunyai tingkat pelayanan yang luas, dan mudah dipelihara dan dioperasikan.
Norma, standar, prosedur, kriteria NSPK infrastruktur KAMM, disajikan pada Lampiran 10.
4.4.8 Pembiayaan Infrastruktur KAMM
Kegiatan yang dikembangkan di kawasan agropolitan bersifat multi sektor,
211
211 sehingga pembiayaan pengembangan kawasan agropolitan pada prinsipnya juga
bersifat multi finance, yang dibiayai secara bersama antara pemerintah pusat,
provinsi, kabupaten, swasta dan masyarakat. Kesepakatan pembiayaan
pengembangan kawasan agropolitan secara keseluruhan dalam jangka panjang dituangkan dalam master plan kawasan agropolitan, sedangkan kesepakatan
pembiayaan masing-masing sektor dituangkan dalam rencana pembangunan jangka menengah RPJM, sedangkan kesepakatan rencana pembiayaan tahunan
dituangkan dalam nota kesepakatan bersama MOU antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten.
Mengingat porsi pembiayaan yang didasarkan pada azas bantuan, maka porsi pembiayaan antara yang membantu pemerintah pusat dengan yang dibantu
pemerintah daerah seharusnya lebih besar porsi pemerintah daerah daripada pemerintah pusat. Model pembiayaan pengembangan kawasan agropolitan yang
digulirkan oleh pemerintah pada fase I tahun 2002-2007 dengan porsi pembiayaan pemerintah pusat melalui APBN Murni sebesar 70 dan porsi pembiayaan
pemerintah provinsi kabupaten melalui APBD I-II 30, dinilai kurang tepat dan kurang proporsional karena cenderung akan mendorong pemerintah daerah
berlomba-lomba mengembangkan kawasan agropolitan dengan harapan akan mendapatkan bantuan pendanaan dari pemerintah pusat. Bahkan dengan porsi
pembiayaan pusat 70 : daerah 30 pun terkadang tidak dipenuhi oleh pemerintah daerah, bahkan ada pemerintah daerah yang hanya menjadi penonton
dalam pengembangan kawasan agropolitan karena tidak mempunyai komitmen yang tinggi terhadap pengembangan wilayah perdesaan berbasis pertanian.
Namun sebaliknya banyak juga pemerintah daerah yang mengembangkan kawasan agropolitan secara mandiri tanpa mengandalkan bantuan dari pemerintah
pusat. Porsi pembiayaan di era otonomi daerah saat ini yang paling tepat adalah
dengan memberdayakan dan mengandalkan kemampuan sumberdaya yang dimiliki oleh masing-masing kabupatenkota, sedangkan pemerintah pusat
seyogianya hanya membantu pada pembangunan sektor-sektor publik yang tidak dalam kapasitas kemampuan pemerintah daerah untuk membangunnya.
Berdasarkan konsep pemberdayaan pemerintah daerah seperti ini maka porsi
212 pembiayaan pengembangan kawasan agropolitan yang paling ideal dimasa depan
adalah pemerintah pusat 20 berbanding pemerintah daerah 80. Porsi seperti ini akan membuat masing-masing pemerintah daerah lebih produktif, antusias dan
bertanggung jawab terhadap kinerja pengembangan kawasan agropolitan. Pembiayaan pengembangan Kawasan Agropolitan Merapi-Merbabu dalam
program jangka menengah lima tahunan 2004-2008 telah disusun dalam matriks program lintas sektor yang merupakan bagian dari Penyusunan Master Plan
Kawasan Agropolitan Merapi-Merbabu yang telah disyahkan oleh Bupati Magelang pada tahun 2003. Total biaya yang diestimasikan untuk
mengembangkan KAMM dalam lima tahunan adalah sebesar Rp 101.760.151.000.- sedangkan realisasi biaya fasilitasi pemerintah pusat, provinsi,
kabupaten selama 2004-2008 sebesar Rp 38.555.000.000,- Jumlah capaian target pemerintah dalam mengembangkan KAMM selama
lima tahun hanya sebesar Rp 38
.555.000.000
,-. 37
,88
. Sandingan rencana realisasi pembiayaan KAMM dari tahun 2004 sampai 2008 disajikan pada Tabel
54. Matriks program lintas sektor lima tahunan 2004-2008 pengembangan KAMM disajikan pada Lampiran 11.
Tabel 54 Sandingan rencana dan realisasi pembiayaan KAMM
Tahun Sandingan Rencana Realisasi Pembiayaan
Estimasi Pembiayaan Pembiayaan Aktual
2004 15.352.030.000 750.000.000
2005 20.030.200.000 9.800.000.000
2006 22.450.800.000 12.105.000.000
2007 29.875.000.000 15.900.000.000
2008 20.052.121.000 -
JUMLAH 101.760.151.000
38.555.000.000 37.88
4.5. Analisis Kebijakan Pembangunan Infrastruktur Berkelanjutan
Dalam menentukan pembangunan infrastruktur kawasan agropolitan mengarah tercapainya kawasan agropolitan mandiri berkelanjutan, banyak faktor
elemen-elemen yang sangat berpengaruh. Permasalahan yang muncul adalah
213
213 kesulitan dalam menentukan skala prioritas penanganan elemen-elemen tersebut
karena tidak mungkin semua elemen dapat ditangani dalam waktu bersamaan karena adanya keterbatasan biaya, waktu, dan tenaga, sehingga perlu penanganan
secara bertahap dengan cara menentukan prioritas infrastruktur yang harus ditangani.
Penentuan prioritas dapat dilakukan dengan menggunakan proses hierarkhi analitik analytical hierarchy process-AHP. AHP didasarkan pada hasil pendapat
pakar expert judgment untuk menjaring berbagai informasi dari beberapa elemen-elemen yang berpengaruh dalam penyelesaian suatu persoalan. Prinsip
kerja AHP adalah untuk penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, strategik, dan dinamik menjadi bagian-bagian yang tertata dalam suatu
hierarkhi. Urutan prioritas setiap elemen hasil AHP dinyatakan dalam bentuk nilai numerik atau persentase. Dalam rangka mencapai sasaran pembangunan
infrastruktur kawasan agropolitan berbasis komoditas unggulan, maka dilakukan penentuan kriteria subsistem yang memiliki tingkat kepentingan yang tinggi.
Berdasarkan hasil analisis AHP penentuan terhadap faktor yang paling penting sampai yang kurang penting terhadap pembangunan infrastruktur kawasan
agropolitan adalah 1 kesesuaian lahan 0,471, 2 aksesibilitas kawasan 0,268, 3 sumberdaya manusia 0,143, 4 teknologi dan energi 0,075, dan 5
pembiayaan 0,044 Gambar 89. Hasil AHP memperlihatkan faktor kesesuaian lahan sangat memegang
peranan penting dalam pembangunan infrastruktur kawasan agropolitan. Hal ini terlihat dari tingginya nilai skoring yang diberikan oleh para pakar yaitu sebesar
0,471 47,1. Di KAMM, hampir seluruh aktivitas ekonomi masyarakat berkaitan dengan sektor pertanian.
Aktor yang berperan dalam pembangunan infrastruktur kawasan agropolitan berbasis komoditas unggulan antara lain pemerintah, petani, pengusaha, koperasi,
dan perbankan. Berdasarkan hasil AHP diperoleh skala prioritas kepentingan dari yang paling penting sampai yang kurang penting yaitu 1 pemerintah 0,329, 2
petani 0,295, 3 penguasaha 0,210, 3 koperasi 0,125, dan 5 perbankan 0,042.
214
Gambar 89 Hasil AHP prioritas alternatif pembangunan infrastruktur KAMM. Hasil AHP menunjukkan peran pemerintah 32,9 sangat diharapkan
sebagai motivator dan fasilitator dalam pembangunan infrastruktur kawasan agropolitan berbasis komoditas unggulan, baik pemerintah pusat dan terutama
pemerintah daerah. Peran pemerintah kabupaten, dalam hal ini dinas dan instansi terkait, seperti: Dinas Pekerjaan Umum Daerah DPU atau Dinas Permukiman
dan Prasarana Wilayah Kimpraswil, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah BAPPEDA, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura, Dinas
Perkebunan, Dinas Peternakan, dan Dinas Perikanan. - Dinas Pekerjaan Umum berperan dalam melaksanakan pembangunan
infrastruktur penunjang usahatani, pengolahan, dan pemasaran, dan infrastruktur lainnya yang diperlukan dalam menunjang pengembangan
kawasan agropolitan berbasis komoditas unggulan. - Badan Perencanaan Pembangunan Daerah BAPPEDA berperan dalam
melakukan koordinasi penganggran dan perencanaan pembangunan kawasan serta merumuskan kebijakan tentang pengaturan kejelasan penggunaan lahan
untuk pertanian dalam bentuk peraturan daerah Perda. - Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura, Dinas Perkebunan, Dinas
Peternakan, dan Dinas Perikanan berperan dalam memfasilitasi, melakukan kontrol, dan menjamin pelayanan ketersediaan input dan teknologi pertanian
bermutu, serta memfasilitasi ketersediaan sarana pendukung yang dapat diakses petani secara tepat waktu, dan memfasilitasi penyuluhan yang
partisipatif yang berparadigma self-help.
FAKTOR FOKUS
AKTOR TUJUAN ALTERNATIF
215
215 Tahap berikutnya adalah menetapkan tujuan dari pembangunan infrastruktur
kawasan agropolitan berbasis komoditas unggulan. Berkenaan dengan itu ada lima tujuan yang harus dinilai kepentingannya antara lain perluasan lapangan kerja,
perluasan pasar, peningkatan daya saing, peningkatan pendapatan, dan pembangunan daerah. Hasil AHP menunjukkan bahwa tujuan peningkatan
pendapaan merupakan pilihan strategis yang perlu diprioritaskan karena memiliki nilai tertinggi yaitu: 1 peningkatan pendapatan 0,324, dan selanjutnya 2
perluasan lapangan kerja 0,298, 3 perluasan pasar 0,237, 4 peningkatan daya saing 0,091, dan 5 pembangunan daerah 0,051. Kenyataan di lapangan
menunjukkan masyarakat petani pada umumnya mempunyai penghasilan yang tidak terlalu tinggi. Hal ini disebabkan salah satunya paradigma pembangunan
selama ini yang selalu berorientasi pada pembangunan perkotaan dengan membentuk pusat-pusat pertumbuhan untuk menyerap sumberdaya yang ada di
perdesaan. Kurangnya pembangunan di perdesaan akan berdampak pada tingkat pendapatan masyarakat yang rendah. Diharapkan dengan berkembangnya
agropolitan di kawasan ini yang dicirikan dengan telah berkembangnya agroindustri akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Pengembangan
agroindustri akan memberikan nilai tambah bagi petani dan selain itu agroindustri dapat menyerap tenaga kerja yang terdapat di kawasan ini, sehingga terjadi
peningkatan pendapatan masyarakat yang cukup signifikan di daerah ini. Pada level 5 lima merupakan hierarki dalam proses pengambilan
keputusan untuk menetapkan prioritas alternatif yang dominan dalam pembangunan infrastruktur kawasan agropolitan berbasis komoditas unggulan.
Hasil AHP menunjukkan bahwa alternatif pembangunan infrastruktur kawasan agropolitan dari yang paling penting sampai yang kurang penting adalah
pembangunan infrastruktur penunjang agoindustri sebesar 0,340 dan diikuti oleh pembangunan infrastruktur penunjang pemasaran 0,277, pembangunan
infrastruktur penunjang usahatani 0,242 dan pembangunan infrastruktur penunjang permukiman desa 0,140. Hal ini menunjukkan pembangunan
infrastruktur penunjang agoindustri paling penting dalam pengembangan KAMM di Kabupaten Magelang. Adanya agroindustri di kawasan ini akan memberikan
nilai tambah bagi komoditas pertanian, dapat menyerap produk pertanian di
216 kawasan ini, selain itu dapat menyerap tenaga kerja setempat. Keberadaan
agroindustri ini akan memberikan multiplier effect terhadap kawasan ini yang pada akhirnya akan meningkatkan Produk Domestik Regional Bruto PDRB
daerah ini. Hasil akhir bobot alternatif pembangunan infrastruktur Kawasan Agropolitan Merapi-Merbabu disajikan pada Lampiran 12.
4.6. Sintesa Hasil
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, terlihat sintesa hasil pengembangan KAMM pasca fasilitasi pemerintah, menunjukkan keadaan dan
hasil-hasil sebagai berikut: 1 Gambaran umum Kinerja Kawasan Agropolitan Merapi-Merbabu:
1 Kondisi umum Kawasan Agropolitan Merapi-Merbabu: dengan kepadatan penduduk 961 jiwakm
2
sudah melampaui batas kepadatan kawasan agropolitan menurut Friedmann dan Douglass 200 jiwakm
2
namun belum termasuk dalam kategori wilayah perkotaan menurut standar Biro Pusat Statistik
yaitu dengan penduduk diatas 5.000 jiwa km
2
. Dalam rangka menahan laju kepadatan penduduk di kawasan agropolitan ini perlu digalakkan penyuluhan-
penyuluhan tentang keluarga berencana KB, pendidikan dan keterampilan masyarakat, serta pengaturan tentang kepadatan penduduk dan kepadatan
bangunan di tujuh distrikkecamatan yang ada di dalam Kawasan Agropolitan Merapi-Merbabu sehingga tetap terlihat asri dan masih memperlihatkan ciri-ciri
dan karakteristik sebuah wilayah perdesaan. Kepadatan Kota Grabag sebagai Kota Tani Utama agropolis yang merupakan distrik terpadat dengan jumlah penduduk
11.906 jiwa perlu diperhatikan agar tidak menjadi wilayah perdesaan yang padat dan kumuh seperti wilayah perkotaan. Jumlah penduduk di Kawasan Agropolitan
Merapi-Merbabu yang bekerja sebagai petani ada 57,34 , berdasarkan standard Biro Pusat Statistik telah memenuhi persyaratan sebagai kawasan agropolitan di
wilayah perdesaan dengan jumlah petani diatas 25 . Kondisi penduduk miskin yang menurun pasca fasilitasi pemerintah, swasta dan masyarakat rata-rata 0,90
tahun, menunjukkan bahwa dengan pengembangan kawasan agropolitan dapat membantu menurunkan angka kemiskinan. Penurunan angka kemiskinan ini bisa
terjadi karena : 1 adanya perubahan komoditas dari semula tanaman pangan
217
217 beralih ke komoditas sayuran, yang secara ekonomis lebih menguntungkan, 2
petani mendapat akses langsung menjual hasil pertaniannya kepada pedagang besar dengan membawa langsung hasil pertaniannya ke sub terminal agribisnis,
3 mendapat nilai tambah dari proses pengolahan hasil, 4 efektifitas kegiatan- kegiatan akibat adanya pelatihan-pelatihan teknologi dan keterampilan, dan 5
adanya peran pihak perbankan yang memberikan kredit lunak kepada kelompok tani untuk modal kerja maupun untuk UKM. Tingkat pendidikan masyarakat di
Kawasan Agropolitan Merapi-Merbabu yang terdiri dari 69,66 tidak tamatbelum SD dan tamat SD, membuat aktivitas usahatani hanya mereka kuasai
di tingkat produksi, sedangkan aspek pengolahan hasil dan pemasaran sangat terbatas, sehingga pengembangan sistem dan usaha agribisnis secara keseluruhan
tidak berjalan dengan baik, dan bahkan mengalami stagnasi terutama di wilayah hinterland
nya. Potensi sumberdaya alam yang dimiliki Kawasan Agropolitan Merapi-
Merbabu, baik itu potensi agroklimat yang cocok untuk tanaman hortikultura, potensi jenis tanah yang terbentuk oleh proses genesa yang berasal dari endapan
dan abu vulkanik gunung api membuat tingkat kesuburan tanah menjadi tinggi, potensi air baku dari aliran sungai dan lereng-lereng bukit, sangat bermanfaat
untuk menunjang pertumbuhan tanaman hortikultura. Penyediaan Infrastruktur yang dapat menunjang pengembangan sistem dan
usaha agribisnis meliputi infrastruktur penunjang peningkatan produksi, antara lain: penyediaan air baku, jalan usahatani, gudang saprodi, dan tempat
pengumpulan hasil sementara. Infrastruktur penunjang pengolahan hasil, antara lain: packing house, sarana air bersih, cold storage, sarana home industry, sarana
pengolah limbah, dan listrik. Infrastruktur penunjang pemasaran hasil antara lain: sub terminal agribisnis, pasar, sarana telekomunikasi dan jalan antar desa-kota.
Penyediaan infrastruktur ini masih jauh dari mencukupi baik secara kuantitas maupun kualitas. Infrastruktur merupakan pengungkit terhadap berkembangnya
sektor-sektor lain di kawasan agropolitan, sehingga penyediaannya harus didorong sampai mencapai standar pelayanan minimal SPM. Nilai ekonomi infrastruktur
di kawasan agropolitan menjadi relatif mahal karena penyebarannya yang cukup
218 luas mengikuti kontur tanah yang berliku-liku dan mengikuti pola permukiman
yang terbentuk secara linier. Penerapan teknologi pertanian di Kawasan Agropolitan Merapi-Merbabu
dengan kondisi lahan pertanian yang berada dilereng-lereng bukit dengan petak- petak lahan dalam skala sempit, setelah dianalisis berdasarkan variabel-variabel
pengelolaan pertanian, hasilnya menunjukkan bahwa pilihan teknologi masih lebih cocok menggunakan model pertanian konvensional dibandingkan model
pertanian modern. Beberapa elemen pada model pengelolaan pertanian, seperti pengembangan industri manufaktur berbasis komoditas pertanian dalam skala
agroindustri, yang melibatkan pihak swasta harus dilaksanakan secara modern. Modernisasi teknologi pertanian yang dilakukan menyangkut modernisasi dalam
jenis dan ragam produk yang dihasilkan, teknologi yang digunakan berikut seluruh penunjangnya, modernisasi sistem, organisasi dan manajemen serta
modernisasi dalam pola hubungan dan orientasi pasar. Penerapan teknologi harus memperhatikan aspek-aspek antara lain : 1 pemanfaatan sumberdaya tanpa harus
merusak lingkungannya resource endowment; 2 pemanfaatan teknologi yang senantiasa berubah technological endowment; 3 pemanfaatan institusi atau
kelembagaan yang saling menguntungkan pembangunan pertanian institutional endowment
; dan 4 pemanfaatan budaya untuk keberhasilan pembangunan pertanian cultural endowment.
Pola permukiman yang terbentuk secara linier mengikuti kontur lahan yang ada mengakibatkan pembentukan permukiman mengikuti sistem jaringan jalan
yang ada. Kluster-kluster permukiman yang sudah ada membutuhkan jalan penghubung antar distrik-distrik maupun antar distrik dengan kota tani utamanya
agropolis yang cukup panjang. Kondisi tersebut membuat biaya produksi menjadi tinggi karena sebagian besar saprodi dan hasil panen masih harus dipikul
dengan tenaga manusia untuk membawanya dari dan kerumah penduduk. 3 Kinerja Kawasan Agropolitan Merapi-Merbabu : Struktur ruang yang
ada belum sepenuhnya mengikuti Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Agropolitan Merapi-Merbabu yang telah disusun oleh Pemerintah Kabupaten
Magelang. Keadaan ini terlihat dari belum terbentuknya secara definitif hierarki ruang, distrik mana yang menjadi kota tani utama agropolis, sedangkan wilayah
219
219 yang menjadi kawasan sentra produksi KSP dan kota pemasaran akhir Outlet
sudah cukup definitif. Jika ditinjau dari segi kepadatan penduduk maka yang paling tepat menjadi agropolis adalah Kota Grabag karena penduduknya terbesar
diantara 6 distrik lainnya. Namun jika ditinjau dari segi distribusi dan sirkulasi pemasaran hasil pertanian, maka distrik yang paling tepat menjadi agropolis
adalah distrik Dukun dan Ngablak karena di kedua wilayah ini telah ada sub- terminal agribisnis yang dapat menumbuhkan ekonomi lokal yang cukup tinggi.
Fungsi agropolis adalah sebagai pusat perdagangan wilayah yang ditandai dengan adanya pasar-pasar grosir dan pergudangan komoditas sejenis, Pusat
konsentrasi pengolahan dan kegiatan agroindustri berupa pengolahan barang pertanian jadi final product dan setengah jadi intermediate product serta
kegiatan agribisnis, dalam skala menengahbesar. Pusat pelayanan agro industri khusus special agro-industry services, pendidikan, pelatihan dan pengembangan
tanaman unggulan. Pusat konsentrasi penduduk, perumahan dan permukiman, fasilitas umumpublik fasilitas pendidikan, kesehatan, pusat perbelanjaan,
administrasi pemerintahan, dan lain-lain. Adanya perubahan penggunaan lahan land use di fase awal yang terjadi di
Kawasan Agropolitan Merapi-Merbabu tahun 2005, lahan sawah beralih fungsi menjadi lahan kering 0,02 yang dipergunakan untuk bangunan dan lahan
untuk kebuntegalan. Alih fungsi ini terjadi karena minimnya dukungan pembangunan infrastruktur air irigasi. Kondisi tersebut dapat dijadikan masukan
untuk kebijakan pemerintah bahwa sektor publik yang menyangkut kebutuhan masyarakat banyak seperti : irigasi, jalan desa, pasar desa masih harus menjadi
tanggung jawab pemerintah, terutama pemerintah kabupaten. Sebaliknya pada tahun 2006 dan 2007 terjadi penambahan luas lahan sawah 0,15 dari semula
lahan tadah hujan. Hal ini terjadi karena semakin tingginya kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam memperbaiki sistem irigasi desa, sehingga lahan
yang semula tadah hujan tidak produktif meningkat statusnya menjadi lahan beririgasi. Kondisi ini memperlihatkan bahwa jika masyarakat diberdayakan,
maka peran serta mereka akan meningkat walau tanpa stimulans fisik pemerintah. Hasil analisis penggunaan lahan menurut teori Von Thunen maka land allocations
precentages LAP di Kawasan Agropolitan Merapi-Merbabu, meliputi : cluster
220 pertama kegiatan komersial 298,4 Ha 0,75 , cluster kedua kegiatan industri
179,04 Ha 0,45 , cluster ketiga kegiatan residential 5.490,56 Ha 13,75 , dan cluster keempat kegiatan pertanian 33.944 Ha 85,05 . Apabila keempat
cluster ini dikelompokkan lagi menjadi dua cluster, yaitu cluster agropertanian
33.944 Ha 85,05 termasuk di dalamnya 30 kawasan lindung, dan cluster politanpermukiman 5.968 Ha 14,95 . Dengan persentase agro berbanding
politan 85,05 : 14,95 masih termasuk kategori yang tidak melanggar ketentuan standard pelayanan minimum SPM yaitu persentase agro berbanding
politan 70 : 30 . Kondisi ini mengakibatkan Kawasan Agropolitan Merapi- Merbabu dapat dikategorikan sebagai wilayah perdesaan dengan potensi
sumberdaya alam bidang pertanian yang berkelanjutan. Hasil analisis biaya produksi terhadap 30 komoditas hortikultura di
Kawasan Agropolitan Merapi-Merbabu, cabai merah adalah komoditas unggulan yang mempunyai nilai tertinggi. Berdasarkan hasil analisi terhadap RC ratio
ReturnCost, komoditas cabai merah memiliki nilai RC Ratio sebesar 1,77 lebih
besar dari 1 1, yang berarti layak secara financial. Keuntungan yang dapat
diperoleh petani dari kegiatan produksi dengan luas lahan 0,5 Ha dalam satu kali periode musim panen selama enam bulan dengan jumlah produksi cabe merah
5.250 kg, adalah sebesar Rp 20.199.560,- atau Rp 3.366.593,- bulankeluarga petani.
Hasil analisis pengolahan hasil terhadap komoditas cabai merah segar menjadi cabai giling serbuk memperlihatkan nilai RC Ratio sebesar 2,22 yang
berarti pengolahan hasil cabai giling serbuk ini layak secara financial. Keuntungan yang dapat diperoleh petani dari kegiatan pengolahan hasil terhadap
880 kg cabai merah segar akan menghasilkan 80 kg cabai giling serbuk dengan keuntungan Rp 4.403.440,-bulankeluarga petani.
Hasil analisis pemasaran, bagi petani yang menjual hasil produksi cabai merah segar dan hasil olahan cabai giling serbuk kepada pedagang
besardistributor di sub-terminal agribisnis, keuntungan memberi dampak positif pada peningkatan yang besarnya mencapai 11,60 x Rp 3.366.593,- +
4.403.440,- = Rp 901.323,-
221
221 Total keuntungan yang dapat diperoleh petani dari produksi cabai merah di
lahan 0,50 Ha, ditambah keuntungan dari nilai tambah pengolahan hasil value added cabai giling serbuk 80 kg, dengan pemasaran hasil kepada pedagang
besardistributor di sub-terminal agribisnis, adalah sebesar Rp Rp 3.366.593,- + 4.403.440,- + Rp 901.323,- = Rp 8.671.356,-bulankeluarga petani. Angka ini
memperlihatkan bahwa penghasilan satu keluarga petani tersebut sangat mungkin untuk didapat, dengan catatan sistem pengelolaan usahatani dapat dilakukan
dengan profesional, mulai dari sub-sistem produksi, pengolahan, pemasaran, dan ditunjang dengan aspek-aspek teknologi, permodalan, kelembagaan, dan
kebijakan pemerintah yang memihak petani. Hasil analisis empat jenis permodalan yang ada di Kawasan Agropolitan
Merapi-Merbabu, terdapat 57,02 petani telah mampu mengembangkan usahatani dengan modal sendiri, sedangkan 42,98 lagi masih memperoleh
pinjaman modal dari perbankan, tengkulak, dan bagi hasil. Jika kepada para petani yang kekurangan modal dapat diberikan pinjaman modal bersubsidi tanpa agunan
dengan bunga rendah 7 , dengan besar pinjaman Rp 9.184.000,- lama pinjaman 6 bulan. Hasil analisis sebelumnya tentang bunga modal usaha dapat dilihat pada
sub-bab 4.2.2.2 analisis biaya produksi, point d bunga modal usaha, maka para petani kurang modal sebanyak 42,98 dimana 21, 72 diantaranya adalah
petani cabai 2.235 KK dapat diberi pinjaman, maka dibutuhkan modal usaha sebesar 2.235 KK x Rp. 9.184.000,- = Rp 20.52 Milyar.
Hasil analisis kelembagaan menunjukkan bahwa lembaga yang paling berperan dalam pengembangan infrastruktur Kawasan Agropolitan Merapi-
Merbabu adalah Dinas PU Kabupaten Magelang yang merupakan perangkat teknis dari Pemerintah Kabupaten Magelang. Kondisi tersebut memperlihatkan
bahwa Pemerintah Kabupaten Magelang merupakan stakeholder utama pengembangan Kawasan Agropolitan Merapi-Merbabu, sedangkan peran
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi lebih kepada stimulasi. 2 Tingkat Kemandirian Kawasan Agropolitan Merapi-Merbabu :
Berdasarkan hasil analisis terhadap tingkat kemandirian KAMM yang dilakukan dengan multidimensional scalling MDS, diperoleh nilai indeks tingkat
kemandirian mulai dari yang paling tinggi sampai paling rendah adalah pada
222 dimensi usahatani 84,62 , dimensi infrastruktur 73,17 dimensi
suprastruktur 66,49 , dimensi pemasaran 51,35 , dan dimensi agroindustri 15,64 .
Nilai indeks tingkat kemandirian KAMM untuk dimensi usahatani adalah 84,62 . Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kemandirian kawasan untuk dimensi
usahatani sudah cukup baik, namun demikian perlu dilakukan perbaikan- perbaikan terhadap atribut-atribut yang sensitif berpengaruh terhadap nilai indeks
dimensi usahatani, yaitu : 1 akses petani terhadap lahan, merupakan faktor yang sangat penting mengingat kepemilikan lahan usahatani tidak merata dan lebih
banyak petani yang berstatus sebagai buruh tani, penggarap atau penyewa dibandingkan petani pemilik lahan. 2 pengelolaan pasca panen, kegiatannya
belum banyak dilakukan oleh masyarakat padahal mempunyai value added yang tinggi. Petani masih cenderung menjual hasil panen dalam bentuk primer. 3
ketersediaan modal usahatani, masih sebagian besar petani tidak mempunyai modal sendiri untuk mengembangkan usahatani, sehingga harus diarahkan kepada
adanya pinjaman modal melalui kredit bunga rendah tanpa agunan dengan subsidi bunga dari pemerintah.
Nilai tingkat kemandirian kawasan agropolitan pada dimensi infrastruktur adalah 73,26 , yang mengindikasikan bahwa infrastruktur kawasan agropolitan
secara keseluruhan sudah cukup baik, namun ada beberapa atribut pengungkit yang perlu ditingkatkan, yaitu jaringan irigasi untuk menunjang pertumbuhan
tanaman, jaringan drainase permukiman untuk meningkatkan kelayakhunian permukiman di kawasan agropolitan, dan jaringan listrik untuk meningkatkan
industri pengolahan hasil. Nilai tingkat kemandirian kawasan agropolitan pada dimensi suprastruktur
adalah 66,49 , yang menunjukkan bahwa suprastruktur secara umum sudah cukup baik, baik itu lembaga keuangan, lembaga sosial, dan lembaga teknis
lainnya cukup memadai. Kondisi tersebut tidak berarti bahwa semuanya sudah sempurna, karena masih ada beberapa atribut yang perlu ditingkatkan antara lain
adalah ketersediaan lembaga penyuluhan untuk membantu petani dalam meningkatkan produktivitas hasil pertanianya, lembaga keuangan untuk
223
223 membantu petani dalam penyediaan modal, dan lembaga koperasi untuk
penyediaan sarana produksi dan pemasaran hasil pertanian. Nilai tingkat kemandirian kawasan agropolitan pada dimensi pemasaran
adalah 51,35 , menunjukkan bahwa pemasaran hasil pertanian sudah cukup baik. Keseluruhan produk pertanian hortikultura yang dipasarkan di sub-terminal
agribisnis terjual habis setiap hari, namun demikian perlu peningkatan terhadap beberapa atribut yang menjadi pengungkit, yaitu kota tujuan pemasaran,
penggunaan teknologi informasi untuk mendapatkan data dan informasi harga komoditas, dan ketersediaan pasar sarana produksi.
Nilai tingkat kemandirian kawasan agropolitan yang paling rendah adalah pada dimensi agroindustri adalah 15,64 , yang menunjukkan bahwa kegiatan
agroindustri masih sangat rendah. Sebagian besar produk usahatani dijual dalam bentuk primer. Perlu peningkatan terhadap faktor pengungkit leverage, yaitu :
produk agroindustri yang dihasilkan, kelayakan usaha agroindustri, dan variasi jenis produk yang dihasilkan.
Hasil analisis nilai indeks gabungan tingkat kemandirian KAMM dengan MDS
pada dimensi usahatani, agroindustri, pemasaran, infrastruktur, dan suprastruktur menunjukkan nilai 63,31 yang berarti bahwa KAMM termasuk
ke dalam kategori “Kawasan Agropolitan” sekalipun belum mandiri karena belum mencapai nilai indeks 75. Ada beberapa dimensi yang perlu ditingkatkan agar
kawasan agropolitan ini mandiri, yang paling utama adalah pada dimensi agroindustri. Agroindustri belum berkembang secara baik dan proses pengolahan
hasil belum terjadi secara optimal. Dimensi lain yang masih kurang berkembang dan perlu ditingkatkan adalah dimensi pemasaran yang dapat mendekatkan
produksi ke konsumen akhir. Kondisi pemasaran yang sudah relatif berkembang saat ini adalah aspek pemasaran yang dapat mendekatkan produksi ke pasar.
3 Model Pembangunan Infrastruktur Berkelanjutan: Berdasarkan simulasi model pembangunan infrastruktur kawasan
agropolitan, yang dibangun melalui logika hubungan dan interaksi antar sub- model terkait, meliputi sub-model: pertumbuhan penduduk, penggunaan lahan,
produksi usahatanipengolahanpemasaran hasil, infrastruktur penunjang
224 usahatani, infrastruktur penunjang pengolahan hasil, dan infrastruktur penunjang
pemasaran hasil, nilai ekonomi produk kawasan, dan penyerapan tenaga kerja. Hasil simulasi sub-model penduduk menggambarkan bahwa pertumbuhan
penduduk cenderung positif positive growth naik mengikuti kurva eksponensial pada tahun simulasi 2005 sampai 2030 25 tahun yang akan datang. Hal ini
disebabkan laju tingkat kelahiran lebih besar dibandingkan dengan laju tingkat kematian.
Hasil simulasi sub-model penggunaan lahan menunjukkan bahwa terjadi perubahan penggunaan lahan dari lahan hortikultura menjadi lahan permukiman
yang diperkirakan rata-rata seluas 13,6 hatahun sehingga luas lahan permukiman menjadi 1.820,37 ha selama periode simulasi 2005 sampai 2030. Lahan
hortikultura mengalami penurunan rata-rata 55,96 hatahun sehingga luas lahan hortikultura menjadi 16.753,90 ha selama 2005 sampai 2030.
Hasil simulasi sub-model usahatani, pengolahan, dan pemasaran, menunjukkan kecenderungan penurunan laju produksi, sebagai akibat penurunan
luas lahan hortikultura, padahal disatu sisi peningkatan jumlah penduduk terjadi secara signifikan. Kondisi seperti ini akan sangat memungkinkan terjadinya
kelangkaan komoditi hortikultura jika tidak terjaga kesimbangan antara supply- demand
. Hasil simulasi sub-model infrastruktur penunjang usahatani, pengolahan,
dan pemasaran memperlihatkan bahwa tersedianya saluran irigasi dan jalan jalan usahatani farm-road akan sangat menunjang dalam peningkatan laju produksi
usahatani. Tersedianya sarana industri pengolahan cabai merah segar menjadi cabai giling serbuk, terutama dalam skala rumah tangga yang dapat memanfaatkan
paruh waktu anggota keluarga, serta tersedianya sarana kelistrikan akan sangat berpengaruh terhadap berjalannya agroindustri berbasis hortikultura di Kawasan
Agropolitan Merapi-Merbabu. Tersedianya sub-terminal agribisnis STA dan jalan poros desa akan berpengaruh terhadap kelancaran pemasaran hasil pertanian
karena akan dapat mendekatkan produksi ke pasar, sedangkan tersedianya pasar- pasar tradisional dan jalan antar desa-kota akan dapat mendekatkan produksi ke
konsumen akhir. Hasil simulasi sub-model ekonomi memperlihatkan prediksi yang signifikan
225
225 mulai tahun 2005 sampai 2030 yang dipengaruhi oleh hasil penjualan dari
produksi hortikultura dalam bentuk segar ditambah hasil penjualan dari pengolahan serta pemasaran yang langsung dijual kepada pedagang
besardistributor di sub-terminal agribisnis yang sudah ada di kawasan, sehingga seluruh proses ini mendatangkan nilai tambah value added yang menguntungkan
secara ekonomi. Simulasi sub-model tenaga kerja menunjukkan hasil yang signifikan, karena
dipengaruhi oleh terjadinya multiplier effect pada kegiatan agribisnis yang dikembangkan meliputi produksi hortikultura, proses pengolahan hasil dalam
skala rumah tangga, serta terjadinya transaksi secara langsung antara para petani dengan pedagang di sub-terminal agribisnis membuat penyerapan tenaga kerja
yang cukup tinggi. 4 Skenario Pembangunan Infrastruktur Kawasan Agropolitan:
Skenario pembangunan infrastruktur kawasan agropolitan dilakukan melalui intervensi terhadap variabel infrastruktur penunjang usahatani, pengolahan, dan
pemasaran dengan indikator kemajuan pembangunan kawasan adalah nilai ekonomi kawasan dan jumlah pengangguran. Skenario yang dikaji adalah
berbagai alternatif intervensi yang meliputi skenario pesimis, moderat, dan optimis.
Pada skenario pesimis, hanya dengan meningkatkan pembangunan infrastruktur jalan yang berupa jalan usahatani, jalan poros desa, dan jalan antar
desa-kota ternyata mampu meningkatkan laju produksi dan pemasaran hortikultura sebesar 2,86 pada tahun 2010 dan akan mencapai peningkatan
10,05 pada 25 tahun kemudian. Pembangunan jalan juga dapat menekan laju pertumbuhan pengangguran walau dengan laju yang cukup kecil dan berdampak
tidak langsung sebesar 1,12 pada awal simulasi 2010 dan mencapai 2,67 pada tahun 2035.
Skenario Moderat, intervensi dilakukan lebih meluas lagi disamping meningkatkan infrastruktur jalan, juga melakukan intervensi terhadap peningkatan
jaringan irigasi dan peningkatan sub-terminal agribisnis STA. Dengan pembangunan infrastruktur jalan usahatani dan irigasi mampu meningkatkan laju
produksi sebesar 22,29 pada tahun 2010 dan 50,34 pada tahun 2035
226 dibandingkan dengan tanpa intervensi. Pembangunan infrastruktur jalan antar
desa-kota dan peningkatan STA mampu meningkatkan nilai ekonomi total kawasan sebesar 22,28 pada tahun 2010 dan 50,34 pada tahun 2035.
Simulasi melalui skenario moderat ini juga mampu mengurangi 8,78 angka penganguran pada tahun 2010 dan 13,42 pada tahun 2035.
Skenario Optimis, melakukan intervensi terhadap pembangunan jalan, irigasi, STA, dan sarana industri rumah tangga pengolahan cabai giling serbuk.
Melalui skenario optimis ini dapat meningkatkan nilai ekonomi total kawasan yang sangat signifikan sebesar 49 pada tahun 2010 dan 163,52 pada tahun
2035, dan mampu menurunkan angka pengangguran 9,38 pada tahun 2010 dan 15,15 pada tahun 2035.
5 Kebijakan Pembangunan Infrastruktur Berkelanjutan : Berdasarkan hasil analisis AHP yang didasarkan pada hasil pendapat pakar
untuk menentukan kebijakan dan strategi pembangunan infrastruktur kawasan agropolitan, faktor yang paling penting sampai yang kurang penting adalah 1
kesesuaian lahan 0,471, 2 aksesibilitas kawasan 0,268, 3 sumberdaya manusia 0,143, 4 teknologi dan energi 0,075, dan 5 pembiayaan 0,044.
Faktor kesesuaian lahan sangat memegang peranan penting dalam pembangunan infrastruktur kawasan agropolitan, karena akan menentukan efektifitas dan
efisiensi pembangunan infrastruktur. Stakeholders
atau aktor yang paling penting sampai yang kurang penting yaitu 1 pemerintah 0,329, 2 petani 0,295, 3 penguasaha 0,210, 3
koperasi 0,125, dan 5 perbankan 0,042. Peran pemerintah sangat diharapkan sebagai motivator dan fasilitator dalam pembangunan infrastruktur kawasan
agropolitan, terutama pemerintah kabupaten magelang yang harus berperan sebagai stakeholder utama.
Dalam menetapkan tujuan, pilihan strategis yang diprioritaskan yang memiliki nilai tertinggi yaitu: 1 peningkatan pendapatan 0,324, 2 perluasan
lapangan kerja 0,298, 3 perluasan pasar 0,237, 4 peningkatan daya saing 0,091, dan 5 pembangunan daerah 0,051. Tujuan peningkatan pendapatan ini
diprioritaskan mengingat pendapatan para petani selalu sangat tidak memadai
227
227 bahkan sering merugi, padahal kegiatan inti dari pengembangan agribisnis di
kawasan agropolitan adalah kegiatan masyarakat dengan aktifitas utama pertanian. Dalam proses pengambilan keputusan untuk menetapkan prioritas
alternatif yang paling penting sampai yang kurang penting dalam pembangunan infrastruktur kawasan agropolitan adalah 1 pembangunan infrastruktur
penunjang agoindustri sebesar 0,340, 2 pembangunan infrastruktur penunjang pemasaran 0,277, 3 pembangunan infrastruktur penunjang usahatani 0,242,
dan 4 pembangunan infrastruktur penunjang permukiman 0,140. Pembangunan infrastruktur penunjang agroindustri sangat dibutuhkan karena akan dapat
menimbulkan multiplier effect.
228
V. REKOMENDASI
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAMM
Kebijakan pengembangan Kawasan Agropolitan Merapi-Merbabu merupakan kebijakan pengembangan kawasan, yang meliputi pembangunan
sektor-sektor pertanian dan sektor terkait lainnya yang diintegrasikan ke dalam model pendekatan pengembangan wilayah.
Berdasarkan kebutuhan pembangunan sektor-sektor pendukung di KAMM yang diintegrasikan dalam sebuah manajemen pengembangan wilayah terpadu
dan terintegrasi, maka kebijakan-kebijakan yang direkomendasikan untuk dikembangkan di KAMM dikelompokkan ke dalam dua kebijakan, meliputi 1
kebijakan umum pengembangan KAMM yang terdiri dari : pembangunan sumberdaya manusia, sumberdaya alam, teknologi pertanian, permukiman, tata
ruang, usahataniagribisnis, permodalan, dan kelembagaan, serta 2 kebijakan spesifik pembangunan infrastruktur berkelanjutan KAMM.
Diagram alir model konseptual kebijakan umum pengembangan KAMM dan kebijakan spesifik pembangunan infrastruktur berkelanjutan KAMM disajikan
pada Gambar 90.
5.1 Kebijakan Umum Pengembangan KAMM
Kebijakan umum yang direkomendasikan untuk dikembangkan di KAMM meliputi:
1 Kebijakan pengembangan sumberdaya manusia; merupakan langkah awal yang harus dilaksanakan diawal kawasan agropolitan mulai dikembangkan
sebelum sektor lain masuk. Kebijakan pengembangan sumberdaya manusia di KAMM bisa dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan, peningkatan
keterampilan, dan penyuluhan. 2 Kebijakan pengembangan teknologi; penerapan teknologi tepat guna
pertanian terutama untuk industri manufaktur berbasis komoditas pertanian dalam skala rumah tangga home industry sangat penting untuk dikembangkan, dengan
tetap memperhatikan aspek-aspek antara lain : 1 pemanfaatan sumberdaya tanpa
229
229 harus merusak lingkungan resource endowment; 2 pemanfaatan teknologi yang
senantiasa berubah technological endowment; 3 pemanfaatan institusi atau kelembagaan yang saling menguntungkan pembangunan pertanian institutional
endowment ; dan 4 pemanfaatan budaya untuk keberhasilan pembangunan
pertanian cultural endowment. Transfer teknologi tepat guna kepada masyarakat selaku pelaku utama pengembangan agribisnis, terutama untuk mendorong agar
berkembangnya industrialisasi di perdesaan sangat dibutuhkan sehingga masyarakat bisa melakukan proses home industry di tempat tinggal masing-
masing tanpa harus mengeluarkan biaya tambahan seperti biaya transportasi dan lain-lain.
Pengembangan
KAMM
Kinerja Sektor-sektor Pasca Fasilitasi
Pembangunan
INFRASTRUKTUR
Ekonomi
Lingkungan Sosial
Pembangunan Infrastruktur KAMM
Infrastruktur Jalan: Usahatani, Jalan Poros,
Jalan Antar Desa-Kota Infrastruktur Air:
Bangunan Penangkap Air, Jaringan
Irigasi dan Air Bersih Infrastruktur Bangunan:
Packing House, STA, Pasar Tradisiopnal, Home Industry
Rekomendasi Kebijakan Umum
Pengembangan KAMM
Rekomendasi Kebijakan
Spesiifik Pembangunan
Infrastruktur KAMM
Perlu penelitian
lanjutan
Input Model Pengembangan KAMM menuju Kawasan Argopolitan Mandiri
Secara ekonomi menguntungkan
Secara sosial bermanfaat
Ramah lingkungan
Infrastruktur Berkelanjutan
Kebijakan Umum Pengembangan KAMM Kebijakan Spesifik Pembangunan IB-KAMM
SDM
SML Infrastruktur Energi:
Jaringan Listrik, Microhydro, Gas.
TR PER
KIM AGRI
BISNIS TEKNO
LOGI MO
DAL LEM
BAGA
Infrastruktur Telekomunikasi: Jaringan Telpon, Internet
Infrastruktur Limbah: IPAL,
Persampahan
Infrastruktur Permukiman: Fasilitas Umum dan Fasilitas
Sosial
Gambar 90 Diagram alir model konseptual kebijakan umum pengembangan KAMM dan kebijakan spesifik pembangunan infrastruktur
berkelanjutan KAMM
3 Kebijakan pengembangan permukiman; merupakan upaya peningkatan kawasan-kawasan permukiman sampai mencapai taraf layak huni terutama cluster
permukiman yang terbentuk secara linier mengikuti kontur lahan yang beberapa cluster
diantaranya berada pada wilayah topografi yang curam kemiringan lahan diatas 30 dan rawan bencana. Cluster-cluster permukiman juga perlu
dihubungkan dengan kota tani utama agropolis dan antar cluster melalui jaringan
230 jalan poros desa sehingga terbentuk jejaring permukiman yang menjadi satu
kesatuan lingkungan permukiman yang harmonis. 4 Kebijakan penataan ruang; mensosialisasikan Undang-undang Nomor
26 Tahun 2007 beserta peraturan-peraturan turunannya yang telah ada sampai ke tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa, agar zonasi-zonasi dan persentase
penggunaan lahanland allocations presentages LAP tetap sesuai dengan peruntukan yang telah ditetapkan dalam RUTR kabupatenkota dan RDTR-
KAMM. Kebijakan di bidang penataan ruang termasuk menetapkan wilayah yang menjadi kota tani agropolis yaitu kota Grabag dan kota tani baru yaitu agropolis
dukun dan ngablak, sehingga struktur dan hierarki ruang KAMM dapat terbentuk dan berfungsi sebagai simpul distribusi dan jasa, pusat perdagangan wilayah,
pusat kegiatan dan pelayanan agroindustri, dan pusat pelayanan fasilitas umum dan fasilitas sosial.
5 Mencetak kader-kader hutan lestari di masing-masing distrikkecamatan, untuk menjaga pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan
termasuk konservasi kawasan lindung serta menjaga terjadinya alih fungsi lahan dari lahan pertanian produktif menjadi lahan industri dan permukiman.
6 Kebijakan pengembangan agribisnis; mensosialisasikan dan merekomendasikan kepada masyarakatpetani tentang jenis-jenis komoditas
unggulan pertanian yang cocok dengan potensi agroklimat dataran tinggi Merapi- Merbabu dan potensi lahan yang berasal dari abu vulkanik gunung api, terutama
kelompok komoditas-komoditas hortikultura yang memiliki RC ratio
returncost, lebih besar dari 1 1 yang berarti layak secara financial dan
merekomendasikan komoditas hortikultura berdasarkan prospek pemasaran hasil analisis BCG, yaitu kuadran I “stars” prospek, group produk yang paling
menguntung yaitu cabai, dan kuadran II “cash cows” prospek, group produk yang masih mendatangkan keuntungan dan perlu dipertahankan, yaitu loncang, kapri,
pare, dan kentang. Pemilihan produk yang mempunyai prospek ini, akan membuat para petani memproduksi komoditi hortikultura yang laris di pasaran dan banyak
dikonsumsi masyarakat. Kebijakan mendorong untuk berkembangnya agroindustri di Kawasan
Agropolitan Merapi-Merbabu yang dapat menimbulkan multiplier effect, terutama
231
231 industri manufaktur dalam skala rumah tangga home industry agar masyarakat
mendapat keuntungan secara langsung dari nilai tambah proses pengolahan hasil value added adalah merupakan kebijakan yang sangat mendesak.
7 Kebijakan pengembangan permodalan usahatani; yaitu membuka akses petani ke sumber pembiayaan agar bisa mendapat pinjaman modal usahatani
dengan skim kredit tanpa agunan dengan bunga subsidi, sehingga petani kekurangan modal tidak terjerat oleh para tengkulak dan pengijon yang sangat
memberatkan dan merugikan para petani. 8
Kebijakan pengembangan kelembagaan; perlu mengembangkan lembaga pengelola kawasan agropolitan yang telah ada, baik pengelola di tingkat
birokrasi seperti Pokja Pengembangan kawasan agropolitan tingkat provinsi, kabupaten, dan kawasan berdasarkan tugas pokok dan fungsi masing-masing,
sehingga pengelolaan kawasan agropolitan dapat berjalan dengan baik dan optimal, maupun lembaga yang ada dimasyarakat seperti gabungan kelompok tani
Gapoktan, kelompok tani andalan nasional KTNA, himpunan kerukunan tani indonesia, dan asosiasi-asosiasi masyarakat lainnya. Pengembangan kelembagaan
pengelola infrastruktur seperti: Pengelola Sub-Terminal Agribisnis Sewukan dan Ngablak sampai ke tingkat masyarakat sangat dibutuhkan agar masyarakat merasa
memiliki dan memanfaatkan serta memelihara infrastruktur tersebut. 9
Kebijakan pengembangan suprastruktur lainnya; yaitu perlunya membangun komiten pemerintah daerah baik pemerintah provinsi maupun
pemerintah kabupaten untuk mendorong KAMM menjadi kawasan agropolitan mandiri yang tidak harus tergantung lagi dengan bantuan dan stimulans
pemerintah. Komitmen pemerintah daerah ini hendaknya diikuti dengan pengalokasian dana APBD I-II terutama untuk pembangunan sektor-sektor yang
manfaatnya dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakatpetani, antara lain untuk subsidi pengadaan pupuk murah, bibit unggul, serta untuk pembangunan
infrastruktur publik seperti jalan desa, irigasi, pasar desa, dan lain-lain. 10 Kebijakan pengembangan kemitraan antara Pemerintah Kabupaten
Magelang dengan pihak-pihak investor dan masyarakat untuk mengembangkan Kawasan Agropolitan Merapi-Merbabu secara keseluruhan terutama untuk
mengembangkan dan menggerakkan industrialisasi perdesaan berbasis komoditas
232 pertanian agroindustri, yang meliputi pembangunan industri inti oleh pihak
investor dan industri penunjang oleh masyarakat. Prinsip-prinsip kemitraan ini harus mengandung kesetaraan, transparansi, saling menguntungkan, saling
membutuhkan, dan saling memperkuat.
5.2 Kebijakan Spesifik Pembangunan Infrastruktur Berkelanjutan
KAMM
Kebijakan pembangunan infrastruktur di kawasan agropolitan haruslah memenuhi prinsip-prinsip keberlanjutan, yang diwujudkan dalam bentuk sistem
manajemen lingkungan SML yang memperhatikan aspek-aspek kelestarian lingkungan ekologi, keberlangsungan kegiatan ekonomi dan kestabilan sosial
budaya masyarakat. Pembangunan infrastruktur ini harus diarahkan secara spesifik untuk mendorong pengembangan sistem dan usaha agribisnis secara utuh
dan menyeluruh mulai dari hulu sampai hilir di kawasan agropolitan. Berjalannya sistem dan usaha agribisnis yang meliputi sub-sistem agribisnis hulu, sub-sistem
usahatani, sub-sistem pengolahan, sub-sistem pemasaran, dan sub-sistem jasa penunjang, akan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi lokal di kawasan
agropolitan, yang pada akhirnya akan menopang perekonomian nasional. Pembangunan infrastruktur juga akan berperan sebagai pengungkit leverage dan
penggerak utama prime mover sektor-sektor terkait lainnya di kawasan agropolitan.
Kebijakan pembangunan infrastruktur juga harus dilaksanakan dengan memenuhi kaidah-kaidah norma, standar, prosedur, kriteria NSPK yang
meliputi: adanya perencanaan yang menyeluruh a master linking or integrated plan,
adanya rencana induk untuk setiap pembangunan dan pengembangan sistem master plans for the development of each service infrastruktur system,
tersusunnya perkiraan biaya assesments that tie to the budgeting process, terbentuknya organisasi dan pengembangan institusi yang ada capacity building
development, dan adanya perencanaan peningkatan sistem yang ada plans to
improve operation servicess. Pembangunan infrastruktur dilaksanakan dengan empat tahapan, meliputi :
1 tahapan studi kelayakan pembangunan infrastruktur, 2 tahapan penyusunan
233
233 perencanaan dan rancangan infrastruktur, 3 tahapan pelaksanaan pembangunan
infrastruktur, dan 4 tahapan operasi dan pemeliharaan infrastruktur. 1 Tahapan studi kelayakan pembangunan infrastruktur: merupakan aktivitas
awal yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Magelang selaku stakeholder utama pengembangan Kawasan Agropolitan Merapi-Merbabu,
melalui kegiatan pra studi kelayakan infrastruktur yang akan dibangun. Di dalam kegiatan ini ide diterjemahkan dalam bentuk analisis dengan tujuan
agar “apakah ide pembangunan infrastruktur itu bisa ditindaklanjuti dengan analisis berikutnya”. Di dalam kegiatan pra studi kelayakan ini, analisis yang
dilakukan meliputi aspek teknis, aspek ekonomi, aspek sosial, dan aspek lingkungan. Aktivitas berikutnya berupa studi kelayakan, berdasarkan
rekomendasi yang dikeluarkan pada pra studi kelayakan selanjutnya dilakukan studi kelayakan. Pada aktivitas studi kelayakan ini, data primer dan
sekunder infrastruktur dikumpulkan secara lengkap sehingga analisis teknis, ekonomi, sosial, dan lingkungan dapat dilakukan lebih detail. Dari studi
kelayakan ini muncul berbagai alternatif dan rekomendasi pembangunan infrastruktur yang sudah dikaji secara mendalam. Kajian pada tahapan studi
kelayakan ini akan menjadi masukan dalam penyusunan Master Plan dan rencana pembangunan jangka menengah RPJM KAMM, yang akan menjadi
acuan dalam pengembangan KAMM dalam jangka panjang dan menengah. 2 Tahapan penyusunan perencanaan dan rancangan infrastruktur: Hasil
rekomendasi dari studi kelayakan pembangunan infrastruktur, apabila dinyatakan “layak” maka kegiatan selanjutnya ditindaklanjuti dengan
kegiatan penyusunan perencanaan teknis dan rancangan pembangunan infrastruktur KAMM. Penyusunan perencanaan teknis dan rancangan
pembangunan infrastruktur harus disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik serta jenis komoditas pertanian yang akan ditunjang dengan
memperhatikan dan menerapkan kriteria-kriteria teknis berupa norma, standard, prosedur, dan kriteria NSPK pembangunan infrastruktur.
Kriteria teknis perencanaan dan rancangan pembangunan infrastruktur untuk menunjang komoditas hortikultura antara lain adalah:
234 ► Infrastruktur air: meliputi jaringan irigasi dan jaringan air bersih.
Jaringan irigasi dan jaringan air bersih adalah saluran, bangunan, dan bangunan pelengkapnya yang merupakan satu kesatuan dan diperlukan
untuk pengaturan air mulai dari penyediaan, pengambilan, pembagian, pemberian, penggunaan, dan pembuangannya. Kriteria teknis yang harus
dipenuhi antara lain: pengelolaan irigasi dilaksanakan dengan prinsip- prinsip mewujudkan kemanfaatan air yang menyeluruh, terpadu, dan
berwawasan lingkungan, serta untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani. Irigasi berfungsi mempertahankan dan
meningkatkan produktivitas lahan untuk mencapai hasil pertanian yang optimal tanpa mengabaikan kepentingan air lainnya seperti untuk
konsumsi rumah tangga dan lain-lain. Pengelolaan irigasi dilaksanakan dengan sistem satu kesatuan pengelolaan, dengan memperhatikan
kepentingan pengguna air di bagian hulu, tengah, dan hilir secara seimbang. Pemakaian air yang berfungsi multiguna, antara lain untuk
kepentingan usahatani, pengolahan hasil serta untuk konsumsi rumah tangga, harus dirancang agar air dari sumberhulu yang belum tercemar
langsung dialirkan langsung ke kawasan permukiman dengan sebuah sistem jaringan air bersih, yang dimulai dari pembangunan eksplorasi
sumber daya air, pengolahan treatment, penampungan storage, transmisi, dan jaringan distribusi sampai ke rumah tangga. Sedangkan
jaringan irigasi untuk kebutuhan pertanian hortikultura dimulai dari penyediaan jaringan irigasi primer, sekunder, dan tersier.
► Infrastruktur jalan: jaringan jalan yang ada dalam KAMM meliputi jalan usahatani farm-road, jalan poros desa, dan jalan antar desa-kota. Jalan
usahatani type setapak dapat dilalui oleh pejalan kaki dan sepeda motor untuk mengangkut saprodi atau hasil panen. Jalan usahatani kolektor
dapat dilalui oleh kendaraan roda empat muatan terberat 4 ton. Jalan poros desa dapat dilalui kendaraan roda empat dan enam dengan muatan
terberat 6 ton, dan jalan antar desa-kota dapat dilalui kendaraan roda enam dengan muatan terberat 8 ton. Permukaan jalan harus dibuat cukup
235
235 rata dan halus agar komoditas hortikultura tidak rusak kena goncangan
selama dalam pengangkutan. ► Infrastruktur transportasi: sistem transportasi pengangkutan hasil panen
di KAMM dimulai dari pengangkutan awal dari petak-petak lahan dengan pikulan manusia sampai ke tempat pengumpulan hasil sementara
TPHS, dilanjutkan dengan pengangkutan menggunakan kendaraan pickup roda empat sampai ke packing house. Produk hortikultura dari
packing house ada yang dibawa ke supermarket, ke sub-terminal
agribisnis, dan ke pasar tradisional. Pemasaran produk hortikultura ke kota-kota pemasaran akhir outlet dilakukan dengan menggunakan
kendaraan truk roda enam. Seluruh proses pengangkutan komoditas hortikultura harus menggunakan mobil tertutup atau minimal
menutupnya dengan tenda sehingga produk hortikultura tidak oleh kemungkinan terkena hujan dan panas matahari.
► Infrastruktur pengolahan dan pemasaran: pengolahan dan pemasaran produk hortikultura harus dilakukan dalam bangunan yang terlindung
dari panas matahari dan hujan, dengan suhu udara yang tidak panas bahkan untuk jenis-jenis komoditas sayuran tertentu memerlukan ruang
pendingin cold storage sehingga bias bertahan lama dalam keadaan tetap segar.
3 Tahapan Pelaksanaan Pembangunan Infrastruktur : Pada tahapan ini hasil penyusunan perencanaan dan rancangan infrastruktur diimplementasikan,
dengan memperhatikan aspek-aspek ketepatan kualitas, ketepatan waktu pembangunan, ketepatan pembiayaan, dan ketepatan sasaran. Tahapan
pembangunan infrastruktur harus disesuaikan dengan kebutuhan komoditas yang akan ditunjang di KAMM. Komoditas hortikultura dengan rata-rata usia
tanam sampai panen selama 6 bulan, membutuhkan infrastruktur secara keseluruhan dalam waktu yang relatif sama. Infrastruktur penunjang
usahatani berupa: jalan usahatani, dan air baku, serta infrastruktur penunjang berupa packing house, sarana home industry, jaringan listrik, serta
infrastruktur penunjang pemasaran berupa sub-terminal agribisnis STA, pasar tradisional, jaringan telepon dapat dibangun sekaligus atau berurutan.
236 Sedangkan apabila komoditas pertanian baru bias dipanen dalam waktu yang
cukup lama maka pembangunan infrastruktur penunjang pemasaran bias dilaksanakan pada tahapan terakhir.
4 Tahapan Operasi dan Pemeliharaan: Sesudah pelaksanaan pembangunan infrastruktur selesai maka infrastruktur dapat langsung dioperasikan dipakai
dan harus dipelihara agar sesuai dengan umur infrastruktur yang telah direncanakan sebelumnya. Operasi dan pemeliharaan infrastruktur ini
dilaksanakan oleh sebuah BadanUnit Pengelola yang dibentuk dari dan oleh petani, seperti Badan Pengelola STA Sewukan yang telah dibentuk ketika
pembangunan telah selesai.
237
237
VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, model kebijakan pembangunan infrastruktur berkelanjutan dalam mendukung pengembangan
kawasan agropolitan di KAMM disimpulkan sebagai berikut: 1. Kinerja pengembangan Kawasan Agropolitan Merapi-Merbabu pasca fasilitasi
pemerintah yang telah menimbulkan dampak positif terhadap perkembangan KAMM dapat dijadikan lesson learning dalam menyusun kebijakan
pembangunan infrastruktur di KAMM dimasa yang akan datang, terutama dalam mendukung pengembangan kawasan agropolitan secara mandiri.
Dampak dari kegiatan-kegiatan yang telah dikembangkan telah meningkatkan kinerja KAMM secara signifikan, antara lain:
1 Pola pengembangan sumberdaya manusia dalam pengelolaan usahatani yang berkualitas, berdaya saing, bernilai ekonomis yang tinggi, telah
dapat meningkatkan taraf hidup petani di KAMM yang diukur dengan indikator peningkatan penghasilan yaitu adanya saving pendapatan yang
dapat dijadikan modal usahatani. 2 Meningkatnya taraf pendidikan keluarga petani yang diukur dengan
indikator dari semula mayoritas tidak tamatbelum SD dan tamat SD sebanyak 69,66 , setelah pengembangan KAMM terjadi peningkatan
pemahaman masyarakat akan pentingnya pendidikan sehingga mayoritas anak-anak petani sudah melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang SLTP
dan SLTA. Peningkatan pendidikan ini akan mendorong generasi petani tidak lagi hanya menguasai aspek produksi, akan tetapi mereka bisa
menguasai sampai kepada aspek manajemen pengelolaan usahatani mulai dari hulu sampai hilir.
3 Pola pengembangan kawasan yang menyeluruh mulai dari kawasan sentra produksi KSP sampai ke sentra pengolahan hasil pada kota-kota
tani agropolis, yang semula penduduk terkonsentrasi di wilayah- wilayah kota tani, setelah adanya jangkauan pembangunan infrastruktur
238 sampai ke wilayah sentra produksi mendorong penyebaran penduduk ke
wilayah tersebut secara merata. Akibat penyebaran penduduk ke sentra- sentra produksi membuat kepadatan penduduk KAMM rata-rata 961
jiwakm
2
masih berada di bawah standar batas kepadatan penduduk wilayah perdesaan menurut Biro Pusat Statistik yaitu 5.000 jiwakm
2
. 4 Pola penciptaan lapangan pekerjaan produktif baik dalam sub-sistem
usahatani, pengolahan, maupun pemasaran dapat menurunkan angka kemiskinan di KAMM.
5 Pengembangan teknologi tepat guna bidang pertanian di KAMM terutama untuk industri manufaktur berbasis komoditas pertanian dalam
skala rumah tangga home industry, mendorong pengelolaan KAMM yang semula murni konvensional menjadi semi modern.
6 Pola pengembangan permukiman yang masih mempertahankan pola permukiman tradisional yang asri dan berciri khas wilayah perdesaan,
dengan tingkat kepadatan bangunan yang masih rendah. 7 Terbentuknya distrik dukun dan distrik ngablak sebagai kota tani baru
new agropolis, sebagai akibat dari dampak pertumbuhan ekonomi lokal yang sangat tinggi di kawasan tersebut. Kedua new agropolis ini dapat
berfungsi sebagai pusat pengembangan agropolitan dan simpul distribusi dan jasa, pusat perdagangan wilayah, pusat kegiatan dan pelayanan
agroindustri, pusat pengembangan perumahan dan permukiman, serta pusat pelayanan fasilitas umum dan fasilitas sosial.
8 Meningkatnya pemahaman masyarakat tentang perlunya menegakkan ketentuan-ketentuan tentang tata ruang, terutama ketentuan-ketentuan
yang mengatur tentang zonasi-zonasi dan peruntukan lahan di kawasan agropolitan. Land allocations presentages LAP antara wilayah agro
dengan politan yaitu 85,05 agro berbanding 14,95 politan, membuat KAMM dapat melindungi diri dari ancaman-ancaman alih fungsi lahan
dari lahan pertanian produktif menjadi lahan terbangun. 9 Kegiatan-kegiatan pelatihan di KAMM yang dapat meningkatkan
kesadaran masyarakat tentang perlunya melestarikan sumberdaya alam dan lingkungan, terutama hutang lindung yang mulai digerogoti oleh
239
239 sebagian kecil masyarakat. Terbentuknya kader-kader penyuluh
swakarsa dan peduli lingkungan hidup, dapat dipersepsikan sebagai wujud CSR corporate social responsibility masyarakat sebagai
pemanfaat potensi KAMM. 10 Pola penguatan kelembagaan pengelola KAMM yang telah berfungsi
dengan baik, terutama pokja pengembangan kawasan agropolitan tingkat kabupaten maupun pengelola tingkat kawasan dan pengelola tingkat
infrastruktur seperti, yang ditunjang oleh pengelola KAMM di tingkat masyarakat seperti Gapoktan, KTNA, HKTI, dan asosiasi-asosiasi
masyarakat lainnya, membuat kinerja KAMM makin meningkat dengan baik.
2. Kemandirian KAMM pasca fasilitasi pemerintah secara gabungan sudah cukup baik, sekalipun masih membutuhkan peningkatan terhadap beberapa
dimensi untuk dapat mendekati nilai kemandirian, yaitu dimensi agroindustri, dimensi pemasaran, dimensi suprastruktur dan dimensi infrastruktur. Untuk
dapat mandiri perlu peningkatan melalui beberapa atribut pengungkit leverage. Hasil peningkatan terhadap dimensi-dimensi kemandirian, akan
menjadikan KAMM sebagai kawasan agropolitan mandiri. Kawasan agropolitan yang sudah mandiri akan menjadi frame dalam penyusunan model
kebijakan pembangunan infrastruktur. 3. Hasil simulasi keterkaitan beberapa sub-model dalam pengembangan KAMM
menempatkan peran sub-model pembangunan infrastruktur sebagai penggerak, pendorong, dan pengungkit, sektor-sektor lain, dalam mencapai tujuan
pengembangan kawasan agropolitan mandiri. Model infrastruktur yang dirancang di KAMM untuk menunjang pengembangan kawasan agropolitan
mandiri harus memenuhi: 1 Prinsip-prinsip keberlanjutan, yang diwujudkan dalam bentuk sistem
manajemen lingkungan SML, yang memperhatikan aspek-aspek kelestarian lingkungan ekologi, keberlangsungan kegiatan ekonomi dan
kestabilan sosial budaya masyarakat.
240 2 Skenario model pembangunan infrastruktur memilih alternatif skenario
optimis, dengan intervensi melalui peningkatan kondisi seluruh variabel menjadi lebih baik, dengan pembangunan infrastruktur penunjang
usahatani, pemasaran dan pengolahan hasil. Melalui intervensi seperti ini maka kegiatan agribisnis yang meliputi usahatani, pengolahan, dan
pemasaran akan berjalan dengan baik, dan diprediksi akan dapat meningkatkan nilai ekonomi kawasan dan menurunkan tingkat
pengangguran. 4. Kebijakan pembangunan infrastruktur berkelanjutan di KAMM, diarahkan
untuk: 1 Mendorong percepatan kemandirian KAMM.
2 Mendorong pertumbuhan ekonomi lokal di KAMM melalui pengembangan sistem dan usaha agribisnis berbasis komoditas unggulan
yang berdaya saing. 3 Mendorong terbentuknya kota-kota tani agropolis di masing-masing
distrik agropolitan yang berfungsi sebagai pusat pelayanan dan simpul distribusi barang dan jasa di KAMM.
4 Alternatif kebijakan pembangunan infrastruktur di KAMM, yang paling prioritas adalah pembangunan infrastruktur penunjang agoindustri, disusul
alternatif pembangunan infrastruktur pemasaran, usahatani, dan permukiman.
5 Jenis infrastruktur penunjang agroindustri yang paling dibutuhkan adalah pembangunan packing house gapoktan yang representatif, yang dilengkapi
dengan lapangan bongkar muat, cold storage, sarana air bersih, sarana air limbah dan persampahan, jaringan telekomunikasi, dan kantor sekretariat
gapoktan. Jenis infrastruktur penunjang agroindustri lainnya adalah pembangunan sarana industri rumah tangga home industry pada unit-unit
permukiman penduduk. Sedangkan jenis infrastruktur penunjang pemasaran yang paling dibutuhkan adalah infrastruktur yang dapat
mendekatkan produksi ke konsumen akhir, berupa pembangunan pasar indukterminal agribisnis TA dan pasar-pasar tradisional terutama pada
kota-kota pemasaran akhir outlet. Jenis pembangunan infrastruktur
241
241 penunjang usahatani yang paling dibutuhkan adalah jalan usahatani
sekunder yang dapat dilalui kendaraan pickup roda empat pembawa saprodi dan hasil panen. Sedangkan jenis pembangunan infrastruktur
penunjang permukiman yang paling dibutuhkan adalah pembangunan fasilitas umum dan fasilitas sosial setara perkotaan di KAMM, sehingga
bisa menahan laju migrasi ke kota. 6 Tahapan pembangunan infrastruktur di KAMM dilaksanakan dengan
tahapan : a studi kelayakan, b penyusunan perencanaan dan rancangan, c pelaksanaan pembangunan, dan d operasi dan pemeliharaan.
6.2 Saran
Beberapa saran penelitian dalam rangka penyusunan model kebijakan pembangunan infrastruktur berkelanjutan dalam menunjang pengembangan
kawasan agropolitan adalah sebagai berikut: 1. Disarankan adanya payung hukum setingkat Kepres atau Kepmenko tentang
koordinasi pengembangan kawasan agropolitan. 2. Untuk lebih mengoptimalkan kinerja KAMM menuju kawasan agropolitan
mandiri, pemerintah daerah setempat agar memperkuat komitmennya dalam pendampingan masyarakat mengelola KAMM secara mandiri.
3. Dalam rangka meningkatkan kemandirian KAMM menuju kawasan agropolitan mandiri, diperlukan intervensi pemerintah dalam upaya percepatan
pencapaian tujuan yang ingin dicapai quickwens, dan menselaraskan pencapaian triple track strategy yang pro-growth, pro-job, dan pro-poor.
Dimensi kemandirian yang paling prioritas ditingkatkan adalah dimensi agroindustri melalui usaha menarik investor untuk melakukan kemitraan
dengan petani setempat. Peningkatan dimensi pemasaran melalui pembangunan terminal agribisnis di masing-masing kota pemasaran akhir
outlet KAMM. Sedangkan peningkatan dimensi suprastruktur melalui pengalokasian dana APBD II Kabupaten Magelang untuk membina
pengelolaan KAMM sampai betul-betul mencapai kemandiriannya. 4. Arahan kebijakan pembangunan infrastruktur KAMM dalam menuju kawasan
agropolitan mandiri agar diarahkan kepada pembangunan infrastruktur
242 penunjang agroindustri beruapa pembangunan infrastruktur energi listrik,
infrastruktur jalan primer menuju kota-kota pemasaran akhir termasuk untuk pintu ekspor ke luar negeri, dan penyiapan infrastruktur utama
KASIBALISIBA zonasi-zonasi industri yang telah dipersiapkan sesuai RUTR KAMM.
5. Disarankan adanya Perda yang mengatur tentang ketentuan alih fungsi lahan serta larangan untuk membangun pada kawasan-kawasan yang mempunyai
kemiringan diatas 30 karena sangat berbahaya terhadap keselamatan masyarakatpetani.
6. Pembangunan infrastruktur KAMM disarankan setara dengan infrastruktur perkotaan, dan memenuhi persyaratan norma, standar, pedoman, kriteria
NSPK, serta kecukupan standar pelayanan minimum SPM, baik dari aspek teknis, sosial-budaya, ekonomi, dan manfaat. Hal ini dibutuhkan untuk
mewujudkan keseimbangan antar desa-kota dan pemerataan equity. 7. Perlu penelitian lanjutan tentang “Pengelolaan Kawasan Agropolitan Mandiri”
yang diprediksi sebagai model pembangunan perdesaan yang paling tepat dikembangkan dimasa depan oleh para pemerintah kabupaten selaku
stakeholders utama dalam pengembangan kawasan agropolitan. Penelitian
lanjutan lainnya yang disarankan adalah mendorong Kawasan Agropolitan Merapi-Merbabu menjadi kawasan agrowisata.
243
DAFTAR PUSTAKA
Anugrah IS. 2003. Kunci-kunci keberhasilan pengembangan agropolitan. Anwar A. 2005. Ketimpangan pembangunan wilayah dan perdesaan. Tinjauan
Kritis. Bogor. Badudu JS. dan Zain. S. M. 1996. Kamus umum Bahasa Indonesia. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan. [Bappenas] Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. 2005. Rencana
pembangunan jangka menengah nasional RPJMN 2005-2009. Jakarta: Bappenas.
[BPS] Biro Pusat Statistik. 2007. Kependudukan di Indonesia. Jakarta: BPS. Bossard, A. 2000. A methodology and terminology of sustainability assessment
and its perpectines for rural planning. Agriculture, Ecosystem and environment 77,pp. 29-41.
Bruntland GH. 1987. Our common future. Brussel: WCED. Bajracharya, B. N. 1995. Promoting small towns for rural development: A view
from Nepal, A multi faceted approach incorporating complementary investment in the smalls town and nederlands village could provide the basis
for rural development. Asia-Pacipic Population J. 10 2, pp.27-50.
Comhar. 2007. Principless for sustainable development. Comhar – The National Development Partnership. Dublin.
Dardak AH. 2002. Pembangunan prasarana dan sarana khususnya jaringan jalan mendukung agropolitan: makalah workshop penyusunan kebijakan
pembangunan prasarana untuk mendukung pengembangan agropolitan. Jakarta: Depkimpraswil.
[Deptan] Departemen Pertanian. 2002. Pedoman umum pengembangan kawasan agropolitan. Jakarta: Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Deptan.
[Deptan] Departemen Pertanian. 2008. Profil kawasan agropolitan. Jakarta: Kelompok Kerja Pengembangan Kawasan Agropolitan Pusat.
Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen PU. 1983. Pedoman perencanaan lingkungan pemukiman kota. Jakarta: Departemen PU.
Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen PU. 2008. Kinerja pembangunan prasarana dan sarana dalam mendukung pengembangan kawasan
agropolitan TA. 2002-2008. Jakarta: Departemen PU. Ditjen Penataan Ruang. 2007. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang. Jakarta: Departemen PU. Djajadiningrat ST. 2004. Kawasan industri berwawasan lingkungan eco-
industrial park. Fenomena baru dalam membangun industri dan kawasannya demi masa depan berkelanjutan.
244 Eriyatno. 1995. Teknik ISM untuk perencanaan strategis dan analisa kebijakan.
Bogor: IPB Press. Eriyatno. 1999. Ilmu sistem: meningkatkan mutu dan efektivitas manajemen.
Bogor: Lembaga Sumberdaya informasi IPB. Eriyatno, Sofyar F. 2007. Riset kebijakan: metode penelitian untuk pascasarjana.
Bogor: IPB Press. Friedmann, J., and M. Douglass. 1975. Agropolitan development: Toward a new
strategy for regional planning in Asia dalam Growth pole strategy and regional development planning in Asia. Nagoya: UNCRD.
Galor, Z. 1998. Small Scale Industries-Concepts and Realizations: The Israeli Case Study. The Creation of Non-Agriculture Employment NAE,
International Institute of the Histadrul, Israel. GTZ GmbH. 2003. Guide to rural economic and enterprise development Guide to
REED. edisi-1. Hadjisarosa P. 1982. Konsep dasar pengembangan wilayah di indonesia. Jakarta:
Badan Penerbit Pekerjaan Umum. Hafsah, M.J. 1999. Kemitraan Usaha Konsep dan Strategi. Sinar Harapan, Jakarta.
Haggblade, S., PBR Hazell, and T. Reardon. 2001. Strategies for stimulating equitable growth of the rural nonfarm economy in developing countries.
Invited paper for keynote address at the 74
th
EAAE Seminar, Livelihoods and rural poverty: technology, policy and institusions, September 12-15,
2001, Imperial College at Wye, United Kongdom. Harriss, J. 1992. Rural Development, Routtedge, London.
Hartisari. 2007. Sistem dinamik konsep sistem dan pemodelan untuk industri dan lingkungan
. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Harun UR. 2002. Tinjauan kembali konsep agropolitan dalam konsep
pengembangan wilayah di Indonesia. [kertas kerja No : KK-07-002]. Bandung: Departemen Teknik Planologi, ITB.
Harun UR. 2004. Perencanaan pengembangan kawasan agropolitan dalam sistem perkotaan regional di Indonesia. Bandung: ITB.
Indonesia Business Links. 2001. Alat mengelola Kemitraan dalam Pembangunan. Jakarta.
Jackson, M.C. 2000. Systems approaches to management. Kluwer academicplenum publisher. New yorks.
Kantor Menko Bidang Perekonomian-ILO. 2004. Landasan kebijakan dan strategi pengembangan infrastruktur perdesaan.
Kantor Menko Bidang Perekonomian-ILO. 2004. Pengembangan infrastruktur perdesaan: problem dan perspektif.
Kartahardja A. 1983. Bunga rampai permukiman. Bandung: Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan.
245 Kavanagh P. 2001. Rapid appraisal of fisheries rapfish project. Rapfish software
description. Columbia: University of British Columbia. Kodoatie, J. 2003. Manajemen dan Rekayasa Infrastruktur.
Kredit Usaha Rakyat KUR. Skim Kredit dengan pola Penjaminan untuk UMKM Sektor Pertanian. Pusat Pembiayaan Deptan 2007.
Krisnamurthi B. 2006. Revitalisasi pertanian sebuah konsekuensi sejarah dan tuntutan masa depan.
Kurniawan, R. 2010. Sistem Pengelolaan Kawasan Karst Maros-Pangkep Propinsi Sulawesi Selatan Secara Berkelanjutan. [disertasi]. Bogor: IPB.
Kusmuljono BS. 2007. Sistem pengembangan usaha pertanian berbasis lingkungan didukung lembaga keuangan mikro. [disertasi]. Bogor: IPB.
Lipton, M. 1977. Why poor people stay poor, London, Gower. Maarif S. 2004. Analisis hierarki proses. [materi kuliah]. Bogor: Program Studi
PSL-SPS IPB. Marimin. 2004. Teknik dan aplikasi pengambilan keputusan kriteria majemuk.
Jakarta: Grasindo. Marimin. 2005b. Teori dan aplikasi sistem pakar dalam teknologi manajerial.
IPB Press. Bogor. Meyer M. F. and J.R.E. Harger, 1996. Definition of indicators for environmentally
sustainable development. Unesco – 10C. Lrue Miollis. Paris. France. Mosher AT. 1965. Menggerakkan dan membangun pertanian. Krisnandi S;
penyadur. Jakarta. Mosher AT. 1974. Menciptakan struktur pedesaan progresif. Sudjanadi,
Wirjomidjojo; penyadur. Jakarta. Muhammadi, Aminullah, Soesilo EB. 2001. Analisis sistem dinamis, lingkungan
hidup, sosial, ekonomi, manajemen . Jakarta: UMJ Press.
[Pemerintah Kabupaten Magelang] Master Plan Kawasan Agropolitan Merapi- Merbabu Kabupaten Magelang. 2003.
Porter, M, S. Stern and J. Furman. 1999. The Determinants of National Innovative Capacity, Harvard Business School Working Paper.
Pradhan PK. 2003. Manual for urban rural lingkage and rural development analysis. Nepal: New Hira Books Enterprises.
Pranoto S. 2005. Pembangunan perdesaan berkelanjutan melalui model pengembangan agropolitan. [disertasi]. Bogor: IPB.
Pusat Pembiayaan Deptan. 2007. Kredit ketahanan pangan dan energi KKP-E. Skim kredit bersubsidi untuk petanipeternak. Jakarta: Deptan.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan. 2006. Pengurangan kemiskinan, pembangunan agribisnis dan revitalisasi pertanian. Bogor:
LPPM IPB. [Puslitbang Jalan] Pusat Penelitian dan Pengembangan Jalan. 2007. Pedoman
246 sederhana pembangunan prasarana jalan dan jembatan untuk perdesaan.
Jakarta: Departemen PU. Reardon, T., J.E. Taylor, K. Stamoulis, P. Lanjouw and A. Balisacan. 2000.
Effects of nonfarm employment on rural income inequality in developing countries: an investment perspective. Journal of Agricultural Economics, 51
2; 266-288.
Rehber, E. 1998. Vertical Integration in Agriculture and Contract Farming, NE- 165 Private Strategies, Public Policies and Food System Performance,
Working Paper Series No: 46, Connecticut, USA. Reinjtjes, C., B. Haverkort and A. Waters-Bayer. 2003. Pertanian masa depan,
pengantar untuk pertanian berkelanjutan dengan input luar rendah. Y. Sukoco Penerjemah. Terjemahan dari: Farming for the future, an
introduction to low-eksternal-input and sustainable agriculture. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Roderic, G. and T. Meppem. 1977. Planning for sustainability as a learning concept. New England Ecological Economic Group. Centre for water policy
research. University of New England. Armidale. Australia. Rustiadi E. 2006. Kawasan Agropolitan. Konsep pembangunan desa-kota
berimbang. Rustiadi E. 2007. Penataan ruang dan penguatan infrastruktur desa dalam
mendukung konsep agropolitan. Makalah seminar dan lokakarya menuju desa 2030.
Rustiadi E, Elestianto E. 2007. Agropolitan membangun ekonomi perdesaan. Rustiadi E, Elestianto E. 2008. Agropolitan. Strategi pengembangan pusat
pertumbuhan pada kawasan perdesaan. Saaty TL. 1991. Pengambilan keputusan bagi para pemimpin. Jakarta: PT.
Pustaka Binaman Pressindi. Sadjad, S. 2007. Strategi membangun desa industri. Makalah seminar dan
lokakarya menuju desa 2030. Saefulhakim S. 2004. Pengembangan agropolitan memacu pembangunan ekonomi
regional melalui keterkaitan desa-kota. Bogor: IPB. Saragih B. 2006. Pengembangan agribisnis dalam pembangunan ekonomi
nasional abad ke-21. Bogor: PSP3 IPB. Sasomo, Sugeng. 2002. Pelaksanaan program pembangunan perdesaan dan
infrastruktur perdesaan. semiloka pembangunan infrastruktur perdesaan. Sitorus SRP, Nurwono. 1998. Penerapan konsep agropolitan dalam pembangunan
transmigrasi. Jakarta: Deptrans PPH. Sitorus S. 2003. Tesis Magister Managemen Studi Pembangunan. Bandung: ITB.
Soefaat. 1999. Hubungan fungsional teknik sipil dengan tata ruang kota dan daerah: suatu pengantar. Jakarta: Departemen PU.
Soekartawi. 2002. Analisis usahatani. Jakarta.
247 Soekartawi. 2005. Agribisnis teori dan aplikasinya. Jakarta.
Sudaryono. 2004. Pola dan struktur tata ruang kawasan agropolitan dalam perspektif politikal-ekonomi. Makalah lokakarya pengembangan kawasan
agropolitan-2. Sukarto H. 2003. Sistem transportasi. Jakarta: Yayasan Badan Penerbit Pekerjaan
Umum. Suripin. 2003. Sistem drainase perkotaan yang berkelanjutan.
Suwandi. 2005. Agropolitan. Merentas jalan meniti harapan. Tajudin. 2007. Inovasi dalam akselerasi agroindustri perdesaan. Makalah seminar
dan lokakarya menuju desa 2030. Tambajong. 2010. Model pengembangan infrastruktur agropolitan berbasis
komoditas unggulan kelapa di Sulawesi Utara. [disertasi]. Bogor: IPB. Thamrin. 2009. Model pengembangan kawasan agropolitan secara berkelanjutan
di wilayah perbatasan Kalimantan Barat-Malaysia. Studi kasus wilayah perbatasan Kabupaten Bengkayang-Sarawak. [disertasi]. Bogor: IPB.
Tasrif M. 2001. Pemodelan. Bandung: ITB. UGM-Kantor Menko Bidang Perekonomian. 2003. Integrated rural accessibility
planning. [UN] United Nation. 1979. Guidelines for Rural Centre Planning, Economic and
Sosial Commission for Asia and The Pacific. New York: UN. Wibowo, S. 2008. Model pengelolaan usahatani sayuran dataran tinggi
berkelanjutan di kawasan agropolitan. [disertasi]. Bogor: IPB. Yudhoyono, Kalla. 2004. Membangun Indonesia yang aman, adil dan sejahtera.
Visi, misi dan program.
248
LAMPIRAN - LAMPIRAN
249
Lampiran 1 . Peta Rupa Bumi Kawasan Agropolitan Merapi-Merbabu
Keterangan :
U
250
Lampiran 2. Daftar Nama Kecamatan dan Desa di Kawasan Agropolitan
Merapi-Merbabu Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah
No Nama Kecamatan Nama Desa
Keterangan
1 Dukun
1 Banyuadem Kawasan Sentra Produksi
2 Banyubiru Kawasan Sentra Produksi
3 Ketunngeng Kawasan Sentra Produksi
4 Dukun
Agropolis
5 Ngargopuro Kawasan Sentra Produksi
6 Wates Kawasan Sentra Produksi
7 Kalibening Kawasan Sentra Produksi
8 Ngargomulyo Kawasan Sentra Produksi
9 Sumber Kawasan Sentra Produksi
10 Mangunsuko Kawasan Sentra Produksi
11 Sewukan Kawasan Sentra Produksi
12 Sengi Kawasan Sentra Produksi
13 Paten Kawasan Sentra Produksi
14 Krinjing Kawasan Sentra Produksi
15 Keningar Kawasan Sentra Produksi
2 Sawangan 16 Mangunsari
Kawasan Sentra
Produksi 17 Butuh
Kawasan Sentra Produksi 18 Sawangan
Kawasan Sentra Produksi 19 Podosoko
Kawasan Sentra Produksi 20 Soronalan
Kawasan Sentra Produksi 21 Jati
Kawasan Sentra Produksi 22 Sawangan
Kawasan Sentra Produksi 23 Krogowanan
Kawasan Sentra Produksi 24 Podosoko
Kawasan Sentra Produksi 25 Wulunggunung
Kawasan Sentra Produksi 26 Banyuroto
Kawasan Sentra Produksi 27 Wonolelo
Kawasan Sentra Produksi 28 Kapuhan
Kawasan Sentra Produksi 29 Gantang
Kawasan Sentra Produksi 30 Ketep
Kawasan Sentra Produksi 31 Mangunsari
Kawasan Sentra Produksi 3 Pakis
32 Bawang Kawasan
Sentra Produksi
33 Losari Kawasan Sentra Produksi
34 Banyusidi Kawasan Sentra Produksi
35 Petung Kawasan Sentra Produksi
36 Dalemkidul Kawasan Sentra Produksi
37 Pakis Kawasan Sentra Produksi
38 Dasah Kawasan Sentra Produksi
39 Rejosari Kawasan Sentra Produksi
40 Mangunrejo Kawasan Sentra Produksi
41 Kajangkoso Kawasan Sentra Produksi
42 Ketundan Kawasan Sentra Produksi
43 Bogelen Kawasan Sentra Produksi
44 Munengwarangan Kawasan Sentra Produksi
45 Muneng Kawasan Sentra Produksi
46 Jambewangi Kawasan Sentra Produksi
251
47 Kaponan
Kawasan Sentra Produksi 48
Kragilan Kawasan Sentra Produksi
49 Gondangsari
Kawasan Sentra Produksi 50
Kenalan Kawasan Sentra Produksi
51 Gumelem
Kawasan Sentra Produksi 4 Candimulyo
52 Surodadi
Kawasan Sentra Produksi 53
Sonorejo Kawasan Sentra Produksi
54 Bateh
Kawasan Sentra Produksi 55
Trenten Kawasan Sentra Produksi
5 Tegalrejo 56
Mangunrejo Kawasan Sentra Produksi
57 Kebonagung
Kawasan Sentra Produksi 58
Tegalrejo Kawasan Sentra Produksi
59 Sukorejo
Kawasan Sentra Produksi 60
Suroyudan Kawasan Sentra Produksi
6 Ngablak
61 Seloprojo
Kawasan Sentra Produksi 62
Pagergunung Kawasan Sentra Produksi
63 Kegitan
Kawasan Sentra Produksi 64
Jogoyasan Kawasan Sentra Produksi
65 Pandean
Kawasan Sentra Produksi 66
Girirejo Kawasan Sentra Produksi
67 Selomanah
Kawasan Sentra Produksi 68
Bandungrejo Kawasan Sentra Produksi
69 Ngablak
Agropolis
70 Sumber
Kawasan Sentra Produksi 71
Tejosari Kawasan Sentra Produksi
72 Jogonayan
Kawasan Sentra Produksi 73
Genikan Kawasan Sentra Produksi
74 Kanigoro
Kawasan Sentra Produksi 75
Magersari Kawasan Sentra Produksi
7 Grabag
76 Banjarsari
Kawasan Sentra Produksi 77
Seworan Kawasan Sentra Produksi
78 Citrosono
Kawasan Sentra Produksi 79
Sidogede Kawasan Sentra Produksi
80 Kartoharjo
Kawasan Sentra Produksi 81
Banyusari Kawasan Sentra Produksi
82 Grabag
Agropolis
83 Kleteran
Kawasan Sentra Produksi 84
Ketawang Kawasan Sentra Produksi
85 Pucungsari
Kawasan Sentra Produksi 86
Lebak Kawasan Sentra Produksi
87 Sambungrejo
Kawasan Sentra Produksi 88
Tlogorejo Kawasan Sentra Produksi
89 Tirto
Kawasan Sentra Produksi 90
Ngasinan Kawasan Sentra Produksi
91 Sumurarum
Kawasan Sentra Produksi 92
Baleagung Kawasan Sentra Produksi
93 Banaran
Kawasan Sentra Produksi 94
Salam Kawasan Sentra Produksi
95 Pesidi
Kawasan Sentra Produksi 96
Sugihmas Kawasan Sentra Produksi
252
Lampiran 3. Matriks kebutuhan infrastruktur usahatani, pengolahan, dan pemasaran komoditas hortikultura di KAMM
No Group Infrastruktur
Menunjang Usahatani
Menunjang Pengolahan Menunjang Pemasaran
1
2
3
4 5
6 7
Group Infrastruktur Air : 1.1 Jaringan air baku
1.2 Jaringan air bersih 1.3 Jaringan air hujan drainase
Group Infrastruktur Jalan : 2.1 Jalan usahatani
2.2 Jalan poros desa 2.3 Jalan antar desa-kota
Group Infrastruktur Sarana Transportasi : 3.1 Terminal barang
3.2 Rel dan stasiun kereta api 3.3 Pelabuhan udara
Group Infrastruktur Pengelolaan Limbah : 4.1 Sarana pengolah limbah padat
4.3 Sarana pengolah limbah cair Group Infrastruktur Bangunan :
5.1 Tempat pengumpulan hasil sementara 5.2 Gudang penampungan hasil
5.3 Packing house 5.4 Sub_terminal agribisnis
5.5 Klinik konsultasi agribisnis 5.6 Pasar tradisional kios
5.7 Home industry Group Infrastruktur energi :
6.1 Jaringan listrik 6.2 Gas
Group infrastruktur telekomunikasi : 7.1 Jaringan telepon
7.2 Warnet
Keterangan : Sangat penting Penting
Kurang penting
253
Lampiran 4 . Hasil analisis standar pelayanan minimum SPM permukiman di KAMM
I. SARANA PENDIDIKAN DI KAMM
No .
J e n i s Minimum
penduduk pendukung
Lokasi Luas lantai
Luas tanah Prosentage
Radius Pencapaia
n Kebutuhan
parkir Standard Keterangan
1. Taman Kanak-kanak 2 kelas
a’ 35 -40 mr 1000 p
Ditengah- tengah
kelompok keluarga +
taman 252 m
2
1200 m
2
500 m’ -
15 m
2
mr
2. Sekolah Dasar 6 kelas a’ 40
mr 1600 p
- ditto - 400 – 600 m
2
3600 m
2
1.000 m’ -
15 m
2
mr 2,25m
2
mr 3.
Sekolah Dasar 6 kelas a’ 30 mr dipakai pagi sore
4.800 p 3 SD
Dikelompokka n dengan
Taman + lp. Olah
raga L 1514 m
2
_ m
2
T 2700 m
2
L 2551 m
2
T 6000 m
2
- 15 m
2
mr 27,7m
2
mr
4. Sekolah Lanjutan atas.
6 kelas a’ 30mr dipakai pagi sore
1 SLP pagisore
- ditto - L 1514 m
2
T 2700 m
2
L 2551 m
2
T 5000 m
2
15 m
2
mr 27,7m
2
mr
254
II. SARANA KESEHATAN DI KAMM
J e n i s Minimum
penduduk pendukung
Lokasi Luas
tanah Prosentage
Radius pencap.
Kebutuhan parkir
Standard Keterangan Balai Pengobatan
3.000 pend Ditengah2 kelompok
keluar,tidak menyeberang jalan
lingkungan 300 m
2
max. 1000
m Digabung
dengan parkir umum
0,1 m
2
p Asumsi perhitungan
kebutuhan tanah - Bangunan tidak
bertingkat. - BC 50-60
Balai Kesejahteraan Ibu+anak dan
R.Bersalin.BKIA+RB 10.000 pend. - ditto -
1.600 m
2
2000 m’
0,16 m
2
p Pusat Kesehatan
Masyarakat + Balai pengobatan. Puskesmas
+ Balai Pengobatan 30.000 pend. Dipusat
lingkungan, mengelompok dengan
pelayanan sosial 1.200 m
2
Diperlukan parkir umum
0,04 m
2
p
Puskesmas + BP 120.000 pend. dapat
di pusat
kecamatan 2.400 m
2
Diperlukan parkir umum
0,02 m
2
p R.
Sakit Wilayah
240.000 pend. Ditempat yg tenang,
tidak ditempat sumber penyakit
8,64 HA Area
parkir termasuk
3tt1000p 1tt120 m
2 0,45
m
2
p Barang tidak
bertingkat B.C 30 - 40
Tempat praktek Dokter TPD
5.000 pend Idem dengan
balai pengobatan
Bersatu dengan
rumah tangga
1.500 m’
- LTPD5000 p
Apotik 10.000 pend.
Dipusat RWlingkungan
350 m
2
Digabung dengan parkir
umum IAP10.000p
0,035 m
2
p Perhitungan kebutuhan
tanah diasumsikan : - Bangunan tidak
bertingkat - BC 50-70
255
III. SARANA NIAGA DAN INDUSTRI DI KAMM
No. Jenis Minimum
pend. Pendukung
Lokasi Luas
tanah Prosentage
Radius pencap.
Kebutuhan parkir
Standard Keterangan
1. Warung
250 pend Ditengah-tengah
kelompok keluarga, bila ada TK dapat
dikelompokkan 100 m
2
- 500 m
- 0,4 m
2
p Perhitungan
diasumsikan : - Bangunan
tidak bertingkat
2. Pertokoan
2.500 pend. Dipusat RW
1.200 m
2
Terhadap area yang
dilayani 1 -
- 0,48 m
2
Building coverage 30-40
3. Pusat perbelanjaan
lingkungan toko-toko+ pasar
30.000 pend. Dipusat lingkungan
13.500 m
2
Terhadap area yang
dilayani 0,9370,9-
1 -
- Tanah-tanah sisa
60-70 akan berfungsi sebagai
4. Pusat perbelanjaan dan
niaga toko-toko + pasar + Bank+ kantor-
kantor+industri kecil 120.000
pend. Dipusat-pusat
kecamatan dekat terminal kecamatan
36.000 m
2
Terhadap area yang
dilayani 0,625
±0,6 -
- 0,3 m
2
p Plaza-plaza open
space dan perkarangan dan
lap. Parkir
5. Pusat perbelanjaan dan
niagatoko-toko+pasar- pasar+Bank+kantor-
kantor+industri kecil 480.000
pend. Dipusat wilayah
dekat dengan terminal wilayah
96.000 m
2
Terhadap area yang
dilayani 0,4
- -
0,2 m
2
p