Sintesa Hasil BEP per kg cabai
217
217 beralih ke komoditas sayuran, yang secara ekonomis lebih menguntungkan, 2
petani mendapat akses langsung menjual hasil pertaniannya kepada pedagang besar dengan membawa langsung hasil pertaniannya ke sub terminal agribisnis,
3 mendapat nilai tambah dari proses pengolahan hasil, 4 efektifitas kegiatan- kegiatan akibat adanya pelatihan-pelatihan teknologi dan keterampilan, dan 5
adanya peran pihak perbankan yang memberikan kredit lunak kepada kelompok tani untuk modal kerja maupun untuk UKM. Tingkat pendidikan masyarakat di
Kawasan Agropolitan Merapi-Merbabu yang terdiri dari 69,66 tidak tamatbelum SD dan tamat SD, membuat aktivitas usahatani hanya mereka kuasai
di tingkat produksi, sedangkan aspek pengolahan hasil dan pemasaran sangat terbatas, sehingga pengembangan sistem dan usaha agribisnis secara keseluruhan
tidak berjalan dengan baik, dan bahkan mengalami stagnasi terutama di wilayah hinterland
nya. Potensi sumberdaya alam yang dimiliki Kawasan Agropolitan Merapi-
Merbabu, baik itu potensi agroklimat yang cocok untuk tanaman hortikultura, potensi jenis tanah yang terbentuk oleh proses genesa yang berasal dari endapan
dan abu vulkanik gunung api membuat tingkat kesuburan tanah menjadi tinggi, potensi air baku dari aliran sungai dan lereng-lereng bukit, sangat bermanfaat
untuk menunjang pertumbuhan tanaman hortikultura. Penyediaan Infrastruktur yang dapat menunjang pengembangan sistem dan
usaha agribisnis meliputi infrastruktur penunjang peningkatan produksi, antara lain: penyediaan air baku, jalan usahatani, gudang saprodi, dan tempat
pengumpulan hasil sementara. Infrastruktur penunjang pengolahan hasil, antara lain: packing house, sarana air bersih, cold storage, sarana home industry, sarana
pengolah limbah, dan listrik. Infrastruktur penunjang pemasaran hasil antara lain: sub terminal agribisnis, pasar, sarana telekomunikasi dan jalan antar desa-kota.
Penyediaan infrastruktur ini masih jauh dari mencukupi baik secara kuantitas maupun kualitas. Infrastruktur merupakan pengungkit terhadap berkembangnya
sektor-sektor lain di kawasan agropolitan, sehingga penyediaannya harus didorong sampai mencapai standar pelayanan minimal SPM. Nilai ekonomi infrastruktur
di kawasan agropolitan menjadi relatif mahal karena penyebarannya yang cukup
218 luas mengikuti kontur tanah yang berliku-liku dan mengikuti pola permukiman
yang terbentuk secara linier. Penerapan teknologi pertanian di Kawasan Agropolitan Merapi-Merbabu
dengan kondisi lahan pertanian yang berada dilereng-lereng bukit dengan petak- petak lahan dalam skala sempit, setelah dianalisis berdasarkan variabel-variabel
pengelolaan pertanian, hasilnya menunjukkan bahwa pilihan teknologi masih lebih cocok menggunakan model pertanian konvensional dibandingkan model
pertanian modern. Beberapa elemen pada model pengelolaan pertanian, seperti pengembangan industri manufaktur berbasis komoditas pertanian dalam skala
agroindustri, yang melibatkan pihak swasta harus dilaksanakan secara modern. Modernisasi teknologi pertanian yang dilakukan menyangkut modernisasi dalam
jenis dan ragam produk yang dihasilkan, teknologi yang digunakan berikut seluruh penunjangnya, modernisasi sistem, organisasi dan manajemen serta
modernisasi dalam pola hubungan dan orientasi pasar. Penerapan teknologi harus memperhatikan aspek-aspek antara lain : 1 pemanfaatan sumberdaya tanpa harus
merusak lingkungannya resource endowment; 2 pemanfaatan teknologi yang senantiasa berubah technological endowment; 3 pemanfaatan institusi atau
kelembagaan yang saling menguntungkan pembangunan pertanian institutional endowment
; dan 4 pemanfaatan budaya untuk keberhasilan pembangunan pertanian cultural endowment.
Pola permukiman yang terbentuk secara linier mengikuti kontur lahan yang ada mengakibatkan pembentukan permukiman mengikuti sistem jaringan jalan
yang ada. Kluster-kluster permukiman yang sudah ada membutuhkan jalan penghubung antar distrik-distrik maupun antar distrik dengan kota tani utamanya
agropolis yang cukup panjang. Kondisi tersebut membuat biaya produksi menjadi tinggi karena sebagian besar saprodi dan hasil panen masih harus dipikul
dengan tenaga manusia untuk membawanya dari dan kerumah penduduk. 3 Kinerja Kawasan Agropolitan Merapi-Merbabu : Struktur ruang yang
ada belum sepenuhnya mengikuti Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Agropolitan Merapi-Merbabu yang telah disusun oleh Pemerintah Kabupaten
Magelang. Keadaan ini terlihat dari belum terbentuknya secara definitif hierarki ruang, distrik mana yang menjadi kota tani utama agropolis, sedangkan wilayah
219
219 yang menjadi kawasan sentra produksi KSP dan kota pemasaran akhir Outlet
sudah cukup definitif. Jika ditinjau dari segi kepadatan penduduk maka yang paling tepat menjadi agropolis adalah Kota Grabag karena penduduknya terbesar
diantara 6 distrik lainnya. Namun jika ditinjau dari segi distribusi dan sirkulasi pemasaran hasil pertanian, maka distrik yang paling tepat menjadi agropolis
adalah distrik Dukun dan Ngablak karena di kedua wilayah ini telah ada sub- terminal agribisnis yang dapat menumbuhkan ekonomi lokal yang cukup tinggi.
Fungsi agropolis adalah sebagai pusat perdagangan wilayah yang ditandai dengan adanya pasar-pasar grosir dan pergudangan komoditas sejenis, Pusat
konsentrasi pengolahan dan kegiatan agroindustri berupa pengolahan barang pertanian jadi final product dan setengah jadi intermediate product serta
kegiatan agribisnis, dalam skala menengahbesar. Pusat pelayanan agro industri khusus special agro-industry services, pendidikan, pelatihan dan pengembangan
tanaman unggulan. Pusat konsentrasi penduduk, perumahan dan permukiman, fasilitas umumpublik fasilitas pendidikan, kesehatan, pusat perbelanjaan,
administrasi pemerintahan, dan lain-lain. Adanya perubahan penggunaan lahan land use di fase awal yang terjadi di
Kawasan Agropolitan Merapi-Merbabu tahun 2005, lahan sawah beralih fungsi menjadi lahan kering 0,02 yang dipergunakan untuk bangunan dan lahan
untuk kebuntegalan. Alih fungsi ini terjadi karena minimnya dukungan pembangunan infrastruktur air irigasi. Kondisi tersebut dapat dijadikan masukan
untuk kebijakan pemerintah bahwa sektor publik yang menyangkut kebutuhan masyarakat banyak seperti : irigasi, jalan desa, pasar desa masih harus menjadi
tanggung jawab pemerintah, terutama pemerintah kabupaten. Sebaliknya pada tahun 2006 dan 2007 terjadi penambahan luas lahan sawah 0,15 dari semula
lahan tadah hujan. Hal ini terjadi karena semakin tingginya kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam memperbaiki sistem irigasi desa, sehingga lahan
yang semula tadah hujan tidak produktif meningkat statusnya menjadi lahan beririgasi. Kondisi ini memperlihatkan bahwa jika masyarakat diberdayakan,
maka peran serta mereka akan meningkat walau tanpa stimulans fisik pemerintah. Hasil analisis penggunaan lahan menurut teori Von Thunen maka land allocations
precentages LAP di Kawasan Agropolitan Merapi-Merbabu, meliputi : cluster
220 pertama kegiatan komersial 298,4 Ha 0,75 , cluster kedua kegiatan industri
179,04 Ha 0,45 , cluster ketiga kegiatan residential 5.490,56 Ha 13,75 , dan cluster keempat kegiatan pertanian 33.944 Ha 85,05 . Apabila keempat
cluster ini dikelompokkan lagi menjadi dua cluster, yaitu cluster agropertanian
33.944 Ha 85,05 termasuk di dalamnya 30 kawasan lindung, dan cluster politanpermukiman 5.968 Ha 14,95 . Dengan persentase agro berbanding
politan 85,05 : 14,95 masih termasuk kategori yang tidak melanggar ketentuan standard pelayanan minimum SPM yaitu persentase agro berbanding
politan 70 : 30 . Kondisi ini mengakibatkan Kawasan Agropolitan Merapi- Merbabu dapat dikategorikan sebagai wilayah perdesaan dengan potensi
sumberdaya alam bidang pertanian yang berkelanjutan. Hasil analisis biaya produksi terhadap 30 komoditas hortikultura di
Kawasan Agropolitan Merapi-Merbabu, cabai merah adalah komoditas unggulan yang mempunyai nilai tertinggi. Berdasarkan hasil analisi terhadap RC ratio
ReturnCost, komoditas cabai merah memiliki nilai RC Ratio sebesar 1,77 lebih
besar dari 1 1, yang berarti layak secara financial. Keuntungan yang dapat
diperoleh petani dari kegiatan produksi dengan luas lahan 0,5 Ha dalam satu kali periode musim panen selama enam bulan dengan jumlah produksi cabe merah
5.250 kg, adalah sebesar Rp 20.199.560,- atau Rp 3.366.593,- bulankeluarga petani.
Hasil analisis pengolahan hasil terhadap komoditas cabai merah segar menjadi cabai giling serbuk memperlihatkan nilai RC Ratio sebesar 2,22 yang
berarti pengolahan hasil cabai giling serbuk ini layak secara financial. Keuntungan yang dapat diperoleh petani dari kegiatan pengolahan hasil terhadap
880 kg cabai merah segar akan menghasilkan 80 kg cabai giling serbuk dengan keuntungan Rp 4.403.440,-bulankeluarga petani.
Hasil analisis pemasaran, bagi petani yang menjual hasil produksi cabai merah segar dan hasil olahan cabai giling serbuk kepada pedagang
besardistributor di sub-terminal agribisnis, keuntungan memberi dampak positif pada peningkatan yang besarnya mencapai 11,60 x Rp 3.366.593,- +
4.403.440,- = Rp 901.323,-
221
221 Total keuntungan yang dapat diperoleh petani dari produksi cabai merah di
lahan 0,50 Ha, ditambah keuntungan dari nilai tambah pengolahan hasil value added cabai giling serbuk 80 kg, dengan pemasaran hasil kepada pedagang
besardistributor di sub-terminal agribisnis, adalah sebesar Rp Rp 3.366.593,- + 4.403.440,- + Rp 901.323,- = Rp 8.671.356,-bulankeluarga petani. Angka ini
memperlihatkan bahwa penghasilan satu keluarga petani tersebut sangat mungkin untuk didapat, dengan catatan sistem pengelolaan usahatani dapat dilakukan
dengan profesional, mulai dari sub-sistem produksi, pengolahan, pemasaran, dan ditunjang dengan aspek-aspek teknologi, permodalan, kelembagaan, dan
kebijakan pemerintah yang memihak petani. Hasil analisis empat jenis permodalan yang ada di Kawasan Agropolitan
Merapi-Merbabu, terdapat 57,02 petani telah mampu mengembangkan usahatani dengan modal sendiri, sedangkan 42,98 lagi masih memperoleh
pinjaman modal dari perbankan, tengkulak, dan bagi hasil. Jika kepada para petani yang kekurangan modal dapat diberikan pinjaman modal bersubsidi tanpa agunan
dengan bunga rendah 7 , dengan besar pinjaman Rp 9.184.000,- lama pinjaman 6 bulan. Hasil analisis sebelumnya tentang bunga modal usaha dapat dilihat pada
sub-bab 4.2.2.2 analisis biaya produksi, point d bunga modal usaha, maka para petani kurang modal sebanyak 42,98 dimana 21, 72 diantaranya adalah
petani cabai 2.235 KK dapat diberi pinjaman, maka dibutuhkan modal usaha sebesar 2.235 KK x Rp. 9.184.000,- = Rp 20.52 Milyar.
Hasil analisis kelembagaan menunjukkan bahwa lembaga yang paling berperan dalam pengembangan infrastruktur Kawasan Agropolitan Merapi-
Merbabu adalah Dinas PU Kabupaten Magelang yang merupakan perangkat teknis dari Pemerintah Kabupaten Magelang. Kondisi tersebut memperlihatkan
bahwa Pemerintah Kabupaten Magelang merupakan stakeholder utama pengembangan Kawasan Agropolitan Merapi-Merbabu, sedangkan peran
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi lebih kepada stimulasi. 2 Tingkat Kemandirian Kawasan Agropolitan Merapi-Merbabu :
Berdasarkan hasil analisis terhadap tingkat kemandirian KAMM yang dilakukan dengan multidimensional scalling MDS, diperoleh nilai indeks tingkat
kemandirian mulai dari yang paling tinggi sampai paling rendah adalah pada
222 dimensi usahatani 84,62 , dimensi infrastruktur 73,17 dimensi
suprastruktur 66,49 , dimensi pemasaran 51,35 , dan dimensi agroindustri 15,64 .
Nilai indeks tingkat kemandirian KAMM untuk dimensi usahatani adalah 84,62 . Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kemandirian kawasan untuk dimensi
usahatani sudah cukup baik, namun demikian perlu dilakukan perbaikan- perbaikan terhadap atribut-atribut yang sensitif berpengaruh terhadap nilai indeks
dimensi usahatani, yaitu : 1 akses petani terhadap lahan, merupakan faktor yang sangat penting mengingat kepemilikan lahan usahatani tidak merata dan lebih
banyak petani yang berstatus sebagai buruh tani, penggarap atau penyewa dibandingkan petani pemilik lahan. 2 pengelolaan pasca panen, kegiatannya
belum banyak dilakukan oleh masyarakat padahal mempunyai value added yang tinggi. Petani masih cenderung menjual hasil panen dalam bentuk primer. 3
ketersediaan modal usahatani, masih sebagian besar petani tidak mempunyai modal sendiri untuk mengembangkan usahatani, sehingga harus diarahkan kepada
adanya pinjaman modal melalui kredit bunga rendah tanpa agunan dengan subsidi bunga dari pemerintah.
Nilai tingkat kemandirian kawasan agropolitan pada dimensi infrastruktur adalah 73,26 , yang mengindikasikan bahwa infrastruktur kawasan agropolitan
secara keseluruhan sudah cukup baik, namun ada beberapa atribut pengungkit yang perlu ditingkatkan, yaitu jaringan irigasi untuk menunjang pertumbuhan
tanaman, jaringan drainase permukiman untuk meningkatkan kelayakhunian permukiman di kawasan agropolitan, dan jaringan listrik untuk meningkatkan
industri pengolahan hasil. Nilai tingkat kemandirian kawasan agropolitan pada dimensi suprastruktur
adalah 66,49 , yang menunjukkan bahwa suprastruktur secara umum sudah cukup baik, baik itu lembaga keuangan, lembaga sosial, dan lembaga teknis
lainnya cukup memadai. Kondisi tersebut tidak berarti bahwa semuanya sudah sempurna, karena masih ada beberapa atribut yang perlu ditingkatkan antara lain
adalah ketersediaan lembaga penyuluhan untuk membantu petani dalam meningkatkan produktivitas hasil pertanianya, lembaga keuangan untuk
223
223 membantu petani dalam penyediaan modal, dan lembaga koperasi untuk
penyediaan sarana produksi dan pemasaran hasil pertanian. Nilai tingkat kemandirian kawasan agropolitan pada dimensi pemasaran
adalah 51,35 , menunjukkan bahwa pemasaran hasil pertanian sudah cukup baik. Keseluruhan produk pertanian hortikultura yang dipasarkan di sub-terminal
agribisnis terjual habis setiap hari, namun demikian perlu peningkatan terhadap beberapa atribut yang menjadi pengungkit, yaitu kota tujuan pemasaran,
penggunaan teknologi informasi untuk mendapatkan data dan informasi harga komoditas, dan ketersediaan pasar sarana produksi.
Nilai tingkat kemandirian kawasan agropolitan yang paling rendah adalah pada dimensi agroindustri adalah 15,64 , yang menunjukkan bahwa kegiatan
agroindustri masih sangat rendah. Sebagian besar produk usahatani dijual dalam bentuk primer. Perlu peningkatan terhadap faktor pengungkit leverage, yaitu :
produk agroindustri yang dihasilkan, kelayakan usaha agroindustri, dan variasi jenis produk yang dihasilkan.
Hasil analisis nilai indeks gabungan tingkat kemandirian KAMM dengan MDS
pada dimensi usahatani, agroindustri, pemasaran, infrastruktur, dan suprastruktur menunjukkan nilai 63,31 yang berarti bahwa KAMM termasuk
ke dalam kategori “Kawasan Agropolitan” sekalipun belum mandiri karena belum mencapai nilai indeks 75. Ada beberapa dimensi yang perlu ditingkatkan agar
kawasan agropolitan ini mandiri, yang paling utama adalah pada dimensi agroindustri. Agroindustri belum berkembang secara baik dan proses pengolahan
hasil belum terjadi secara optimal. Dimensi lain yang masih kurang berkembang dan perlu ditingkatkan adalah dimensi pemasaran yang dapat mendekatkan
produksi ke konsumen akhir. Kondisi pemasaran yang sudah relatif berkembang saat ini adalah aspek pemasaran yang dapat mendekatkan produksi ke pasar.
3 Model Pembangunan Infrastruktur Berkelanjutan: Berdasarkan simulasi model pembangunan infrastruktur kawasan
agropolitan, yang dibangun melalui logika hubungan dan interaksi antar sub- model terkait, meliputi sub-model: pertumbuhan penduduk, penggunaan lahan,
produksi usahatanipengolahanpemasaran hasil, infrastruktur penunjang
224 usahatani, infrastruktur penunjang pengolahan hasil, dan infrastruktur penunjang
pemasaran hasil, nilai ekonomi produk kawasan, dan penyerapan tenaga kerja. Hasil simulasi sub-model penduduk menggambarkan bahwa pertumbuhan
penduduk cenderung positif positive growth naik mengikuti kurva eksponensial pada tahun simulasi 2005 sampai 2030 25 tahun yang akan datang. Hal ini
disebabkan laju tingkat kelahiran lebih besar dibandingkan dengan laju tingkat kematian.
Hasil simulasi sub-model penggunaan lahan menunjukkan bahwa terjadi perubahan penggunaan lahan dari lahan hortikultura menjadi lahan permukiman
yang diperkirakan rata-rata seluas 13,6 hatahun sehingga luas lahan permukiman menjadi 1.820,37 ha selama periode simulasi 2005 sampai 2030. Lahan
hortikultura mengalami penurunan rata-rata 55,96 hatahun sehingga luas lahan hortikultura menjadi 16.753,90 ha selama 2005 sampai 2030.
Hasil simulasi sub-model usahatani, pengolahan, dan pemasaran, menunjukkan kecenderungan penurunan laju produksi, sebagai akibat penurunan
luas lahan hortikultura, padahal disatu sisi peningkatan jumlah penduduk terjadi secara signifikan. Kondisi seperti ini akan sangat memungkinkan terjadinya
kelangkaan komoditi hortikultura jika tidak terjaga kesimbangan antara supply- demand
. Hasil simulasi sub-model infrastruktur penunjang usahatani, pengolahan,
dan pemasaran memperlihatkan bahwa tersedianya saluran irigasi dan jalan jalan usahatani farm-road akan sangat menunjang dalam peningkatan laju produksi
usahatani. Tersedianya sarana industri pengolahan cabai merah segar menjadi cabai giling serbuk, terutama dalam skala rumah tangga yang dapat memanfaatkan
paruh waktu anggota keluarga, serta tersedianya sarana kelistrikan akan sangat berpengaruh terhadap berjalannya agroindustri berbasis hortikultura di Kawasan
Agropolitan Merapi-Merbabu. Tersedianya sub-terminal agribisnis STA dan jalan poros desa akan berpengaruh terhadap kelancaran pemasaran hasil pertanian
karena akan dapat mendekatkan produksi ke pasar, sedangkan tersedianya pasar- pasar tradisional dan jalan antar desa-kota akan dapat mendekatkan produksi ke
konsumen akhir. Hasil simulasi sub-model ekonomi memperlihatkan prediksi yang signifikan
225
225 mulai tahun 2005 sampai 2030 yang dipengaruhi oleh hasil penjualan dari
produksi hortikultura dalam bentuk segar ditambah hasil penjualan dari pengolahan serta pemasaran yang langsung dijual kepada pedagang
besardistributor di sub-terminal agribisnis yang sudah ada di kawasan, sehingga seluruh proses ini mendatangkan nilai tambah value added yang menguntungkan
secara ekonomi. Simulasi sub-model tenaga kerja menunjukkan hasil yang signifikan, karena
dipengaruhi oleh terjadinya multiplier effect pada kegiatan agribisnis yang dikembangkan meliputi produksi hortikultura, proses pengolahan hasil dalam
skala rumah tangga, serta terjadinya transaksi secara langsung antara para petani dengan pedagang di sub-terminal agribisnis membuat penyerapan tenaga kerja
yang cukup tinggi. 4 Skenario Pembangunan Infrastruktur Kawasan Agropolitan:
Skenario pembangunan infrastruktur kawasan agropolitan dilakukan melalui intervensi terhadap variabel infrastruktur penunjang usahatani, pengolahan, dan
pemasaran dengan indikator kemajuan pembangunan kawasan adalah nilai ekonomi kawasan dan jumlah pengangguran. Skenario yang dikaji adalah
berbagai alternatif intervensi yang meliputi skenario pesimis, moderat, dan optimis.
Pada skenario pesimis, hanya dengan meningkatkan pembangunan infrastruktur jalan yang berupa jalan usahatani, jalan poros desa, dan jalan antar
desa-kota ternyata mampu meningkatkan laju produksi dan pemasaran hortikultura sebesar 2,86 pada tahun 2010 dan akan mencapai peningkatan
10,05 pada 25 tahun kemudian. Pembangunan jalan juga dapat menekan laju pertumbuhan pengangguran walau dengan laju yang cukup kecil dan berdampak
tidak langsung sebesar 1,12 pada awal simulasi 2010 dan mencapai 2,67 pada tahun 2035.
Skenario Moderat, intervensi dilakukan lebih meluas lagi disamping meningkatkan infrastruktur jalan, juga melakukan intervensi terhadap peningkatan
jaringan irigasi dan peningkatan sub-terminal agribisnis STA. Dengan pembangunan infrastruktur jalan usahatani dan irigasi mampu meningkatkan laju
produksi sebesar 22,29 pada tahun 2010 dan 50,34 pada tahun 2035
226 dibandingkan dengan tanpa intervensi. Pembangunan infrastruktur jalan antar
desa-kota dan peningkatan STA mampu meningkatkan nilai ekonomi total kawasan sebesar 22,28 pada tahun 2010 dan 50,34 pada tahun 2035.
Simulasi melalui skenario moderat ini juga mampu mengurangi 8,78 angka penganguran pada tahun 2010 dan 13,42 pada tahun 2035.
Skenario Optimis, melakukan intervensi terhadap pembangunan jalan, irigasi, STA, dan sarana industri rumah tangga pengolahan cabai giling serbuk.
Melalui skenario optimis ini dapat meningkatkan nilai ekonomi total kawasan yang sangat signifikan sebesar 49 pada tahun 2010 dan 163,52 pada tahun
2035, dan mampu menurunkan angka pengangguran 9,38 pada tahun 2010 dan 15,15 pada tahun 2035.
5 Kebijakan Pembangunan Infrastruktur Berkelanjutan : Berdasarkan hasil analisis AHP yang didasarkan pada hasil pendapat pakar
untuk menentukan kebijakan dan strategi pembangunan infrastruktur kawasan agropolitan, faktor yang paling penting sampai yang kurang penting adalah 1
kesesuaian lahan 0,471, 2 aksesibilitas kawasan 0,268, 3 sumberdaya manusia 0,143, 4 teknologi dan energi 0,075, dan 5 pembiayaan 0,044.
Faktor kesesuaian lahan sangat memegang peranan penting dalam pembangunan infrastruktur kawasan agropolitan, karena akan menentukan efektifitas dan
efisiensi pembangunan infrastruktur. Stakeholders
atau aktor yang paling penting sampai yang kurang penting yaitu 1 pemerintah 0,329, 2 petani 0,295, 3 penguasaha 0,210, 3
koperasi 0,125, dan 5 perbankan 0,042. Peran pemerintah sangat diharapkan sebagai motivator dan fasilitator dalam pembangunan infrastruktur kawasan
agropolitan, terutama pemerintah kabupaten magelang yang harus berperan sebagai stakeholder utama.
Dalam menetapkan tujuan, pilihan strategis yang diprioritaskan yang memiliki nilai tertinggi yaitu: 1 peningkatan pendapatan 0,324, 2 perluasan
lapangan kerja 0,298, 3 perluasan pasar 0,237, 4 peningkatan daya saing 0,091, dan 5 pembangunan daerah 0,051. Tujuan peningkatan pendapatan ini
diprioritaskan mengingat pendapatan para petani selalu sangat tidak memadai
227
227 bahkan sering merugi, padahal kegiatan inti dari pengembangan agribisnis di
kawasan agropolitan adalah kegiatan masyarakat dengan aktifitas utama pertanian. Dalam proses pengambilan keputusan untuk menetapkan prioritas
alternatif yang paling penting sampai yang kurang penting dalam pembangunan infrastruktur kawasan agropolitan adalah 1 pembangunan infrastruktur
penunjang agoindustri sebesar 0,340, 2 pembangunan infrastruktur penunjang pemasaran 0,277, 3 pembangunan infrastruktur penunjang usahatani 0,242,
dan 4 pembangunan infrastruktur penunjang permukiman 0,140. Pembangunan infrastruktur penunjang agroindustri sangat dibutuhkan karena akan dapat
menimbulkan multiplier effect.
228