Fenomena Bahasa Hybrid Tinjauan Pustaka
Seminar Nasional Penelitian, Universitas Kanjuruhan Malang 2014 253
Ashcroft memberikan contoh kajian bahasa
pidgin
dan
creole
sebagai bahasa hybrid. Disebut demikian, karena kedua jenis
bahasa tersebut konstruksi linguistiknya terdiri atas dua atau lebih bahasa yang
berbeda. Barker
2005:34 bahkan
menyatakan bahwa
hibriditas atau
kreolisasi itu tidak dapat ditampilkan dalam bentuknya yang murni karena tidak
terpisahkan keduanya
membuahkan bentuk-bentuk hibriditas.
Fenomena demikian ini selanjutnya menjadi menarik untuk dilakukan kajian
secara lebih memadai secara linguistik terkait dengan bahasa hybrid tersebut.
Bahasa Indonesia dapat diposisikan dalam konteks kajian linguistik yang demikian.
Peluang-peluang kajian linguistik yang lebih luas berkenaan dengan bahasa hybrid
tersebut sangat
dimungkinkan keberadaannya.
12.2 Bahasa Masyarakat Poskolonial
Berkaitan dengan linguistik, pada hakikatnya para orientalis memulai karier
sebagai seorang
filolog sehingga
memunculkan revolusi
filologi yang
melahirkan sains
perbandingan yang
berlandaskan premis bahwa bahasa-bahasa mempunyai rumpun-rumpun yang berbeda
dengan rumpun Indo-Eropa dan Semitis sebagai rumpun besarnya. Oleh karena itu,
menurut Said 1994:129, sejak itu semua orientalisme membawa dua sifat dalam
bidang linguistik, Pertama, kesadaran diri ilmiah
yang baru
ditemukan yang
berlandaskan kepentingan linguistik Timur bagi Eropa. Kedua, kecenderungan untuk
membagi, membagi lagi dan membagi kembali ke pokok permasalahan tanpa
pernah mengubah pemikirannya mengenai Timur sebagai sesuatu yang selalu sama,
tidak berubah-ubah, seragam, dan objek yang benar-benar khas.
Ernest Renan
dalam Said,
1994:183 berpendapat, Ada suatu periode, yang hanya bisa kita duga-duga saja,
ketika manusia secara harfiah diangkat dari kebisuan ke kata-kata. Setelah itu adalah
bahasa, dan bagi saintis sejati tugasnya adalah menguji bagaimana sebenarnya
bahasa itu, bukannya bagaimana timbuln ya. Didalam
proses pengujian bahasa,
Renan menciptakan kolonisasi linguistik pada
Timur dengan
perangkat laboratoriumnya. Timur dalam konteks ini
adalah bahasa Semit yang dipandang Renan
terhambat perkembangannya
dibandingkan bahasa dan budaya Eropa. Meskipun
Renan memberi dorongan untuk memandang bahasa Semit
sebagai sesuatu yang berhubungan dengan ‗makhluk-makhluk hidup di alam‘.
Menurut Said 1994:191-192, hal ini
Seminar Nasional Penelitian, Universitas Kanjuruhan Malang 2014 254
disebabkan Renan lewat laboratoriumnya membuktikan bahwa, ―Bahasa-bahasa
Timurnya, bahasa
Semit, sifatnya
anorganik, terhambat, sama sekali beku, tidak mampu melakukan regenerasi diri;
dengan kata lain, ia membuktikan bahwa bahasa Semit bukanlah bahasa yang hidup
dan oleh karenanya kaum Semit juga bukan makhluk yang hidup. ‖Secara
poskolonial, Ashcroft, dkk. 2003:43 setelah meneliti bahasa dalam koloni
Inggris mengelompokkan bahasa dalam wacana poskolonial atas tiga kelompok,
yaitu monoglossic,
diglossic, dan polyglossic.
Kelompok monoglossic terdiri
dari masyarakat berbahasa tunggal sebagai bahasa ibu mereka. Mereka biasa tinggal di
koloni-koloni hunian dan pengucapan mereka sama sekali tidak sama atau
seragam. Sementara
itu, masyarakat
diglossic adalah
mereka yang
dengan bilinguisme telah lama menjadi bagian
tidak terpisahkan dari tatanan
kemasyarakatannya sehingga
dapat mengadopsi
suatu bahasa
sebagai bahasa pemerintahan
dan perdagangan. Kemudian, masyarakat polyglossic atau
polydialectic di mana beragam dialek saling
terjalin dan
secara umum
membentuk rangkaian linguistik. Bahasa Indonesia bila dilihat dari konstruksi
perbendaharaan katanya sudah terdiri atas berbagai bahasa, yakni bahasa melayu,
bahasa daerah yang lain di nusantara, dan bahasa asing yang sudah diserap dalam
Bahasa Indonesia.