04 Model Kasus Tanjung Priok Menjalar di Jawa Tengah

Bab 05-04 Model Kasus Tanjung Priok Menjalar di Jawa Tengah

Setelah berakhirnya sidang-sidang kasus para muballigh di awal tahun 1986, perhatian kemudian beralih ke Jawa Tengah. Di kota pelajar Yogya-karta ini, dijatuhkan vonis hukuman penjara 1 tahun terhadap sedikitnya tiga orang terdakwa yang dipersalahkan mengedarkan bulletin yang menyorot kasus Tanjung Priok.

Akan tetapi kasus yang paling banyak menyedot perhatian di daerah ini, menyangkut dua orang terdakwa kasus subversi yang tengah membawa majalah Islam, berisi kritik terhadap militer dalam menangani kasus Tanjung Priok serta politik pemerintah, termasuk di dalamnya Asas Tunggal. Dua orang terdakwa itu adalah:

1. Nama : Ahmad Zonet Sumarlan Umur

: 24 tahun Jabatan

: Mahasiswa Teknik Tekstil UII Keterangan

: Dituduh menyebarkan tiga eksemplar bulletin Al-IKHWAN

2. Nama : Irfan Suryahardi Umur

: 25 tahun Keterangan

: Dituduh oleh jaksa sebagai wakil pimpinan Ko-mando Jihad di Yogyakarta, dan anggota BKPMI (Badan Komunikasi Pemuda Masjid Indonesia) Yogyakarta, redaktur bulletin AL-IKHWAN dan AR-RISALAH, dua bulletin dakwah yang dilarang pemerintah.

Al-Ikhwan dilarang terbit pada 29 Mei 1985, namun hal ini baru diumumkan pada bulan Juli. Bulletin ini diterbitkan oleh BKPMI. Bulletin al-Ikhwan dibaca oleh kalangan luas dan oplahnya mencapai lebih dari 10.000 eksemplar yang didistribusikan secara luas di masyarakat.

Kasus Ahmad Zonet, relatif lebih terbuka jika dibandingkan dengan kasus Irfan. Akan tetapi sikap mereka yang menolak untuk didampingi tim pembela, mempunyai pengaruh luas di masyarakat. Kedua orang ini membuat penerapan hukum acara pidana menjadi cacat. Ahmad Zonet divonis hukuman 6 tahun penjara dan diminta menjadi saksi kasus Irfan, tetapi tidak terlaksana. Ada yang berpendapat, bahwa hal itu gagal disebabkan Irfan sendiri menolak kesaksian yang bersangkutan, karena tidak ada relevansinya. (Baca bab IV).

Persidangan kasus Irfan ini lebih banyak kekacauannya, sebab tuduhan yang dikenakan kepadanya berkaitan dengan gerakan Islam di Iran. Untuk meyakinkan hal ini, jaksa dalam tuduhannya mengatakan, bahwa yang bersangkutan ketika ditangkap membawa paspor dengan nama samaran. Dan membawa bulletin yang ditulisnya sendiri dengan judul “Ajaran Ayatullah Khomaini”. Jaksa juga menuduh bahwa yang bersangkutan punya hubungan politik dengan gerakan yang bermaksud mendirikan Negara Islam di Indonesia. Jaksa penuntut juga menyebut- nyebut nama Ir. Syahirul Alim, Msc. seorang yang terkenal di masyarakat, sebagai saksi di dalam beberapa kasus dan juga disebut-sebut namanya sebagai Imam Darul Islam.

Daftar saksi-saksi untuk dihadirkan dalam kasus persidangan Irfan, banyak dari dosen-dosen UGM. Ada beberapa orang yang duduk sebagai staf ahli dalam dua bulletin yang dipimpinnya. Tetapi hanya dua orang yang hadir sebagai saksi (Prof. DR. M. Amin Rais dan DR. Kuntowijoyo. pent.). Kedua saksi ini menyangkal punya hubungan dalam bentuk apa-pun dengan terdakwa, dan menyatakan bahwa keduanya telah mengun-durkan diri dari kedudukannya sebagai staf ahli. Kemudian dimuncul-kanlah dua saksi lain, yaitu Ir. Syahirul Alim, MSc. dan Mursalin Dahlan. Kesaksian dua orang ini seringkali dipergunakan di dalam kasus-kasus lain, tetapi ternyata keduanya tidak hadir secara langsung dalam memberi kesaksian, hanya secara tertulis saja.

Meskipun tidak jelas kemana arahnya perkara-perkara ini, tapi ternyata persidangan kasus Irfan ini berpengaruh pada persidangan-persidangan lain berikutnya, yang mengkait-kaitkan adanya hubungan antara Jawa Tengah dan kegiatan subversi di tempat-tempat lain. Ada yang mengira, bahwa Irfan mengkonter gerakan anti Soeharto dan ada pula yang mencurigai, ada orang yang “dipasang” pemerintah di sekretariat redaksi bulletin Ar-Risalah yang dipimpin Irfan, walaupun hal ini tidak disebut-sebut dalam persidangan atau pun di media massa.

Komplotan yang dituduhkan ini menjadi malapetaka pada persida-ngan-persidangan lain di Jakarta, dimana HM. Sanusi dalam persidangan yang kedua kalinya dituduh demikian. Dia Komplotan yang dituduhkan ini menjadi malapetaka pada persida-ngan-persidangan lain di Jakarta, dimana HM. Sanusi dalam persidangan yang kedua kalinya dituduh demikian. Dia