Tiga Malam Tidur Bersama Mayat

29. Tiga Malam Tidur Bersama Mayat

Kendati kejadiannya telah tujuh tahun lalu, namun apa yang pernah dialami Teungku Nurdin Galon (63) masih lengket dalam ingatannya. Apalagi tubuhnya mengalami cacat akibat Kendati kejadiannya telah tujuh tahun lalu, namun apa yang pernah dialami Teungku Nurdin Galon (63) masih lengket dalam ingatannya. Apalagi tubuhnya mengalami cacat akibat

dengan mayat selama tiga malam. 41 Teungku Nurdin mengaku diperlakukan secara tak manusia oleh oknum-oknum pasukan elit yang terlibat “Operasi Jaring” di Aceh Utara. Dan, siksaan serta fakta-fakta yang pernah dilihatnya, dua hari lalu telah diceritakan kepada LSM YAPDA di Lhokseumawe yang menerima laporan orang hilang dan korban-korban pelanggaran HAM selama operasi penumpa-san GPK yang kini diganti nama dengan GPL (gerombolan pengacau liar). Ia mengatakan, selain tidur bersama mayat orang tidak dikenal, Nurdin juga sempat melihat beberapa tahanan mati disiksa, kemudian janazahnya ditanam menggunakan becho sekitar pukul

03.00 WIB dini hari akhir tahun 1991. “Ini bukan fitnah, saya bersedia tunjukkan lokasi kuburan itu jika diperlukan,” kata Nurdin Galon (alamat lengkap ada pada LSM YAPDA Lhokseumawe). Didampingi Ketua LSM YAPDA Lhokseumawe Sugito Tassan, petani miskin asal Alue Ie Puteh Kecamatan Baktia, menceritakan bahwa dirinya ditangkap 5 Maret 1991 dengan tuduhan sebagai GPK. Kala dijemput ke rumah, kata Teungku Nurdin, mata ditutup dan dibawa ke salah satu tempat. Di sana juga banyak warga lain disandera para penculik.

Selama dalam tahanan, kata Nurdin, siang dan malam para penculik bersikap kejam dan keji terhadap para sandra, semua tahanan tidak ada yang beres fisiknya. Siang-malam pen-culik terlatih itu masuk kamar tahanan, dalam keadaan mabuk melakukan penyiksaan yang membuat tahanan babak belur. “Tiga setengah tahun saya berada di tempat mengerikan itu,” kata Teungku Nurdin. Kala berada di tempat itu, kata Nurdin, tubuhnya dicambuk dengan rotan. Dipukul dengan popor senjata. Dikontak listrik dan berbagai penyiksaan dilakukan siang malam. Selain di tempat itu, Teungku Nurdin juga mengaku pernah ditahan di tiga lokasi lainnya yang suasananya juga cukup mengerikan, terutama karena perlakuan sadis. Saat berada di tempat penahanan kedua, Teungku Nurdin, mengaku lebih parah lagi. Ia sempat bermalam- malam ditidurkan dengan mayat orang-orang yang tak dikenalnya. “Tiap malam saya lihat mayat dikeluarkan dari LP itu dan diangkut dengan mobil. Jenazah itu dibuang ke sungai seperti ke Sampoiniet, ditanam dalam komplek dan banyak dibawa ke kawasan Seureuke,” kata Nurdin. Nurdin didampingi Gito Tassan juga menunjukkan tubuhnya yang cacat akibat disiksa penculik, yakni giginya ompong karena dihantam dengan kayu. Ibu jari kakinya pun dipatahkan yang akibatnya hingga sekarang ia belum bisa berjalan tanpa pakai sandal. Demikian juga dadanya masih terasa sakit dan tiap batuk selalu mengeluarkan darah. Bukan hanya itu, kata Nurdin, malah para penculik juga mengambil jam tangannya merk Mido dan uang tunai Rp 400.000 serta meminta uang nasi selama ia ditahan di salah satu camp di Desa Matang Ubi Km 307 Jalan Banda- Medan, Kecamatan Lhoksukon. Nurdin masih ingat oknum yang mengambil jam dan uangnya. Setelah 3,4 tahun mendekam di camp itu, kata Teungku Nurdin, ia dibenarkan pulang ke rumahnya. Sebelum pulang, ia lebih dulu diobati, terutama luka-luka bakar di bagian tubuhnya. Ada juga syarat lainnya, yakni, para penculik menekankan bahwa apa yang terjadi selama dalam tahanan tidak diceritakan pada orang lain.