Wahidin AR Singaraja
12. Wahidin AR Singaraja
Pak Wahidin, atau akrab dengan panggilan Pak Zainal, adalah satu-satunya tokoh kasus Lampung yang memiliki kemampuan “menghilang” dari kejaran musuh. Hingga hari ini pihak intel Melayu kita tak pernah bisa menemukannya. Ia lahir di Komring, Dusun Betung, Kecamatan Cempaka, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Palembang, pada tanggal 24 Agustus 1948. Ia adalah salah seorang dari “Empat Sekawan” (Nur Hidayat, Fauzi Isman, Darsono dan Wahidin sendiri). Dalam kelompok empat inilah ia bertugas mengurus masalah jama’ah, Nur Hidayat mem-bidangi urusan konsolidasi, Fauzi Isman bidang Litbang dan Darsono mengurus soal keuangan. Namun, pengalaman dan pembentukan karakter masing-masing orang berbeda-beda. Bagi mereka yang di pen-jara, mungkin mengalami serangkaian terminal spiritual yang panjang sehingga berkesempatan memperdalam apa yang selama di luar penjara mereka tidak sempat memperdalamnya. Sedangkan yang berada di luar penjara, mungkin mengalami kerumitan hidup yang jauh lebih mencekap ketimbang dalam penjara. Namun, semua itu hanyalah ujian dari Allah SWT. Allah SWT hanya akan menguji hamba-hambanya yang sanggup menerima ujian yang setimpal dan tidak akan mengujinya dengan suatu ujian hidup yang tidak sanggup dilaluinya.
Kisah pelariannya mungkin bisa dikaji oleh para aktivis Islam tentang bagaimana menyiasati
pihak intelejen dalam mencari mangsanya. Kisah-nya termuat secara utuh melalui Tekad 61 yang penulis rasa perlu dikutip secara utuh dalam buku ini. Semenjak penumpasan Kelompok Pengajian Warsidi di Lampung Februari 1989, mendorong banyak anggotanya menjadi buron. Salah satunya Wahidin AR Singaraja. Ia sempat bersem-bunyi di rumah Motinggo Busye dan Jalaludin Rakhmat.
Tak pernah Wahidin AR Singaraja berpikir akan menjadi buron alat negara. Kisahnya dimulai pada 1988, seusai peristiwa penyerbuan militer atas perkampungan kelompok Warsidi di Lampung. Try Sutrisno, pang-lima ABRI kala itu, menegaskan bahwa Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) Warsidi Lampung akan ditumpas sampai ke akar-akarnya. Wahidin memang rnempunyai kaitan dengan Warsidi. Itu dimulai ketika ia memutuskan ke luar dari tempat kerjanya di Taman Impian Jaya Ancol (TIJA). Posisinya lumayan tinggi, asisten manajer. Tapi ia keluar karena tak tahan dengan teror di sana. Ia seringkali dituduh terlibat kasus Tanjung Priok, hanya karena ia lulusan Perguruan Tinggi Dakwah Islam (Seka-rang PTDI, Perguruan Tinggi Dakwah Islam) Tanjung Priok. Keluar dari TIJA (1987), Wahidin bergabung dengan suatu jama’ah, yang lantas ber-gabung dengan jama’ah pimpinan Nur Hidayat (yang belakangan juga dituduh terlibat GPK Warsidi), di Jakarta Pusat. Pada akhir 1988 mereka menggelar pelatihan- pelatihan. “Kami melakukan pelatihan-pelatihan itu untuk mengubah ego menjadi kami, kami menjadi kita, dan seterus-nya,” kenang Wahidin. Lewat pelatihan-pelatihan itu pula mereka sepakat membentuk perkampungan Islam (Islamic village). Sebagai pilot project, mereka memutuskan perkampungan Islam itu berlokasi di Dukuh Talangsari III, Desa Rajabasa Lama. Kec, Way Jepara, Lampung Tengah. Ditemani rekannya, Fauzi Isman, dia datang ke Way Jepara melakukan studi kelayakan. Ketika itulah dia bertemu dengan orang-orang keperca-yaan Warsidi. “Tercapai kesepakatan antara kami dan Warsidi untuk membangun perkampungan Islam di sana,” ujar Wahidin yang kemudian memberangkatkan jamaahnya ke sana. Dia sendiri tetap di Jakarta.
Pada 7-8 Februari 1988, meletuslah Peristiwa Warsidi, sebuah tragedi kelabu tentang musibah politik yang sangat sering harus dialami oleh umat Islam. Selama Orde Baru, umat Islam sering menjadi korban yang dikorban (the victimized victims). Wahidin dan kawan-kawannya sempat shock dengan tragedi crime against humanity yang dilakukan oleh pihak intelejen. Soalnya, rezim Orde Baru memvonis pengajian Warsidi sebagai gerakan pengacau keamanan yang berencana mendirikan negara Islam. Mereka yang berada di Jakarta dianggap sebagai arsitek gerakan. Pangab Jenderal Try Sutrisno pun memerintahkan anak buahnya mem-buru kelompok Wahidin,
termasuk yang ada di Solo, Bima, Palembang. 62
Wahidin sendiri lari dari kejaran petugas. Ia mulai hidup sebagai buron. Karena tak bisa keluar dari Jakarta, ia datang ke bekas tempat kerjanya, TIJA, untuk meminta bantuan teman- temannya. Namun, tak ada yang mau membantunya, sehingga ia sempat menggelandang di sana.
Wahidin kemudian memutuskan pergi dari TIJA dan berangkat ke rumah (alm) Motinggo Busye (pengarang novel—Red). Namun, Motinggo tak siap menerima. Ia menyuruh seseorang mengantarkannya naik bus ke Bandung. Berbekal surat itu, Wahidin menuju ke rumah Jalaluddin Rakhmat di Bandung. Tapi, keberadaan Wahidin di rumah Kang Jalal —sapaan Jalaluddin— tercium aparat. Sejumlah intel terus mengawasi rumah itu. Si buron lalu pamit kepada Kang Jalal. Usai shalat subuh, berbekal sepasang kaus kaki, baju, dan tasbih pemberian Kang Jalal, ia berangkat ke Palembang, Sumsel, kampung halamannya. Sampai di sana, aparat keamanan baru saja mengacak-acak rumah kakaknya. Namun, ia tetap memutuskan tinggal, karena merasa aman berada di tengah-tengah keluarga, meski mereka sebenarnya agak keberatan. Setelah sembuh dari sakit yang dideritanya selama enam bulan, akhirnya ia kembali ke Jakarta. Malang, teman- temannya di ibu kota malah menu-duhnya sebagai intel. Maka ia pun lalu berangkat ke Kalimantan untuk mencari pekerjaan, tapi gagal. Belum genap sehari di Kalimantan, pada 1990, Wahidin kembali ke Bandung. Kebetulan, Kirab Remaja yang digagas Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut) mencari pendekar-pende-kar silat dari daerah. Wahidin pun mendaftar. “Mereka tidak tahu kalau saya buronan,” ucap lelaki yang sempat beberapa kali mengganti nama-nya selama buron. Dari situlah Wahidin berkenalan dengan orang-orang Tutut dan Titi Prabowo (istri mantan Pangkostrad Prabowo). Berkat perkenalan itu, bisa menjadi guru silat di Perguruan Silat Satria Mauda Indonesia yang didirikan Prabowo. “Saya mengaji silat di Kopassus, terutama di bidang rohani dan mental,” kenangnya.
Berkat kedekatannya dengan Kopassus, sejak 1991, ia mulai bisa mengunjungi istri dan keenam anaknya di Kuningan, Jabar. Selama men-jadi buronan, istrinya kerap didatangi aparat keamanan. “Mertua saya sering pingsan kalau aparat datang,” katanya. Sang mertua pun sempat akan menjodohkan istrinya dengan orang lain, tetapi istri menolak. Bahkan, anak Wahidin yang ketika itu masih duduk di kelas empat SD pernah diculik aparat untuk menunjukkan di mana bapaknya bersem-bunyi. “Anak saya yang sekarang baru tamat dari Politeknik ITB sempat trauma bila melihat tentara,” katanya.
Sejak mengajar silat itu, kehidupannya mulai normal. Kini ia mulai menuntut keadilan atas segala pelanggaran HAM yang menimpa diri dan kawan-kawannya. “Kami berharap Komnas HAM membentuk KPP HAM Lampung,” desaknya. 63 We have arrived at the point of nowhere to return.