Ridwan Casari

1. Ridwan Casari

Menurut Ridwan Casari, yang dihukum 7 tahun dalam perkara Talang-sari ini, di Cihideung ada masyarakat yang terdiri dari berbagai suku dan latar belakang. Awalnya, para pendatang Cihideung ini mendapatkan pengajaran dari Abdullah Sungkar langsung atau tidak langsung dari pesantrennya, Al Iman, Ngruki, Solo, Jawa Tengah. Di sana kebanyakan umat yang dibina oleh Abdulah Sungkar berada di daerah Siderejo, Karanganyar,Way Jepara dan Talang Sari yang kemudian terjadi peristiwa sehingga Abdulah Sungkar pergi ke Malaysia, meninggalkan ummatnya dan tanah beberapa puluh hektar yang belum dimanfaatkan.

Karena ditinggal mereka berguru kepada Pak Abdulah (Pak Dullah) yang di Siderejo Lampung, kemudian mereka mendapatkan didikan setelah mendapatkan didikan mereka berusaha ingin mengamalkan ilmu-nya dengan membuat perkampungan muslim yang ada di Talangsari Cihideng. Kemudian mereka dikoordinasikan oleh Pak Abdulah di Sido-rejo dengan dipusatkan di Talangsari di rumah Pak Warsidi yang cukup sukses mengelola Kebon Lada .Jadi bisa menjamin orang-orang yang hijrah ke sana baik dari Jawa Tengah dan Jawa Timur sehingga merupakan jama’ah —Jama’ah Islamiah— kemudian berkembang, termasuk Ridwan sendiri tahun 1987 pernah ke sana dan betul dia sukses.

Tapi kemudian tahun 1988 terjadi kontak dengan Jakarta termasuk yang ada kontak kesana Nurhidayat, Darsono, Wahidi dan Fauzi. Kemu-dian orang orang Jakarta ingin memperbanyak orang yang hijrah kesana. Tapi sebelum ke sana ada pertemuan khusus dulu para pemuda Islam di Jakarta tanggal 12-12-1988 di Cibinong .

Pertemuan tersebut di sana karena bagaimanapun organisasinya atau jama’ah harus ada pemimpin baik orang hijrah maupun orang yang menerima hijrah, sehingga ada kesepakatan untuk membuat per-kampungan Muslim di Cihideng Way Jepara sehingga ada kesepakatan dengan anak-anak Jakarta sampai nama, struktur dan yang menerima Hijrah di sana .Sehingga yang bertanggung jawab menerima di sana Warsidi dan Usman, dan yang berhak untuk menghijrahkan Nurhidayat, Darsono dan Fauji disebut Amir Musafir.

Maka dari tanggal 12-12-1988 itu menghijrahkan sampai tanggal 6-2-1989 itu menghasilkan kurang lebih 50 orang yang hijrah ke sana secara bertahap diantaranya keluarga Margono, keluarga Sukardi. Ridwan ber-pesan dalam pertemuan tersebut mengapa disebut Amir Musafir,

Amir sementara, Amir jalan karena di Indonesia banyak Amir .Takut dianggap menyaingi kelompok yang ada sehingga mempunyai ciri tersendiri, dan sifatnya sementara dengan tujuan tempat tersebut untuk konsolidasi pimpinan umat Islam yang terpecah pecah dan untuk membicarakan perjuanganpun harus mempunyai tempat de fakto kecil-kecilan yang tidak tersentuh oleh thogut. Maka ketika itu juga diupayakan adaptasi dengan mereka supaya tidak ada

pertentangan di sana dengan mereka dan juga pakai KTP.

Setelah kurang lebih 2 bulan di sana menghasilkan jama’ah kurang lebih 300 orang baik dekat maupun jauh, termasuk dari kampus UNILA Ir. Muklis, Ir. Salamun (Muklis Syahid) dan kehadiran jama’ah di sana oleh masyarakat dianggap aneh karena dalam ajarannya: (1) Keluarga Berencana haram karena dianggap pembunuhan, (2) Larangan meng-hormat bendera karena lambang kemusyrikan.

Tentang peristiwa kejadian musibah politik Talangsari, ia mencerikan versinya sendiri. Hal ini dimulai setelah tak lama tercium oleh penguasa dan memanggil Pak Warsidi tapi karena punya pandangan mendatangi penguasa itu sesuatu yang tidak boleh (umaro yang harus mendatangi ulama ). Warsidi tidak pernah datang. Kemudian karena Warsidi tidak datang diambillah 9 orang anak buah Warsidi setelah beberapa hari kemu-dian ke Koramil dan tidak dipulangkan. Orang orang jamaah di sana mengadakan persiapan untuk menghadapi tindakan kekerasan dari pe-

nguasa termasuk membikin panah dan ronda bergilir siang dan malam tua dan muda. Setelah yang ditahan tidak dipulangkan tanggal 6-2-1989 Danramil dan Camat datang dengan jumlah kurang lebih 40 orang ke Warsidi dari pertemuan di rumah pihak Muspika merasa tidak

dihargai sehingga sampai harus datang ke Warsidi dan pertemuan itu mengalami kegagalan ,pihak keamanan membuang tembakan sehingga sampai jatuh korban dari pihak Warsidi. Karena merasa di-dzolimi. Sekalipun semut kalau diinjak akan melawan, maka dilawanlah sehingga pimpinan

Danramil Sutiman di bacok oleh Marsudi, kakak dari Warsidi, dan yang lainnya kabur. Akibatnya yang lari itu melapor ke Kodim dan Korem, maka di-steling-lah wilayah itu dengan jumlah

personil 1000 64 orang, sehingga orang yang keluar masuk kedaerah itu ditangkapi. Maka setelah itu pada jam 4 Subuh tanggal 7-2-1989 tanpa pemberitahuan dilakukan manuver militer dengan

tembakan mortir kepada rumah-rumah penduduk kurang lebih 250 orang di daerah itu mati dan yang belum mati sekitar 50 orang dimasukkan juga ke dalam api, termasuk istri Sukardi dan anaknya mati ikut terbakar hangus, kebetulan Sukardi tidak sedang dilokasi. Walaupun ada perlawanan tapi apalah daya: hanya dengan panah yang jaraknya terbatas dan dalam radius itu desa desa sekitarnya yang ada jama’ah Warsidi dihabisi dan yang tertingggal 24 orang, ditahan

seumur hidup. 14 orang termasuk Pak Zamzuri dan Pak Maulana dari Siderejo. 65 Pak Muhidin, cucu dan menantunya habis di sana digusur pakai mobil, yang kedapatan masih hidup dan tidak terbakar Ridwan tidak dapat mengkla-sifikasikan yang jelas 250 66 orang habis, baik yang terbakar,

dibunuh dan digusur. Kemudian yang tertangkap hidup dipakai untuk mencari data dari mana sumbernya dan mereka menamakan “Front Mujahidin” mungkin karena ada nama itu dari yang ditangkap itu diinterograsi dan bocorlah pertemuan-pertemuan yang di Jakarta. Karena di Jakarta dianggap otak-nya sehingga dipandang perlu siapa yang terlibat. Sehingga pada tanggal 25-2-1989 diadakan penangkapan-penangkapan di Jakarta yang pernah mengadakan pertemuan di Cibinong. Ditangkaplah yang ada di Jakarta itu —di antaranya Sofyan, Kardi (yang ditangkap di Pangkalan

Jati Pondok Gede) dan Nurhidayat. 67

Pada tanggal 6 Februari 1989 siang itu Ridwan tertangkap karena ada janji untuk pengajian, maka Ridwan datang ke rumah kontrakan itu sudah kosong, keluar dari rumah itu Ridwan langsung disergap oleh tentara yang sudah men-steling tempat itu. Hubungan Pak Ridwan awal- nya dengan kasus Lampung ini adalah ia sering ke Jakarta dan mampir kerumah Pak Sulaiman Mahmud —seorang tokoh besar Darul Islam Aceh yang sekarang bermukim di Jakarta— dan Nurhidayat pun sering ke sana. Nurhidayat rupanya cukup proaktif menanyakan alamat Rid-wan di Bandung. Dari alamat yang didapat Nurhidayat langsung ke rumah Saiful Malik —tempat kontrak Ridwan—maka diantarkanlah Nurhidayat ke rumah Ustadz Sofandi, maka Ridwan kejar ke sana. Di sana sudah mengadakan pembicaraan dengan Ustadz Sofandi, Muhidin dan Abdul Rahman. Agenda pertemuan itu dimana orang Bandung diminta untuk mendukung gerakan dengan isu ditubuh ABRI sudah terkotak-kotak dan Suharto sebentar lagi akan hancur.

Orang Bandung mempertahankan bahwa persoalan ini belum jelas dan orang yang datangpun belum jelas ketika Ridwan datangpun tidak kenal. Akhirnya Nurhidayat, Alek dan Dede Saefudin diperingatkan bah-wa dalam Islam kalau mau bergerak,(1)Harus jelas motivasi untuk Li’ila Kalimatillah ,(2) Harus ada komandan, jihad tanpa imam tidak sah, (3)Sasaran harus jelas dan alat perang harus ada, masa’ mau ngajak perang tidak ada alat perangnya. Akhirnya tawaran itupun tidak diterima apalagi setelah Ridwan ditanya dalam forum tersebut kenal atau tidak, Ridwan

katakan tidak kenal. 68

Tapi setelah mereka tidak diterima mereka menyampaikan undangan bahwa pada tanggal 12 Desember 1988 akan ada pertemuan di Jakarta. Karena Ridwan tidak kenal dengan Nurhidayat maka Ridwan mengecek ke Jakarta kepada Sulaiman Mahmud dan dia mengatakan bahwa ketiganya memang muridnya. Maka pada tanggal 12-12-1988 Ridwan ikut menghadirinya termasuk Fatah Kosim —bukan Abdul Fatah Wirananggapati— tapi beliau sempat diajak Ridwan ke Lampung tahun 1987 namun tidak berjumpa dengan Zaenal Arifin, anggota jamaah Ajengan

Masduki —seorang pemimpin Darul Islam yang masih aktif dan memiliki jumlah pengikut militan yang sangat banyak.

Pembicaraan di Cibinong itu terrnyata mau membuat perkampungan Muslim dengan beberapa alasan: (1)Kita hidup di Jakarta beribadah campur yang haq dengan yang bathil. (2)Mempersiapkan kader, (3)Bukan untuk bergerak kecuali mereka dipaksa. Tapi Ridwan sendiri merasa kecolongan dengan adanya gerakan tersebut karena tidak sesuai dengan kesepakatan di Cibinong. Sebab setelah pertemuan di Cibinong itu Ridwan tidak pernah mengadakan kontak lagi dengan kawan kawan Cihideung. Sebenarnya karena tidak sesuai dengan rezim Soeharto —dan itulah bukti kekejaman— bahkan kawan sendiri yang tidak sesuai dengan konsepnya dibabat

seperti Ali Sadikin dan H.R. Darsono. Maka setelah itu Nurhidayat diacuhkan oleh anak buahnya —karena secara historik Rosul dan sahabat kalau berperang memimpin anak buahnya untuk berperang— tapi Nurhidayat tidak pernah. Sebab setelah kejadian baik di luar maupun di dalam dengan Darsono dan Fauzi pecah, respon sudah rendah dari anak buahnya dan akhlaknya kurang baik. Yang Ridwan ambil hanya yang baiknya saja karena Ridwan lihat waktu itu dia membuat “Front Islam”. Kemudian “Front Sabilillah” sehingga dia bisa turut membantu menangani kasus Lampung.

Sehingga tanggal 1 Juni 1998 Ridwan dengan Darsono dan 10 orang lagi—jadi berjumlah 12 orang—dengan perantaraan AM Fatwa, bertemu dengan Hendropriyono. Kami diajak bicara dan dia mengungkapkan bahwa dia merasa kaget kalau kami terlibat masalah Lampung pada hal itu tidak dalam agendanya itu kesalahan Kodam Jaya, jadi seolah-olah dia mengelak.Dia mengupayakan untuk merehabilitasi dan menawarkan kapal di Kendari. Kami pada waktu itu tidak menjawab, yang kami minta adalah untuk melepaskan kawan kawan kita. Dia menjawab bahwa dia tidak bertanggung jawab karena dia Mentrans. Kami menja-wab bahwa dia bisa memberikan jaminan militer kepada Wiranto karena dia bekas Kasdamnya. Maka pada pertemuan kedua tanggal 5 Juni 1998 hari Jum’at dia membicarakan bahwa kawan kawan akan dibebaskan termasuk yang di Nusa Kambangan. Pada tanggal 5 Agustus 1998 dia membicarakan kalau kapal terlalu jauh maka dia menawarkan untuk menerima tambak udang di Lampung. Tapi karena harus bertemu dengan korban kasus Lampung dari pihak TNI akibat korban Warsidi sehingga kami bertemu dalam dua kubu dengan tujuan untuk di-islah-kan, setelah itu kami ditawarkan tambak udang sambil menunggu kawan-kawan yang dibebaskan.

Tanggal 20 Agustus Ridwan membawa 15 orang untuk ditrening di CPB (Central Perti Bahari) karena yang memelihara harus bisa dahulu. Akhirnya tanggal 1 Oktober1998 Ridwan disuruh magang kerja menge-lola tambak udang ,tapi sampai pada hari ini Ridwan bicara bulan November 1999 tambak udang itu punya PT Center Prima Bahari di daerah Lampung, jadi kita sampai pada hari ini tidak dibiayai oleh Hendro dan pihak PT Bahari tidak mau membiayai karena itu tanggung jawab Mentrans. Dari pihak Lampung juga tidak mau diberi tambak karena

dendamnya masih ada. Jadi ini bukti peristiwa Lampung masih terkatung katung. 69 Dengan tokoh Warsidi, Ridwan kenal akrab karena sebelum tahun 1987 ada hubungan langsung urusan NII —melalui Furson dan Wijayanto dari binaannya Abdul Qodir Baraja. 70 Dan, dia adalah salah seorang komandan wilayah perang DI Jawa Barat. Kasus Lampung ini “menular” hingga ke NTB karena Fauzi Isman setelah kasus Lampung ini dia pergi ke sana tujuannya untuk mencari tempat hijrah. Namun, yang sangat menarik dari semua itu adalah pengakuan Ridwan tentang adanya unsur-unsur intelejen yang memainkan skenario yang jahat terhadap umat Islam. Hal ini dianalisis olehnya berkaitan dengan Mafaid Harahap. Justru pertemuan semuanya di rumah Mafaid Harahap awal peristiwa Lampung—di Jalan Karet Kubur yang berakhir di Kalimalang— dan Ridwan curiga kenapa dia tidak ditangkap.