Diikat Seperti Kepiting, lalu Ditembak

9. Diikat Seperti Kepiting, lalu Ditembak

Pemandangan yang begitu mencekam sekaligus menyedihkan itu tak pernah dilupakan Teungku M. Hasan Ishak, seorang imam meunasah di Desa Panton Raya, Kecamatan Tringgadeng Panteraja (Tripa). Ia telah melihat—kemudian ikut memandikan, mengafankan, dan menguburkan —lima mayat yang tercampak di Dayah Teumanah, Tripa, yang dikenali sebagai guru-guru pesantren/mengaji dari Kecamatan Bandar Dua. Mereka diikat seperti kepiting. Dibeurekah (diikat menyatu) lima orang. Darah bercecer dari lubang-lubang di badan mereka,

bekas tembakan. 29 Tapi, salah satu mayat itu nampak wajahnya tersenyum. Mereka mati syahid. Teungku Hasan Ishak menuturkan, pada pertengahan Mei 1991 di bawah rumah Imum Rahman didapati lima mayat terikat. Pada malam sebelumnya, warga di sekitar kejadian sempat mendengar suara gaduh. Serombongan oknum tentara menyeret para tahanannya ke bawah ru- mah Imum Rahman. Tak ada yang berani keluar rumah. Tiba-tiba terde-ngar beberapa kali tembakan, diiringi lenguhan korban-korban menjelang ajal yang begitu menyayat hati. Suasana semakin mencekam. Tapi, salah seorang korban belum langsung mati. Karena kemudian seseorang mengucapkan “Allahu Akbar” maupun “Lailahaillallah” beberapa kali dengan suara lemah. Rupanya ucapan itu masih didengar oleh oknum- oknum tentara yang hendak pergi. Ada suara sepatu tentara yang kembali lagi. Disusul dua tembakan tambahan. Seketika lenyaplah ucapan takbir tersebut. Masyarakat seolah dapat menebak apa yang telah terjadi. Menje-lang subuh, barulah warga berani keluar rumah dan melihat siapa gera-ngan yang menjadi korban pembunuhan sadis itu. Awalnya masyarakat setempat tak mengenal mereka. Namun, setelah informasi itu disebar hingga ke kecamatan sekitarnya, baru diketahui ternyata kelimanya warga Kecamatan Bandar Dua, sekitar 15 Km dari desa itu. Masing- masing jenazah Teungku Muniruddin Kaoy (24) dan Teungku Armiya (26) keduanya penduduk Desa Uteun Bayu, Teungku Ibrahim dari Cot Mee, Teungku M Yusuf asal Cot Keng, dan Ismail Hasan (45) dari Alue Sanee. Selanjutnya, sesuai kebiasaan, para imam meunasah dari beberapa desa di kemukiman itu pun dikumpulkan. Termasuk Teungku M Hasan Ishak dari Panton Raya, desa tetangga Dayah Teumanah. Hasan Ishak ikut memandikan kelima jenazah itu. Membersihkan darah, dan mengambil peluru di badan mereka. Hanya satu peluru yang tak tercabut, yakni yang di tubuh Teungku Muniruddin Kaoy. Peluru itu tertancap di tulang rusuknya. Walaupun sudah ditarik pakai tang, tetap tak bisa dicabut. Akhirnya terpaksa dikubur bersama peluru timahnya.

Kelima jenazah sebelumnya disembahyangkan di Masjid Dayah Teumanah usai shalat Jumat. Kemudian dikuburkan satu lubang berlima di pekuburan umum setempat. Beda dengan kuburan yang lain, makam para teungku yang kini diperluas itu telah disemen sekelilingnya. Belakangan, banyak masyarakat—juga dari Bandar Dua—yang berziarah ke makam itu untuk melepas nazar dan “cari berkah” di situ. Ini terlihat dari banyaknya sobekan kain putih yang diikat pada pohon kemboja yang tumbuh di atas makam. Keluarga kelima korban baru-baru ini juga telah melaporkan kasus itu kepada DPRD setempat. Pertama sekali, Juariah (41), janda Teungku M Yusuf yang melaporkan kasus itu ke Komnas HAM dengan didampingi Forum LSM Aceh. Janda dari Cot Keng yang kini mengasuh lima anak yatim itu mengisahkan, bahwa suaminya diambil awal Maret 1991. Tanpa didampingi suami, ia melahirkan anak kelima (saat suami diculik, Juariah sedang hamil tua). Dua bulan kemudian, ia diberitahu bahwa suaminya telah dikubur bersama lima mayat lainnya di Dayah Teumanah.

Cerita Adawiyah Yusuf (60), ibu dari Teungku Muniruddin Kaoy, pun tak kalah menyedihkan. Muniruddin, guru pesantren diambil oleh tiga oknum aparat pada malam Jumat, 4 Mei 1991 dari Masjid Uteun Bayu saat sedang mengajar ngaji muridnya. Beberapa hari kemudian diperoleh informasi tentang penembakan dan penemuan lima mayat itu. Salah satunya Teungku Muniruddin. Akan halnya Nursiah Ahmad (42), janda dari Ismail Hasan, telah kehilangan dua orang tercintanya. Suaminya diambil 8 Mei 1991, ditahan di Pos Sattis Ulee Glee selama 10 hari. Kemudian mayatnya ditemukan di Dayah Teumanah. Padahal, tahun sebelumnya, 9 Oktober 1990, salah seorang anaknya, M Nasir bin Ismail (20) lebih dulu dibawa dan ditahan ke PS Ulee Glee, lalu dipindahkan ke PS Kota Bakti, dan sampai sekarang belum kembali. Nursiah tak habis pikir tentang kesalahan suaminya itu, hingga sampai dibunuh?

Teungku Armiya (alm), juga seorang guru ngaji, menurut laporan ayahnya M Musa Sabi (58), diambil oleh oknum Kopassus dari PS Ulee Glee, ditahan 20 hari, lalu ditembak dibawah rumah Imum Rahman, Dayah Teumanah. Musa Sabi merelakan anaknya dikubur satu lubang bersama empat mayat yang diikat bersama Armiya.