Saat Eksekusi Subuh Nurhayati Ingin Memeluk Suaminya

19. Saat Eksekusi Subuh Nurhayati Ingin Memeluk Suaminya

Nurhayati (35), hanya berteriak histeris saat menyaksikan suaminya diberondong dengan senjata, di rumahnya, 20 September 1990. Wanita yang baru dua bulan melahirkan ini, tersentak saat mendengar suara letusan senjata di bawah rumahnya yang tinggi, rumoh Aceh. Beberapa menit sebelumnya, ia masih melihat suaminya, Basyaruddin, sembahyang shubuh. Setelah turun, ia mendapatkan suaminya sudah terkapar di tanah. Ia mengerang menahan sakit, dan dari pergelangan tangan kanan tampak keluar darah karena luka tembak. Tampak tiga oknum tentara dan Kades A Wahab berdiri mengelilingi korban, sembari membiarkan korban merintih-rintih

kesakitan. 37 Setelah beberapa saat, sambil berdiri santai, kembali menembak dan mengenai pinggang korban. Nurhayati menangis, dia ingin maju memeluk suaminya yang tampak makin payah setelah peluru kedua menembus pinggangnya. Kepala desa dan ketiga petugas berseragam tampak santai saja, menonton erangan Basyararud-din yang tak berdaya. Namun niat Nurhayati itu dicegah dengan kasar, sehingga dia terjerembab ke halaman. Hal yang sama dialami oleh ibunya, Fatimah, juga dipukul berkali-kali karena menangis meraung-raung. Entah belum puas, Basyaruddin yang sudah sekarat itu, kemudian diseret ke halaman. Oknum berseragam itu kemudian memotong batang pisang yang rupanya dipakai sebagai bantal Basyaruddin. Setelah disandarkan di pohon itu, para oknum berseragam tersebut mundur beberapa meter, untuk kemudian menembak secara beruntun. “Saya tidak sanggup mena-ngis lagi. Apa dosa suami saya. Ibu juga disepak karena tak mau diam saat dibentak agar berhenti menangis,” katanya saat melaporkan peristiwa tersebut ke sebuah LBH di Lhokseumawe, beberapa hari lalu. Sejak saat itu, Nurhayati telah berstatus janda satu anak yang baru berumur dua bulan. Lain lagi kisah M Hasbi Yacob, korban yang saat itu sebagai Kades Bili Baro Kecamatan Matangkuli, harus menjalani siksaan selama 32 hari di posko Rancung Batuphat, milik PT Arun, hanya gara-gara bertanya mengapa ada oknum ABRI yang memukul warganya. Kejadian berawal 10 Juli 1990, ia bersama sekdes M Diah dibawa empat anggota tentara Yonif 125, setelah menanyakan kenapa warga desanya dipukuli. Saat itu sebuah mobil colt yang dipakai oleh beberapa oknum berseragam ABRI, tersangkut di jalan sosial. Lalu tentara itu minta bantuan melalui Kades untuk membantu. Saat itu juga terkumpul sebanyak 35 pemuda desa ikut membantu. Tapi setelah itu, tanpa sebab petugas mengancam anak-anak muda desa sambil memukuli mereka. “Saya waktu itu mengingatkan supaya mereka jangan dipukuli, apalagi tidak bersalah. Saat itulah saya langsung diciduk dan dituduh semua warga desa itu GPK,” kata Hasbi. Suasana lebih buruk lagi saat Hasbi (58) bersama Sekdes M Diah, ditelanjangi di depan warganya selama 1,5 jam. Diperlakukan begitu, kedua tokoh desa ini terpaksa harus menunduk menahan malu. Baru kemudian mereka dinaikkan ke mobil menuju Posko Alue Lengkit. Sedangkan uang dalam saku celananya sebanyak Rp 1,2 juta hasil jualan jeruk juga diambil petugas. Kemudian di tengah perjalanan, keduanya ditutup mata dan saat dibuka mereka sudah tiba di Rancung. “Tidak bisa diingat sakitnya. Kami disiksa seperti anjing,” tutur mantan kades Bili Baro itu sambil tercenung. Di dalam barak itu, terlihat ada 13 orang tahanan lain yang kondisinya sangat menyedihkan. “Setiap malam kami dipukuli, dilempar ke dalam beling, disetrum listrik di kemaluan, dan dikasih makan dengan tulang ikan. Kalau lambat atau cepat ambil nasinya, langsung kami disepak,” kata Hasbi. M Hasbi yang sampai saat ini alat vitalnya masih mengeluarkan darah akibat penyiksaan setrum listrik itu, tidak mampu membayangkan kesadisan petugas. “Kami kalau minta shalat, tidak dikasih, dan kalau baca fatihah kera-keras, barak kami itu dihujani batu dari atas bubung,” tutur Hasbi yang mengadu ke LBH Iskandar Muda Lhokseumawe. Hasbi yang bernomor tahanan 98 itu ia disekap bersama 13 tahan lainnya, di antaranya nama Alamsyah (Kades Arongan Lhoksukon), Syahril (kades Nibong), Ahmad Saidi (anggota Polsek Sungai Pauh Langsa), Usman (anggota Koramil Sumigo Raya A Timur), Ibrahim (warga Jrat Manyang), H Manaf (Panton Labu), Ampon Ahmad (Jeunib), dan Ibrahim warga Penayang Lhokseumawe (masih hidup). Keuchik Hasbi setelah disiksa sebulan lebih, dipulangkan kembali ke Posko Alue Lenyit dan diserahkan kepada Koramil Matangkuli. Se-mentara jabatan Kadesnya sendiri sudah duluan dicopot oleh Camat Sadali Badai (saat ini pembantu bupati Lhoksukon).