Persidangan Kasus Tanjung Priok

Bab 02 Persidangan Kasus Tanjung Priok

Soeharto, Presiden RI 1966-1998 :

“Peristiwa Tanjung Periok adalah hasil hasutan sejumlah pemimpin di sana. Melaksanakan keyakinan dan syari’at agama tentu saja boleh. Tetapi kenyataannya ia mengacau dan menghasut rakyat untuk memberontak, menuntut dikeluarkannya orang yang di tahan. Terhadap yang melanggar hukum, ya, tentunya harus diambil tindakan”. (Buku Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, 1989)

TANJUNG PRIOK, sebuah daerah di Jakarta tempat kapal-kapal berlabuh, termasuk sa-lah satu daerah miskin dan kumuh. Daerah ini menjadi tempat orang-orang desa dan pulau-pulau yang berdekatan guna mencari penghidupan, supaya mereka dapat hidup di kota Jakar-ta. Tempat ini penuh sesak oleh penduduk. Berdasarkan sensus kependudukan, Tanjung Priok merupakan dae- rah paling padat, di mana setiap meter persegi dihuni oleh sembilan orang. Apakah sensus ini benar atau salah, yang pasti daerah ini dipadati oleh penduduk yang aktivitasnya non stop dua puluh empat jam. Warung-warung dan barbar buka setiap malam.

Dalam salah satu persidangan kasus Tanjung Priok, salah seorang pembela menerangkan bahwa daerah ini dikitari jalan-jalan sempit serta ratusan gubuk-gubuk yang saling berhimpitan. Dan mayoritas penduduknya tinggal di bangunan-bangunan sederhana yang terbuat dari bahan- bahan bekas pakai.

Koja, sebuah lokasi di mana peristiwa Tanjung Priok terjadi, merupakan daerah hunian kaum buruh gala-ngan kapal, buruh-buruh pabrik, bangunan dan buruh-buruh harian yang dikenal dengan “pekerja serabutan”. Kerja perbaikan kapal merupakan kerja pokok di tempat ini. Tanjung Priok sangat terpengaruh oleh gejolak ekonomi dan mudah sekali tersulut berbagai issu. Pendu- duknya yang sangat padat, perputaran barang-barang keluar masuk yang dikirim ke tempat- tempat lain di pulau Jawa demikian banyak. Selain itu, tempat yang sangat miskin ini berdampingan pula dengan rumah-rumah mewah yang dijaga oleh anjing-anjing galak. Padahal daerah ini dihuni oleh berbagai golongan penduduk yang berbeda-beda kulturnya, seperti Banten, Jawa Barat, Madura, Bugis, Sulawesi. Dan semua daerah yang telah disebutkan, sangat dipengaruhi oleh kultur Islam.

Di daerah semacam Tanjung Priok, masjid merupakan barometer kehidupan, tempat berkumpulnya orang-orang tua dan anak-anak serta tempat melepas lelah dari kepenatan kerja di jalan-jalan dan lorong-lorong. Segala keruwetan masalah menjadi pusat pembicaraan dan omongan diantara para jama’ah masjid.

Pada pertengahan 1984, beredar issu tentang RUU organisasi sosial yang mengharuskan penerimaan asas tunggal. Hal ini menimbulkan implikasi yang luas. Di antara pengunjung masjid di daerah ini, terdapat seorang muballigh terkenal, menyampaikan ceramah pada para jama’ah- nya dengan menjadikan masalah tersebut sebagai topik pembahasan, sebab rancangan undang- undang tersebut telah lama menjadi masalah yang kontroversial.

Pada suatu hari, 7 September 1984, seorang Babinsa datang ke mushalla kecil bernama “Mushalla As-Sa’adah” dan memerintahkan untuk mencabut pamflet yang berisikan tulisan mengenai problem yang dihadapi kaum muslimin, dan disertai pengumuman tentang jadual pengajian yang akan datang. Tidak heran jika kemudian orang-orang yang hadir disitu menjadi marah melihat tingkah laku Babinsa itu. Pada hari berikutnya Babinsa tadi kembali lagi bersama seorang prajurit untuk mengecek, apakah perintahnya telah dilaksanakan atau belum. Setelah kedatangan kedua ini muncullah issu yang menyatakan bahwa, militer telah menginjak-injak kehormatan tempat suci, karena masuk ke mushalla tanpa melepas sepatu, dan menyirami pamflet-pamflet di mushalla dengan air comberan.

Pada tanggal 10 September 1984, Syarifuddin Rambe dan Sofyan Sulaeman, dua orang takmir masjid “Baitul Makmur” yang berdampingan dengan mushalla As-Sa’adah, berusaha menenangkan suasana dan mengajak kedua tentara itu masuk ke sekretariat Takmir masjid guna membicarakan masalah yang sedang hangat. Ketika mereka berbicara di dalam kantor, massa di luar telah berkumpul. Kedua pengurus Takmir masjid ini menyarankan kepada kedua perajurit tadi supaya persoa-lannya disudahi dan dianggap selesai saja, tetapi mereka menolak saran tersebut. Para jama’ah yang berada di luar mulai kehilangan kesabaran, lalu tiba-tiba saja salah seorang dari kerumunan massa menarik sepeda motor salah seorang perajurit yang ternyata seorang marinir, kemudian dibakar. Maka pada hari itu juga, Syarifuddin Rambe dan Sofyan Sulaeman beserta dua orang lainnya ditangkap aparat keamanan. Turut ditangkap juga Ahmad

Sahi, pimpinan mushalla As-Sa’adah dan seorang lain lagi yang ketika itu berada di tempat kejadian. Selanjutnya, Muham-mad Nur, salah seorang yang ikut membakar motor ditangkap juga. Akibat penahanan ke empat orang tersebut kemarahan massa menjadi kian tak terbendung, yang kemudian memunculkan tuntutan agar mem-bebaskan mereka-mereka yang ditangkap itu.

Pada hari berikutnya, para tetangga mushalla yang masih menyim-pan kemarahan datang kepada salah seorang tokoh daerah itu, bernama Amir Biki, karena tokoh ini dikenal memiliki hubungan baik dengan beberapa perwira di Jakarta. Maksudnya, supaya dia ikut turun tangan membantu membebaskan para tahanan. Sudah seringkali, Amir Biki turun tangan menyelesaikan persoalan yang timbul dengan pihak militer. Akan tetapi kali ini usahanya ternyata tidak berhasil.

Pada tanggal 12 September 1984, beberapa orang muballigh menyam-paikan ceramahnya di tempat terbuka, mengulas berbagai persoalan politik dan sosial, diantaranya adalah kasus yang baru saja terjadi. Di hadapan massa, Amir Biki berbicara dengan keras yang isinya menyam- paikan ultimatum agar membebaskan para tahanan paling lambat pk. 23.00 WIB malam itu. Jika tidak, mereka akan mengerahkan massa mengadakan demonstrasi.

Di saat ceramah telah usai, berkumpullah sekitar 1500 orang demons-tran bergerak menuju kantor Polsek dan Koramil setempat. Sebelum massa tiba di tempat yang dituju, sekonyong- konyong mereka telah dikepung dari dua arah oleh pasukan bersenjata berat. Massa demonstran berha-dapan face to face dengan tentara yang sudah siaga tempur. Pada saat sebagian pasukan mulai memblokir jalan protokol, mendadak para demonstran sudah dikepung dari segala penjuru. Lalu terdengar suara tembakan, kemudian diikuti oleh pasukan yang langsung mengarahkan moncong bedilnya kepada kerumunan massa demonstran. Dari segenap penjuru berdentuman suara bedil, tiba-tiba ratusan orang demonstran tersungkur berlumuran darah. Di saat sebagian korban berusaha bangkit dan lari menyelamatkan diri, pada saat yang sama mereka diberondong lagi atau dicabik-cabik dengan bazoka, sehingga dalam beberapa detik saja jalanan dipenuhi jasad manusia yang telah mati dan bersimbah darah. Sedangkan beberapa korban luka yang tidak begitu parah beru-saha lari dan berlindung ke tempat-tempat di sekitarnya.

Sembari tentara-tentara mengusung korban yang telah mati dan luka-luka ke dalam truk-truk militer, tembakan terus berlangsung tanpa henti. Semua korban dibawa ke RS militer di tengah kota Jakarta. Sedangkan RS lain diultimatum untuk tidak menerima pasien korban penembakan Tanjung Priok. Setelah seluruh korban diangkut, datanglah mobil-mobil pemadam kebakaran untuk membersihkan jalan dari genangan darah korban. Satu jam setelah pembantaian besar- besaran ini terjadi, Pangab Jenderal Beny Murdani datang mengininspeksi tempat kejadian, dan untuk selanjutnya, sebagaimana diberitakan oleh berbagai sumber, daerah tersebut dijadikan daerah operasi militer.

Peristiwa Tanjung Priok sangat mengerikan. Hampir setiap keluarga kehilangan salah seorang anggota keluarganya pada aksi pembantaian ini. Korban pembantaian diperkirakan ratusan orang, sehingga dalam waktu singkat kasus ini menjadi sangat terkenal dan disebut-sebut dalam penerbitan resmi. Sebagian dari massa demonstran yang selamat dari aksi pembantaian mengerikan itu, memperkirakan jumlah korban yang meninggal sekitar 600 orang. Tetapi pihak pemerintah menyembunyikan fakta yang sebenarnya dan mengatakan bahwa “menurut penelitian, adanya korban pembantaian sebanyak itu sesuatu yang mustahil”. Para korban pembantaian ini dikubur di pemakaman umum tanpa sepenge-tahuan keluarga mereka.