02 Korp Muballigh Indonesia (KMI) & Asas Tunggal Pancasila

Bab 05-02 Korp Muballigh Indonesia (KMI) & Asas Tunggal Pancasila

Sekalipun kami tidak banyak tahu tentang Korp Muballigh dan persyarat- an keanggotaannya, tetapi sikapnya yang idiologis telah sering dipapar- kan di dalam berbagai penerbitan. Organisasi ini hanya berumur beberapa tahun. Didirikan untuk mengkoordinir kegiatan para muballigh yang jumlahnya semakin bertambah dari kelompok yang kritis terhadap kebijakan pemerintah. Organisasi ini berfungsi mengajak masyarakat kembali kepada agama dan berpegang teguh kepada garis Qur’an dan Sunnah Nabi. Mereka ini, sebagaimana diketengahkan dalam pernyataan organisasi Amnesti internasional bukanlah merupakan tokoh-tokoh agama dan tidak pula terikat pada masjid tertentu.

Anggotanya terdiri dari laki-laki dan perempuan. Sebagian besar waktunya dihabiskan kerja di kantor atau berdagang, mengajar ngaji, tetapi merupakan orang-orang yang taqwa. Dan mereka ini dikenal sebagai orang-orang yang pandai bicara. Setiapkali diundang bicara mereka selalu siap. Biasanya terjadi dalam seminar-seminar atau diskusi-diskusi ke Islaman yang dapat dilakukan di mana saja dan dalam kesem-patan apa saja. Ceramah yang disampaikan oleh para muballigh biasanya memakan waktu beberapa jam. Yang biasa dibicarakan di dalam cera-mahnya ialah persoalan akhlaq, politik dan komentar atas berbagai persoalan kemasyarakatan. Ceramah biasanya disampaikan secara serius tapi santai dan bebas. Umumnya pengajian ini dihadiri ribuan orang, terutama sekali di kampung-kampung miskin. Ukuran sukses tidaknya seorang muballigh, dilihat dari jumlah besarnya pengunjung. Oleh karena itu acaranya disebar luaskan atau didatangkan muballigh terkenal seperti tokoh-tokoh yang ditangkap tersebut. Para muballigh biasanya menerima undangan dari tempat-tempat yang jauh. Demikianlah peranan yang dimainkan oleh muballigh di dalam menyatukan kelompok-kelompok Islam yang banyak terdapat di dalam masyarakat Islam, apalagi di dalam Islam tidak dikenal adanya sistem kependetaan.

Syafruddin Prawiranegara adalah ketua umum KMI, public figur yang memperoleh penghormatan tinggi di masyarakat. Ia memainkan peran politik beberapa tahun lamanya setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Ia seorang anggota partai Masyumi, juga pernah menduduki jabatan beberapa kali dalam kabinet, setelah proklamasi kemerdekaan. Pernah menjadi Perdana Menteri dalam pemerintahan PDRI (Pemerinta-han Darurat Republik Indonesia) yang didirikan di Sumatera Barat, 1948, yaitu ketika Soekarno sebagai orang terakhir pemerintah republik di- tangkap Belanda, sesudah Belanda menduduki ibu kota RI. Setelah penyerahan kedaulatan ke tangan RI, Syafruddin Prawiranegara menja-bat sebagai Menteri keuangan di dalam beberapa kabinet, lalu menjadi gubernur Bank Central selama beberapa tahun. tetapi karena sikap kritisnya terhadap politik Soekarno semakin tajam, pada tahun 1958 ia bergabung dengan pemerintah Syafruddin Prawiranegara adalah ketua umum KMI, public figur yang memperoleh penghormatan tinggi di masyarakat. Ia memainkan peran politik beberapa tahun lamanya setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Ia seorang anggota partai Masyumi, juga pernah menduduki jabatan beberapa kali dalam kabinet, setelah proklamasi kemerdekaan. Pernah menjadi Perdana Menteri dalam pemerintahan PDRI (Pemerinta-han Darurat Republik Indonesia) yang didirikan di Sumatera Barat, 1948, yaitu ketika Soekarno sebagai orang terakhir pemerintah republik di- tangkap Belanda, sesudah Belanda menduduki ibu kota RI. Setelah penyerahan kedaulatan ke tangan RI, Syafruddin Prawiranegara menja-bat sebagai Menteri keuangan di dalam beberapa kabinet, lalu menjadi gubernur Bank Central selama beberapa tahun. tetapi karena sikap kritisnya terhadap politik Soekarno semakin tajam, pada tahun 1958 ia bergabung dengan pemerintah

Beliau juga mengingatkan, bilamana kita menginginkan persatuan nasional dan tidak merusak harmonisasi hubungan kemasyarakatan seperti yang menjadi keinginan dan tekad asas tunggal, maka kelak hasil yang dapat dipetik bakal berlainan dengan yang kita inginkan.

Setelah kasus Tanjung Priok dan penangkapan sejumlah besar anggota-anggota KMI, Syafruddin Prawiranegara selaku ketua KMI menerbitkan bulletin untuk para muballigh pada bulan April 1985. Beliau menyatakan,”Diskusi mengenai beberapa masalah penting, terutama sekali masalah asas tunggal adalah merupakan hak setiap warga negara yang dijamin oleh hukum dan konstitusi. Para muballigh menilai atau meyakini bahwa telah terjadi kedzaliman, dan mengingatkan orang-orang yang melakukan kezaliman itu. Bahwa kewajiban para muballigh adalah memberikan nasehat dan menuntun masyarakat ke jalan yang terbaik agar dapat memecahkan permasalahan dengan sebaik-baiknya. Untuk menentang kezaliman, yang melaksanakan undang-undang berdasarkan kekuasaan bukanlah kewajiban KMI semata. Tetapi ini tidak berarti mengajak untuk melawan hukum yang berlaku. Problem kaum muslimin Indonesia yang hidup di bawah naungan konstitusi ciptaan manusia dan sekaligus di bawah konstitusi Ilahiyah sekaligus adalah merupakan hal yang patut didiskusikan bersama. Kami, kaum muslimin, menerima Pancasila sepenuh hati sebagai dasar resmi negara, tetapi kami sebagai kaum muslimin mustahil menerima Pancasila sebagai dasar hidup kami. Rezim militer sekalipun berusaha menghindari memasukkan tokoh yang menonjol dan terkenal, ke dalam penjara, namun ternyata selalu merintangi dan menekan mereka, karena penjelasan-penjelasannya yang berbeda dengan rezim. Pada bulan Juni 1985, Syafruddin di tangkap dan di introgasi berkenaan dengan ceramah yang disampaikan pada akhir bulan Ramadhan. Introgasi itu dilakukan atas perintah Kodam Jaya Tri Sutrisno, yang merupakan kelompok perwira tinggi, dahulunya mendapatkan didikan Islam dengan baik dan diangap sebagai orang yang dapat diterima dilingkungan umat Islam. Pada bulan Juni 1986 dia diangkat sebagai Panglima Angkatan Bersenjata (Pangab). Nasehat yang membuat Tri Sutrisno sangat marah, yakni tulisan dengan judul “Bebas-kan Diri Kita Dari Rasa Ketakutan”. Dalam pasannya ini, Syafruddin mengkritik cara-cara intimidasi terhadap masyarakat Islam setelah peris-tiwa Tanjung Priok. Demi keadilan dan peradaban, kaum muslimin seharusnya menyiagakan diri menghadapi musuh-musuh peradaban.

Adalah keliru, jika kita beranggapan bahwa KMI dengan seluruh anggotanya terlibat di dalam pembentukan opini massa tentang masalah-masalah fondamental yang dihadapi umat Islam Indonesia, padahal dalam persidangan kasus para muballigh terbukti adanya sejumlah pen-dapat yang berbeda. Mawardi Noor, wakil ketua KMI di dalam persida-ngannya menyatakan:” Saya ulangi penolakan saya terhadap gagasan asas tunggal. Hal ini tidak berarti bahwa saya menolak Pancasila, tetapi justru sebaliknya. Penolakan saya hanyalah semata-mata untuk menjaga kebersihan dan keaslian Pancasila. Sejak semula Pancasila dimaksudkan sebagai payung yang menaungi semua aliran dan idiologi serta keyakinan yang berkembang dan mengakar di dalam setiap warga negara bangsa ini. Karenanya tidak patut ada asas tunggal yang nantinya menggusur aliran-aliran lain, terutama sekali aqidah keagamaan”.

Sedangkan Abdul Qadir Djaelani, hanya menunjukkan penghinaan-nya kepada Pancasila yang dikatakannya sebagai filsafat ciptaan manusia yang mengalami penafsiran yang berubah- ubah. Pancasila menurut rezim Soeharto, adalah suatu filsafat negara yang kokoh dan agung, karena telah muncul sejak zaman nenek moyang dahulu. Padahal nenek moyang dahulu sebenarnya adalah orang-orang bodoh dan primitif.

Sedangkan pendapat AM. Fatwa, hampir sejalan dengan pendapat Mawardi Noor. Dia mengatakan: ”Pancasila tidak lebih dari sebuah statmen yang memberikan tempat bagi semua pandangan, keyakinan dan pendapat sesuai dengan keadaan sebenarnya di dalam negara. Fatwa tidak mendukung tuntutan untuk mendirikan negara Islam seperti yang dituduhkan oleh pengadilan. Tetapi dia mendukung pendapat, bahwa Islam tidak bisa dipisahkan antara urusan agama, politik dan negara.