02 Hukum Acara Pidana dan Kasus Kasus Subversi

Bab 04-02 Hukum Acara Pidana dan Kasus Kasus Subversi

Undang-undang subversi yang menjadi sandaran Kopkamtib sejak tahun 1965, merupakan peraturan illegal dan tidak adil diterapkan terhadap para tapol Indonesia dan dalam beberapa daerah pemerintah melakukan intervensi. Sebagai contoh, ternyata kejaksaan dan bukannya militer- merupakan pihak yang menyampaikan dakwaan terhadap seseorang yang dituduh melakukan tindakan subversi. Persidangan-persidangan kasus semacam ini dilakukan di pengadilan-pengadilan sipil dan bukan di pengadilan militer, tetapi lembaga yang melakukan penangkapan terhadap terdakwa adalah militer. Sejak yang bersangkutan ditahan, tapol menjadi garapan Kopkamtib melalui komandan militer, karena mereka merupakan petugas Kopkamtib. Sekalipun akhirnya, cepat atau lambat terdakwa diajukan ke kejaksaan, namun mereka tidak mampu membe-rikan jaminan yang seharusnya diperoleh oleh pihak terdakwa.

Jaminan-jaminan ini hanya tinggal tertulis di atas kertas. Para pembela tapol yang melakukan pembelaan di pengadilan, berusaha semaksimal kemampuan untuk meminta kepada pengadilan agar klien mereka dapat menikmati hak-haknya sesuai dengan jaminan yang tercantum di dalam hukum acara pidana yang dikeluarkan pada akhir 1981.

Undang-undang baru ini dinilai sebagai suatu perkembangan positif menggantikan undang- undang lama dan secara umum diterima baik oleh lembaga-lembaga hukum di Indonesia. Dalam hukum acara pidana baru ini secara rinci dijelaskan hak-hak orang yang ditahan, hak untuk berhubungan dengan keluarga dan menerima kunjungan mereka, hak untuk mendapatkan bantuan hukum sejak awal ditangkap dan hak untuk didampingi pembela ketika diintrogasi. Terdakwa juga punya hak untuk memperoleh pembelaan dalam setiap proses persidangan, berhu-bungan dengan pembela untuk menyiapkan pembelaan. Undang-undang acara yang baru ini secara tegas membatasi masa penahanan dan memberikan hak kepada yang bersangkutan untuk menolak pena-hanan dan hanya polisi saja yang berhak melakukan penangkapan dan penyidikan. Namun di dalam hukum acara ini tidak ada ketentuan mengenai sanksi-sanksi terhadap militer yang melanggar ketentuan-ketentuan tersebut, apalagi kekuasaan ini diserahkan kepada pendapat militer yang menangani masalahnya. Oleh karena itu jaminan atas hak-hak terdakwa hanya sekedar live service ( tertulis tapi tidak dilaksanakan).

Sekalipun para tapol diperlakukan dengan hukum acara pidana baru, tetapi KUHP baru ini mengandung kelemahan lain yang berat. Contoh-nya, pasal 284, yaitu menyangkut kasus-kasus yang tercakup dalam undang-undang tertentu, termasuk undang-undang anti subversi tidak mencakup kasus-kasus yang memperoleh masa penyesuaian penerapan undang-undang selama 2 tahun. Lima tahun kemudian para pengacara setelah mempelajari KUHP ini dari segi HAM menyatakan, bahwa keten-tuan khusus dalam undang-undang seperti tersebut dalam pasal 284 menjadi ketentuan yang berlaku untuk selamanya.

Para pengacara yang berusaha untuk membela tapol setiap kali dihadapkan pada berbagai macam rintangan, walaupun mereka telah memenuhi apa yang jadi tuntutan KUHP, namun kenyataanya penang-kapan dan penahanan, introgasi dan pengajuan ke pengadilan ditangani oleh Kopkamtib.

Para penyidik militer memperlakukan korban-korbannya dengan sadis dan penuh intimidasi. Mereka disel sendirian, tidak boleh dikunjungi oleh keluarga ataupun pembelanya. Pembela yang ditunjuk untuk mem-bela AM. Fatwa, misalnya pernah menyampaikan keterangan, bagaimana Para penyidik militer memperlakukan korban-korbannya dengan sadis dan penuh intimidasi. Mereka disel sendirian, tidak boleh dikunjungi oleh keluarga ataupun pembelanya. Pembela yang ditunjuk untuk mem-bela AM. Fatwa, misalnya pernah menyampaikan keterangan, bagaimana

Fatwa mengakui nasibnya agak beruntung, sebab dia dengan cepat dipindah dari tahanan militer di jalan Guntur. Tempat-tempat tahanan politik yang dianggap sangat mengerikan dibandingkan tempat-tempat tahanan lain, maka yang terdapat di jalan Guntur tingkat kesadisannya paling terkenal. Begitu tahanan sampai ditempat, langsung dipermak habis-habisan.

Pada tahap ini petugas intel yang melakukan penyidikan berusaha untuk mengajukan beberapa macam pertanyaan kepada tahanan, dan untuk meperoleh pengakuan yang menyangkut orang lain, mereka mem-pergunakan berbagai metode pemeriksaan, termasuk menggulung atau mempermak. Para penyidik militer menggunakan cara-cara yang amat kasar, seperti penyetruman listrik. Untuk menghina tahanan muslim, mereka gunakan cara-cara tertentu, seperti menggunduli kepala dan melarang sholat. Cara-cara penyiksaan yang biasa mereka gunakan terha-dap tahanan di waktu dalam proses penyidikan, misalnya meletakkan kaki meja di atas ibu jari kaki korban, kemudian diduduki beberapa orang militer, dan kadang-kadang diinjak-injak. Umumnya penyidik belum mendapatkan pengakuan lengkap, sekalipun korbannya sudah menga-lami siksaan luar biasa. Seorang muballigh, Profesor Utsmani al-Hamidi tidak merasa heran ketika dalam salah satu persidangan kasusnya, meli-hat seorang jaksa penuntut yang kesulitan menanyai salah seorang saksi, lalu sang jaksa berkata: “Saya menyarankan sebaiknya saksi ini dikirim kembali ke sel tahanan militer, supaya para penyidik militer di sana membekali yang bersangkutan sebelum ia memberikan kesaksiannya. “

Cara-cara yang digunakan oleh militer seperti yang telah disebutkan tadi, terungkap dengan jelas dalam kasus Husnul Arifin, terdakwa yang hukum dalam kasus pengebomam BCA, 4 Oktober 1984. Dalam penga-kuannya, ia menyatakan dirinya diberi pinjaman oleh HM. Sanusi. Menu-rut sangkaan mereka (rezim), Sanusi telah membiayai pengeboman. Masalah inilah yang merupakan hal pokok yang menjadikan Sanusi, salah seorang korban utama dalam peradilan orang-orang Islam. Ketika Husnul Arifin menjadi saksi yang dihadirkan oleh jaksa, ia mencabut semua pengakuannya di depan persidangan. Hal ini terjadi pada saat kasus persidangan Rahmat Basuki. Dia semula enggan membeberkan di depan persidangan, di mana dan dalam kondisi apa sehingga pengakuan-pengakuan itu harus dicabut. Akan tetapi tim pembela dengan gigih berusaha mengorek keterangan saksi, sehingga dia berani berterus terang di depan persidangan. Dia menceriterakan, bahwa dirinya ditangkap pada tanggal 7 Oktober 1984, oleh beberapa orang yang berpakaian preman, tanpa membawa surat perintah penangkapan. Setelah ditangkap matanya ditutup, lalu dia dibawa ke suatu tempat rahasia. Di tempat itu dia dipukuli dengan benda semacam tongkat yang keras. Mereka menginterogasi dan menyuruhnya memberikan keterangan yang diperlu-kan, kemudian menandatanganinya. Di kemudian hari ketika dia diinterogasi oleh polisi, dia tidak dapat lagi mengingat wajah orang-orang yang dahulu pernah menginterogasinya. Oleh karena itu, ketika menyampaikan keterangan kepada polisi, dia banyak membuat ketera- ngan yang direkayasa. Begitu pula halnya dengan orang-orang lain yang dituduh melakukan pengeboman, dan akan kami terangkan secara rinci di belakang. Kesehatan Husnul Arifin sangat memperihatinkan, hal itu dikemukakan oleh orang-orang yang bertemu dengan para tahanan di dalam penjara. Mereka sangat takut, sebab mereka dituduh sebagai orang-orang yang dibiayai oleh Sanusi.

Salah seorang terdakwa bernama Muhammad Jabir bin Abu Bakar, menemui ajalnya di sel tahanan akibat tidak tahan menerima siksaan; karena penyidik berusaha mendapatkan pengakuannya untuk melibat-kan HM. Sanusi. Pembunuhan yang mengerikan ini, terungkap di dalam pernyataan yang ditulis oleh keponakannya dan disampaikan kepada sidang peradilan yang kedua pada persidangan kasus Sanusi (baca lampiran ketiga).