06 Persidangan Kasus Akhwan dan HM Sanusi

Bab 06-06 Persidangan Kasus Akhwan dan HM Sanusi

Persidangan kasus Muhammad Akhwan berlangsung paling akhir dari persidangan-persidangan kasus pengeboman di Malang. Padahal sebenarnya dialah orang pertama sebagai terdakwa yang harus diajukan dalam persidangan-persidangan kasus pengeboman Malang yang mulai berlangsung pertengahan tahun 85.

1. Nama : Muhammad Akhwan Umur

: 38 tahun

Keterangan : Ditangkap pada 30 Desember 1984. Disidangkan perkaranya pada bulan

April dan Mei 1986. Didakwa berkomplot melakukan tindakan subversi dengan bergabung dalam operasi pengeboman di berbagai tempat dan ikut gerakan Komando Jihad. Persidangan kasusnya dijadualkan bersamaan dengan persidangan kasus Sanusi yang kedua, yang telah berlangsung seminggu sebelumnya di Jakarta.

Persidangan-persidangan di Malang, apakah dimaksudkan untuk menjaring Sanusi ataukah tidak, dugaan yang semacam ini sulit untuk membuktikannya. Tetapi kesaksian Akhwan dan David Frans serta jadual persidangan yang sama dengan persidangan Sanusi, mengindikasikan adanya strategi tertentu. Hal itu karena ada indikator-indikator pengajuan beberapa saksi yang sama dalam persidangan kedua orang itu. Persidangan-persidangan yang dilakukan di berbagai tempat di Jawa dan saksi-saksi yang diajukan dalam persidangan Akhwan melibatkan beberapa orang dari pesantren YAPI, seperti Lutfi Ali dari Probolinggo, Faishal Basri dari Malang. Orang terakhir ini telah divonis 8 tahun penjara, sedang persidangan terhadap Lutfi Ali berlangsung pada 14 Mei 1986. Sayangnya kami tidak memiliki keterangan tentang proses persidangan ini. Biasanya kesaksian-kesaksian tertulis dipergunakan dalam menyidang orang semacam ini untuk melindungi para saksi dari cecaran pertanyaan tim pembela.

Akhwan menyangkal keras bahwa Sanusi, dalam satu pertemuan di Yogyakarta, berbicara tentang rencana pembunuhan Presiden Soeharto, tetapi Sanusi dalam pertemuan itu berkata, bahwa Soeharto bukan muslim yang baik. Akhwan menerangkan bahwa Sanusi dan Mursalin Dahlan telah masuk dalam gerakan revolusi. Akhwan mempunyai hubungan dengan beberapa kelompok yang bermacam-macam. Syahirul Alim yang diangkat sebagai pimpinan sayap militer Islam dalam pertemuan di Tawangmangu, Jawa Tengah, mengemukakan sejumlah analisis. Dalam pertemuan itu hadir beberapa kelompok lain yang katanya siap mati demi menegakkan negara Islam. Dalam pertemuan ini dinyatakan ada-nya pertalian dengan Sanusi, karena salah seorang anggota Petisi 50 membantu Mursalin menunjuk Akhwan untuk menjabat sebagai pimpinan YAPI di Malang.

Pertanyaan yang sangat mengganjal dalam rekayasa Akhwan ini, ialah sejauh mana hal itu sejalan dengan langkah-langkah jaksa penuntut umum, terutama berkaitan dengan kesaksian Akhwan yang sangat merugikan dalam persidangan-persidangan kasus Surabaya yang lalu. Sosok lain yang masih misterius adalah seorang bernama David Frans, saksi pertama yang dihadirkan pada persidangan Akhwan. Tidak jelas, apakah Frans sekarang ini masih ada di dalam tahanan ataukah ia sudah dijatuhi hukuman. Di akhir persidangan kasus Akhwan, ia dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.

Ir. HM. Sanusi. Ia sebenarnya telah divonis hukuman penjara 19 tahun. Tetapi sekarang dia dikenai dakwaan berkomplot dalam usaha mem-bunuh Soeharto. Komplotan ini dibicarakan dalam pertemuan Yogya-karta, tahun 1982 bertempat di kantor Bulletin Ar-Risalah yang terlarang, dimana pimpinan redaksinya, Irfan Suryahardi, telah dijatuhi hukuman penjara 13 tahun pada bulan Februari 1986 ( baca BAB V). Sanusi dituduh hadir di dalam pertemuan tersebut bersama dengan 29 orang. Tanpa mempermasalahkan adanya komplotan untuk membunuh presiden, sesungguhnya beberapa orang saksi dalam persidangan kasus Sanusi, antara lain seorang bakul sayur dari Jakarta bernama Nur Iman, mengaku diberi dana oleh Sanusi sebesar 14 juta rupiah untuk membeli bahan-bahan peledak guna meledakkan mobil presiden di salah satu jalan Jakarta pada tahun 1982. Tetapi dalam kenyataannya, apa yang disebut usaha pembunuhan itu sama sekali tidak ada. Kemudian Marwan Ahwari, tampil menjadi saksi. Dia berasal dari Solo mengaku, bahwa Sanusi merencanakan pembunuhan Soeharto ketika Soeharto mengadakan acara pembukaan candi Borobudur yang telah selesai direnovasi, pada bulan Februari 1983. Upaya inipun tidak terwujud. Ada yang mengatakan bahwa Sanusi telah menyiapkan dana 500 ribu rupiah untuk melakukan pembunuhan terhadap presiden, dan 500 ribu rupiah lagi sebagai biaya mencetak undangan pertemuan yang akan diselenggarakan di masjid Istiqlal Jakarta setelah Soeharto terbunuh. Kesaksian-kesaksian ini, oleh Sanusi dikatakan sebagai cerita fiktif.

Dalam persidangan kedua kasus Sanusi ini, untuk pertama kalinya muncul Syahirul Alim dan Mursalin Dahlan memberikan kesaksian langsung, padahal sebelumnya mereka hanya Dalam persidangan kedua kasus Sanusi ini, untuk pertama kalinya muncul Syahirul Alim dan Mursalin Dahlan memberikan kesaksian langsung, padahal sebelumnya mereka hanya

Dari tanya jawab yang berlangsung di persidangan, muncullah bukti bahwa tidak terdapat korelasi yang jelas antara kasus yang satu dengan lainnya. Namun Syahirul Alim menegaskan bahwa Mursalin Dahlan mengetahui secara detil tentang adanya komplotan itu, bahkan ia tahu nama-nama yang bertugas memasang bom di jalan-jalan di Jakarta. Ia pun bercerita adanya perbedaan mengenai bagaimana operasi itu akan dilakukan dan di mana. Jaksa penuntut umum dalam persidangan ini menganggap perlu melindungi kedua saksi dari cecaran pertanyaan- pertanyaan yang diajukan tim pembela. Syahirul Alim juga menyatakan di dalam persidangan bahwa ia turut serta merencanakan berdirinya negara Islam. Ia menyatakan Sanusi sama sekali tidak ada hubungan dengan masalah ini. Sedangkan Mursalin Dahlan menyatakan Sanusi adalah pendiri pesantren kilat, untuk melatih kelompok-kelompok Islam.

Dengan geram Sanusi menyangkal keterangan saksi tadi, dan menganggap keduanya sebagai “kutu busuk” di arena perpolitikan. Akan tetapi, sejauh mana kebenaran dari pernyataan- pernyataan yang dikemukakan kedua saksi di atas, hal itu tetap menjadi misteri.

Kemudian tampillah dua orang saksi yang meringankan Sanusi, yaitu:

1. Kris Siski Tumoa , seorang Katholik, salah seorang penandatangan Petisi 50. Ia menyangkal keras segala macam tuduhan keterlibatan Sanusi menggulingkan pemerintah atau

mendirikan negara Islam. Ia bertanya, bagaimana mungkin orang yang mempunyai rencana semacam itu duduk bersama kami dalam kelompok petisi 50?

2. Tasrif Tuasikal , terdakwa yang perkaranya disidangkan di Jakarta. Ia sekali lagi menegaskan bahwa Sanusi tidak mempunyai peran sama sekali dalam operasi peledakan bom. Tim pembela memohon agar Ali Sadikin ditampilkan sebagai saksi, karena ia merupakan tokoh yang menonjol di dalam kelompok Petisi 50. Pembela juga meminta dihadirkannya Mohammad Akhwan. Namun majelis hakim menolak dan menyatakan: “Ali Sadikin sangat riskan”. Dan mengapa Akhwan tidak dijadikan saksi, tidak disebutkan alasannya. Tetapi kami menduga, karena dalam persidangan ia pernah mengatakan, Sanusi tidak pernah berbicara sedikitpun mengenai komplotan untuk membunuh Soeharto. Tim pembela menunjukkan kelemahan-kelema-han dalil jaksa penuntut umum, yang mengaitkan peristiwa pembantaian Tanjung Priok dengan peristiwa lain di Jakarta dan Malang. Maka sekarang tinggallah dakwaan akan adanya kaitan antara Sanusi dengan peristiwa pengeboman dan pesantren kilat. Sebab dikaitkannya Sanusi dengan hal-hal tersebut hanya didasarkan keterangan Akhwan dan David Frans, padahal Frans ini menjadi anggota dari kelompok-kelompok politik yang saling berseberangan. Sanusi berkali-kali menegaskan : “ Kami tidak punya hubungan apapun dengan kelompok-kelompok sempalan, dan kami tidak berkomplot untuk menggulingkan pemerintah”.

Kesaksian tertulis dengan angkat sumpah, yang menjadi senjata pamungkas jaksa penuntut umum, diserahkan oleh Sanusi dalam persi-dangan bertalian dengan kasus kematian Mohammad Jabir di dalam tahanan; sesuai dengan kesaksian yang disodorkan oleh keponakannya. Jabir ditahan tanpa sebab yang jelas, kemudian disiksa habis-habisan karena menolak memberi kesaksian yang mendiskreditkan Sanusi. Keponakan Jabir bercerita, bahwa jasad Jabir penuh luka-luka dan lebam kebiru-biruan ketika mereka (ahli waris) menerima penyerahan jasad itu untuk dikebumikan. Petugas mengancam mereka agar tidak membuka dan mengambil foto jasad korban. Keberanian memberikan kesaksian semacam ini, dari siapapun dianggap sebagai suatu tindakan heroik. Mohammad Jabir, korban pembunuhan sadis, adalah saksi yang di ajukan oleh jaksa penuntut umum. Pada hari yang telah di tetapkan untuk hadir di persidangan, majelis hakim mengumumkan bahwa Jabir tidak dapat dihadirkan kerena telah meninggal dunia pada bulan Januari lalu. Akan tetapi jaksa penuntut umum memiliki kesaksian tertulis dari almarhum yang menyatakan, bahwa Sanusi menyerahkan dana kepadanya sejum-lah Rp 400.000 melalui seorang karyawan bernama Solonis Z dan Marwan Ahwari untuk membeli bahan-bahan peledak dan meneliti situasi Borobudur.

Di dalam surat-surat kabar tidak ada berita mengenai penyangkalan saksi yang terjadi dalam persidangan kasus Sanusi, di mana saksi yang bersangkutan telah meninggal dalam tahanan karena perlakuan keji, padahal di dalam tahanan ada penjaga keamanan.

Sebagaimana diberitakan di dalam surat-surat kabar yang memuat berita ringkas tentang permohonan untuk membebas Sanusi dari segala macam tuduhan, tim pembela menegaskan bahwa tidak ada seorang saksipun yang mengatakan Sanusi telah berbicara mengenai rencana komplotan membunuh Soeharto. Ada kontroversi di dalam keterangan para saksi, karena ada yang mengaku telah mendengar Sanusi mengata-kan hal semacam itu, tetapi yang lain tidak. Di sisi lain tim pembela menilai bahwa dijatuhkannya hukuman seumur hidup kepada Sanusi semata-mata didasakan pada BAP yang dilakukan oleh penyidik, dan bukan didasarkan pada keterangan-keterangan di dalam persidangan. Karena itulah akhirnya, Sanusi divonis hukuman Sebagaimana diberitakan di dalam surat-surat kabar yang memuat berita ringkas tentang permohonan untuk membebas Sanusi dari segala macam tuduhan, tim pembela menegaskan bahwa tidak ada seorang saksipun yang mengatakan Sanusi telah berbicara mengenai rencana komplotan membunuh Soeharto. Ada kontroversi di dalam keterangan para saksi, karena ada yang mengaku telah mendengar Sanusi mengata-kan hal semacam itu, tetapi yang lain tidak. Di sisi lain tim pembela menilai bahwa dijatuhkannya hukuman seumur hidup kepada Sanusi semata-mata didasakan pada BAP yang dilakukan oleh penyidik, dan bukan didasarkan pada keterangan-keterangan di dalam persidangan. Karena itulah akhirnya, Sanusi divonis hukuman

Ketika banyak pertanyaan kita yang tidak terjawab, dan diliputi kabut kegelapan, ternyata ada satu hal yang sudah menjadi jelas, bahwa di Indonesia dewasa ini kata-kata teroris hampir sama artinya dengan kata-kata fundamentalis. Bilamana ada sejumlah aktivis yang ditangkap dan di jatuhi hukuman berat, tidak lain hanyalah sasaran antara dari rencana besar rezim yang berkuasa. Pembersihan terhadap orang-orang ini, sebenarnya ibarat memotong gunung es. Korban utamanya seperti Sanusi, politikus terkenal, divonis hukuman seumur hidup, bukan karena ia dapat dibuktikan secara hukum telah mendanai operasi pengeboman atau berkomplot membunuh presiden. Tetapi semata-mata karena ia berfikiran bebas dan mengungkapkan pandangan- pandangannya dalam menghadapi segala dakwaan. Sanusi telah terjebak dalam jaringan musuh. Karena dia telah memberi bantuan keuangan kepada Rahmat Basuki untuk menjaga kelestarian hubungan baik sejalan dengan kebia-saan masyarakat di Indonesia. Ikatan-ikatan yang semula tidak merugikan berubah menjadi komplotan yang menakutkan. Komplotan semacam ini terkadang melibatkan orang yang masing-masing mempunyai maksud sendiri, bukan lagi pada tujuan bersama. Bahkan terkadang mereka tidak mengetahui apa-apa dan turut serta melakukan perbuatan yang dituduhkan q NGGOTA kelompok Usrah Jawa Tengah, yang pertama kali disidang adalah Tubagus Muhammad Jiddan, 22 tahun, seorang petani dari desa Banaran, Kabupaten Kulon Progo, Wilayah Barat Yogyakarta. Berbeda dengan persidangan-persidangan kasus gera-kan Islam sebelumnya, persidangan Jiddan ini tidak ada sangkutpautnya dengan kasus Tanjung Priok. Dia didakwa telah memberikan ceramah berapi-api dan mengikuti training Komando Jihad di Muntilan serta berusaha untuk melaksanakan kegiatan tersebut di kampungnya. Dia didakwa bertujuan mendirikan negara Islam dan melenyapkan Pancasila. Jiddan menyangkal dakwaan semacam itu. Dia menyatakan hanya sekedar mengikuti kegiatan keagamaan secara rutin. Pada bulan Februari 1986 dia dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman 6 tahun penjara.

Beberapa bulan berikutnya tidak lagi terdengar kabar tentang gerakan Usrah, sehingga masyarakat berangga-pan kasus Jiddan ini bersifat khusus. Tetapi pada bulan Juni, mulailah tahanan-tahanan gerakan Usrah muncul dalam berbagai persidangan pengadilan sehingga mengindikasikan bahwa persoalannya panjang, seperti halnya dengan kasus-kasus persidangan lainnya yang dilakukan tehadap orang Islam. Tiba-tiba saja penguasa Jawa Tengah mengumumkan penangkapan terhadap puluhan orang yang menjadi pendukung kelompok Usrah yang ternyata jaringannya tersebar di kalangan masyarakat Jawa Tengah.Dengan demikian sekarang muncul komplotan gerakan Islam sempalan.