Dipaksa Ikut Membantu Operasi, Lalu Dilibas

17. Dipaksa Ikut Membantu Operasi, Lalu Dilibas

Berbagai akal licik dilakoni aparat keamanan untuk memperdaya anggota masyarakat yang dijadikan sasaran selama operasi militer berlangsung di Aceh sejak 1990 hingga 7 Agustus 1998. Modus yang menonjol dilakukan adalah mengajak calon korban dengan dalih ikut membantu

operasi menumpas GPK, menjadikan mereka sebagai tameng dalam pertempuran, lalu dihabisi. 36 Atau paling tidak, mereka dikondisi-kan untuk tewas tanpa pertanggungjawaban apapun dari aparat mau-pun kesatuannya. Dari hasil klarifikasi kasus, Forum Peduli Hak Asasi Manusia (FP HAM) mencatat praktik-praktik kejahatan seperti itulah yang menimpa banyak warga sipil di pedesaan, mulai dari Kabupaten Pidie, Aceh Utara, hingga Aceh Timur. “Paling sedikit, 25 korban pemban-taian dari 720 pengaduan yang diterima FP HAM tewas dengan modus operandi seperti itu,” ungkap Ketua Pelaksana Harian FP HAM, Ir Abdul Gani Nurdin didampingi Ketua Pokja Investigasi/Advokasi Mukhlis Mukhtar SH. Salah satu kasus yang mereka sebutkan adalah apa yang menimpa Geuchik Hasim Ibrahim (45), warga Bayeun, Aceh Timur. Pada suatu siang di tahun 1990, suami Mariati Salam (35), yang baru punya satu putra, ini didatangi petugas keamanan di rumahnya. Jelas-jelas petugas menyatakan kepada Hasim bahwa perannya sebagai tokoh masyarakat di desa itu amat diperlukan untuk ikut membantu operasi militer menumpas GPK. Meski khawatir akan keselamatan Hasim, tapi istri dan anaknya, Saiful (7), akhirnya merelakan juga lelaki yang mereka cintai itu pergi. Dua hari berselang, tak ada kabar apakah benar Hasim ikut operasi atau tidak. Tak pula diketahui seberapa besar perannya dalam operasi itu, kalau memang ada. Yang jelas, pada hari ketiga setelah ia dijemput petugas, seorang warga menemukan Hasim sudah jadi mayat di pinggiran desa. Para petugas yang menjemputnya, jangankan menga-ku bertanggung jawab, datang pun tidak untuk, misalnya, sekadar menyatakan duka cita ke rumah Hasim. Dengan dalih “ikut operasi” pula Bransyah, Banta Lidan, dan Bugeh (ketiganya bersaudara) dijemput di rumahnya, lalu dihabisi pada suatu malam di tahun 1994. Warga Desa Maneh, Geumpang, Pidie itu adalah anak, menantu, dan adik dari Denabah yang datang melapor ke FP HAM. Menurut Denabah, yang datang menjemput para korban itu adalah aparat keamanan berbaret merah. Pertama diambil adalah Bransyah, menyusul Banta Lidan, dan Bugeh. Ketika ditanya Denabah mengapa anak, menantu, dan adiknya itu diambil, petugas menjawab tangkas: ikut bantu operasi ABRI! Mereka pun dilepas Denabah dengan harapan bisa kembali dalam keadaan selamat. Tapi, naluri keibuan Denabah akhirnya beralasan bahwa ajakan “ikut operasi” itu hanya dalih. Terbukti, tak jauh dari rumahnya, selagi melintas di Simpang Kene (Geumpang) Bransyah ditembak. Letupan suara bedil terdengar ke rumah Denabah, dan warga pun berhamburan, kemudian menyaksikan tubuh Bransyah terbujur kaku ditembus timah panas.

Sedangkan Bugeh, dihabisi dengan cara ditembak di Cot Bate Keling, juga tak jauh dari Desa Maneh, Geumpang. Akan halnya, sang menantu, Banta Lidan, dieksekusi dengan cara lehernya digorok, sampai terpisah kepala dari badan. “Badannya dibuang ke gunung, sedangkan kepalanya dipulangkan ke kampung kami,” ungkap Denabah. Pendek-nya, dalam sehari itu Denabah dan keluarganya yang tersisa, bersama warga desa mengubur tiga mayat. Ia tak habis pikir, mengapa mereka yang semula didalihkan ikut membantu operasi militer, pulangnya sudah jadi mayat dan hanya tinggal kepala. Ismail Mahmud (63), warga Leubok Maneh, Jambo Aye, Aceh Utara yang hanya tamatan SR, juga mengalami nahas pada suatu hari di tahun 1991. Kala itu, menurut istrinya, Keumala-wati (45), suaminya yang masih kekar itu dijemput sejumlah petugas di rumahnya pada 5 Maret 1991, selagi shalat magrib. Petugas menyatakan, dan itu didengar langsung oleh Keumalawati, suaminya akan dibawa ke Langkahan, masih di Aceh Utara, untuk ikut membantu operasi ABRI menumpas GPK. Sehari di Langkahan, Ismail dibawa aparat ke Rantau Peureulak, katanya, juga untuk membantu operasi selama seminggu. “Tapi, sudah tujuh tahun lebih, suami saya belum dipulangkan. Jangan- jangan sudah meninggal. Tapi, kalau sudah meninggal di mana kubur-nya,” Keumala menggugat. Ada pula korban yang diambil dengan dalih ikut membantu menunjukkan tapal batas desa. Itulah yang menimpa Asy’ari bin Teungku Amin (32), warga Dayah Baroh, Ulim, Pidie, yang diambil 30 April 1991, dan ditemukan jadi mayat pada 4 Mei 1991. Ia dibawa naik mobil dengan dalih perlu bantuan menunjukkan tapal batas jalan. Lalu dibawa ke Pos Sattis Gle Cut, dan sebulan kemudian ditemukan di Desa Geulanggang Ulim sudah jadi mayat dengan luka tembak di tubuhnya. Begitu dikisahkan Aisyah (40), kakak kandung korban. Selain didalihkan ikut operasi, ada pula korban yang dijadikan tameng operasi, sebagaimana dialami Teungku Rahman Ali (70), warga Cot Baroh, Glum-pang Tiga, Pidie. Suatu hari di tahun 1996 ia dibawa ke Pos Sattis Bilie Aron (Rumoh Geudong), ditembak, lalu diobati. Kemudian, disiksa lagi dan dibawa operasi untuk ditempatkan di barisan depan (sebagai tameng tentara) saat menyerang persembunyian aktivis GPK di hutan. Melihat banyak warganya yang diambil dengan dalih ikut operasi dan tak pernah dipulangkan—kalaupun ada dalam bentuk mayat—Syech Asnawi Yah-ya (32), Kades Blang Kulam, Kecamatan Batee, Pidie coba beradu argu-men dengan aparat keamanan. Sebagai pengayom, ia tak ingin warganya terus-terusan diambil tanpa kesalahan yang jelas, kecuali dialasankan ikut membantu operasi. Tapi, adu argumen itu pula yang membuat sar-jana FKIP Jabal Ghafur, Sigli, dan ayah dua anak ini diciduk petugas pada tahun 1991. Lalu dibawa ke jembatan Delima, Pidie. Dipasang tali di lehernya, kemudian disuruh tarik kepada 10 warga. Dalam situasi begitu, petugas menyemburkan peluru ke tubuhnya. Tewas di tempat. “Mayat adik saya itu baru boleh diambil esoknya oleh ibu saya,” lapor abang korban, Syech Baihaqi Yahya kepada Forum Peduli HAM.