03 Persidangan
Bab 05-03 Persidangan
PADA tanggal 20 Juli 1985, mulailah menyidangkan kasus dua orang muballigh di pengadilan Jakarta Utara. Masing-masing tertuduh disidang di ruangan tersendiri, tetapi saksi-saksinya sama. Kedua terdakwa ini adalah Salim Qadar dan Hendrayana. Salim menjadi saksi untuk terdakwa Hendra, dan sebaliknya Hendra dijadikan saksi bagi terdakwa Salim. Keduanya dijadikan saksi oleh jaksa penuntut umum untuk kasus masing-masing.
Kedua terdakwa ini kesaksiannya menyangkut semua muballigh yang dihadapkan ke persidangan dalam kasus pembantaian Tanjung Priok. Karena itu secara rinci kami paparkan di bawah ini.
1. Nama : H. Salim Qadar Umur
: 51 tahun. Jabatan
: Ketua III KMI Alamat
: Banten Jawa Barat
Keterangan : Dia seorang tokoh masyarakat Banten dan meru-pakan kelompok besar di
Tanjung Priok. Dia dituduh memprovokasi massa melalui ceramah- ceramahnya agar ikut demonstrasi pada 12 September 1984 malam. Sebagaimana halnya dengan muballigh lain, selalu diincar oleh intel selama beberapa bulan. Jaksa penuntut umum mengutip sebagian dari ceramah-nya yang disampaikan pada tahun 1984 terutama bagian-bagian yang berkenaan dengan kritiknya ter-hadap asas tunggal dan program Keluarga Beren-cana (KB). Jaksa beranggapan bahwa ceramah semacam ini membangkitkan kemarahan masyara-kat dan membahayakan idiologi negara, menyebar-kan rasa kebencian dan perpecahan serta melawan pemerintah. Jaksa juga menuduh terdakwa meng-kritik secara tajam beberapa orang menteri dan anggota DPR karena politik dan kegiatan mereka yang merusak. Saksi yang dihadapkan bagi tertuduh Salim terdiri dari 5 orang militer dan 6 buah kaset ceramah.
Salim menolak semua tuduhan dan menyatakan bahwa kritik-kritik-nya terhadap asas tunggal adalah merupakan hak warga negara dalam menentang setiap peraturan dan politik pemerintah. Di depan pengadilan ia menceritakan perannya pada dasawarsa 1960-an sebagai pemimpin front Pancasila di Tanjung Priok, sebuah organisasi yang mendukung militer dan membantu melawan komunis sesudah peristiwa kudeta tahun 1965. Dia menegaskan bahwa dirinya tidak menentang Pancasila, tetapi yang dia tentang adalah pemaksaan Pancasila sebagai asas tunggal.
2. Nama : Hendrayana Umur
: 36 tahun Asal : Majalaya Jabatan
: Sekretaris umum KMI cabang Jakarta utara, dan asisten dosen PTDI, mata kuliah dakwah Islam. Keterangan
: Dia termasuk penandatangan petisi umat Islam Jakarta. Dia ikut memberikan ceramah dalam pe-ngajian di Tanjung Priok, 12 September 1984. Tudu-han yang dikenakan kepadanya sama dengan tudu-han terhadap Salim Qadar. Jaksa penuntut menon-jolkan masalah ceramah yang ia sampaikan pada Juli 1984 berjudul “Pancasila Sebagai Asas Tunggal Hanya Akan Menjerumuskan Orang Ke Keramat Tunggak”. Dia juga dituduh melakukan tindak pidana karena mengkritik Laksamana Soedomo yang menjadi menteri tenaga kerja. Soedomo telah mengirim TKW ke Arab Saudi sebagai tenaga kerja murah. Dia mengkritik Ali Murtopo sebagai Aspri Presiden Soeharto. Tidak ada orang yang menyang-kal bahwa dia telah menggunakan kata-kata kasar terhadap pemerintah sekalipun mereka terus mene-rus menyatakan dirinya sama sekali bersih dari tuduhan melakukan subversi. Jika mereka dianggap melakukan kejahatan maka kejahatan yang mereka lakukan itu tidak lain hanyalah berupa kata-kata yang dengan terus terang mereka ungkapkan bah-wa mereka berbeda dengan pemerintah yang mereka sampaikan dalam beberapa kesempatan. Jaksa penuntut menuduh Yayan telah memper-gunakan pernyataan- pernyataan yang dapat menimbulkan kesalah-fahaman besar di dalam masyarakat. Seperti yang dikutip oleh mass media mengenai jalannya persidangan ini, bahwa kedua terdakwa kondisi kesehatannya sangat buruk akibat perlakuan tidak manusiawi dan perawatan kese-hatan yang kurang. Salim yang menderita kencing manis ternyata hakim tidak mengizinkan penun-daan persidangan kasusnya. Hanya Yayan ketika dia muntah-muntah di ruang sidang, hakim mengi-zinkan penundaan sidang atas permintaan pembela.
Kedua terdakwa dituntut hukuman seumur hidup oleh jaksa. Tetapi hakim memutuskan hukuman bagi masing-masing selama 22 tahun. Setelah persidangan kedua orang ini, Fatwa dan Abdul Qadir Djaelani diajukan ke pengadilan. Keduanya tidak asing lagi bagi polisi, tentara dan pengadilan.
1. Nama : Abdul Qadir Djaelani Umur
: 46 tahun Keterangan
: Pertamakali diadili tahun 1973, divonis 2,5 tahun, karena keterlibatannya dalam demonstrasi menen-tang RUU Perkawinan. Kemudian dia ditangkap lagi sebelum pemilu 1977 karena terlibat dalam penyerangan tempat massage (tempat pijat) di Jakarta.
Walaupun ke dua hal tersebut belum dilakukannya tetapi Djaelani ternyata dijatuhi hukuman sekali lagi selama 2 tahun penjara. Djaelani pernah menjabat sebagai ketua pemuda GPII ( Gerakan Pemuda Islam Indonesia). Pada tahun 1984, sebelum dia ditangkap, dia adalah pengurus KMI dan dikenai tuduhan berkaitan dengan ceramah-ceramah yang diberikannya. Dia juga didakwa terlibat secara langsung dalam penge-boman BCA dan tempat-tempat lain. (Baca bab VI). Masyarakat luas yang menghadiri persidangannya membuktikan dia sebagai seorang muballigh yang dicintai dan terpandang di dalam masyarakat. Pengun-jung yang menghadiri persidangannya jumlahnya sangat banyak. Seka-lipun dilakukan pemeriksaan ketat bagi pengunjung yang masuk ke ruang sidang. Dalam pemeriksaan ini diteliti KTP dan tubuhnya. Di luar sidang ratusan pengunjung yang berdiri untuk mendengarkan jalannya persida-ngan lewat pengeras suara. Keterangan-keterangan yang disampaikan terdakwa seringkali mendapatkan aplaus dari para pengunjung.
Dalam pledoinya yang berjudul:”U U Kadaluarsa yang Tetap Berlaku Sesudah 40 TH Indonesia Merdeka”. Djaelani menerangkan adanya perlakuan buruk yang dialami para tapol. Dia menjelaskan adanya tindakan penghinaan dan pemaksaan untuk mengorek pengakuan terdak-wa. Mereka menggunduli kepala dan mencukuri kumis, mempermak sampai pingsan, melarang membaca dan menulis dan melarang melaku-kan shalat Jum’at.
Sebagian besar dari bukti-bukti yang diutarakan oleh jaksa tentang tindak pidana Abdul Qadir Djaelani berupa rekaman ceramah yang telah dimanipulasi oleh intel-intel militer. Pada saat dua orang anggota militer setempat membacakan ceramah-ceramah Djaelani yang berisikan kritik terhadap RUU Keormasan, para pengunjung di luar sidang bersorak-sorak dan memukulkan sandal atau sepatu berama-ramai ke tanah.
Tentang tuduhan terhadap dirinya sebagai orang yang terlibat penge-boman Jakarta ternyata diajukan seorang saksi saja bernama Amir Wijaya, orang yang dianggap bertanggung jawab terhadap dana yang diterima-nya dari Sanusi (Baca bab VI). Wijaya menganggap bahwa Djaelani telah meminta sejumlah dana dari dirinya dan juga beberapa buah bom dua bulan sebelum terjadinya peristiwa pengeboman pada bulan Oktober 1984. Djaelani menyangkal semua ini. Dia dapat membuktikan alibinya bahwa pada saat itu dia berada di Bandung, padahal menurut pengakuan Wijaya dia bertemu dengan Djaelani pada saat itu di Jakarta. Kemudian jaksa menghadirkan seorang saksi yang memberatkan Djaelani tentang peranannya dalam pengeboman. Beberapa pengakuan dari saksi ini di dalam BAP dicabut kembali, sebab menurutnya pengakuan itu diberikan karena tekanan.
Jaksa menuntut Djaelani dengan hukuman seumur hidup, tapi hakim memvonis hukuman 18 tahun penjara.
2. Nama : AM. Fatwa Umur
: 46 tahun Asal
: Bone, Sulawesi Keterangan
: Sejak umur 20 tahun sudah menjadi aktivis. Dia pernah ditangkap pada zaman rezim demokrasi ter-pimpin. Pada akhir dasawarsa 1960-an pernah men-jadi rohaniawan di Angkatan Laut. Pada dasawarsa 1960-an terpilih sebagai ketua pembinaan rohani di DKI Jakarta, dimasa Ali Sadikin menjabat Gubernur DKI.
Saat ini Fatwa bekerja sebagai skretaris MUI Jakarta dan ketua lem-baga Tahfizul Qur’an di Jakarta di samping Koordinator muballigh se Jakarta.
Pada awal masa berdirinya orde baru setelah tahun 1965 Fatwa mendukung pemerintahan orde baru Soeharto, tetapi kemudian berbalik menjadi pengritik rezim militer ini. Pada tahun 1978 dia ditahan selama 9 bulan tanpa diadili. Karena dia dengan terus terang menentang dipersamakannya aliran kebatinan dengan agama tauhid. Ia mengatakan,”Aliran kepercayaan tidak ter-masuk dalam lima agama resmi: Islam,Kristen sebagai agama langit, Budha dan Hindu sebagai agama yang diakui negara. Setelah bebas dari tahanan, tak lama kemudian dipecat dari kepegawaian. Dia kemudian ditahan selama 2 minggu karena ceramahnya yang berisi kritik terhadap kebijakan pemerintah. Lalu menjadi pembantu pribadi Ali Sadikin ketika yang bersangkutan digusur dari jabatannya sebagai Gubernur, 1977.
Bulan Agustus 1979 Fatwa ditangkap untuk ke dua kalinya dan dipermak. Rezim militer memperlakukannya dengan kasar, pisik maupun mental. Ketika ia bergabung dalam Bulan Agustus 1979 Fatwa ditangkap untuk ke dua kalinya dan dipermak. Rezim militer memperlakukannya dengan kasar, pisik maupun mental. Ketika ia bergabung dalam
Pada tahun 1980 dia ditangkap 2 kali, disiksa oleh intel-intel DKI secara sadis. Dibelakang hari dia mengajukan gugatan ke pejabat yang bertanggung jawab, termasuk didalamnya Laksamana Soedomo yang menjabat sebagai panglima Kopkamtib, karena dialah yang dianggap pimpinan dari orang-orang yang harus dimintai tanggung jawab. Guga-tannya ini hilang begitu saja setelah para pembelanya menarik diri dengan alasan adanya tekanan dan intimidasi. Pada 19 September 1984 Fatwa ditangkap lagi setelah ia mengikuti pertemuan di mushalla yang berdeka- tan dengan rumahnya. Dalam pertemuan ini dibahas kasus Tanjung Priok. Saat ditangkap dia tidak kedapatan memiliki lembaran putih yang berisikan kritik kasus pembantaian Tanjung Priok. Pada saat ditangkap jaksa memberitahu bahwa ditangkap karena ceramah-ceramahnya yang disampaikannya dua tahun belakangan ini. Tuduhan yang dihadapkan kepadanya menyangkut tindak pidana kriminal, bukan tindak pidana subversi. Dua minggu setelah penahanannya, sampai dengan dia mene-rima ancaman penahanan diketahui bahwa penyebabnya ialah pener-bitan lembaran putih.
Setelah peristiwa pengeboman di Jakarta, dan peristiwa 4 Oktober 1984, jaksa penuntut umum dalam introgasinya berusaha untuk mema-sukkan Fatwa ke dalam dakwaan teroris. Di dalam persidangan, Fatwa mengatakan, ketika dia dipindahkan ke Rutan Salemba, Tasrif Tuasikal menemui dirinya untuk pertamakali. Dialah orang yang mengaku dibiayai untuk melakukan penyerangan dalam peristiwa peledakan bom di Jakarta.(Baca bab V).
Tuasikal tiba-tiba datang kepada saya dengan tujuan agar saya memaafkannya, padahal saya tidak tahu apa kesalahan yang dilakukan pada saya. Dia benar-benar merasa sangat tertekan karena dia menyam-paikan pengakuan-pengakuan yang menyudutkan saya. untuk meyakin-kan hal ini mereka menunjukkan gambar-gambar, ada yang mengatakan bahwa Tuasikal menerima dari saya uang 2000 dolar untuk membeli bom. Saya benar-benar marah mendengar kebohongan semacam ini, tapi dia meminta agar saya mau memaklumi kondisinya. Ia menunjukkan bekas- bekas luka didadanya karena disiksa siang malam, dan tangan serta kakinya membengkak.
Tuduhan yang dikenakan pada Fatwa adalah pertemuan yang dila-kukannya di Mushalla dekat rumahnya. Pertemuan inilah yang mengakibatkan malapetaka sehingga memunculkan tuduhan-tuduhan yang juga dikenakan pada umat Islam dalam masa-masa persidangan Fatwa. Jaksa beranggapan bahwa dalam pertemuan ini telah dibicarakan rencana melakukan serangan dengan bom sebagai tindak balasan terhadap kasus pembantaian Tanjung Priok. Dia juga dituduh ikut menandatangani lembaran putih dan melakukan teror mental terhadap pejabat-pejabat pemerintah.
Persidangan AM. Fatwa terus menerus dikunjungi orang. Fatwa menggunakan ruang sidang untuk menyerang kebijakan-kebijakan pemerintah yang zalim. Hal ini membuat takut hakim yang selalu mengulang-ulang tuduhan terhadap dirinya dan tim pembelanya, sengaja mengulur-ulur waktu memperpanjang proses, sehingga masa persida-ngan habis bersama dengan habisnya masa penahanan. Sebenarnya terjadinya penundaan waktu dikarenakan introgasi yang dilakukan sebe- lum pengadilan dibuka, karena introgasi ini telah memakan waktu 8 bulan.
Pada tahap-tahap akhir, majelis hakim berusaha dengan segala upaya mempercepat proses pradilan atas diri Fatwa. Fatwa menulis pledoi setebal 1118 halaman. Hal ini merupakan sesuatu yang luar biasa., padahal dia tidak memperoleh fasilitas apapun untuk dapat menyusun pledoi semacam itu. Ia menulis di dalam sel tahanan tanpa bantuan orang lain. Hakim memintanya membaca pledoi tanpa istirahat hingga menjelang tengah malam. Dia melakukan penyerangan secara tajam terhadap rezim yang represif dan militer yang mendominasi kehidupan sosial politik. Ujarnya,”Kelompok Petisi 50 telah menulis sebuah pernyataan untuk memberikan reaksi atas hilangnya demokrasi di Indonesia”. Fatwa membaca pledoinya selama dua hari dan beberapa jam tanpa berhenti. Tetapi tekanan fisik yang dialami olehnya memang berat. Pada hari ketiga ia pingsan di ruang pengadilan dan dilarikan ke RS. Tiga hari kemudian dia dibawa lagi ke ruang persidangan untuk memba-cakan pledoinya dengan duduk di atas kursi roda. Tetapi disini dia pingsan lagi. Kali ini dia tidak lagi dilarikan ke RS, tetapi dimasukkan ke dalam sel penjara. Dua hari kemudian, dihadirkan lagi kepersidangan. Kali ini tim pembela yang membacakan kelanjutan pledoinya. Namun Fatwa kembali lagi pingsan. Petugas-petugas yang terdapat di ruang persida-ngan, kali ini mengejeknya. Akhirnya Fatwa divonis 18 tahun penjara.
Pada bulan September 1985, dimulailah persidangan untuk tiga terdakwa lain, yaitu:
1. Nama : Tony Ardi Umur
: 31 Tahun Pekerjaan
: Muballigh, Anggota KMI Jabatan
: Ketua HMI Cab. Jakarta
Keterangan : Seorang muballigh muda yang digemari mahasiswa di Jakarta. seringkali diundang ceramah ke Yogya-karta untuk berbicara di masjid Kampus.
Pada tahun 1983 dijatuhi hukuman 9 bulan, karena dia mengkritik pemerintah yang melarang pelajar putri dan mahasiswi menggunakan jilbab di sekolah-sekolah pemerintah. Dia ditangkap pada bulan Oktober 1984, karena telah memberikan ceramah yang berapi-api selama beberapa bulan sebelum bulan September tahun yang sama. Khotbahnya diter-bitkan tahun 1983. Pada awal persidangan kasusnya dia menyampaikan keluhan tentang buruknya perlakuan dan merosotnya kesehatannya da-lam tahanan. Pada bulan kedua persidangannya tim pembela dan teman-temannya yang hadir di dalam persidangan berteriak-teriak ketika dia tidak mau menjawab pertanyaan dalam persidangan. Bahkan dia menga-takan,”bahwa dirinya memang bersalah dan minta maaf kepada majelis hakim”. Sekalipun demikian persidangan tetap dilanjutkan. Jaksa penun-tut mengajukan tuntutan hukuman penjara 7 tahun. Pengadilan menga-nggap dia sudah keterlaluan dan divonis 9 tahun. Ketika vonis dibacakan, dia menyatakan tidak akan naik banding, tetapi akan meminta maaf secara terbuka kepada masyarakat. Kami tidak memperoleh informasi yang menjelaskan mengapa akhirnya Tony Ardi berubah pikiran dan mengaku bersalah. Padahal di dalam persidangan dia mengeluh adanya tekanan pisik dan mental yang dialaminya selama dalam tahanan.
2. Nama : Mawardi Noor Umur
: 60 tahun Jabatan
: Pengacacara, Wakil Ketua KMI, pernah menjadi anggota parlemen dari partai Masyumi. Keterangan
: Ketika ditangkap dia masih menjabat sebagai pengurus Rabithah Alam Islami yang berkantor pusat di Makkah. Tuduhan pokok yang dikenakan kepadanya seperti berikut ini.
Ia dituduh menolak program-program pemerintah dan mengkritik Pendidikan Moral Pancasila. Ia mengatakan kemiskinan di Indonesia adalah akibat kezaliman yang dilakukan oleh penguasa. Media massa tidak menyebutkan bagaimana perlakuan yang diterima oleh Mawardi Noor selama dalam tahanan, seperti yang dinyatakan oleh AM. Fatwa di dalam pledoinya, bahwa pernah ketika dia dalam tahanan militer Cimanggis, penjaga melepaskan ular berbisa ke dalam tahanannya. Petugas tertawa-tawa mendengar jeritan ketakutannya.
Terdakwa yang pengacara ini menyampaikan keluhan dengan mengatakan, bahwa sulit bagi dia untuk mendapatkan pengacara yang dapat diajak bertukar fikiran. Dia menyangkal semua tuduhan. Ketika jaksa mengutip potongan-potongan ceramahnya yang bersifar provokatif sebagai bukti, dia menolak dengan keras. Ujarnya, ”Mengapa tidak ditangkap waktu itu, dan mengapa harus menunggu munculnya tragedi Tanjung Priok? Dalam eksepsinya, terdakwa menyatakan bahwa penda-pat-pendapat yang ia lontarkan sudah merupakan pendapat umum di masyarakat Indonesia. Selanjutnya ia berkata:”Bilamana pengadilan mengadili para muballigh karena ceramah-ceramahnya sebagaimana terjadi sekarang ini maka saya sangat khawatir, dalam waktu dekat, kita akan menyaksikan ribuan bahkan jutaan orang Islam yang ditangkap. Hal ini akan merupakan tragedi yang menghancurkan umat dan negara. Dan kita akan memperoleh azab dan laknat Allah. Saya sama sekali tidak percaya bahwa di dunia ini ada sebuah negara yang mempidanakan para penceramah dan pengkhotbah seperti yang dilakukan disini”.
Mengenai tuduhan bahwa dirinya membuat ketidakstabilan akibat ceramah-ceramahnya, maka Mawardi Noor menyatakan dia telah menyampaikan dakwah Islam sejak 45 tahun lalu, dan belum pernah menimbulkan kekacauan dalam bentuk apapun atau mengganggu keamanan akibat ceramah-ceramahnya. Mawardi Noor kemudian divo-nis 14 tahun, yang berarti dia akan tinggal di penjara sampai mati.
3. Nama : A. Rani Yunsih Umur
: 41 tahun Jabatan
: Ketua Fron Pelajar Kalimantan Barat, sebuah organisasi yang mendukung Suharto dan juga mendukung pembubaran PKI pada tahun 1965. Keterangan
: Ia dijatuhi hukuman oleh pengadilan Jakarta Timur karena dituduh menghasut massa, melakukan kekerasan dalam demonstrasi Tanjung Priok dan menyampaikan kritik-kritik pada pemerintah dalam ceramahnya pada tahun 1984. Tuduhan Jaksa terhadap dirinya, bukti-buktinya lemah karena terbukti dia tidak melakukan penghasutan. Misal-nya, dua orang saksi yang diajukan oleh jaksa, kedua orang ini bekerja sebagai petugas Hotel Indonesia. Mereka mengatakan tidak ingat isi ceramah yang disampaikan terdakwa di hotelnya. Media massa menyebutkan bahwa kedua orang saksi ini rasialis. Salah seorang saksi mengatakan, dia tidur ketika ceramah dimulai. Salah seorang dari mereka ditu-duh oleh jaksa terlibat dalam peristiwa Tanjung Priok (Baca bab II). Kedua saksi ini bernama Syarifuddin Rambe dan Sofyan Sulaeman. Ia menyangkal dengan keras adanya kaitan antara ceramah terdakwa dengan keberingasan yang terjadi di Tanjung Priok.
Rani Yunsih menolak semua tuduhan-tuduhan jaksa yang mengata- kan gambar dan kaset- kaset ceramah yang dibawa oleh intel militer tidak dapat diterima sebagai bukti, karena barang tersebut tidak diambil dari rumahnya. Hakim menerima penolakannya. Yunsih yang dituntut 17 tahun penjara, kemudian datang ke tempat duduk jaksa dengan marah. Media massa menggambarkan persidangan kasusnya sebagai dagelan. Pengadilan menyatakan terdakwa sebagai orang yang telah berbuat salah bukan karena menghasut, tetapi semata-mata karena paket yang ditetapkan pemerintah. Akhirnya dia divonis 7 tahun penjara. Sekalipun banyak orang menganggap vonis ini sedang-sedang saja bila diban-dingkan dengan tuntutan jaksa dan terdakwa lain, tetapi terdakwa dan tim pembelanya mengatakan, akan mengajukan permohonan naik banding.
4. Nama : Ahmad Ratono Umur
: 30 tahun Pekerjaan
: Mantan Angkatan Laut, dan mahasiswa PTDI. Keterangan
: Kami tidak dapat mengatakan dia sebagai seorang muballigh, sebab dia baru saja masuk Islam. Dia di-tuduh karena ketika itu dia berada di Tanjung Priok, membawa pengeras suara pada saat terjadinya demonstrasi 12 September. Dia menyampaikan pe-ngumuman akan mengadakan pengajian dan me-ngharapkan masyarakat menghadirinya. Dengan kata lain, dia dianggap menyampaikan hasutan seperti yang disebutkan di dalam tuduhan jaksa. Ia menghadiri pengajian yang tidak direncanakan sebelumnya. Sekalipun dia menandatangani petisi kelompok muslim Jakarta, namun keikutsertaannya itu hanya ikut-ikutan. A. Qadir Djaelani menjadi saksi bahwa Ratono menandatangani petisi tersebut tanpa membacanya lebih dahulu secara teliti. Sekalipun begitu dia dihukum 8 tahun penjara.
5. Nama : Professor Oetsmany Al-Hamidy Umur
: 72 tahun Keterangan
: Muballigh terakhir yang disidangkan kasusnya di pengadilan. Dia menderita rematik, sehingga selalu absen dari persidangan karena gangguan kesehatan yang parah. Dia juga mengeluh sakit jantung. Dia menghadiri beberapa kali persidangan sambil duduk di atas kursi roda dan tidak sanggup berdiri tanpa dipapah, tetapi tidak pernah kehilangan semangat perlawanan. Dia tidak bisa menyembunyikan sikap penghinaannya terhadap hakim dan jaksa yang berumur lebih muda dari dirinya. Oetsmany belajar di Mesir dan di Arab Saudi. Dia pernah menjadi tentara setelah zaman proklamasi, dan mencapai pangkat perwira menengah dalam korp polisi militer. Dia berhenti dari militer, 1953 dan men-curahkan kegiatannya dalam dakwah. Walaupun perkara yang dituduhkan kepadanya dapat dijaring dengan undang-undang anti subversi tetapi dia tidak dikenai tuduhan subversi, hanya dituduh me- nolak Pancasila dan mengkritik pemerintah karena persoalan asas tunggal. Dia juga termasuk penanda-tangan petisi kelompok umat Islam Jakarta dan rektor PTDI.
Dia menolak didampingi tim pembela dan berkata:”Selama yang dikenakan kepadanya adalah undang-undang anti subversi maka tidak perlu adanya pembelaan. Semoga Allah menjadi pembelaku”. Sekalipun demikian, pengadilan tetap menunjuk pembela untuk dirinya sebab terdakwa menghadapi dakwaan yang bisa dikenai hukuman mati. Akhirnya dia setuju atas penunjukan tim pembela.
Dia berkata:”Saya dihukum karena tuduhan subversi. Saya diadili karena masalah subversi. Saya tidak dituduh melakukan komplotan atau revolusi atau mengangkat senjata melawan pemerintah yang resmi. Saya diadili semata-mata karena berbeda pendapat dengan pemerintah. Dewasa ini mengajak orang ke jalan Allah dianggap subversi. Ancaman-nya, hukuman mati”.
Mengomentari undang-undang anti subversi, beliau mengingatkan majelis hakim mengenai situasi politik yang melahirkan UU tersebut. ”UU ini bagus untuk menghukum orang Islam, dengan UU yang dibuat oleh orang komunis”, katanya.
Terdakwa menggunakan setiap kesempatan untuk mencerca para saksi yang memberikan kesaksian yang memberatkannya. Dalam suatu kesempatan ketika ada saksi yang tidak mau menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, ia mengintrupsi sidang dengan mengatakan: ”Dengan sedikit siksaan mungkin saksi ini mau memberikan keterangan yang sebenarnya”. Salah seorang saksi yang diajukan jaksa bernama Ratono yang ternyata mencabut semua keterangan berkenaan dengan Oetsmany. Ujarnya,”Kesaksian itu saya berikan di bawah tekanan”.
Ketika Oetsmany tidak lagi sanggup menghadiri salah satu persi-dangan karena gangguan kesehatan yang parah, hakim menolak ketera-ngan tertulis dari beliau untuk dipakai sebagai bahan di persidangan. Alasannya, karena dia memberikan keterangan tertulis tanpa sumpah. Anehnya, mengapa hakim mau menerima keterangan-keterangan saksi secara tertulis yang diajukan oleh jaksa penuntut sebelumnya, yang oleh tim pembela diprotes. Keterangan tertulis para saksi sebagai ganti kehadirannya secara langsung.
Selesai persidangan sembilan muballigh ini dilanjutkan dengan yang lain-lain, yaitu
1. Nama : Abdul Latif bin Amir Umur
: 43 tahun Katerangan
: Dipenjarakan karena ceramah-ceramahnya yang mengecam pemerintah yang disampaikannya pada tahun 1985. Tahun 1986 dijatuhi hukuman 7 tahun penjara.
2. Nama : Drs. Hasan Kiat Umur
: 36 tahun Katerangan
: Ditangkap setelah memberikan pengajian Rama-dhan tahun 1985 dan dikenai tuduhan subversi, karena secara terang-terangan menentang asas tunggal. Dijatuhi hukuman 7 tahun penjara.