Muhammad Yusuf

2. Muhammad Yusuf

Muhammad Yusuf lahir di Pandeglang Jawa Barat, 13 April 1963. Pendidikan yang ditempuh SD di Pandeglang tahun 1970-1976, SMP di Pandeglang tahun 1976-1979, SMA di Sukabumi 1979-1982/83. Dialah satu-satunya saksi yang paling dekat dengan dua hari kejadian Talangsari 1989 itu, ia ikut berperang dalam peristiwa yang kemudian ditinggalkan-nya. Penuturannya kepada penulis begitu lugas dan meyakinkan, sejauh yang masih bisa ia ingat dalam ingatannya yang sudah tidak segar lagi. Berikut ini wawancara penulis dengan Muhammad Yusuf:

Selama masa kecil atau masa sekolah, apa ada pengalaman belajar mengaji? Saya aktif mengaji di SMA, kebetulan saya sekolah di SMA Muhammadiyah di Sukabumi, itu ada acara kegiatan pengajian minggu-an sebelum pengajian bulanan. Sebagai aktivitas selama sekolah saja. Mendapat bimbingan pengajian dari ketua Muhammadiyah. Dari kemu-hamadiyahan saja kita mendapat bimbingan dakwah, sebagaimana para pendahulu Muhammadiyah berdakwah. Selepas SMA bekerja di Nasional Gobel Cempaka Putih. Di Cempaka Putih itu saya bertemu dengan kawan-kawan yang memang aktif dakwah. Sejak tahun 1985 itu saya aktif di dalam kegiatan dakwah harakah DI yang dibimbing oleh orang Aceh yaitu ustadz Sulaiman Ma’fudz. Mulai dari situ, saya mengikuti dinamika dakwah-dakwah harakah, sehingga saya sampai bertemu dengan Abdul Fatah Wiranggapati dan saya diangkat sebagai ajudannya. Walau sering dimarah-marahi. Di situ Abdul Fatah Wirang-gapati, dirinya sebagai sosok dia sebagai tangan kanannya SM Kartosoe-wirjo. Dan dia memperkenalkan diri sebagai pelanjut kepemimpinan, yang saya ketahui juga dia sebagai KUKT, yang saya lihat di lapangan dia mencari kavling infaq sendiri. Waktu itu saya aktif pengajian di lingkungan Masjid Al Hidayah Serdang, Kemayoran tahun 1985-1989.

Bulan Januari sampai Maret saya berada di Lampung. Pada tanggal 7 Februari 1989 terjadi penyerangan oleh kelompoknya Kapten Inf. Sutiman. Tanggal 8 Februari 1989, kita (Warsidi dan jema’ahnya) dikepung pada waktu pagi pukul 5:00 WIB.

Selama pengajian bagaimana? Saya bertemu dengan Nurhidayat dan kawan-kawannya dan saya bergabung dengan kelompok Nurhida-yat. Saya bertemu dengan Nurhidayat pada tahun 1986-1987. dua sampai tiga tahun perjalanan dakwah dengan Nurhidayat. Pada saya itu ke mana pun saya ikut dengan Nurhidayat. Ke mana pun Nurhidayat, di situ saya berada. Di kelompok Nurhidayat itu, saya banyak melakukan bimbingan-bimbingan dakwah yang lebih intensif lagi. Artinya dakwah terarah kepada pengarahan, bukan hanya aqidah yang kita tebalkan, tetapi juga mempersiapkan mental. Kemudian saya diperkenalkan dengan beberapa kawan, seperti Iskandar di Bekasi. Tidak saja secara finansial banyak membantu kita, tetapi juga secara moral sangat membantu kita dalam hal pergerakkan ini. Terus kemudian pada tahun itu juga (1986-1987) saya bertemu dengan kru-krunya Abdul Fatah Wiranggapati, seperti Pak Khalil, Zainal Arifin. Mereka sebagai saksi-saksi hidup pergerakkan DI/TII. Nampaknya Zainal Arifin juga sebagai saksi hidup kasus Idul Adha di Masjid Istiqlal beberapa puluh tahun yang lalu di masa Presiden Soekarno itu. Saya sering bertemu dengan dia. Zainal Arifin orang dari Jawa Barat. Terus kemudian pada tahun itu juga bertemu dengan orang yang mengaku dirinya orang dari Timor Timur. Yang merencanakan mendirikan negara Islam di Timor Timur. Dan berdiri tahun itu. Dia tokoh Negara Islam Timor. Saya lupa namanya. Orangnya kurus, setengah tua. Kalau ke mana-mana jalan kaki, tidak menggunakan kendaraan. Dia banyak memberi tahukan tentang ketatanegaraan Negara Islam Timor Timur. Saya ke Way Jepara, Lampung. Di sana saya berkumpul dengan kawan- kawan. Kawan terdekat saya di sana adalah Heri Firdaus, dengan Heri Firdaus. saya berangkat dari Jakarta menuju Lampung. Kemudian saya bertemu dan berkumpul dengan Alex, Margono, Sofan (alias Sofyan). Di Lampung itu kami mempersiapkan senjata panah beracun dua-tiga minggu yang dirancang oleh Pak Alex sendiri. Tentang ramuan racun itu saya belajar dari Pak Alex. Dan pengetahuan tentang racun ini untuk daerah Pandeglang waktu itu belum saya wariskan, bahkan untuk daerah Jakarta pun belum saya wariskan. Hanya beberapa orang saja bisa bikin racun ini.

Bagaimana tentang panah-panah yang ada di Jakarta? Pembuatan panah di Jakarta itu belakangan, setelah pembuatan dari Lampung. Pem-buatan panah di Jakarta itu dikerjakan di rumah Iskandar. Kapan pem-buatan panah itu? Masa pembuatan panah itu selama satu bulan. Antara dua sampai tiga minggu. Kapan Pak Yusuf datang ke Cuhideung Lam-pung? Pertengahan bulan Januari 1989. waktu pertama datang, Pak Yusuf langsung ke mana? Saya mampir ke rumah orang tuanya mas Heriyanto Yusuf, pagi itu saya diantar oleh saudaranya mas Heri itu sen-diri ke Way Jepara, dukuh Cihideung. Di sanalah saya membuat panah langsung. Pak Alex sudah ada di situ. Di situ, sewaktu membuat panah terjadi intimidasi dari aparat keamanan.

Waktu Pak Yusuf pertama datang, rumah dan keluarga yang ada di lingkungan

jama’ah Warsidi di Cihideung ada berapa? Saya tidak tahu persis. Yang jelas sudah ada beberapa keluarga, sebelum orang-orang dari luar datang. keluarganya Pak Warsidi, keluarganya Pak Imam Bakri, keluarganya Pak Jayus, keluarganya Pak Marsudi, dan ada lagi saya lupa. Kurang lebih antara lima sampai enam rumah yang didiami oleh keluarga. Berapa banyak Para pendatang? Sedangkan para penda-tang itu diperkirakan kalau dalam masjid pada waktu shalat sekitar kurang lebih 5 (lima) shaf. Kalau satu shaf 15 orang. Jadi kurang lebih 75 orang. Yang bujangan laki-laki dan perempuan diperkirakan sekitar 30 % (tiga puluh persen). Karena pada saat itu juga status saya masih bujangan. Masih ada yang berdatangan lagi? Sejak peristiwa itu tidak ada lagi berdatangan para pendatang dari luar yang hijrah. Kira-kita Pak Yusuf tahu atau tidak jumlah kaum wanitanya berapa? Sekitar antara 30-40 (tiga puluh sampai empat puluh) orang wanita yang gadis. 50 (lima puluh) orang yang sudah berkeluarga dan janda. Tambah dengan anak-anak dan bayi. Mas Kandi dengan istri dan dua orang putrinya. Margono putranya tiga. Alex bersama istri dan dua orang anaknya. Di sana kurang lebih 10-15 bayi. 20 anak-anak.

Apa kegiatan di sana? Apa Cuma membuat panah saja? Ya. Cuma membuat panah saja. Untuk apa panah-panah itu dibuat? Untuk jaga-jaga dari kemungkinan buruk terjadi, kalau kita diserang oleh orang-orang yang tidak menyukai kehadiran para pendatang di sana. Semata- mata untuk pertahanan jamaah, apabila datang serangan tiba-tiba dari orang-orang luar. Karena tidak adanya senjata yang dapat diandalkan di lingkungan jama’ah. Siapa saja di antara jama’ah yang mengecap pendidikan tinggi? Usman Insinyur Pertanian Bogor dan istrinya Sarjana Tehnik Kimia. Pak Fauzi juga. Temannya Pak Suryadi. Jadi bukan jama’ah primitif. Berapa anak panah dan busur yang dibuat? Jumlah anak-anak panah yang dibuat mencapai 500 (lima ratus) anak panah dan 75 (tujuh puluh lima) busur berupa ketapel untuk 75 (tujuh puluh lima) orang. Anak panah itu kita buat dari jari-jari sepeda motor, kemudian dilengkapi ujung anak panah itu dengan timah cor. Karena timah mudah dipanas-kan di dalam panci. Panahnya sendiri mudah ditarik, tetapi akan tertinggal racunnya. Panah itu dibuat dengan sangat sederhana sekali. Pak Alex sebagai perancang juga sebagai peramu racun. Pak Alex juga orang yang selalu berdzikir. Yang lama adalah proses memasukkan ramuan beracun itu, itu sampai empat puluh hari di dalam tanah. Bahan-bahannya kami rahasiakan sampai sekarang. Karena khawatir mudah digunakan untuk tujuan-tujuan lain. Ramuan itu bahan-bahannya mudah didapatkan karena tersebar di mana-mana dan biasa dipakai untuk obat sehari-hari. Bahannya banyak. Sepulangnya dari Lampung, saya pernah dibawa ke LBHI oleh Bang Mulyana dan kawan-kawannya. Pada saat Apa kegiatan di sana? Apa Cuma membuat panah saja? Ya. Cuma membuat panah saja. Untuk apa panah-panah itu dibuat? Untuk jaga-jaga dari kemungkinan buruk terjadi, kalau kita diserang oleh orang-orang yang tidak menyukai kehadiran para pendatang di sana. Semata- mata untuk pertahanan jamaah, apabila datang serangan tiba-tiba dari orang-orang luar. Karena tidak adanya senjata yang dapat diandalkan di lingkungan jama’ah. Siapa saja di antara jama’ah yang mengecap pendidikan tinggi? Usman Insinyur Pertanian Bogor dan istrinya Sarjana Tehnik Kimia. Pak Fauzi juga. Temannya Pak Suryadi. Jadi bukan jama’ah primitif. Berapa anak panah dan busur yang dibuat? Jumlah anak-anak panah yang dibuat mencapai 500 (lima ratus) anak panah dan 75 (tujuh puluh lima) busur berupa ketapel untuk 75 (tujuh puluh lima) orang. Anak panah itu kita buat dari jari-jari sepeda motor, kemudian dilengkapi ujung anak panah itu dengan timah cor. Karena timah mudah dipanas-kan di dalam panci. Panahnya sendiri mudah ditarik, tetapi akan tertinggal racunnya. Panah itu dibuat dengan sangat sederhana sekali. Pak Alex sebagai perancang juga sebagai peramu racun. Pak Alex juga orang yang selalu berdzikir. Yang lama adalah proses memasukkan ramuan beracun itu, itu sampai empat puluh hari di dalam tanah. Bahan-bahannya kami rahasiakan sampai sekarang. Karena khawatir mudah digunakan untuk tujuan-tujuan lain. Ramuan itu bahan-bahannya mudah didapatkan karena tersebar di mana-mana dan biasa dipakai untuk obat sehari-hari. Bahannya banyak. Sepulangnya dari Lampung, saya pernah dibawa ke LBHI oleh Bang Mulyana dan kawan-kawannya. Pada saat

Apakah wanita juga memakai busur katapel dan panah? Kaum wanita hanya konsentrasi kepada pendidikan anak-anaknya. Bagai-mana kejadian tanggal 7-8 Februari 1989? Waktu kejadiannya pada hari Minggu dan hari Senin tanggal 7-8 Februari 1989 tidak lama. hari Minggu,

7 Februari 1989 itu kelompoknya Pak Camat berikut Kades dan kelompoknya Danramil Kapten Inf. Sutiman. Mereka datang ke sana. Dan saya ada menyaksikan peristiwa itu di sana. Mereka mengunakan kenda-raan satu mobil jeep dan enam sepeda motor. Jika 4 (empat) orang dalam satu mobil jeep dan satu motor 2 (dua) orang, maka mereka seluruhnya berjumlah 16 (enam belas orang) orang. Mereka menyerang dahulu. De-ngan tindakan itu pihak keamanan mengharapkan kita menyerang. Mereka memberondong kami dengan senjata-senjata pistol mereka. Tidak bisa dihitung berapa kali mereka melepaskan tembakan senjata pistol. Lalu kita balas menyerang sehingga Kapten Inf. Sutiman terkena anak panah pada langit-langit mulutnya. Lalu Pak Marsudi membabat Kapten Inf. Sutiman lehernya sehingga hampir putus dan tewas di tempat. Yang menjadi korban di pihak aparat hanya Kapten Inf. Sutiman saja, sedang lainnya melarikan diri. Satu-satunya kawan kita yang terluka adalah Heri Firdaus. Pada akhirnya kendaraan jeep itu lari dan tidak dapat kita rebut. Yang dapat kita rebut hanya 3 (tiga) kendaraan sepeda motor. Mereka lari karena keterbatasan peluru. Mereka tidak sanggup menghadapi kami di sana. Pada malam harinya kita mengadakan siskam-ling selama satu malam di sekitar wilayah waktu itu. Dan tidak terjadi apa-apa. Saya bilang kepada kawan-kawan, “Kali ini kok terasa suasana-nya lain.” Saya melihat langit cerah, bintang berkelip-kelip. Angin bertiup begitu indahnya. Sepertinya besok akan terjadi apa.

Hari Senin tanggal 8 Februari 1989. Ketika pagi-pagi sekali, waktu sebelum shalat subuh. Saya dengar dari kawan-kawan. Dia bilang, “Mas, saya melihat tadi dari sana, dari arah barat itu. Sorotan baterai yang terus menerus”. Saya bilang, “Itu mungkin orang-orang yang hendak menengok kebunnya atau sawahnya. Bukan sesuatu yang harus kita khawatiri”. Sehabis shalat subuh. Saya turun ke sawah sebagai kegiatan rutin dengan cari bahan-bahan untuk ramuan- ramuan membuat racun yang ada di sekitar situ, kawan-kawan sering menangkap seperti kodok dan lain-lain. Pagi-pagi itu perkampungan itu tenyata sudah dikepung. Kurang lebih beberapa ratus tentara yang mengepung kita. Enam buah truk diparkir untuk mengepung. Mereka masing- masing dipersenjatai dengan M-16 lengkap dengan peluru. Pelurunya teruntai di kanan kiri badannya seperti Rambo.

Pada saat itulah saya ikut bermain. Pada akhirnya pulang dari sawah saya ikut bermain untuk melihat-lihat. Kemudian pada saat penyerangan, saya ikut bermain. Ada seseorang, ia berjalan mencurigakan. Saya tidak berpikir kalau itu adalah tentara yang diperlengkapi dengan senjatanya. Pada saat itu juga, pada 5:15 WIB, saya mendengar letupan peluru, yang ternyata itu adalah sebagai sandi komando mereka untuk menyerang. Tiba-tiba ketika sesampai saya di ujung jalan yang memasuki perkampu-ngan ini. Berondongan di tengah kampung. Yang pertama kali syahid adalah Warsidi sendiri ditembak. Dan itu kejadiannya dengan penyerbu-annya. Penyerbuan itu dengan kekuatan sekitar 300-400 personil.

Berapa orang yang tewas yang anda sempat saksikan sendiri? Yang saya ketahui dari perhitungan mereka itu saya tidak melihat. Itu saya mendengar angka sampai dengan 27 orang yang meninggal di situ pada hari itu, itu yang prianya saja. Belum lagi, ibu-ibu dan anak-anak, remaja, kakek jompo serta bayi-bayi yang mati terpanggang api di tempat itu. Apakah ada korban dari pihak militer? Sampai saat itu saya belum melihat adanya korban dari pihak militer. Lama terjadi pertempuran. Sekitar Jam delapan, saya lari ke belakang terus saya duduk sejenak di kebun jagung. Saya duduk di kebun jagung. Kemudian saya melepaskan sarung dan panah saya, menyeberang rawa-rawa. Turunan. Sehingga saya masuk ke suatu kampung. Di kampung itu karena belum sarapan, saya sempat mampir di rumah salah satu penduduk yang ternyata orang Bali. Saya minta minum di situ dan ngobrol-ngobrol. Saya pura-pura tidak tahu tentang kasus itu. Saya tanya kepada dia, “Ada apa sebenarnya pak di sana. Saya tidak tahu apakah ia beragama Hindu atau tidak yang pasti ia tidak benci kepada kita. Dia hanya bilang, “Itulah yang diperangi oleh tentara itu. Saya tidak tahu mereka maunya apa.” Saya bicara-bicara sedikit kepada mereka. Saya bicara bahwa mereka mungkin menuntut keadilan. Mungkin bapak itu merasakan hal yang bagaimana mereka memperlakukan bapak di sini. Pada saya itu juga saya bertemu dengan anaknya Pak Salikun yang bernama Sidik di rumah itu juga. Wallahu Alam, bagaimana caranya Allah mempertemukan saya. Sidik berusia + 12 tahun baru kelas 5 SD. Dia minta sama saya, ”Bang tolong antar saya pulang. Saya mana tahu jalan di sini.” “Ya okelah, ikuti saya saja”, jawab saya. Saya jalan dengan dia, hanya berbekal niat mengantar dia pulang ke rumahnya. Saya pulang dengan dia apa adanya. Makan pun makan kelapa muda di perjalanan mengantarkan dia pulang dari para petani penduduk di sekitarnya itu.

Waktu anda lari, apa nggak takut ditangkap karena dalam keadaan perang? Atribut saya saya lepas semua, agar saya tidak membawa suatu ba-han yang mencurigakan

mereka. Itu setelah terjadi pembakaran. Pembaka-ran itu sendiri terjadi sekitar jam delapan. Pembakaran rumah-rumah itu, baik itu rumah Pak Imam Bakri, Pak Warsidi, dan semuanya itu di mereka. Itu setelah terjadi pembakaran. Pembaka-ran itu sendiri terjadi sekitar jam delapan. Pembakaran rumah-rumah itu, baik itu rumah Pak Imam Bakri, Pak Warsidi, dan semuanya itu di