Mereka yang Dikasari Aparat dan Dikubur Hidup-hidup

22. Mereka yang Dikasari Aparat dan Dikubur Hidup-hidup

Kegiatan keamanan di Aceh yang berlebihan, represif, brutal, dan cenderung tak berperikemanusiaan telah memakan banyak korban di kalangan sipil. Bahkan, pukulan-pukulan dan tendangan yang setiap pagi dan sore serta setiap malam mereka terima, mereka “sedekahkan untuk Republik yang haus darah ini. Untuk pukulan-pukulan ini tidak ada tuntutan-tuntutan untuk diselesaikan secara hukum.

Teungku. Abdurrahman, 70 tahun, warga Geulumpang Tiga, Pidie, Aceh. “Saya dipaksa menggali kubur di bawah todongan senjata. Dengan tertatih-tatih harus mengais lubang, mempersiapkan kuburan yang belakangan saya ketahui ternyata untuk diri saya sendiri. Kuburan itu persis di samping sebuah kuburan lain yang sudah duluan ada. Saya hanya bertakbir dalam hati, menyebut-nyebut nama Allah. Sementara petugas keamanan yang berdiri di dekat saya terus mengomando, Gali terus, gali! Mereka membentak dan mengancam saya. Padahal mereka itu muda-muda, pantasnya jadi anak-anak saya. Saya diambil oleh oknum aparat sepulang dari sawah, atas sepengetahuan kepala desa. Lalu dibawa ke markas yang populer disebut Rumah Geudong di Kecamatan Geulumpang Tiga. Kebetulan, rumah bekas hulubalang itu memang dijadikan markas aparat. Di situlah saya disiksa tiga hari tiga malam. Ditelanjangi dan kemaluan saya disetrum. Kedua tangan saya diikat, seperti orang disalib. Waktu itu, ada lima pria lain yang juga ditelanjangi dan disetrum. Kemudian ada lagi dua perempuan yang juga ditelanjangi. Kasihan, perempuan-perempuan itu disetrum juga, sama seperti kami. Saya sedih sekali. Diikat dan dipukul dengan rotan sesuka hati. “Mereka bertanya kepada saya di mana senjata. Mana saya tahu. Saya tak punya senjata, tak menyimpan senjata. Kami semua tak ada senjata, tapi terus dipaksa untuk menjawab mana senjatanya. Mana saya tahu. Saya dipukul lagi, dan kemudian dimasukkan dalam bak berisi taik dan kotoran got. Orang yang memukul saya itu masih ada. Dia itu algojo. Dulu rambutnya panjang, sekarang rambut dia sudah pendek. Mungkin supaya kita tak kenal lagi. Dulu mobilnya saya lihat putih, sekarang catnya sudah hitam. Sesudah puas disiksa, kemudian saya dimasukkan dalam sel. Saya masih ditelanjangi juga. Tiga hari tiga malam begitu terus, akhirnya saya dibawa ke kuburan. Di sana saya disuruh gali lubang, katanya mau ditanam hidup-hidup karena tak mau mengaku. Saya hanya menyebut-nyebut nama Allah sambil menggali lubang. Kemudian saya disuruh masuk ke dalam lubang itu, dan disuruh telentang. Kemu-dian mereka menimbun saya dengan tanah. Setelah itu tanahnya diinjak- injak, terutama di bagian perut saya. Untung timbunan yang di kepala saya tidak diinjak dan tidak rapat sehingga saya masih bisa bernafas meski megap-megap begini (Abdurrahman kemudian memperagakan dirinya dalam tanah). Empat menit kemudian mereka gali lagi tanahnya. Saya diangkat sudah lemas, kemudian dibawa lagi ke Rumoh Geudong, tempat penyiksaan itu. Ditelanjangi lagi dan ditanya lagi mana senjata. Saya masih jawab tidak tahu karena memang tak punya senjata. Akhir-nya saya dimasukkan lagi dalam sel. Esoknya saya lihat, dua dari tujuh orang yang ditahan bersama saya sudah mati. Mereka dimasukkan dalam goni pupuk, dan menjelang malam, dinaikkan dalam mobil. Entah ke mana dibawa. Akhirnya saya dilepas. Sebelum pergi, saya dibentak lagi. Katanya, apa yang kau alami dan lihat di sini, jangan diceritakan sama siapa pun. Awas kalau kau cerita. Sudah itu saya disuruh pulang dan baru sekarang berani bercerita, apalagi sudah ada tim pencari fakta DPR yang datang ke Aceh. Apa yang saya sampaikan ini benar adanya. Saya mau bersumpah pakai al-Quran. Saya juga bersedia ditembak, asal jasad saya tidak dihilangkan, biar anak cucu saya bisa ziarah. Soalnya, sudah percuma saya hidup. Dulu, sebelum kemaluan saya disetrum, dalam sebulan bisa dua tiga kali saya menggauli istri. Sekarang tidak bisa sekalipun lagi.