04 Tim Pembela di Intimidasi

Bab 04-04 Tim Pembela di Intimidasi

Sekalipun segala tata tertib sudah dicantumkan, tetapi pengadilan sering memberikan peluang terhadap orang-orang yang mendapatkan tekanan untuk mengungkapkan pandangan- pandangannya secara terbuka di dalam persidangan. Pembela-pembela yang mahir sering memperlihatkan sikap penentangannya terhadap tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan hukum, kepada hakim dan meminta jaminan keselamatan bagi anggota-anggotanya. Sekalipun persidangan selamanya dimenangkan oleh pihak penuntut, namun ternyata hal semacam ini tidak bisa menghi-langkan luka politik yang tidak disadari oleh pengadilan. Persidangan-persidangan terbuka, terkadang mengungkapkan fakta-fakta yang mun-cul di dalam dipersidangan seperti dapat dibaca orang di media massa. Dalam persidangan-persidangan yang penting seperti yang terjadi di Jakarta, khususnya persidangan kasus Dharsono, AM. Fatwa dan sejum-lah muballigh, media massa dilarang sama sekali untuk mempublikasikan-nya. Kritik terhadap hal ini ditimpakan kepada para hakim yang nota bene mereka itu berada di bawah cengkeramam militer.

Pada tahun 1982, ketika AM. Fatwa mengajukan gugatan terhadap tiga orang anggota militer dan Panglima Kopkamtib, Laksamana Soe-domo, para pengacara yang menangani kasus ini mendapat perlakuan kasar, sehingga mereka mencabut kembali gugatannya, karena menga-lami perlakuan demikian. Gugatan yang diajukan AM. Fatwa terhadap Soedomo dan lain-lainnya, ialah intimidasi yang dialaminya pada tahun 1980, ketika dia diculik oleh beberapa anggota militer dan dipermak habis-habisan. Sebagai akibatnya, dia diopname di RS selama beberapa minggu. Lebih dari itu, anggota tim pembelanya banyak menerima ancaman dan gangguan- gangguan terhadap harta milik mereka serta intimidasi terus menerus agar mengurungkan gugatannya. Tekanan dan intimidasi demi-kian hebatnya sehingga para pengacara AM. Fatwa mengundurkan diri sebagai pembela, kemudian Fatwa bersama-sama dengan anggota petisi 50 meneruskan gugatannya. Tetapi pengadilan menolaknya.

Tatkala persidangan terhadap kasus Islam dimulai pada tahun 1985, beberapa Lembaga Bantuan Hukum membentuk tim pembela menangani kasus tersebut. Hakim maupun Jaksa mengkritik para pembela, karena mereka menggunakan kata-kata politik di dalam setiap judul naskah pembelaannya. Sedangkan pihak terdakwa mendapat tekanan keras untuk mencari pembela lain. Misalnya, adalah Yunus bin Melta Halim, salah seorang terdakwa dalam kasus pengeboman BCA. Dia telah memin-ta dibela oleh suatu tim penasehat hukum, tapi kemudian ia berubah pikiran. Para pembela tidak mengetahui bahwa yang bersangkutan men-cabut pemberian kuasa hukum kepada mereka, sampai menjelang beberapa saat sebelum sidang pertama diadakan. Kepada para pembela ini dikatakan, bahwa mereka telah diganti. Sewaktu Yunus ditanya tentang sebab-sebabnya, ia menjawab,”Hal itu dia lakukan demi kesela-matan dirinya”.

Betapa banyaknya terdakwa yang menghadapi kesulitan untuk me-milih pembela yang akan melakukan pembelaan terhadap diri mereka, misalnya terdakwa bernama TB. Muhammad Jiddan (baca bab VII) dilarang untuk memilih pembela dari LBH di Jakarta. Karena pengadilan mengatakan:”Para pembela pada LBH tersebut tidak memenuhi syarat untuk menjadi penasehat hukum”. Akhirnya dia dibela oleh LBH yang ditunjuk pemerintah, termasuk di dalamnya LKBH UII.

Upaya-upaya untuk menghancurkan profesi pengacara, telah ber-langsung terhadap Buyung Nasution, pengacara yang membela kasus Dharsono. Persidangan ini menyelidiki kebenaran kejadian pembantaian Tanjung Priok. Ketika Hakim Ketua membacakan amar putusan pada akhir persidangan, Adnan Buyung bangkit dari duduknya, memprotes kata-kata yang digunakan oleh hakim, bahwa pengacara bertingkah laku tidak etis di dalam persidangan. Ia berulangkali mengajukan keluhannya, bahwa Kapolsek Tanjung Priok tidak muncul di persidangan sebagai saksi. Intrupsi Adnan Buyung ini, menimbulkan kekacauan dalam persida-ngan. Saat itulah seorang tentara masuk ke ruangan sidang untuk mene-nangkan suasana, tetapi Buyung Nasution berteriak menyuruhnya keluar seraya berkata,”Urusan persidangan adalah urusan hakim, bukan urusan tentara”. Padahal sementara orang beranggapan, tindakan tentara tadi untuk menjamin keamanan sidang. Setelah itu Buyung Nasution dituduh melakukan Countempt of Court. Tuduhan semacam itu tidak sulit dicarikan alasannya, sebab kata-kata yang dilontarkan Nasution, dirasakan oleh majelis hakim sangat menusuk. Para hakim dengan keras menyerang Buyung karena dia telah berkesimpulan, bahwa persidangan ini menye-babkan situasi memburuk, karena kasus Tanjung Priok sebenarnya telah direkayasa. Hakim berpendapat, kesimpulan demikian sama sekali tidak berdasarkan bukti-bukti yang cukup. Dan kesimpulan semacam ini sangat berbahaya. Sebab kesimpulan tersebut dapat menimbulkan opini umum, bahwa pemerintahan sudah bobrok, padahal penilaian seperti itu tidak benar dan tidak etis.

Kira-kira sebulan sebelum pengadilan Jakarta mengeluarkan putusan untuk menskors Adnan Buyung Nasution, karena dituduh menghina pengadilan atau melakukan Countempt of Court , muncul kemelut karena keputusan tersebut dianggap menyalahi prinsip praduga tak bersalah. Selain itu tidak jelas, lembaga mana yang berwenang untuk mengajukan tuduhan demikian, dan pejabat pemerintah mana yang mempunyai hak mencoret nama Buyung dari daftar pengacara manakala pemecatan itu nantinya mempunyai kekuatan hukum.

Nampak jelas bahwa pihak pengadilan berbeda faham dalam kasus ini, baik tentang dasar hukumnya atau seberapa jauh urgensinya menggebuk Adnan Buyung Nasution. Waktu itu

Buyung berkata: ”Peme-catan saya yang bersifat sementara hanyalah masalah waktu saja. Sebe- narnya ini adalah persoalan politik, sebab rezim tidak menginginkan saya menjalani profesi pengacara”.

Perbedaan pendapat menjadi kian sengit sehingga Ali Said, SH campur tangan menyelesaikan kasus pelik yang dihadapi pengadilan. Ali Said berkata: ”Persoalan Buyung biarkanlah diselesaikan oleh organi-sasi himpunan pengacara. Karena organisasi inilah yang bisa menertibkan anggotanya dan dapat mengambil tindakan terhadap Buyung Nasution”. Ternyata organisasi himpunan pengacara (IKADIN) mengambil tindakan terhadap Buyung. Ia mendapat peringatan keras karena melakukan perbuatan Countempt of Court. Namun Buyung mengomentari keputusan tersebut dengan sengit ,” Para pemangku hukum di Indonesia jelas tidak senang dia berusaha untuk membela nama baiknya”.

Langkah melawan hak Buyung Nasution untuk menjalankan tugas profesinya merupakan bagian dari operasi panjang rezim menekan pihak pengadilan terhadap profesi kepengacaraan. Operasi ini mulai berjalan sejak 1982, ketika para ketua pengadilan Tinggi mengadakan rakernas (rapat kerja nasional) mengeluarkan ketetapan untuk melakukan penga-wasan terhadap para pengacara secara maksimal. Dan yang pertama kali menerapkan keputusan ini adalah Pengadilan Tinggi Jawa Timur dengan mengeluarkan peraturan pada tahun 1985, yang berisikan perin-tah kepada para pengacara untuk mencatatkan diri di pengadilan, supaya mereka dapat menjalankan profesinya dengan baik. Pengadilan juga memberikan wewenang penuh kepada dirinya sendiri untuk mencoret nama-nama pengacara yang menurut penilaian mereka tidak berprilaku baik di persidangan.

Dalam banyak kesempatan Ali Said, SH. ketua Mahkamah Agung sering menyinggung, bahwa hal tersebut hanyalah masalah waktu saja, memang Jawa Timurlah yang melaksanakan lebih dahulu sebelum hal tersebut diberlakukan secara nasional.