03 Muslim Dibantai, Gus Dur Tak Berpihak

Bab 13-03 Muslim Dibantai, Gus Dur Tak Berpihak

Karakter seperti itu terus hidup hingga kini. Ketika awal bencana pembantaian ummat Islam di Ambon pertama kali berlangsung, 19 Januari 1999, yang kemudian dikenal dengan istilah Idul Fitri Berdarah, ketika itu Gus Dur belum menjabat Presiden, ia sama sekali tidak menunjukkan simpati dan empatinya kepada korban, justru mencari-cari kambing hitam dengan menyebut-kan “Brigjen K” sebagai provokator, kemudian diralat-nya menjadi “Mayjen K” sebagai provokator bencana Ambon tersebut.

Ketika kasus pembantaian warga Muslim meledak akhir Desember 1999 lalu di Tobelo, Galela, Jailolo, Sahu dan Loloda (Pulau Halmahera Utara, Maluku Utara), dan menyebabkan ribuan nyawa orang-orang Islam melayang, Gus Dur sebagai Presiden RI justru mengatakan bahwa korban dari bencana itu cuma lima orang. Sebuah pernyataan yang sangat riskan dan tidak bertanggung jawab. Apalagi terbukti kemudian, Max Tamaela (Pangdam Pattimura, yang dijuluki sebagai algojo pembantai Muslim) akhirnya terpaksa mengakui, terdapat lebih dari tujuh ratus nyawa melayang dari bencana tersebut, dan hampir seluruhnya adalah ummat Islam.

Mengenai pembantaian Muslim di Halmahera Utara itu, ada sebuah informasi menarik yang dikemukakan oleh dudi-firmansyah@goplay. com, yang pernah dipublikasikan di milis Sabili edisi 17 Januari 2000, dengan judul: Pembantaian Muslim Di Galela

Pengepungan kecamatan Galela (komunitas Islam) oleh 7 kecamatan lain (komunitas Kristen) sudah dikhawatirkan oleh banyak tokoh dan orang Galela sendiri. Masalah ini sudah dilaporkan oleh masyarakat Galela kepada orang-orangnya di Jakarta, yang kemudian oleh Thamrin Amal Tomagola dilaporkan kepada Gus Dur.

Presiden Gus Dur pun kemudian langsung memanggil Suaidy Marasa-bessy guna mengatasi hal tersebut. Suaidy Marasabessy sempat heran juga pada mulanya, mengapa berita pengepungan itu tidak pernah sam-pai ke mabes TNI? Mengapa laporan itu langsung masuk ke telinga Presiden, sementara mereka sebagai aparat TNI tidak pernah mendapat laporan.

Dari sini sudah jelas terlihat bahwa TNI sendiri kecolongan, tidak mendapat informasi yang cukup tentang pengepungan kecamatan Galela (komunitas Islam) oleh orang-orang Kristen di sekitarnya, karena Panglima di sana adalah Brigjen Max Tamaela.

Berhubung orang-orang Maluku itu khawatir terhadap penyerbuan itu, maka Suaidy Marasabessy langsung menyetujui pengiriman pasukan ke kecamatan Galela (tempat di mana komunitas Muslim sedang dike-pung). Beberapa tokoh masyarakat yang menghadap Suaidy memper-lihatkan sebuah peta Maluku-Halmahera, dan memberikan saran, bila hendak mengirim pasukan jangan didaratkan di Ternate, tetapi langsung saja ke Morotai. Karena perjalanan dari Morotai ke Galela hanya 1 jam (melalui udara), sedangkan bila dari Ternate memakan waktu 22 jam.

Kemudian Suaidy Marasabessy menghubungi Kodim di Tobelo agar menerima pasukan yang datang di Morotai dan hendaknya Dandim Tobelo melakukan koordinasi dengan Pangdam setempat. Kenyataannya pasukan tidak dipersilakan mendarat di Morotai tetapi mendarat di Ternate. Akibatnya perjalanan pasukan dari pelabuhan udara Ternate menuju Galela memakan waktu 22 jam. Padahal seharusnya hanya 1 jam, bila pasukan kiriman itu didaratkan di Morotai.

Dalam waktu 22 jam, sebelum tentara mendarat, terjadilah pemban-taian besar-besaran di kecamatan Galela. Ini jelas skandal (pembantaian) luar biasa biadabnya yang dilakukan Brigjen Max Tamaela. Sebagai Pangdam, sebagai aparat TNI Max Tamaela sudah sangat berpihak kepa-

da kalangan Kristen. Jelas sekali Max Tamaela dengan sadar dan kejam merencanakan pembantaian terhadap sekitar dua ribuan ummat Islam di kecamatan Galela (hanya) dalam satu malam.

Bagaimana sikap Gus Dur kemudian? Ternyata hingga kini Max Tamaela, sang algojo itu masih tetap aktif di institusi TNI, dan tidak termasuk Pangdam yang diganti pada musim mutasi Pati TNI baru-baru ini. Konon, Max Tamaela dipertahankan berkat lobby Wapres Megawati Bagaimana sikap Gus Dur kemudian? Ternyata hingga kini Max Tamaela, sang algojo itu masih tetap aktif di institusi TNI, dan tidak termasuk Pangdam yang diganti pada musim mutasi Pati TNI baru-baru ini. Konon, Max Tamaela dipertahankan berkat lobby Wapres Megawati

Hal ini menunjukkan, bahwa pemerintahan Gus Dur dan Mega adalah bencana bagi ummat Islam, sebagaimana ditunjukkan melalui sikap dan ucapan mereka terhadap kasus Ambon. Ketika bencana pem-bantaian di Galela berlangsung, Wapres Megawati sedang berlibur ke Hongkong, bersama keluarganya, padahal oleh Presiden ia ditugaskan mengatasi kasus Ambon.

Ada informasi menarik yang menjelaskan alasan mengapa Mega dan keluarganya menjalankan liburan akhir tahun ke Hongkong.

Menurut Gus Dur, wapres Megawati ke Hongkong bukan untuk merayakan ulang tahun suaminya (Taufik Kiemas), bukan pula untuk menyongsong terbitnya matahari pertama tahun 2000. Tetapi untuk melakukan perjalanan bisnis.

Yang jelas, kepergian Mega ke Hongkong bersama Taufik Kiemas, beserta anak-anaknya, bukanlah dalam rangka mengadakan buka puasa bersama, shalat tarawih bersama, sahur bersama dengan masyarakat Muslim di sana, tetapi untuk menjalin hubungan bisnis dengan pengusaha Hongkong.

Sialnya, atau untungnya, ketika Mega bersama suami dan anak-anaknya ke Hongkong, para pebisnis di sana sedang cuti akhir tahun, sekaligus cuti Natalan, sehingga urusan bisnis seperti disebutkan Gus Dur tidak terlaksana dengan semestinya. Akibatnya, Mega dan keluarga-nya pun “terpaksa” berlibur dan berbelanja sepuas-puasnya di Hong-kong, sampai akhirnya Gus “Presiden” Dur memanggilnya pulang, karena adanya kasus Halmahera.

Kisah dibalik kisah “mengapa Mega ke Hongkong?” sebenarnya ada kaitannya dengan Tanri Abeng. Pada pemerintahan Habibie, Tanri Abeng telah menjual hak pengelolaan pelabuhan peti kemas di Jakarta kepada sebuah perusahaan milik keturunan Cina asal Hongkong. Pengusaha Hongkong tersebut yang telah mengetahui adanya penggantian kepemim-pinan nasional di Indonesia, segera mendekati Taufik Kiemas, suami wapres Megawati, dalam rangka melanggengkan bisnisnya itu.

Sang pengusaha Cina Hongkong itu pun menjamu keluarga Megawati untuk merayakan tahun baru di Hongkong sepuas-puasnya, dan semewah-mewahnya. Sepulangnya dari sana Taufik Kiemas mendapat hadiah satu unit TOYOTA Landcruiser terbaru, yang nilainya di Indonesia mencapai harga Rp 900 juta, juga satu unit mobil Mercy tipe terbaru.

Begitulah mentalitas pejabat kita saat ini, yang nampaknya tidak jauh berbeda dengan para pejabat di zaman Orde Baru. Bahkan kini, Taufik Kiemas pun mempunyai hak opsi pengelolaan pelabuhan peti kemas tersebut. Hebat bukan?

Sementara rakyat di tanah air kelaparan, dan ribuan muslim di Galela (Halmahera) dibantai, Megawati dan keluarganya justru asyik berlibur ke Hongkong, memenuhi jamuan seorang pengusaha keturunan Cina, berbelanja sepuasnya, sambil merayakan ultah suaminya dan menyong-song tahun 2000 dengan acara yang mewah meriah.

Dan kalau toh akhirnya Wapres Megawati mempercepat liburan akhir tahunnya di Hongkong itu, setelah Presiden Gus Dur memanggilnya pulang, bukan berarti bencana yang menimpa ummat Islam agak sedikit terobati. Sebab, ketika Wapres Megawati mengunjungi Halmahera, yang ia datangi justru pengungsi non Islam bukan pengungsi dan korban dari kalangan Islam yang benar-benar menderita. Maka, bantuan sandang-pangan, obat-obatan, uang tunai sebesar 1,5 miliar rupiah dari Wapres Megawati pun dinikmati oleh pengungsi non Islam tadi, yang jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan korban dan pengungsi dari kalangan Islam.