01 Undang Undang Anti Subversi
Bab 04-01 Undang Undang Anti Subversi
Hukum pidana warisan kolonial Belanda masih berlaku dalam hukum Indonesia, yang berisikan beberapa materi hukum untuk menjatuhkan hukuman terhadap tindak pidana politik, seperti pemberontakan, meng-hasut orang untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah, atau setiap bentuk tindak permusuhan dan penghinaan terhadap pemerintah. Tidak sulit untuk menemukan bukti adanya undang-undang yang ber-laku di masa republik sekarang ini, juga berlaku di zaman kolonial Belanda di bawah pimpinan Gubernur Jendral. Demikianlah posisi Presiden Republik, seperti halnya posisi seorang Gubernur Jendral. Sedangkan nama Republik Indonesia, tidak lebih dari sekedar nama lain dari peme-rintah Hindia Belanda di Hindia Timur.
Pada zaman demokrasi terpimpin, Soekarno dan militer menyadari perlunya suatu undang- undang lengkap mengenai anti subversi. Undang-undang yang bersifat elastis, sehingga dengan mudah negara bisa men-jaring musuh-musuhnya dengan tindak pidana politik, baik perbuatan itu sudah dilakukan ataupun belum. Begitu juga ditandatanganinya undang-undang yang berisi hukuman keras, hingga pada tingkat huku-man mati terhadap orang-orang yang dituduh melakukan tindak pidana politik. Salah satu keistimewaan Undang-undang baru ini adalah menca-kup hukum acara yang dapat membatalkan isi ketentuan hukum acara pidana lainnya.
Undang-undang anti subversi yang secara kejam diterapkan terhadap oposan muslim, diundangkan oleh Soekarno tahun 1963 melalui kepu-tusan Presiden No. 21. Undang-undang tersebut dibuat dengan cara demikian, karena RUU yang diajukan Soekarno kepada DPR ditolak oleh semua partai yang terwakili di parlemen. Sebab undang-undang ini sangat berbahaya. RUU ini diajukan lagi ke parlemen beberapa saat setelah diusulkannya hukum adat ke parlemen, Mei 1963. Negara dalam keadaan darurat (SOB) diberlakukan sebagai alat untuk melakukan tinda-kan represif terhadap semua penentang demokrasi terpimpin setelah militer mendominasi pemerintahan pada tahun 1965, maka semua undang-undang yang mendukung kekuatan kiri dan Soekarno dirubah. Untuk itu ratusan peradilan digelar guna mengadili tokoh-tokoh PKI dan orang-orang yang dianggap oleh pemerintah bertanggung jawab atas peristiwa awal Oktober 1965. Hukuman yang dijatuhkan sangat berat. Banyak orang yang dikenai hukuman mati. Pada bulan-bulan pertama orde baru, pimpinan militer menggelar kekuatan dengan menga-nggapnya sebagai inkonstitusional. Demikian pula cara-cara Soekarno mengeluarkan berbagai macam ketetapan dinilai inkonstitusional. Pada-hal sebenarnya undang-undang semacam ini sepenuhnya dibuat untuk mendukung militer. Bahkan Soeharto dengan pasukannya menggunakan hukum tersebut untuk membunuh setiap orang yang dicurigai sebagai komunis. Hal itu terjadi setelah munculnya peristiwa pembantaian tahun 1965, dimana sebanyak satu juta orang terbunuh, padahal Soeharto mengumumkan bahwa sejak sekarang dan seterusnya, Indonesia akan dijadikan sebagai negara hukum.
Banyak orang berharap, setelah Soekarno jatuh dan PKI dihancurkan dapat dilakukan reformasi hukum secara total, mulai dari hukum-hukum warisan orde Soekarno, tapi tidak terwujud. Masih banyak undang-undang yang bersifat represif termasuk hukum-hukum yang dikeluarkan pada zaman Soekarno untuk membersihkan setiap penentangnya. Pada tahun 1969 undang-undang ini meningkat statusnya setelah disetujui oleh DPR. Dengan keras undang- undang ini dikritik oleh pengacara Adnan Buyung Nasution. Ujarnya,”Jika DPR dimasa orde lama menolak RUU ini, maka merupakan hal yang sama sekali tidak bisa difahami bahwa DPR di zaman orde baru menyetujui undang-undang tersebut”. Isi dan materi dapat memberikan kesan hukum yang keliru, padahal hanya namanya saja yang berbeda tetapi isi dan semangatnya tidak berbeda dari undang-undang Subversi (versi Soekarno).
Undang-undang anti subversi menganggap bahwa kegiatan apapun yang dapat menodai atau menyimpang dari idiologi Pancasila, atau menghancurkannya, atau melawan kekuasaan negara atau kekuasaan pemerintah yang sah atau alat negara atau menghasut atau menyebabkan perpecahan, atau kekacauan, atau keresahan masyarakat. Maka sesung-guhnya kata-kata yang Undang-undang anti subversi menganggap bahwa kegiatan apapun yang dapat menodai atau menyimpang dari idiologi Pancasila, atau menghancurkannya, atau melawan kekuasaan negara atau kekuasaan pemerintah yang sah atau alat negara atau menghasut atau menyebabkan perpecahan, atau kekacauan, atau keresahan masyarakat. Maka sesung-guhnya kata-kata yang
Tim pembela HM. Sanusi mengatakan, bahwa para hakim yang memimpin persidangan seharusnya memiliki hak untuk memeriksa sejauh mana kebenaran undang-undang yang dipergunakannya di dalam kasus yang dituduhkan. Mereka punya hak untuk menyatakan pendapat bahwa undang-undang ini tidak sah kemudian menolak melangsungkan persidangan. Sebagian tertuduh merasakan penderitaan karena mereka dijatuhi hukuman berdasarkan undang- undang produk rezim demokrasi terpimpin, padahal rezim ini seringkali mereka kecam. Tapi ternyata banyak hakim yang menolak kecaman semacam ini, padahal penolakan-nya itu tidak ke luar dari hati nuraninya sendiri. Sekalipun demikian pengadilan yang menyidangkan kasus Dharsono sepakat, bahwa unda-ng-undang anti subversi dianggap bahagian dari undang-undang 1945 yang telah diakui masyarakat. Tapi mereka menambahkan bahwa pem-bicaraan tentang undang-undang subversi ini sebaiknya disampaikan kepada DPR dan bukan kepada hakim.