Azwar Kaili

6. Azwar Kaili

Azwar Kaili lahir tahun 1942 di Painan, Sumatera Barat. Dia adalah seorang pejuang yang tak kenal menyerah, berbudi pekerti baik dan bersi-kap tegas. Dalam hidupnya, segala persoalan dihadapinya dengan lapang dada dan senantiasa bersabar mencari hikmah dari semua peristiwa- peristiwa sejarah. Ia berhijrah ke Lampung pada tahun 1960. Baru pada tahun 1969 ia pindah ke Sidoredjo, sebagai the last frontier bagi hidupnya dan keluarga. Pada tahun 1969 tersebut, jumlah kepala keluarga yang berpindah ke Sidoredjo sebanyak 600 KK. Dia adalah salah seorang yang diperlukan sebagai mantri pengobatan di daerah baru tersebut. Pada waktu itu, sekitar tahun-tahun 70-an, penyakit malaria adalah penyakit yang ditakuti semua warga. Ia menyediakan obat-obat pil kina yang mencoba mengatasi penderitaan rakyat di sana. Pada awalnya, sebagai mantri pengobatan, ia juga bercocok tanam kedele dan tanaman tumpang sari lainnya.

Hidup memang terasa sangat keras di Sidoredjo pada tahun-tahun awal pembukaan lahan. Ia juga mengalami peristiwa tragis yang juga dialami banyak orang di Sidoredjo pada tahun 1971. Pada tahun 1971 terjadi sebuah peristiwa yang tidak dimengertinya, segerombolan tentara republik, tentara kehutanan, datang dan mengusir mereka semua yang tinggal di lahan pembukaan baru di Sidoredjo. Peristiwa ini sangat menge-jutkan karena terjadi tanpa sebab yang jelas. Namun, semua itu dianggap sebuah “kekerasan formal” yang mungkin harus terjadi pada waktu itu. Pada tanggal 3 Maret 1973, ia menikah dengan seorang perawat bernama Ismini. Dengan istrinya inilah ia mengarungi hidup yang penuh dengan suka duka bersama dengan lima orang

anaknya. 76 Dia merupakan satu-satunya orang dari Sumatera Barat —di samping itu ada lagi yang bernama St. Malano— yang ditangkap karena peristiwa berdarah itu. Diketahui, keterlibatannya dalam kelompok Warsidi ini di bawah koordinasi Sudiono dan Zamzuri. Bahkan Azwar merupakan penyelenggara kursus kesehatan dengan mengambil instruktur dari RSAM

Tanjungkarang. 77 Berkat ketekunan istrinya dalam mempelajari kursus tersebut, sehingga ia mendapat keahlian menyuntik dan mendapat gelar dari masyarakat setempat sebagai manteri kesehatan. Namun Azwar sendiri, sehari-harinya bekerja sebagai tukang jahit pakaian.

Sesungguhnya keberadaan dirinya di Lampung sudah sejak lama, kira-kira tahun 1969 di Teluk Betung. Jadi, hampir 30 puluh tahun lebih. Di daerah barunya itu lebih kurang ada 600 kepala keluarga. Menurut sepengetahuannya, yang pertama kali membuka daerah Teluk Betung itu adalah Taufik Hidayat dari Kostrad Bandung. Selanjutnya diikuti oleh yang lainnya, karena

daerah tersebut merupakan lingkungan daerah tumpangsari. 78 Ketika pertama kali masuk ke Teluk Betung pada tahun 1969, Azwar menjadi pedagang obat. Waktu itu di sini karena masih daerah pembu-kaan, sangat rawan dengan berbagai penyakit, terutama penyakit malaria. Banyak penduduk di sekitarnya yang kena terjangkit penyakit malaria. Oleh karena itu, dirinya diminta oleh kepala pembukaan untuk menetap di sini untuk membantu mereka. Cuma karena waktu itu masih dalam pembukaan sebagian pamong-pamongnya mengeluh karena biayanya tidak ada. Setelah panen kedelai dan jagung, daerah ini supaya dikosongkan karena ada perintah pengosongan.

Ada tuduhan bahwa beberapa hari ketika gerakan Warsidi di Sidorejo akan melakukan aksinya, rumah Azwar dijadikan sebagai pusat logistik untuk mempersiapkan rencana mereka melakukan penyerangan tanggal 19 Februari 1989. Setelah mereka telah matang menyusun rencana, istri Azwar mendapat tugas mengatur persiapan logistik itu. Setelah dilakukan penyerangan oleh petugas keamanan, Azwar diketahui merupakan salah satu dari tujuh orang yang menyerang pos polisi Sidorejo. Perambah jalan baru bagi peradaban Sidoredjo ini beberapa kali mengalami peristiwa konflik agraria yang menyejarah di Sidoredjo. Pada tahun tahun 1974 terjadi peristiwa perebutan lahan kebun antara orang-orang Jawa, Bali dan Lampung di Sidoredjo. Banyak korban yang jatuh dalam peristiwa tersebut. Namun, keadaan kembali berjalan normal setelah konsensus terjadi antara pihak-pihak yang bertikai. Keadaan damai ini berlangsung lama tanpa ada suatu peristiwa apapun. Baru setelah intervensi pihak pemerintah keadaan mulai berubah. Hubungan-hubungan sosial menjadi begitu kakunya pada tahun-tahun akhir 1980-an.

Lurah Santoso dan Bapak Muharram sebagai Koramil 79 tetap bersikap sangat agamis, hingga setelah melihat ada perkembangan pengajian di Langgar Al Barokah, di samping Lapangan Alun- Alun Sidoredjo, sikap kedua aparat ini tidak berubah. Pengajian di Masjid Al Barokah ini sangat penting artinya dalam peristiwa Sidoredjo 7 Februari 1989.

Pengajian di Masjid Al Barokah telah berlangsung sejak tahun 1987 yang diisi oleh seorang yang fasih dalam pendidikan Al Qur’an dan Hadits, bernama ustadz Dallari. Namun, kemudian pengajian Al Qur’an dan Hadits yang telah mencerahkan orientasi keagamaan mereka diisi oleh Dullah (Abdullah) yang pada waktu itu masih bujang. Karena perbedaan status perkawinan inilah kemudian terjadi komunikasi yang kurang lancar. Namun, karena kegigihan Dullah, pada akhirnya pengajian ber-tambah ramai dan semarak. Banyak orang ingin mendapatkan pengeta- huan agama di wilayah yang kering secara spiritual tersebut. Apalagi dengan pluraritas pendudukinya yang menganut berbagai agama telah menyebabkan hawa sejuk Islam menyirami mereka semua. Pak Zamzuri, Pak Maulana dan Pak Azwir pun menjadi aktif dalam pengajian Ming-guan tersebut. Untuk mentransformasikan semua ilmu keislaman, maka jadwalnya pun ditambah sehingga pihak Lurah dan Kapolsek kepanasan dengan pengajian tersebut.

Maka, pada hari Senin, 7 Februari 1989, terjadilah peristiwa konflik antara pihak Koramil, Lurah dan beberapa angkatan muda dari jamaah pengajian biasa tersebut. Ketika didatangi oleh Kapten Polisi Sudargo 80 , dari pihak Polsek, Nursalim, Sudiono dan Sony berhamburan keluar dan lari melintas lapangan alun-alun. Beberapa kali suara tembakan meletus dan mengenai Sony hingga tewas. Mayatnya tergolek lemas di pinggir lapangan. Merasa ada sesuatu yang kurang beres, maka Zamzuri, Mau-lana dan Azwir sebagai tetua dalam jamaah tersebut mendatangi lokasi. Rakyat sudah ketakutan dengan suara-suara letusan senjata dari Sersan Mayor Polisi Sudargo. Maka, Zamzuri pun segera mengambil sebilah parang panjang dan menebas batang leher Kepala Desa Sidoredjo Santoso Arifin hingga putus. Aksi para jamaah yang dianggap meresahkan itu juga sempat membunuh Serma Sudargo di hutan lindung Gunung Balak serta melukai Serda Arif Sembiring.