04 Ambon Berdarah dan Anak Emas

Bab 13-04 Ambon Berdarah dan Anak Emas

Pada harian Republika edisi 29 Maret 2000 (23 Dzulhijjah 1420 H) Gus Dur mengeluarkan statemen politik yang diskriminatif dengan mengatakan, bahwa gejolak dan konflik di Maluku terjadi akibat pada era Soeharto kalangan Kristen diperlakukan tidak adil, sebaliknya masya-rakat Islam diperlakukan bagaikan anak emas. Selengkapnya, pernyataan Gus Dur itu sebagai berikut: Gejolak Maluku terjadi, akibat Islam diana-kemaskan’ “Jika dulu Belanda mengambil orang-orang Kristen untuk posisi militer dan pemerintahan, dalam era Soeharto pemerintah merekrut Muslim.”

Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur kembali membuat pernyataan yang mengejutkan, kali ini tentang konflik Maluku. Di mata dia, konflik dan kerusuhan di wilayah Maluku berawal dari ketidak-adilan pemerintah sebelumnya (era Soeharto) dalam memperlakukan umat Kristen.

“Masa sepuluh tahun terakhir pemerintah lalu, telah memberikan perlakukan istimewa sebagai anak emas (golden boy) bagi masyarakat Islam di Maluku,” katanya saat membuka seminar Internasional “ Mencari Bentuk Ideal Negara Indonesia Masa Depan”, di Istana Negara, Selasa (28/3). Kondisi itu, sambungnya, kemudian mengakibatkan kese-imbangan antara Kristen dan Islam terganggu.

Menurut Abdurrahman, jika dulu Belanda mengambil orang-orang Kristen untuk posisi militer dan pemerintahan, dalam sepuluh tahun terakhir era Soeharto, pemerintah merekrut

Muslim sangat banyak diban-ding Kristen. “Ini termasuk 38 posisi penting di provinsi tersebut, yang sebelumnya, posisi tersebut dibagi antara Muslim dan Kristen, kemudian diserahkan kepada Muslim semua. Ini lalu menjadikan pemeluk Kristen merasa sangat terganggu.”

Ketika masyarakat Kristen memprotesnya, lanjut Abdurrahman, pemerintah lokal dan pusat memutuskan untuk melindas protes tersebut. Dan, akhirnya konflik jadi begitu besar. Dan karena militan Muslim yang diperlakukan sebagai golden boy (anak emas), maka menyerbulah mereka ke kampung Kristen, sehingga ekskalasi pun terjadi antara rnilitan Kristen dan Muslim.

Menurutnya, apa yang terjadi di Ambon, Maluku, dan Papua menunjukkan betapa aspirasi dari propinsi-propinsi tersebut tak tersalurkan. Sehingga, akhirnya merebak dalam bentuk protes massa. Solusi bagi masalah ini, kata Abdurrahman, pemerintah setempat harus banyak ber- komunikasi dengan masyarakat luar tapi tetap menggunakan emosi lokal.

Pernyataan Gus Dur itu tak pelak mengundang sesal tokoh agama. Sekjen DI Hussein Umar dan tokoh NU KH Ilyas Ruchiyat yang dimin-tai komentarnya soal pernyataan SARA Gus Dur itu, sama-sama menya-yangkan karena pernyataan tersebut tidak didukung data akurat

“Kasus-kasus yang terjadi di Ambon karena sebab lain. Bukan karena dimanjakan. Apanya yang dimanjakan?” kata Ilyas ketika dihubungi di kediamannya. Menurut dia, ada yang kurang serasi dalam pergaulan, sehingga yang besar merasa unggul dan yang kecil merasa dipinggirkan. Akibatnya satu sama lain saling curiga.

Ilyas berpendapat selama ini perlakuan terhadap semua agama sama. Dia mengambil contoh di Departemen Agama di mana di situ dibentuk dirjen dari semua agama. “Hanya saja, mungkin karena umat Islam jumlahnya besar maka kegiatannya terlihat lebih banyak,” katanya.

Hingga saat ini, menurut KH Ilyas, kerukunan yang didambakan memang belum berhasil. Ini bukan berarti pemerintah tak pernah berusha. Karena, menurutnya, setiap pemerintahan selalu berupaya men-ciptakan keserasian hidup antar umat beragama. Dia berharap nantinya terjadi perubahan persepsi sehingga yang besar tidak merasa unggul dan yang minoritas tak merasa dipinggirkan.

Hussein sendiri selain menyesalkan, juga khawatir jika pernyataan Abdurrahman itu bisa membuat umat Islam marah dan kecewa. Dia menganggap pernyataan Gus Dur itu tidak akan menyelesaikan kasus tersebut. “Gus Dur terlalu menyederhanakan persoalan di Maluku. Padahal kasus sebenarnya tidaklah demikian,” tegas Hussein Umar.

Malah sebaliknya, menurut keterangan para tokoh Muslim Maluku yang datang ke Jakarta, selama ini umat Islam banyak menerima ketidak-adilan. Banyak posisi yang tidak dibagi secara proporsional. “Dan umat Islam selama ini selalu dipinggirkan,” kata Hussein.

Seharusnya, kata Hussein, sebagai Kepala Negara, Gus Dur tidak perlu melontarkan pernyataan sensitif seperti itu. Karena dikhawatirkan dari pernyataan tersebut akan menimbulkan bias, dan membuat kemara-han bagi umat Islam. “Pernyataan Gus Dur ini bisa menimbulkan kekece-waan bagi umat Islam. Apalagi kondisi di Maluku sendiri belum aman, masih banyak peristiwa sporadis di beberapa lokasi,” papar Hussein Umar.

Komentar berbagai pihak pun bermunculan, antara lain dari Sekjen PGI (Persekutuan Gereja- gereja di Indonesia), “…Dr. Pattiasina, menyang-kal pandangan yang menyatakan konflik di Maluku dipicu sikap pemerintah era Soeharto yang menganak-emaskan umat Islam. Menurut- nya, umat Islam justru mendapat perhatian Soeharto pada periode akhir pemerintahannya.” (Republika Kamis 30 Maret 2000) .

Di majalah Forum Keadilan edisi 9 April 2000, Dicky Mailoa, Ketua Crisis Center PGI untuk masalah Maluku tidak menepis adanya penganak-emasan umat Islam pada dasawarsa terakhir era Soeharto, namun “…pada saat itu belum menghasilkan konflik, tapi hanya menghasilkan prakondisi yang tidak sehat.” Sedangkan Pendeta Arnold Nicolas Radjawane, anggota DPR asal Maluku, membantah adanya ketidak-puasan itu, “Tidak benar bahwa umat Kristen tidak puas, lalu marah dan berkonflik dengan saudara muslimnya.”

Di milis Sabili, Hasan Rasyidi berkomentar, bahwa pernyataan Gus Dur tidak hanya menyakitkan hati umat Islam, juga merupakan sebuah pernyataan yang tidak bermoral. Gus Dur Kambing Hitamkan Umat Islam Ambon, katanya.

Selanjutnya ia katakan:”Lagi-lagi Gus Dur membuat ulah. Kali ini dia mengatakan bahwa kerusuhan di Maluku terjadi karena umat Islam di Ambon dianak-emaskan. Sosiolog UI, Ahmad Thamrin Tamagola membantah hal ini. Dia menganggap Gus Dur terlalu menyepelekan masalah. Sesungguhnya, pada zaman Belanda hingga awal pemerintahan Orba, umat Kristen yang dianak-emaskan. Mereka jadi pejabat-pejabat serta prajurit-prajurit militer. Toh dengan penganak emasan tersebut, umat Islam mampu bersikap sabar, karena mereka orang yang beradab.

Tapi begitu umat Islam yang disisihkan dari birokrasi dan militer, berwiraswasta dan menjadi makmur serta memperoleh pendidikan yang tinggi. Pada tahun 1980-an, setelah para sarjana Muslim pulang ke Ambon, maka barulah Muslim Ambon berhasil memperoleh posisi-posisi yang penting.

Nah, umat Kristen yang biasa dianak-emaskan ini begitu merasa ter-singkir, akhirnya marah dan membantai ribuan umat Islam. Inilah yang terjadi. Seandainya umat Kristen tidak biadab, tak mungkin pembantaian tersebut bisa terjadi.

Jadi statement Gus Dur itu benar-benar menyakitkan hati umat Islam. Umat Islam Ambon sudah dibantai, lalu disalahkan pula oleh Gus Dur. Benar-benar tidak bermoral.

Para komentator itu mungkin benar, bahwa pernyataan Gus Dur tentang akar masalah kasus Ambon-Maluku berupa dianak-emaskannya masyarakat Islam, merupakan pernyataan yang tidak bermoral, sebab pada kenyataannya kalangan Islam-lah yang selalu dirugikan.

Dalam buku “Ambon Bersimbah Darah” karya H. Hartono Ahmad Jaiz, sejarawan Ambon, Thamrin Ely mengatakan, “Orang Ambon yang Kristen mendapat perlakuan istimewa dari VOC dan pemerintah kolonial. Mereka menikmati pendidikan, belajar bahasa Melayu, dan akhirnya diperbolehkan memasuki jajaran administrasi…”

Thamrin Ely juga mencatat, “Gubernur Maluku yang pertama adalah seorang Kristen Protestan, Mr. Latuharhari. Begitu juga beberapa gubernur berikutnya. Banyak posisi kursi di pemerintahan sejak awal kemerdekaan dipegang warga Kristen. Umat Islam tidak memprotes.”

“Tapi saat dua gubernur terakhir, Akib Latuconsina dan Saleh Latucon-sina, yang Muslim asli Maluku, memberi beberapa jabatan kursi kepada Muslim, dan itu pun masih belum representatif, kelompok Kristen tidak puas. Lantas mereka menghembuskan issu bahwa Islam menguasai lembaga pemerintahan…” demikian papar Thamrin Ely sebagaimana dikutip oleh H. Hartono Ahmad Jaiz.

Jadi, yang sebenarnya dijadikan anak emas (golden boy) bukanlah masyarakat Maluku yang Islam, tetapi masyarakat Maluku yang Kristen. Masyarakat Maluku Kristen ini sudah termanjakan oleh situasi sejak zaman kolonial Belanda, yang pada akhirnya tidak membuat mereka mampu menjadi anggota masyarakat yang fair dan demokratis.

Masih dalam buku yang sama, Thamrin Ely mencontohkan, “Organi-sasi-organisasi Kristen, misalnya, protes saat Kolonel Junaidi Panegoro diusulkan oleh ABRI untuk duduk di kursi Walikota beberapa tahun lalu. Alasannya, tak sesuai dengan keadaan penduduk kota Ambon yang jumlah pemeluk Kristennya lebih besar. Maka Junaidi pun ditarik, dan naiklah Chritanasale, seorang Kristen. Umat Islam menerima, bahkan yang pertama memberikan dukungan adalah HMI Ambon.”

Tidak hanya menyangkut jabatan struktural di birokrasi pemerinta-han saja yang menjadi hajat Kristen Maluku, terhadap organisasi kepemu-daan pun Kristen Maluku sangat menunjukkan sikap sektarianistis yang pekat, sebagaimana dicontohkan Thamrin Ely, “…Orang Islam diam saja saat ketua dan sekretaris KNPI dipegang Kristen. Tapi ketika Muslim menduduki jabatan ketua, kalangan Kristen langsung protes, dan meminta pertimbangan kekuasaan. Begitu juga di Golkar. Sebaliknya, umat Islam tidak bereaksi apa-apa terhadap dominasi Kristen di Universitas Pattimura.”

Sejauh ini, tidak pernah terdengar suara protes dari Gus Dur, mana-kala umat Islam di Maluku didzalimi oleh masyarakat Maluku Kristen. Gus Dur hanya bersuara ketika masyarakat Kristen Maluku menghembus- kan adanya Islamisasi di tubuh pemerintahan daerah dan organisasi atau lembaga strategis lainnya.

Rustam Kastor, Brigjen TNI Purnawirawan kelahiran Ambon, dalam bukunya berjudul

“Fakta, Data dan Analisa: Konspirasi Politik RMS dan Kristen Menghancurkan Ummat

Islam di Ambon-Maluku” menyimpulkan bahwa kasus Ambon-Maluku bukan sekedar konflik antar penduduk berbeda agama, namun ada hal-hal yang lebih substan-sial sebagai penyebabnya yaitu , “…konspirasi besar yang telah memanfa-atkan konflik Kristen-Islam yang telah berlangsung ratusan tahun untuk kepentingan politik Kristen di Indonesia dalam rangka merebut posisi yang lebih kuat setelah tergeser oleh kekuatan Islam dalam dasa warsa terakhir.”

Jadi, adanya ekskalasi kecemburuan masyarakat Kristen Ambon-Maluku terhadap masyarakat Islam Ambon-Maluku, hanyalah media penghantar terjadinya konflik. Potensi konflik itu memang ada dan sewaktu-waktu meletup, namun masih dalam batas konflik yang tidak berkepanjangan dan nyaris tidak terencana.

Sedangkan kasus Moslem Cleansing atau genocide yang terjadi sejak 19 Januari 1999 (Idul Fitri Berdarah), adalah peristiwa politik (kepentingan politik Kristen) yang memanfaatkan potensi konflik tadi. Dan diselenggara kan dengan seksama, sistematis serta terencana. Fakta-fakta yang dianalisis oleh Rustam Kastor menunjukkan hal itu.

Sejauh ini, potensi konflik Islam-Kristen di Ambon-Maluku berhasil diredam melalui konsep Pela-Gandong, yang berhasil menelurkan sebuah perdamaian semu. Karena konsep itu sendiri merupakan konsep rekayasa semata yang hanya menguntungkan pihak Kristen.

Ada sebuah pandangan mengenai konsep Pela-Gandong ini, yang dipublikasikan oleh Markus Kapalapica <kapalapica@yahoo.com> di milis [Indonesia-Views], 19 Januari 2000 sebagai berikut:

Sebutan Pela Gandong yang dibangga-banggakan orang Maluku sebenarnya tidak benar adanya. Hubungan Pela Gandong yang terdapat pada orang Maluku sebenarnya hanyalah sebuah rekayasa Pemerintahan Belanda pada saat menjajah Indonesia dengan Maluku sebagai sasaran- nya karena rempah-rempah yang ingin dikuasai.

Ada kisah menarik mengenai hal ini: Awalnya kepulauan Maluku itu adalah sebuah jazirah yang penuh dan makmur dengan hasil alam yang berlimpah-ruah, dan berpenduduk mayoritas Muslim. Di saat Belan-da menjajah dan menggarap Maluku, kaum Muslim Maluku tidak bisa menerima kehadiran mereka sehingga timbul perlawanan bersenjata dari Raja-raja dan Sultan- sultan yang berada di Maluku, antara lain Raja Leihitu, Raja Leitimur, Sultan Tidore, Sultan Ternate, Sultan Khairun, Sultan Babullah dan lain-lain.

Karena adanya perlawanan yang sengit dari masyarakat Muslim Maluku, maka Belanda mulai melancarkan Politik “Devide et Impera” alias Politik Memecah Belah. Belanda masuk ke Maluku membawa tiga misi yaitu: Gold, Glory, dan Gospel.

Gold , adalah misi Belanda untuk mengeruk harta. Glory, untuk mendapatkan kemuliaan di mata masyarakat. Gospel, membawa misi Kristen dengan iming-iming materi sehingga masyarakat Maluku yang tadinya adalah mayoritas Muslim menjadi terpengaruh dan terpecah dua: Muslim dan non Muslim.

Pada setiap kampung di Maluku selalu terbagi menjadi dua komunitas yaitu komunitas Muslim dan non Muslim, dan itu adalah keberhasilan Belanda dalam politik Pecah Belahnya. Contoh, kampung Iha (Muslim) dan Ihamahu (non Muslim), awalnya kedua kampung ini adalah satu yaitu Iha, tetapi karena penduduk Iha yang membangkang maka mem-bentuk daerah baru yang disebut Ihamahu (Iha yang membangkang).

Karena sering terjadi perkelahian antara kampung Muslim dan non Muslim yang pro Belanda, maka agar dapat diterima di semua komunitas masyarakat Maluku, Belanda mulai membentuk persahabatan yang tidak bisa dipisahkan dengan saling membantu dan bergotong royong dengan membuat Pela Gandong.

Untuk memperluas daerah jajahannya, Belanda menggunakan masyarakat Maluku yang pro kepadanya untuk memperluas daerah kekuasaannya dengan jalan membentuk pela gandong dengan daerah baru yang Muslim. Demikianlah kisah Pela Gandong yang selalu di-bangga- banggakan, padahal hanyalah politik penjajah.

Jadi, kalau Gus Dur mengatakan bahwa pada dasawarsa terakhir era Soeharto terjadi penganak-emasan terhadap masyarakat Islam di Ambon-Maluku, dan dari situlah terjadi peristiwa berdarah yang berke-panjangan, Gus Dur sangat terkesan melantur. Kalau toh terjadi proses pengakomodasian terhadap masyarakat Islam Ambon-Maluku di posisi tertentu di dalam birokrasi dan sebagainya, itu semua tepatnya merupa-kan proses proporsionalisasi, sehingga masyarakat Islam di Ambon-Maluku tidak terus berada dalam posisi pecundang yang didzalimi. Apalagi kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat Islam Ambon-Maluku yang selama masa kolonialisasi tertinggal di segala bidang, mulai menunjukkan jati dirinya. Sementara itu, Kristen Ambon-Maluku lebih cenderung merantau ke luar Maluku menjadi penyanyi, petinju, dan preman.

Sesungguhnya Gus Dur memang sudah sangat keterlaluan. Bila pada masa dasawarsa terakhir era Soeharto yang dinilainya menjadikan masyarakat Islam di Ambon-Maluku sebagai golden boy, mengapa Gus Dur seperti tidak mampu menilai masa suram dan kelam yang dialami masyarakat Islam di Ambon-Maluku sejak masa kolonialisasi hingga menjelang dasawarsa terakhir era Soeharto? Apalagi pada kenyataannya, Soeharto memang tidak pernah menganak- emaskan masyarakat Islam di Ambon-Maluku, sebab yang terjadi adalah mekanisme biasa yang kerap terjadi di mana-mana, yaitu meningkatnya kualitas SDM masyarakat Islam di Ambon- Maluku, sehingga mereka mempunyai nilai tambah (melalui pendidikan) yang memungkinkannya memasuki birokrasi dan posisi strategis lainnya. Sejalan dengan itu, masyarakat Islam dari luar Ambon-Maluku berdatangan mengisi sektor perdagangan dan sebagai-nya yang kosong ‘ditinggalkan’ oleh masyarakat Kristen Ambon-Maluku.

Melalui pernyataan-pernyataannya selama ini, kita berkesimpulan bahwa Gus Dur tidak saja cenderung Asbun (asal bunyi), yaitu gemar melontarkan data yang sangat tidak akurat mengenai sesuatu hal, juga tidak mempunyai keberpihakan moral terhadap berbagai bencana yang menimpa ummat Islam q