Rumoh Geudong (Rumah Aceh) Dibakar

34. Rumoh Geudong (Rumah Aceh) Dibakar

Laporan “orang hilang” maupun pelanggaran HAM lainnya, terma-suk rumah yang sengaja dibakar oknum yang tercatat di DPRD Pidie sampai tanggal 20 Juli 1998 mencapai 261 kasus. Hari itu saja jumlah pelapor sampai 50 orang. Yang menarik, di antara rombongan pelapor terdapat keluarga dari Hamid Itam (45), pegawai Setwilda Pidie, korban penculikan dan penembakan—diduga oleh oknum aparat—pada 1996 lalu. Kasus ini pernah diusut, tapi kemudian “dipending” oleh Polda Aceh. “Kami berharap, DPRD mau memperjuangkan supaya kasus ini diangkat lagi dan ditindak-lanjuti,” pinta adik kandung Hamid, Usman Itam (40) kepada anggota Komisi A DPRD Pidie. Usman lalu menceritakan kronologis penangkapan dan penganiayaan sampai abangnya meninggal di sebuah rumah di Kota Sigli, baru mayatnya “dibuang” ke Gunung Geurutee, Aceh Barat. Dari laporan tambahan yang kini mencapai jumlah 261, baik kasus “orang hilang”, “mati tak wajar”, penganiayaan, dan lain-lain semuanya bertambah. Sedikitnya 31 rumah—mayoritas jenis rumoh Aceh—di daerah itu telah dengan

sengaja dibakar oleh oknum aparat. 13 Alasan pembakaran umumnya karena penghuni rumah tidak bisa menunjukkan dimana orang yang dicari petugas. Tapi, anehnya, dalam beberapa kasus, rumah dibakar justru setelah “orang yang dicari” sudah ditemukan lalu dibawa. Akibatnya, istri maupun para anak yatim yang ditinggal, tidak hanya kehilangan suami/ayah tetapi sekaligus kehilangan tempat tinggal. Para janda umumnya terpaksa menumpang di rumah keluarga atau kerabat di desa tersebut. Atau pulang ke rumah orangtua/mertua. “Kami minta pemerintah mengganti rumah kami yang dibakar,” pinta Puteh Di (60), warga Cot Kunyet, Padang Tiji. Menurut-nya, setelah suaminya ditembak dan meninggal pada 1991, sang penem-bak lalu membakar rumahnya serta rumah anaknya (berdampingan). Tak cukup puas, para oknum itu juga kembali mengambil Basri (35), anaknya itu, pada November 1992 dan sampai sekarang belum dikem-balikan. Sejak itulah, kata Puteh, ia tidak hanya harus menanggung ma-kan anak-anak dan cucunya, tapi juga membuat “gubuk” darurat untuk tempat tinggal dua keluarga itu di desa setempat. Mengingat banyaknya permohonan mengganti rumah inilah, DPRD Pidie mengharapkan Pemda Pidie segera memikirkan upaya pengadaan rumah bagi masyara-kat yang kini berstatus “tunawisma” itu. “Pemda harus bertanggung- jawab,” kata Teungku Yunus Cut, sekretaris Komisi A DPRD Pidie. Salah satu saran yang diusulkan DPRD, sebaiknya kayu-kayu curian hasil tangkapan Dinas Kehutanan setempat nantinya tidak lagi dilelang. Melainkan dapat dimanfaatkan untuk membangun rumah sederhana bagi para “tunawisma” itu. Apalagi mengingat sebagian besar mereka umumnya janda dan anak yatim yang logikanya sulit membangun rumah sendiri. Karenanya, Dishut Pidie diharapkan lebih berperan, sehingga pengawasan hutan dapat diperketat disamping pengadaan rumah korban operasi militer itu pun dapat segera terwujud. Korban pembakaran rumah yang umumnya terjadi antara tahun 1990-1998 diantaranya rumah Nurmala Sulaiman (35) di Beureueh, Teungku Alibasyah Amin (30) di Desa Sinbe, Abdurrahman M Ali di Gumpueng, ketiganya di Kecamatan Mutiara. Di Kecamatan Tringgadeng Panteraja meliputi rumah M Rafi Sulaiman (36) di Panton Raya, Salamah (80) di Panton Raya, Cut Ali Rani (52) di Dayah Teumanah, Ibrahim Asyik (63) di Dayah Teumanah, M Abbas Rasyid (67) di Tamphoi Panton, Usman Hamzah (50) di Tamphoi, dan Khatijah di Dayah Teumanah. Di Kembang Tanjong, terdiri dari rumah Rasyidah/Abdul Yunus di Pasi Lhok, Syahbuddin/Nurmala di Pasi Lhok, Ummi Kalsum di Lancang, Ilyas Ahmad/Maimunah di Lancang, dan rumah Maryani Umar. Di Glumpang Tiga, rumah Safiah (46) di Cot Tunong, Madinah Abdullah (60) di Amud Masjid, Rosdini (38) di Desa Kupula, dan beberapa lainnya. Rumah Puteh Di (60) di Cot Kunyet, dan Basri (35) di Cot Kunyet, keduanya di Padang Tiji juga menjadi korban pembakaran oleh petugas yang disaksikan warga setempat. Di Kecamatan Delima, rumah dibakar baru dilaporkan milik Burhanuddin Usman (40) di Cirih Blang Mee.