Anwar Warsidi sebagai Imam.

1. Anwar Warsidi sebagai Imam.

Yang paling tahu dengan peristiwa Talangsari, 1989, adalah Warsidi. Dialah tokoh utama dalam drama kehidupan para jama’ah yang berani menghadang kekuatan negara. Anak bungsu dari

empat orang bersaudara 1 ini, lahir di desa Seberang Rawa, Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Warsidi adalah tokoh pembe-rontak yang konsisten dengan ajaran poligamis Islam. Ia mempunyai dua istri, Mariam dan Juairiyah. Dari hasil perkawinannya dengan Mariam, ia memperoleh satu orang putra yang tidak berumur panjang, beberapa tahun kemudian Mariam menyusul. Dan dari Juairiyah, ia memperoleh empat anak.

Warsidi menetap di Lampung pada tahun 1937, ia diajak oleh ayahnya seorang petani bernama Martoprawiro masuk ke kecamatan Batanghari, kemudian menetap di pedukuhan Talangsari III 2 pada bulan Juni 1988 bersama istrinya, Juairiyah, dan anaknya. Di pedukuhan inilah Warsidi mengamalkan ilmu spiritual dari aliran Lelampah 3 yang diperolehnya dari gurunya yang bernama Anwaruddin dari Banyumas, Jawa Tengah, kepada masyarakat. Ia mulai mengajarkan ajaran Lelampah ini pada tahun 1966. Karena pengajaran ini maka kemudian masyarakat Lampung mengenalinya sebagai tokoh spiritual. Bersamaan dengan itu pulalah, bakat kepemimpinannya terlihat dengan berkembang. Paralel dengan bakat kharismatiknya yang berkembang itulah, dalam waktu singkat ia memperoleh jamaah pengikut yang banyak. Beberapa kalangan menyebutkan bahwa jumlah jamaahnya hingga tiga ratusan orang itu sering berkumpul, Warsidi menetap di Lampung pada tahun 1937, ia diajak oleh ayahnya seorang petani bernama Martoprawiro masuk ke kecamatan Batanghari, kemudian menetap di pedukuhan Talangsari III 2 pada bulan Juni 1988 bersama istrinya, Juairiyah, dan anaknya. Di pedukuhan inilah Warsidi mengamalkan ilmu spiritual dari aliran Lelampah 3 yang diperolehnya dari gurunya yang bernama Anwaruddin dari Banyumas, Jawa Tengah, kepada masyarakat. Ia mulai mengajarkan ajaran Lelampah ini pada tahun 1966. Karena pengajaran ini maka kemudian masyarakat Lampung mengenalinya sebagai tokoh spiritual. Bersamaan dengan itu pulalah, bakat kepemimpinannya terlihat dengan berkembang. Paralel dengan bakat kharismatiknya yang berkembang itulah, dalam waktu singkat ia memperoleh jamaah pengikut yang banyak. Beberapa kalangan menyebutkan bahwa jumlah jamaahnya hingga tiga ratusan orang itu sering berkumpul,

Maka, secara psiko-sosial, masyarakat kurang menerima perkem-bangan ini sehingga, walaupun pengajian atau kelompok spiritual ini berkembang, maka ia tetap diterima secara reluctant oleh publik sekitar. Antara publik sekitar, yang cenderung lebih mentoleransi sekulerisme ketimbang Islam, dengan jama’ah terjadi perbedaan-perbedaan. Pada awalnya

Warsidi adalah orang yang lemah-lembut, santun dan sangat mengerti terhadap orang lain. 5 Sikapnya mulai radikal setelah kedatangan beberapa tokoh pemuda aktivis Islam yang memiliki semangat jihad yang menggebu di dadanya. Radikalisasi Warsidi mulai terjadi pada saat ia mendapat pengaruh fundamentalistik dari jama’ah pemuda yang datang ke Jakarta. Sikap furqaan (menarik garis pembeda) dari jamaah pun muncul. Ketika garis demarkasi perbedaan ditarik, maka yang kafir dan yang beriman pun segera kelihatan. Namun perbedaan pandangan dengan Lurah setempatlah yang kemudian menyulut peristiwa ini terjadi. Diawali dengan dipanggilnya Warsidi oleh aparat keamanan, maka hubungan kontradiktif antara jamaah Warsidi dan masyarakat serta aparat militer pun terjadi. Dari pihak Warsidi mensikapi undangan tersebut dengan caranya sendiri. Ia tidak mau datang memenuhi undangan tersebut. Menurut Sukidi, jika tokoh ini datang, tak seorang pun di luar jemaah ‘Mujahiddin’ diperkenankan masuk ke lokasi

kegiatan. 6 Bahkan, terakhir sebelum meledaknya huru-hara tersebut, penjagaan dari pihak jama’ah ‘Mujahiddin’ semakin diperketat. Dan betul geger ‘Komando Mujahiddin Fi Sabilillah’ pun terjadi. Dalam kejadian tersebut Warsidi alias Anwar meninggal dunia. Dengan meninggalnya Warsidi, maka misteri yang melingkupinya pun seakan-akan ikut terkubur. Namun, beberapa keping informasi tentang dirinya, lebih jauh sebagai-mana dituturkan Soerjadi mungkin sedikit bisa menguak tirai misteri tersebut:

Soerjadi 7 mengenal Anwar Warsidi pada tahun 1986-1987 di Cihi-deung. Anwar Warsidi nama aslinya adalah Warsidi. Karena ia mempu-nyai guru bernama Anwar, maka bergabunglah nama itu menjadi Anwar Warsidi. Anwar, gurunya Warsidi itu, adalah tokoh yang disebuit-sebut punya hubungan dengan gerakan Negara Islam Indonesia (NII). Secara struktural, ia tidak terkait dengan NII secara langsung karena ia memiliki langkah inisiatif sendiri. Ia melangkahkan kakinya dalam suatu misi perjuangan yang tidak memakai ketentuan-ketentuan perintah dari NII struktural. Dari keterangan ini, agak sulit ditarik korelasi antara NII dan jamaah Warsidi. Mungkin secara ide, mereka memiliki sikap dan orientasi yang sama. Namun, setelah dalam perkembangan tahun pada tahun 1960-an, riwayat Anwar berubah setelah ia bertemu dengan Yusuf Roni, seorang Katolik yang masuk Islam. Pengaruh dari Yusuf Roni, seorang Katolik yang masuk Islam karena ketertarikan pada aspek liberating forces Islam yang luar biasa, telah memanas-manasi Anwar untuk terpengaruh, sehingga Anwar terbakar untuk membunuh seorang pastur di Jakarta sehingga ia divonis 20 tahun penjara. Penjara pertama di Cipinang Jakarta, lalu kemudian dipindahkan ke Tanjung Karang Lampung.

Sebuah ide memang memiliki kaki, maka radikalisme dan pencerahan tentang kekuasaan dalam Islam pun berjalan menemui determinisme kehidupan Warsidi di Lampung. Warsidi bertemu dengan gurunya, Anwar, setelah Anwar bebas dari hukuman. Anwar membina Warsidi untuk melanjutkan perjuangannya. Warsidi yang hanya menempuh SD hingga kelas 5 (tidak tamat) pun terpengaruh. Pengaruh ideologis memang terkadang tidak mengenal seseorang berpendidikan atau tidak. Pengaruh ajaran-ajaran agama dan ideologi Islam yang dialami Warsidi ternyata tidak tunggal. Warsidi juga mendapat pengaruh dari Imam Bakri dari tahun 1960-an sampai 1968-an.

Sebuah pengaruh biasanya tidak terhenti ketika sang guru masih ada. Setelah gurunya yang kedua itu wafat, ia meneruskan posisi gurunya. Maka, jadilah Warsidi sebagai guru bagi pendidikan informal agama bagi publik yang juga informal. Warsidi mempunyai 6 orang jamaah: Soerjadi, keluarganya sendiri, anaknya Bejo, keluarga Jayus, dan adiknya, Marsudi. Setelah itu, jamaah yang diasuhnya pun semakin berkembang. Satu per satu mulai masuk ke jamaah Warsidi untuk belajar Islam dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Arifin, misalnya, adalah jamaah Warsidi dari Brebes yang paling setia. Ia adalah saksi hidup ketika ada pembakaran di daerah jamaah Warsidi di Talangsari. Ketika jumlah jamaah ini membesar, maka ia mengidap paham tentang kekuatan yang dimiliki oleh komunitasnya yang sesungguhnya belum seberapa jika dibanding dengan kelompok jamaah lainnya. Apa lagi setelah didatangi oleh Nur Hidayat, Fauzi Isman dan Sudarsono, tiba-tiba kelompok jamaah Warsidi menjadi kelompok yang militan. Tidak ada kata mundur dalam gerakannya. Barangsiapa yang mundur, maka sank-sinya

mati karena dianggap murtad. 8 Banyak anggota jama’ahnya yang kemudian merasa sangat takut terhadap ancaman ini.