PERSIDANGAN KASUS PELEDAKAN BOM

Bab 06 PERSIDANGAN KASUS PELEDAKAN BOM

TIGA MINGGU setelah tragedi Tanjung Priok, 4 Oktober 1984, meletus beberapa bom di Jakarta, di Bank BCA Cabang Gajah Mada, dan cabang Jenderal Sudirman. Bank ini dimiliki orang-orang Cina. Kemu-dian meletus pula beberapa bom di pusat perbelanjaan Metro Cileduk, yang merupakan pusat perdagangan Cina di Jakarta. Pada tanggal 24 Desember, meledak pula bom di Gereja Katholik dan lembaga pendidikan Protestan di Malang Jawa Timur. Tanggal 21 Januari 1985, meledak bom di Borobudur, sebuah candi yang sangat terkenal di dunia, yang didirikan pada abad ke-10 di Jawa Tengah. Tanggal 19 Maret, ada 9 orang korban peledakan bom yang meledak sebelum waktu-nya di dalam bus malam tujuan Bali.

Antara Oktober 1984-Juli 1985 sering terjadi pemba-karan dan pengeboman di berbagai daerah di Indonesia, yang paling parah terjadi di Jakarta. Pabrik Indomie terbakar pada 17 Oktober, dan beberapa hari berikutnya, 22 Oktober gedung Sarinah Jaya di bakar. Seminggu kemudian, 29 Oktober kebakaran terjadi di gudang penyimpanan milik angkatan laut di Cilandak, yang mengakibatkan hancurnya bangunan. Pada hari yang sama hancur pula rumah makan, gedung pertunjukan dan beberapa ruko di pasar Lantip, dan sasaran berikut-nya adalah Kartika Plaza yang diamuk api dengan hebatnya, 11 November, dua hari setelah terbakarnya gedung Sarinah Jaya yang terdiri dari beberapa tingkat. Pada tanggal 12 Februari 1985 gudang militer di Jakarta utara terbakar. Setelah beberapa bulan keadaan tenang, gedung Metro yang berlantai 9 terbakar. Hal ini terjadi pada tanggal 10 Juli 1985. Pada tanggal 21 Juli gedung RRI ludes terbakar.

Beberapa kota lain, menyaksikan pula peristiwa-peristiwa semacam itu. Di Yogyakarta pernah di pasang bom di stasiun Tugu, 23 Oktober 1984 tetapi tidak meledak. Pada awal November, salah satu tempat perbelanjaan modern di Jl. Malioboro di bakar dan pada hari yang sama, di dekat gedung bioskop Mataram dipasang bom ketika pertunjukan sedang berlangsung saat diputar film peristiwa berdarah tahun 1965 dan bagaimana Soeharto merebut kekuasaannya dari Soekarno. Di Surakarta salah satu daerah penting di Jawa Tengah, 31 Januari 1985 terjadi pembakaran keraton Kasunanan.

Pihak keamanan, bekerja keras melakukan penyelidikan atas kasus-kasus tersebut. Banyak orang yang dicurigai melakukan tindak pidana ini, diajukan ke pengadilan. Sekalipun pihak keamanan telah membawa terdakwa ke pengadilan, tetapi tempat-tempat yang terbakar itu sendiri tidak pernah menjadi obyek penyelidikan. Bahkan pemerintah mengang-gap remeh dan mengkambing hitamkan konsleting listrik.

Perasaan takut terhadap kelompok Islam bersenjata, merupakan issu yang tersebar luas dalam sejarah Indonesia modern. Sesudah pengadilan kasus Tanjung Priok, muncul serentetan persidangan yang mengungkit persoalan teroris Islam yang berusaha mendapatkan dukungan negara-negara Islam dalam revolusi Indonesia yang terjadi pada dasawarsa 1950-an sampai sekarang. Persidangan kasus peledakan bom, dilakukan dengan tujuan membuktikan adanya komplotan yang mengancam kea-manan negara yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam sempa-lan. Pengamatan terhadap jalannya persidangan ini membuktikan bahwa peristiwa- peristiwa tersebut telah direkayasa, sebagai dalih untuk dapat menangkap orang-orang yang melakukan kritik terhadap negara. Keja-dian-kejadian ini tidaklah dapat ditafsirkan sebagai perbuatan kaum fundamentalis Islam, tapi justru membuktikan adanya operasi rahasia pihak intelijen dengan jalan memunculkan aksi-aksi beruntun, kelompok-kelompok yang melakukan makar dan menciptakan perasaan takut serta saling curiga diantara aktivis gerakan Islam.

Ditonjolkannya HM. Sanusi sebagai tertuduh utama dalam kasus peledakan bom dan kasus- kasus lain yang menyangkut dirinya dalam usaha makar terhadap presiden RI, Soeharto, Ditonjolkannya HM. Sanusi sebagai tertuduh utama dalam kasus peledakan bom dan kasus- kasus lain yang menyangkut dirinya dalam usaha makar terhadap presiden RI, Soeharto,

Beberapa kasus peledakan bom mengungkap secara jelas ciri sebenar-nya dari rezim Soeharto. Empat orang tertuduh dalam persidangan per-tama di Malang, penguasa menyebut mereka sebagai orang-orang fanatik. Kemudian dikatakan bahwa keempat orang tertuduh yang terpelajar itu bergabung dalam gerakan Komando Jihad. Persidangan-persidangan ini berlangsung di seluruh Jawa, sehingga mengesankan adanya jaringan yang sudah dipersiapkan untuk menelan korban siapa saja.

Jaksa penuntut umum mendasarkan tuntutan-tuntutannya pada pengakuan bersalah tertuduh. Hanya karena seseorang sudah mengaku bersalah, tanpa mengakui kejahatan-kejahatannya, maka kesalahan-kesa-lahan itu sudah bisa melibatkan teman-temannya. Cara semacam itu menimbulkan matarantai antara peristiwa, pelaku-pelaku dan kelompok-nya. Misalnya, seorang tertuduh kasus peledakan bom yang mengaku bahwa dirinya bertindak demikian karena terpengaruh oleh ceramah seorang muballigh, maka muballigh yang bersangkutan sudah bisa dikenai tuduhan sebagai penghasut atau teroris. Selanjutnya jaksa secara implisit membuat kesimpulan adanya gerakan revolusi untuk mendirikan negara Islam, seperti yang telah berdiri pada dasawarsa 1950-an, dan sampai sekarang sangat mempengaruhi stabilitas nasional.

Menghubungkan antara peristiwa, nama yang berulang-kali disebut, introgasi-introgasi dan penyidangan beberapa terdakwa sampai dua kali, semuanya ini dimaksudkan untuk memberikan kesan adanya teroris, padahal hak-hak terdakwa telah dipasung dalam persidangan yang me- ngadili perkaranya. Peristiwa-peristiwa dan orang-orang yang dilibatkan, menimbulkan kebingungan sehingga penelitian yang dilakukan secara tenang terhadap perkara-perkara ini hanya menghasilkan kesimpulan nol-nol besar. Artinya, semua itu berdasarkan data-data yang ada, adalah rekayasa. Bahkan para pengacara sendiri bingung menghadapi problem ini. Salah seorang anggota LBH pernah menyimpulkan bahwa berulangkalinya kejadian seperti ini, maka mencari kebenaran disini, laksana mencari jejak burung terbang.

Di bawah ini akan kami paparkan kenyataan yang berlangsung dalam persidangan beberapa tokoh, dari berbagai organisasi sekitar kasus peledakan bom. Jika orang mau membaca laporan- laporan yang dimuat surat kabar tentang jalannya peristiwa demi peristiwa tersebut, maka dengan mudah dapat diketahui bahwa orang-orang tersebut mempunyai hubungan dengan badan-badan intelijen militer. Peranan intelijen militer terlihat jelas di dalam kasus persidangan serupa itu pada tahun 1982, ketika sekelompok aktivis muslim dijatuhi hukuman. Kelompok ini adalah gerakan yang dipimpin Imran bin Zain, yang mempunyai hubungan dalam peristiwa pembajakan pesawat Garuda seperti yang dapat kita baca dalam Bab III. Masalah ini dijadikan catatan dalam pembelaan persi-dangan kasus HR. Dharsono.