Ayah Dibunuh di Sebuah Rumah di Desa Lain

30. Ayah Dibunuh di Sebuah Rumah di Desa Lain

Keadilan bagi Herawati Hamid (21) baru sebatas mimpi. Untuk mencari tahu siapa pembunuh ayahnya, Hamid Itam (50), ternyata tak cukup mengandalkan Kepolisian maupun Polisi Militer. Ia bersama pamannya, Usman Itam (40), adik kandung Hamid, selama dua tahun ini sudah

pontang-panting mengusut sendiri. 9 Tak sedikit tantangannya. Bahkan Usman sendiri pernah didatangi sejumlah oknum Kopasus ke rumahnya di Desa Tampieng Baroh, Indrajaya, beberapa waktu lalu. Kedua oknum itu minta ia menghadap atasan mereka di Pos Sattis Kota Bakti. Usman menolak. Ia pun diajak ke seorang paranormal untuk men-cari tahu siapa pembunuh Hamid Itam sebenarnya. Tapi tetap dia tidak mau. Kalau memang dia juga harus mati. Biar mati di rumah saja.

Didampingi pengacaranya, Iskandar Ishak SH (direktur LBH Seura-moe Makkah, Sigli), menceritakan hasil pengusutan mereka. Sebagian keterangan diperoleh dari saksi-saksi, sebagian juga dari sumber di kalangan polisi penyidik.”Ayah saya bukan dibunuh di Gunung Gurutee, tapi di Pidie. Di sebuah rumah di Kelurahan Blang Asan. Ada saksi yang mendengar tembakan itu,” tutur Herawati, mahasiswi Akademi Manaje-men Informatika dan Komputer (AMIK) Jabal Ghafur, Pidie. Diceritakan, pada hari terakhir di Sigli, 13 September 1996, almarhum Hamid Itam yang seorang pegawai Setwilda Pidie pamit dari rumahnya sekitar pukul 17.00 WIB menuju Kota Sigli. Tapi ia tak kunjung pulang lagi.

Baru esoknya, tersiar kabar mayat Hamid Itam ditemukan mati tertembak di Gunung Gurutee, Aceh Barat. “Sejak meninggal ayah, kami cuma sekali—pada hari keempat kematian—dipanggil polisi untuk dimin-ta keterangan. Setelah itu tak ada kabar lagi. Bagaimana hasil penyelidi- kannya, sudah dimana kasusnya tak pernah diberitahukan lagi,” tutur Herawati. Muncul ide dari Usman untuk mengusut sendiri. Ia mengingat kembali cerita-cerita abangnya tentang sejumlah orang yang “memusuhi” Hamid. “Sebelum meninggal, Bang Hamid pernah cerita bahwa ia bertengkar di dengan Pak BR (disingkat) di Kantor Bupati. Menurut abang, Pak BR yang dikenal dekat dengan bupati sempat mengancam-nya,” ungkap Usman, penjahit di Kios Saumi, Caleu. Usman menilai pertengkaran itu serius. Mengingat selama ini almarhum tidak pernah ribut dengan orang lain, dan jarang bercerita kalau ada persoalan. Pengusutan dimulai dari ke sebuah warung kopi Nescafe di depan Hotel Paris, Sigli. Menurut saksi, abangnya sorenya sedang minum kopi dengan beberapa teman. Tiba-tiba datang sejumlah orang—termasuk pengusaha AK (juga dikenal dekat dengan Bupati dan BR), serta oknum aparat— dan langsung membawa Hamid dengan sebuah mobil taft milik seorang pengusaha, famili bupati. Hamid dibawa ke sebuah rumah di Blang Asan. Menurut Usman, saksi kunci yakni seorang pesuruh di rumah itu melihat dan mendengar jelas suara tembakan pada malam harinya, yang mem-buat Hamid meninggal seketika. “Saat ini saksi itu masih ada. Dia dibawa oleh Pak Suwahyu (waktu itu Kapolda Aceh) ke Surabaya,” ungkap Usman. Penembak abangnya diduga seorang “pembunuh bayaran” dari kalangan oknum ABRI berinisial FP. Meski telah berusaha dilacak, Usman mengaku sulit mencari data dimana FP berada saat ini.

Yang jelas tidak lagi di Pidie. Mayat Hamid Itam kemudian diangkut dan dibuang ke Gunung Gurutee, Aceh Barat (menurut Usman, tindakan ini diduga untuk mengaburkan TKP). Tuhan berpihak kepada mereka. Mayat yang dilempar itu tak sampai jatuh ke jurang Gurutee melainkan tersangkut di akar pohon. Konon karena para penculik/pembunuh itu dalam keadaan terburu-buru, dan kebetulan ada kendaraan lewat. Usman mengakui tidak tahu pasti keterlibatan Bupati Djakfar Is dalam kasus ini. “Itu hanya keyakinan hati saya, setelah dikait-kaitkan dengan siapa-siapa yang ikut terlibat serta persoalan yang dipertengkarkan oleh Hamid dengan BR. “Saya semakin curiga kepada Pak Bupati ketika membaca sebuah berita tentang kematian anak kecil akibat termakan obat cacing PMTAS tahun lalu. Bupati waktu itu minta kasus tersebut diusut tuntas. Tapi mengapa bupati tak pernah menyuruh usut tuntas kasus kami. Bukankah Bang Hamid adalah pegawainya di Kantor Bupati?” papar Usman Hamid. Diakui, Djakfar Is dan rombongan dari kantor bupati pernah datang ke rumah duka pada hari kedua, dan menyerahkan “uang duka” sebanyak Rp 500.000. Padahal, bukan uang yang penting. Yang sangat diharapkan keluarga korban adalah terung-kapnya kasus tersebut, sehingga pelaku pembunuhan Hamid Itam agar segera diproses—tidak lagi “dipending”—dan mendapat hukuman setimpal.

Kini, harapan itu mereka titipkan kepada Komnas HAM, disamping pengacaranya di Sigli. Kronologis kejadian pembunuhan versi pengu-sutan keluarga korban itu telah mereka (ditanda-tangani Usman dan Herawati) kirim ke Komnas HAM di Jakarta, dengan tembusan kepada 25 pihak/lembaga. Diantaranya kepada Mendagri, Kejaksaan Agung, Menhankam/Pangab, Kapolri, Pangdam I/BB, Gubernur Aceh, Kapolda, Danrem 011/LW, Danrem 012/TU, dan yang terkait lainnya.