Ditembak dan Dibuang Ke Parit

13. Ditembak dan Dibuang Ke Parit

Kasus orang hilang yang masuk ke DPRD Aceh Timur, telah mencapai 53 kasus, setelah lembaga legislatif setempat, menerima pengaduan sebanyak 15 kasus lagi. Di antaranya, sebanyak tujuh orang ditemukan jasadnya telah meninggal dunia. Sedangkan yang lainnya belum diketahui nasibnya. Orang hilang yang kemudian ditemukan mayatnya, Teungku M Yunus Ahmadi, warga Desa Tanjung Tualang, Kecamatan Peureulak. Kata Hanifah, suaminya itu ditembak di dekat rumahnya pada 27 Pebruari 1991. Usman Ilyas, warga Desa Tepin, Kecamatan Idi Rayeuk, diculik pada tahun 1991. Jenazahnya ditemukan di dalam parit di Desa Keude

Geureubak. 33 Sedangkan yang lainnya juga ditemukan mayatnya, Armia Yasin (35), Warga Desa Bukit Pala, Peureulak, Syamsuddin Budiman (35) warga Desa Tanjung Tualang Peureulak, Alamsyah (45), warga Desa Paya Kaloi, Peureulak, Zailani Yusuf (45), warga Desa Babah Krueng, Peureulak, Zakaria Abdul Jalil (46), Warga Desa Lipah, Peureulak. Mereka yang dinyatakan masih hilang sebagai berikut:

• Djamaluddin Mahmud (23), mahasiswa, hilang, Maret 1991. • Abdullah Bakarwan (43), warga Desa Matang Seulimeng, Langsa Barat, hilang, 25 Januari

1997. • Usman Rauf (50), warga Desa Babah Krueng, Peureulak, hilang, 3 Maret 1991.

• Teungku H Achmad Dewi (43), Warga Desa Bantayan, Darul Aman, hilang 4 Maret 1991. • Asnawi bin Usman (17), warga Desa Bantayan, Darul Aman, hilang, 4 Maret 1991. • Zainal Abidin (32), warga Desa Paya Lipah, Peureulak, hilang, 26 April 1991. • Ishak Yasin (35), warga Desa Utun Dama, Peureulak, hilang 23 April 1991. • Muhammad bin Lutan (40), warga Desa Keumuning I, Darul Aman, hilang, 29-8-1990.

Semakin banyak para janda yang kehilangan suami, anak dan sanak familinya pada tahun 1990-1991 mengadu ke DPRD II Aceh Timur. Hingga 27 Juli 1998, kasus orang hilang yang masuk ke lembaga wakil rakyat setempat telah mencapai 93 kasus. 34 Anggota Komisi A DPRD II Aceh Timur, Mawardi Nur, mengatakan, kasus orang hilang yang masuk ke dewan sebanyak 37 kasus. Namun yang tercatat nama dan alamatnya hanya 31 kasus. Sedangkan enam kasus lagi belum terinventarisir secara akurat. Menurutnya, enam kasus lagi tidak jelas nama dan alamatnya tidak tercatat, kemungkinan akibat kelalaian petugas pencatat. Menurut pantauan, sejak para janda mengadukan prihalnya, kegiatan menginven-tarisir orang-orang hilang di lembaga legislatif itu, terkesan acak-acakan. Sistem pendataan yang dilakukan tidak menggunakan formulir yang seragam. Masing-masing pencatat menggunakan caranya sendiri. Akibat-nya, ada korban yang tidak terdata nama dan alamatnya. Terbukti, dari 37 kasus yang masuk, enam di antaranya tercecer alias tidak terdata secara akurat. Hal ini sangat merugikan bagi masyarakat yang melapor-kannya. Dari 31 kasus yang tercatat nama dan alamatnya itu, 15 orang di antaranya ditemukan mayatnya. Di antaranya ada mayat yang dite-mukan dalam keadaan leher tergantung dengan tali, terapung di sungai, tergeletak di pinggir jalan, terkapar di dalam tambak udang dan parit-parit. Selain itu ada pula rumahnya yang dibakar. Orang hilang yang mayatnya ditemukan itu antara lain, Asnawi Hamzah (46) Warga Desa Bukit Agu, Kecamatan Idi Rayeuk, M Salim (45) Warga Gampong Beusa Seberang, Kecamatan Peureulak, Ilyas Mudsyah (42), Warga Gampong Beusa Seberang, Kecamatan Peureulak, Hanafiah Amin (60), warga Desa Kota Lintang, Kecamatan Kota Kuala Simpang, Mat Yetdin (50) warga Desa Jengki, Kecamatan Peureulak, Johan Basyah (56) alamat tidak tercatat. M Amin bin Ibrahim (63), warga Desa Sampoimah, Kec Idi Rayeuk, M Musa (20) warga Desa Lhok Meurah, Kecamatan Nurussalam, Zainal Abidin (25) warga Desa Ponyan, Kecamatan Nurussalam, Teungku Ishak (48) warga Desa Bukit Bagok, Kecamatan Nurussalam, Jamaluddin (29) warga Desa Seunebok Tuha, Kecamatan Idi Rayeuk, Zakaria (20) warga Desa Lhok Kuyun, Kecamatan Darul Aman, M Jamin (35) Desa Simpang Punti, Kecamatan Nurussalam, Umi Kalsum (46), Desa Seunebok Buloh, Kecamatan

Darul Aman dan M Isya (40) warga Desa Pulo U, Kecamatan Nurussalam. Sebanyak 16 orang hilang yang belum diketahui nasibnya sebagai berikut:

q M Gani Ibrahim (45), warga Desa Beusa Seberang, Peureulak, hilang pada 27 Ramadhan 1992. q M Isa Hasan (32), warga Desa Jengki, Peureulak, hilang, 1991. q Abdullah Isi (alamat tidak tercatat), hilang 1991. q Wahid Thalib (60) warga Gampong Mesjid, Nurussalam, hilang 16 Maret 1991. q M Isa (40), warga Desa Alu Luding II, Darul Aman, hilang 29 Agustus 1991. q T Daud Paneuk (37), warga Desa Panah Sa, Nurusslam, hilang 1991. q Abdullah (27), warga Desa Keumuning III, Darul Aman, hilang 1992. q M Yusuf (25), warga Desa Keumuning III, Darul Aman, hilang, 1991. q Ishak (39), warga Desa Bagok Panah I, Nurussalam, hilang, 15 Desember 1991. q M Jakfar (34), warga Desa Bagok, Nurussalam, hilang, 24 April 1991. q M Husin (50), warga Desa Bukit Rumiah, Darul Aman, hilang, 9 September 1991. q Zainuddin (25), warga Desa Bukit Panjau, Nurussalam, hilang, 10 Nopember 1991. q Ismail Hasan ( 45) warga Desa Seunebok Dalam, Nurussalam, hilang, 16 Nopember 1991. q Zailani (37) warga Desa Seunebok Dalam, Nurussalam, hilang 1996. q Ramli (40) warga Desa Lhee, Nurussalam, hilang, Pebuari 1991. q M Yusuf Ismail (30) warga Desa Sidodadi, Langsa Timur, hilang, 1991.

Kasus orang hilang, yang dilaporkan kepada pihak DPRD II Aceh Timur, sementara ini telah mencapai 117 orang, setelah tanggal 28 Juli 1998 masuk 24 kasus lagi. Sebanyak 23 kasus di antaranya dilaporkan warga Kecamatan Simpang Ulim. 35 Selebihnya satu kasus dari Peureulak dan satu lagi dari Idi Rayeuk. Para janda melaporkan kehilangan suami, anak dan sanak familinya. Menurut keterangan anggota Komisi A DPRD setempat, Eno Rukmana, dari 24 kasus orang hilang itu, hanya lima di antaranya ditemukan mayatnya. Sedangkan yang lainnya masih belum diketahui nasibnya. Orang hilang yang mayatnya ditemukan itu antara lain, Haji Yunus (46), Abdul Hamid (40), Syafaruddin (30), Ismail (25), Abubakar Ismail (41). Dari lima orang hilang yang ditemukan, tiga di antaranya ditembak. Seperti dilaporkan Abdul M Husin, warga Desa Leung Peut, Simpang Ulim, putranya itu diculik pada 8 Desember 1997. Ia ditembak tujuh hari kemudian, ketika pulang ke kampung, saat tiba di rumah. Sedangkan Syafaruddin, menurut pelapornya, dijemput orang tak dikenal di Malaysia, pada 27 Maret 1998 untuk dibawa ke Aceh. Tapi korban ditembak di negara tetangga itu. Korban dikuburkan di Malaysia. Sementara itu, Abubakar Ismail ditembak di tempat pada 15 September 1990. Menurut pelapornya, mayat tidak boleh diambil. Setelah 44 hari, baru mayat dikembalikan kepada keluarganya. Peristiwa yang paling memilukan lagi, seperti diuraikan Siti Hajar. Putranya Zulkifli yang masih berusia 13 tahun, diculik pada tahun 1992 di kawasan Desa Lubuk Pimping, Simpang Ulim ketika sedang pergi ke sekolah. “Hingga hari ini anak saya itu tidak pulang,” kata Siti Hajar.

14. “Dikubur” Sampai Sebatas Leher

Akibat munculnya gangguan keamanan oleh GPK dan diberlakukan-nya “Daerah Operasi Militer” (DOM) di Aceh, banyak warga Aceh yang hilang nyawanya secara tidak wajar. Mereka ada yang menjadi korban tindakan kekerasan oknum aparat kemanaan. Ada juga yang dihabisi GPK. Banyak orang hilang di Aceh yang tidak diketahui rimbanya. Di Aceh Timur saja, orang hilang yang tercatat di DPRD setempat, mencapai 202 kasus. Sedangkan yang ditemukan kembali telah menjadi mayat hanya berbilang jari. Namun, di antara korban yang “diambil”, ada juga yang masih hidup. Mereka inilah sebagai saksi hidup tentang terjadinya pelanggaran HAM di daerah ini. Adalah Amril (35), warga Idi Rayeuk, bersama keluarganya, sudah berada di gedung DPRD

II Aceh Timur. Ia bermaksud ingin menguraikan penderitaan pahitnya kepada tim pencari fakta (TPF) DPRD-RI di gedung dewan tersebut, akibat disiksa oknum aparat keamanan. Namun, acara temu dialog masyarakat dengan TPF di ruang sidang DPRD Aceh Timur itu, baru dimulai sekitar pukul 10.20 WIB. Sehingga, kesempatan masyarakat untuk menyampaikan aspirasi-nya sangat terbatas. Amril sendiri tidak sempat untuk mengadukan prihalnya kepada anggota dewan terhormat dari Jakarta itu. Namun, ia sempat menuturkan kisah nyatanya itu. Sebagai seorang nelayan kecil, ia mengatakan hidupnya pada waktu itu, sangat tenteram. Untuk menyambung hidup keluarganya, ia pergi melaut dengan perahu, khusus untuk menjaring udang. Tapi nasib berkata lain. Pada suatu malam, 2 Juli 1996, ketika hendak melaut, ia diambil oleh oknum tentara dengan tuduhan sebagai anggota GPK. Selanjutnya apa yang terjadi. Esoknya, di markas para aparat keamanan itu, ia disiksa dan dipaksa harus menga-ku sebagai anggota GPK. Berkali-kali Amril memelas agar jangan dipukul, karena ia bukan GPK. Tapi para oknum petugas itu tidak percaya, bahkan setiap ia memelas, broti mendarat ke tubuhnya. Bukan itu saja siksaan yang dialami Amril. Kuku jari tangan dan kakinya dicabut dengan tang dan dihimpit dengan batu. Setiap kuku yang tercabut disuruh isap. Menurut pengakuan ayah dari tiga orang putra yang masih kecil-kecil itu, ia juga pernah ditanam sampai sebatas leher di Bukit Cut, Keude Geurubak, Idi Rayeuk. Di bukit itu, mulut Amril dikencingi, setelah terlebih dahulu rahangnya dijepit dengan tangan agar mulut ternganga. Akibat siksaan berat itu, tubuh Amril kini terasa teruk. Urat kakinya ada yang putus akibat dihantam dengan benda keras. “Selama lima bulan saya disandera di markas itu,” kata suami Syafariah tersebut. Lain halnya dengan Cut Ainul Mardhiah (57) yang II Aceh Timur. Ia bermaksud ingin menguraikan penderitaan pahitnya kepada tim pencari fakta (TPF) DPRD-RI di gedung dewan tersebut, akibat disiksa oknum aparat keamanan. Namun, acara temu dialog masyarakat dengan TPF di ruang sidang DPRD Aceh Timur itu, baru dimulai sekitar pukul 10.20 WIB. Sehingga, kesempatan masyarakat untuk menyampaikan aspirasi-nya sangat terbatas. Amril sendiri tidak sempat untuk mengadukan prihalnya kepada anggota dewan terhormat dari Jakarta itu. Namun, ia sempat menuturkan kisah nyatanya itu. Sebagai seorang nelayan kecil, ia mengatakan hidupnya pada waktu itu, sangat tenteram. Untuk menyambung hidup keluarganya, ia pergi melaut dengan perahu, khusus untuk menjaring udang. Tapi nasib berkata lain. Pada suatu malam, 2 Juli 1996, ketika hendak melaut, ia diambil oleh oknum tentara dengan tuduhan sebagai anggota GPK. Selanjutnya apa yang terjadi. Esoknya, di markas para aparat keamanan itu, ia disiksa dan dipaksa harus menga-ku sebagai anggota GPK. Berkali-kali Amril memelas agar jangan dipukul, karena ia bukan GPK. Tapi para oknum petugas itu tidak percaya, bahkan setiap ia memelas, broti mendarat ke tubuhnya. Bukan itu saja siksaan yang dialami Amril. Kuku jari tangan dan kakinya dicabut dengan tang dan dihimpit dengan batu. Setiap kuku yang tercabut disuruh isap. Menurut pengakuan ayah dari tiga orang putra yang masih kecil-kecil itu, ia juga pernah ditanam sampai sebatas leher di Bukit Cut, Keude Geurubak, Idi Rayeuk. Di bukit itu, mulut Amril dikencingi, setelah terlebih dahulu rahangnya dijepit dengan tangan agar mulut ternganga. Akibat siksaan berat itu, tubuh Amril kini terasa teruk. Urat kakinya ada yang putus akibat dihantam dengan benda keras. “Selama lima bulan saya disandera di markas itu,” kata suami Syafariah tersebut. Lain halnya dengan Cut Ainul Mardhiah (57) yang