05 Kronologi Terjadinya Peristiwa Talangsari, Lampung, 1989

Bab 10-05 Kronologi Terjadinya Peristiwa Talangsari, Lampung, 1989

Seminggu sebelum kejadian merupakan puncak dari ketegangan yang ada. Zulkifli (camat Way Jepara) berdasarkan informasi yang diterimanya mengirimkan surat pada hari Jum’at, 20 Januari 1989 kepada Kapten Soetiman (Danramil Way Jepara) yang isinya memberitahukan bahwa di dukuh Cihideung ada yang melakukan kegiatan yang mencurigakan dengan berkedok pengajian. Tetapi, untuk bisa diterima undangan tersebut oleh Warsidi, camat Zulkifli memberi alasan dalam suratnya bahwa Warsidi diundang ke kantor kecamatan untuk melaporkan data pendatang baru di lokasi tempat kediamannya. Pada hari yang sama Warsidi mengirim sepucuk surat balasan kepada Camat Way Jepara. Isi dari surat itu mengatakan keberatan untuk memenuhi undangan Camat. Bahkan mengundang Camat untuk mengecek langsung ke Cihideung agar lebih

jelas. 88 Atas dasar informasi tersebut, keesokan harinya Sabtu, 21 Januari 1989, Camat Zulkifli dan stafnya, Muspika dan aparat desa yang berjum-lah 8 orang datang ke Cihideung, untuk memenuhi undangan Warsidi. Hari Minggu, 22 Januari 1989 pukul 23.00, beberapa orang petugas bersenjata api menteror perkampungan jama’ah dan mengepungnya. Dua orang dari mereka masuk ke Mushala Al Mujahidin dan mencoba memancing kemarahan jama’ah yang sedang berdiskusi. Keduanya mengumpat dan mencaci maki jama’ah, bahkan mengancam dengan mengacungkan senjata api. Para jama’ah berusaha menahan diri untuk tidak terpancing. Merasa tidak dilayani, keduanya meninggalkan Mushala tanpa insiden.

Hari Minggu, 29 Januari 1989, salah seorang jama’ah memperoleh informasi mengenai Keputusan Muspika untuk menyerbu perkampungan jama’ah Cihideung. Tak lama kemudian, jama’ah menyaksikan Kepala Desa Cihideung dan masyarakatnya yang berada di sekitar perkampu-ngan mengungsi. Karena tidak merasa melanggar peraturan, jama’ah tetap tinggal di Cihideung. Untuk menjaga kemungkinan yang tidak diinginkan jama’ah meningkatkan ronda malam.

Hari Kamis, 2 Februari 1989 sekitar pukul 20.00 WIB, dua orang tak dikenal yang diduga petugas memata-matai perkampungan jama’ah. Mereka disambut baik oleh jama’ah tanpa rasa curiga.

Hari Minggu, 5 Februari 1989 sekitar tengah malam, beberapa orang petugas bersenjata api di antaranya M-16 dibantu oleh beberapa aparat desa, menyergap salah satu pos ronda jama’ah Warsidi. Enam orang jama’ah yang berusia di bawah 16 tahun ditangkap. Mereka ditangkap kemudian dibawa ke Makodim Lampung Tengah. Pada saat penyerga-pan disita 61 pucuk anak panah dan ketepel kayu, parang dan golok.

Hari Senin, 6 Februari 1989 sekitar pukul 11.00 WIB, beberapa birokrasi sipil dan militer, di antaranya, Mayor E.O. Sinaga, (Kasdim 0411 Lampung Tengah) bersama-sama dengan Kapten Soetiman (Danramil Way Jepara), Zulkifli (Camat Way Jepara), Letkol Hariman S (Kakansospol

Lampung Tengah) 89 beserta dua regu pasukannya menggunakan 2 buah jeep dan +8 buah sepeda motor pergi ke Cihideung untuk memenuhi undangan Warsidi. Namun tiba-tiba rombongan para pejabat itu diserang sebelum sampai di tempat tujuan dan akhirnya terjadilah bentrok fisik antara kedua pihak. Tanpa dikomando, jama’ah bangkit serentak menga-dakan perlawanan mengepung para penyerang. Dengan teriakan “Allahu Akbar” dan bersenjatakan panah, golok, clurit dan senjata tajam lainnya. Pertempuran berlangsung + ½ jam. Danramil Soetiman disan-dera dan 5 orang pasukannya tewas terkena panah beracun dan tubuh-nya hancur karena bacokan-bacokan parang dan golok. Sedang yang lainnya melarikan diri. Jama’ah berhasil menyita sebuah jeep, dua buah sepeda motor, sepucuk pistol dan uang tunai + Rp1.000.000,- Sementara itu pada hari yang sama, sekitar pukul 20.000 WIB, Riyanto dan kawan-kawan jama’ah Warsidi menyergap sebuah mobil colt di Sidorejo. Pembajakan mobil ini mengakibatkan tewasnya seorang bernama Pratu

Budi Waluyo, melukai sopir dan kenek bernama Agus Santoso hingga luka parah. 90 Disusul sekelompok jama’ah menyerang Kepala Pos Polisi Serma Sudargo hingga tewas dan dalam perkelahian ini dua polisi terluka. Kepala Desa Sidorejo, Santoso Arifin, masih dibunuh pula. Peristiwa tersebut membuat pihak aparat bereaksi keesokan harinya, Selasa, 7 Februari 1989 sekitar pukul 05.00 WIB, di bawah pimpinan Kolonel Hendro Priyono, (saat itu Danrem 043/Garuda Hitam) dengan kekuatan 3 (tiga) peleton tentara, 50 orang anggota satuan Brimob, aparat melaku-kan pengepungan ke lokasi Cihideung. Pasukan ABRI membentengi arah Barat. Praktis tidak ada jalan keluar bagi jama’ah. Sedang jama’ah bersen-jatakan panah beracun, golok dan parang dengan mata yang cukup tajam dan pistol rampasan dari alm. Soetiman. Sementara di Sidorejo pasukan jama’ah Warsidi dipimpin Fadillah bersenjata 2 pucuk pistol rampasan dari para polisi selain panah beracun dan senjata-senjata tajam. Pertempuran berlangsung seru dalam jarak 5-10 meter, hanya dibatasi jalan desa.

Penyerbuan diperkirakan berlangsung hingga pukul 15.00 WIB, dan selanjutnya diikuti dengan penangkapan terhadap orang-orang yang diperkirakan terlibat. Cukup banyak yang asal tangkap terhadap orang-orang tersebut. Seorang anak yang usianya kurang lebih 7 tahun dibawa oleh anggota aparat ke pelabuhan Bakauheni, di sana ia dipaksa untuk mengenali dan menunjukkan orang-orang yang akan naik atau baru turun dari kapal yang menurutnya pernah bergaul atau masuk dalam kelompok pengajian tersebut. Siapa pun orang yang ditunjuknya

langsung ditangkap oleh aparat. 91

Yang menarik dari peristiwa ini, sesungguhnya bukan lagi dilihat pada pihak kelompok Warsidi atau pihak tentara. Rakyat dusun Talang-sari II, desa Pakuan Aji dan desa Rajabasa Lama yang suasana hubu-ngannya bersitegang dengan “jama’ah” Warsidi dan berakhir dengan serangkaian pembunuhan terhadap 2 orang aparat keamanan dan se-orang kenek angkutan umum, secara massal menyerbu lokasi barak-barak perkampungan kelompok Warsidi di Cihideung dari berbagai jurusan. Perkelahian massal menyertai pengepungan terhadap pemuki-man eksklusif

itu. 92 Bunyi tembakan aparat keamanan bergema merobohkan Warsidi dan beberapa orang pengawalnya setelah seorang prajurit yang bernama Kopda Yatin tersungkur dengan punggung tertancap panah beracun. Kejadian itu sungguh tak sedap dipandang, terlebih lagi ketika sekonyong-konyong dari arah Barat penampungan terlihat api berkobar. Gubuk-gubuk telah terbakar. Warga Talangsari yang menyaksikan serbuan warga wilayah lain itu bahkan ada yang

melarikan diri tergopoh-gopoh. 93 Namun, bagi mereka yang sedang emosional malah mendekati gubuk-gubuk jama’ah yang tersebar. Dan dalam waktu yang sekejap saja gubuk-gubuk itu dibakar massa dari dusun-dusun dan desa lainnya. Pastilah banyak jatuh korban di sana apalagi barak-barak itu adalah tempat bermukimnya anggota keluarga para jama’ah. Siapa yang membakar ke-empat gubuk itu dalam suasana hiruk pikuk bak perang suku itu sukar sekali

diketahui pada saat itu. 94

Menurut penuturan ceritera-ceritera dari rakyat mengatakan bahwa gubuk-gubuk itu dibakar oleh “jama’ah” Warsidi sendiri yang bertugas menjaganya. Dalam hingar-bingarnya pertempuran massal terdengar pekik jama’ah agar tak seorang pun boleh menyerah dan teriakan-teriakan Menurut penuturan ceritera-ceritera dari rakyat mengatakan bahwa gubuk-gubuk itu dibakar oleh “jama’ah” Warsidi sendiri yang bertugas menjaganya. Dalam hingar-bingarnya pertempuran massal terdengar pekik jama’ah agar tak seorang pun boleh menyerah dan teriakan-teriakan

dari sang jagal adalah “Jangan keluar, mati kowe!” 95

Diketahui kemudian perempuan remaja itu bernama Thoyibah, anak Warsidi, yang dengan cepat ditolong para prajurit dan dilarikan ke Rumah Sakit Umum Dokter Abdul Muluk untuk menjalani perawatan intensif karena telinganya yang luka parah dan sisi kepala sebelah kanannya yang terluka akibat kena babat senjata tajam. Dari cerita orang pasca kejadian yang didengar oleh Suryadi—seorang mantan Warsidi yang kemudian bertolak belakang dengannya— gubuk-gubuk penampungan itu dibakar oleh Abbas dan salah seorang yang lainnya yang merupakan jama’ah Warsidi sendiri. Semua manusia di Cihideung yang sedang bertempur itu bagai kerasukan yang lepas kendali diri. Mereka saling berusaha membunuh lawannya dan sama-sama berteriak “Allahu Akbar”. Seolah-olah Allah SWT berada di pihak mereka yang berteriak itu. Dan dalam bentrokan yang mirip perang tawuran (jarak dekat) itu, menurut Sukidi, tewaslah 27 orang. Kesaksian yang sama pada peristiwa 7 Februari1989 itu disampaikan oleh para warga setempat

yang tak mau disebut namanya dengan alasan takut. 96

Sukidi mengatakan bahwa api menjalar dari dalam gubuk Warsidi, dilakukan oleh anak buah Warsidi, bukan dari massa, aparat desa atau aparat keamanan:’’ Sebab tahu-tahu kami melihat api membara dari dalam gubuk Warsidi, dan ternyata dilakukan pembakaran oleh anak buah Warsidi. Penyerangan dilakukan oleh aparat desa, warga (massa dusun) dan aparat keamanan bersama- sama karena kegiatan anak buah Warsidi sudah dinilai membahayakan keselamatan warga masyarakat.’’

ABRI dan rakyat berada di satu pihak yang mendatangi tempat itu yang rupanya memang telah dipersiapkan untuk pertahanan. Warsidi dan pengikutnya berada di pihak lain yang bertahan di “Basis Perjuangannya” dengan berlindung di parit-parit perhanan yang diran-cang secara baik untuk kebutuhan taktik perang. Begitu ngerinya pertem-puran itu dan betapa besarnya pengorbanan mereka yang terjerembab oleh ambisi dan kecongkakan sang “Imam”. Anwar Warsidi sebagai Imam bagi jama’ahnya memang sangat menyedihkan. Peralatan modern dihadapi hanya dengan pertahanan sekedarnya. Namun yang lebih menyedihkan adalah para aktor intelektualnya yang berada di Jakarta yaitu tiga pemuda tanggung avonturir—Nurhidayat, Fauzi Isman dan Sudarsono—yang mungkin tidak menyadari betapa besar akibat dari perencanaannya yang begitu ceroboh. Perencanaan yang dibuat tanpa koordinasi, tanpa legalisasi, tanpa komunikasi dan tanpa sosialisasi sebelumnya dengan masyarakat Way Jepara yang akan didatangi. Nafsu besar Amir Musyafir Nur Hidayat Assegaf tidak sesuai dengan kemampu-annya dalam menyusun suatu rencana besar untuk menghijrahkan begitu banyak nyawa orang dari pulau

Jawa ke Sumatra. Bahkan Rani, 97 istri Nur Hidayat yang kini telah diceraikannya, dulu ditipunya dengan “angin surga” yaitu hidup sejahtera di Medan. Untunglah hati kecil Rani membatalkan niatnya mengikuti ajakan sang penipu sehingga ia terhindar dari malapetaka di Cihideung. Rani kini tinggal menjanda dengan 2 orang anak yang dibesarkannya sendiri tanpa ayahnya. Kekerasan yang menghasilkan sebuah episode kesedihan di hati rakyat Indonesia memang bukan produk dari pemilik kuasa (negara), tapi dari masyarakat sipil pun bisa menciptakan drama kemanusiaan yang menyedihkan.

Yang kita sayangkan dari efek kekerasan yang sulit kita cari pelakunya ini adalah “penularan” kekerasan ke berbagai daerah lain selain di Lampung sendiri. Penularan kekerasan itu terjadi dalam bentuk penang-kapan-penangkapan tokoh-tokoh yang dicurigai di Lampung, pada orang- orang yang tidak bersalah. Juga di Bima dan Padang. Bahkan penangkapan tidak dilakukan pada orang-orang yang diindikasikan sebagai anggota kelompok pengajian. Terhadap keluarganya pun dilaku-kan penangkapan, penyiksaan. Azwar, salah seorang saksi korban menuturkan kejadian yang menimpanya, “Saya waktu itu sedang berada di pasar dan anak saya yang masih berumur 11 tahun mengikuti pengajian akbar ke Talangsari. Tapi kemudian hari itu anak saya tidak pulang ke rumah. Dan belum lagi terjawab kegelisahan saya, esok harinya saya ditangkap dan ditahan di Polsek dan kemudian dibawa ke Makodim Lampung Tengah, selanjutnya ke Makorem

043/Gatam,” kata Bapak Azwar. 98 Bahkan Istrinya, Ismini, yang pada waktu kejadian tersebut sedang pulang ke Padang, ditangkap di Painan dan mengalami siksaan yang sangat berat selama 6 hari. Di Padang ia juga disiksa selama 2 bulan 1 hari dengan perlakuan-perlakuan yang yang di luar kemanusiaan. Untung sajalah ibu mujahidah ini berani melawan perintah-perintah sang Koramil, Zulqarnain. Ia dipisahkan dengan tiga anaknya yang ikut bersamanya pulang ke Padang. Ia dituduh sebagai dokter mujahidin Lampung karena pekerjaannya sehari-hari adalah

sebagai bidan. 99 Hidup memang perlu keberanian untuk melawan. Tanpa ada keberanian untuk melawan, maka hidup tidak ada artinya sama sekali. Pada hari yang sama, di desa Sidorejo, Kecamatan Jabung, Kabupaten Lampung Tengah yang berjarak + 30 Km. dari lokasi peristiwa di Talangsari, telah terjadi peristiwa berdarah. Kejadian itu merupakan rembesan dari peristiwa sebelumnya di Talangsari. Penularan kekerasan memang biasa terjadi di kalangan aparat sipil yang suka membesar-besarkan persoalan.

Saat itu, sekitar pukul. 08.00 WIB. Atim (nama panggilan) seorang anggota Bantuan Polisi (Banpol) sektor Gunung Balak mencurigai sebuah rumah milik Zamsuri bin Muhammad Raji sebagai tempat persembunyian anggota pengajian Anwar Warsidi. Ketika itu, Atim menghampiri Saat itu, sekitar pukul. 08.00 WIB. Atim (nama panggilan) seorang anggota Bantuan Polisi (Banpol) sektor Gunung Balak mencurigai sebuah rumah milik Zamsuri bin Muhammad Raji sebagai tempat persembunyian anggota pengajian Anwar Warsidi. Ketika itu, Atim menghampiri

Proses kejar-kejaran sampai berjarak 200 m, dan Atim pun masuk ke dalam rumah Mukaji, penduduk setempat, untuk bersembunyi. Pengejar tidak masuk ke dalam rumah tersebut dan berbalik arah kembali, tetapi ternyata di depan kantor Polisi Sektor Gunung Balak, ia dijegat oleh Dargo dan disuruh berhenti sambil ditembak di arah kakinya. Tetapi permintaan tersebut ditolak, selanjutnya terjadi bentrok antar mereka berdua yang diakhiri dengan meninggalnya anggota pengajian tersebut karena ditembak oleh Dargo sebanyak empat kali di arah bagian dada.

Mendengar salah seorang kawannya meninggal akibat ditembak, beberapa anggota kelompok pengajian tersebut ke luar dengan membawa persenjataan. Penduduk yang sebelumnya ada dilokasi kejadian berlarian bersembunyi di rumah-rumah penduduk sekitar lokasi. Bentrokan pun berlanjut di dua lokasi yang tidak berjauhan dan berakhir dengan jatuhnya tiga orang meninggal, yaitu: Dargo (Dansek Gunung Balak) dengan luka kena bacok, Santoso penduduk setempat dengan luka kena bacok dan Giono (nama panggilan-bekas Guru SMP Muhammadiyah) anggota pengajian dengan luka tembak serta beberapa orang luka-luka. Selebihnya dari anggota pengajian ada yang kembali masuk ke rumah sebelumnya dan ada yang tertangkap.

Setelah terjadi bentrokan tersebut suasana di Desa Sidorejo tegang, pasukan Brimob yang dipimpin oleh Fauzi Azri (Danres Lampung Tengah) datang dari Lampung Tengah. Sore harinya sekitar pukul.15.00 WIB pengepungan terhadap rumah Zamsuri bin Muhammad Raji dilaku-kan dikarenakan di dalam rumah tersebut masih ada anggota pengajian Anwar Warsidi termasuk Zamsuri sendiri. Banyak penduduk yang menyaksikan proses pengepungan tersebut, bahkan sebelumnya mereka sempat mengintip keadaan di dalam rumah, dan dari dalam sempat terdengar pernyataan “Tolong jangan ganggu kami, kasihanilah kami.” Ratapan seperti ini mengisyaratkan suatu permohonan dari orang-orang papa dan lemah yang menghadapi gangguan, ancaman dan tekanan, sebuah fakta yang barangkali luput dari perhatian aparat yang bertindak pada saat itu. Pertikaian dan bentrokan fisik tak bisa dielakkan sang waktu, awal sebuah tragedi kelabu.

Penularan kasus Lampung juga sampai ke Bima, Mataram, Nusa Tenggara Barat. Hal ini dialami oleh Bapak Baharuddin 100 dan Abdul Ghani Masykur. Lihatlah pengakuan Baharuddin berikut ini: “Peristiwa penangkapanku terjadi tatkala kami yang menerima tamu musafir dari Bima (katanya asal dari Jawa) bahkan di antaranya terajak untuk istirahat dan tidur di rumahku,tergolong ulama, pemuda-pemuda dan pemudi, wanita muslimah yang sedang hamil yang memerlukan bantuanku untuk memperoleh keterangan di mana tinggalnya seorang ulama besar di Mataram, Tuang Guru Haji Zainuddin MA lulusan Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir.

Semua tamu dimuliakan dengan sekedar suguhan yang sederhana, makan malam bersama keluarga, bercakap-cakap tentang perjalanan yang melelahkan. Sebahagian berangkat mencari alamat itu yang dipandu oleh Ir Sauqi H Abdul Ghani Masykur dan sebahagian lagi tidur di rumah. Sebelum tidur akulah yang meminta mereka memberikan sedikit nasihat-nasihat agama mengingat mereka dipahami olehku tatkala mereka berbicara dan bersantai ternyata dalam diriku memastikan mereka adalah ulama-ulama yang benar dan orang suci dan yang pantas untuk dikorek ilmu pengetahuannya. Tak ada yang lebih istimewa yang disam-paikan kecuali agar kita- kita ini hendaknya benar-benar paham ke-Esaan-NYA dan pemilikan akan kekuasaan-NYA baik dilangit dan dibumi sekali-pun. Semua mahluk wajib tunduk dan pasrah kepada kekuasaan-NYA.

Ayat-ayat yang berkenaan dengan itu dijelaskan untuk menopang penyampaian itu. Tidak ada pembicaraan tentang da’wah mereka diBima ataupun dimana saja bahkan tentang kata Lampung sama sekali tidak terdengar dari mulut mereka. Esok harinya mereka kembali ke Hotel yang mereka telah sewakan di bilangan Kota Cakranegara dan diantar olehku dengan mobil butut merk Datsun tahun 70-an. Itulah saja yang ku tahu sejak tamu-tamuku datang dan terperanjat aku ketika di bulan Ramadhan 89 diundang untuk hadir di CPM (Corps Polisi Militer) Mataram. Ditanya macam-macam sehubungan dengan kedatangan tamu itu, dan berawal dengan tidur di salah satu ruang kantor , berlanjut dengan dimasukkan di sel ukuran 1 meter x 2 meter di belakang kantor CPM itu. Sebelum dimasukkan di sel diadakan dulu interogasi dengan intensif dengan gaya mereka. Awalnya oleh CPM dan Polisi, dan akhirnya oleh Korem (saat itu mereka menyebutnya Organisasi Anti Pengacau). Prosesnya, dan intinya ingin mereka tahu apakah aku ini pernah dibai’at atau tidak? Mereka sangat bersikeras agar aku mengaku telah dibai’at karena menurut Kasi Intel Korem 101 biasanya apabila mereka itu telah memberikan ceramah Agama di mana- mana haruslah semua yang men-dengar ceramah mereka itu di bai’at. (Saat itu, aku kurang paham arti bai’at karena memang tidak pernah dibai’at oleh seseorang atau grup mana saja). Pemeriksaan dan interogasi sangat bervariasi, ada di waktu siang, dijemur di panas, di malam hari rata-rata pukul 02.00-03.00 dini hari. Aku dengan teman-teman sungguh memiliki perbendaharaan yang banyak dan cukuplah pengetahuan untuk dimaklumi cara dan tingkah masing-masing pemeriksa.

Antara lain di malam hari pukul seperti itu, dicemplung di bak air di belakang Kantor Korem, dan menurut teman-teman air itu penuh dengan balok es ataupun cukup dingin. Rasanya ketika dibangunkan, aku sedang sholat. Tidak puas dengan panorama seperti itu aku diperintah dengan gaya mereka dengan melepas bajuku melakukan push up entah berapa ratus kali. Dan ketika Antara lain di malam hari pukul seperti itu, dicemplung di bak air di belakang Kantor Korem, dan menurut teman-teman air itu penuh dengan balok es ataupun cukup dingin. Rasanya ketika dibangunkan, aku sedang sholat. Tidak puas dengan panorama seperti itu aku diperintah dengan gaya mereka dengan melepas bajuku melakukan push up entah berapa ratus kali. Dan ketika

Dua bulan di sel itu dengan penuh teror dan ancaman pembunuhan dan ternyata Allah punya skenario, disakitkan aku lalu dibawa ke rumah sakit mereka (RSAD) dan di sana sebulan dengan pengobatan yang ketat dan seperti pula sel dengan gaya Rumah Sakit. Penjenguk dibatasi katanya, sehingga keluarga dekat saja yang dapat lolos. Pemeriksaan akhir, bukan bertanya tentang apa-apa, kecuali stressing dari Patikai tadi agar aku tidak perlu jadi Bupati. Soalnya dan pasalnya ketika itu sedang masanya usul calon Bupati Bima. Nasihat Pak Patikai,“Tidak usah da’wah lah tapi kalau da’wah cukup tentang shalat-shalat saja.” Disuruh pulang, dan kemudian diwajibkan laporan sekitar 4 bulan? yaah cukup lama dan harus hadir per minggu di Korem. Sementara itu saja dulu yang kuingat sampai saat sekarang, sahabatku, semoga sehari dua lagi mungkin bisa kutambahkan. Seperti penderitaan orang-orang tidak beriman tatkala kami semua berada di sel. Insya Allah di sel itulah justeru kami berbahagia yang sukar dibeli.”

Pengakuan korban di atas menunjukkan betapa kejinya para intelejen Orde Baru yang telah mengorbankan banyak pihak baik dari sipil maupun militer sendiri. Negara Orde Reformasi di bawah Gus Dur dan yang akan datang tidak boleh mengulangi lagi kekejian seperti ini, yang jelas bertentangan dengan implementasi HAM dan demokrasi q