REKAYASA MAKAR PIHAK INTELIJEN DALAM TRAGEDI LAMPUNG BERDARAH

Bab 10 REKAYASA MAKAR PIHAK INTELIJEN DALAM TRAGEDI LAMPUNG BERDARAH

PERISTIWA Lampung adalah sebuah musi-bah politik yang terjadi begitu cepat, akibat makar yang memang sengaja dibuat pihak tentara. Peristiwa ini oleh pemerintah disebut sebagai PERISTIWA Lampung adalah sebuah musi-bah politik yang terjadi begitu cepat, akibat makar yang memang sengaja dibuat pihak tentara. Peristiwa ini oleh pemerintah disebut sebagai

Peristiwa yang terjadi di Cihideung Talangsari, pada tanggal 6 Februari 1989 bermula dari hubungan sosial yang kurang harmonis antara komunitas Cihideung dan aparat pemerintahan sipil di tingkat desa. Kemudian berlanjut dengan diperiksanya lima warga dari komuni-tas Cihideung yang selama ini terasuh di bawah jama’ah Warsidi oleh pihak Koramil Way Jepara. Kemudian pihak jama’ah Warsidi yang berjumlah antara 12 hingga 20 orang mendatangi kantor Koramil dan menuntut segera dilepaskannya jama’ah mereka. Ketegangan kemudian terjadi setelah masing- masing pihak memper-tahankan arogansinya, maka dibakarlah kantor Koramil tersebut. Sebelumnya, pihak kecamatan, kelurahan dan dusun telah mencoba berdialog dengan pihak jama’ah Warsidi yang dirasa telah meresahkan psiko-sosial warga Talangsari III. Setidaknya keresahan psiko-sosial ini dirasakan oleh pihak aparat sipil di tingkat bawah. Undangan kepada Warsidi sebagai imam dari jama’ah tersebut disambut dengan sebuah tantangan yang sangat Islami: “Sebaik-baik ulama adalah yang tidak mendatangi umara, dan seburuk-buruk ulama adalah yang mendatangi umara ”. Maka difusi sosial pun menjadi tak terelakkan. Maka pada tanggal 5 Februari 1989, kedatangan Kapten Sutiman disambut dengan penyanderaan. Dan masyarakat melihat militer masih lamban dalam merespon kejadian tersebut. Pada tanggal 6 Januari 1989, Korem 043/Gatam mendatangi tempat tersebut dengan kekuatan 3 peleton tentara plus 2 peleton Brimob.

Setelah mencoba membuka komunikasi dengan megaphon ternyata pihak jama’ah Warsidi meresponnya dengan panah beracun yang lang-sung menewaskan beberapa tentara. Maka situasinya menjadi sebuah situasi perang. Senjata-senjata seperti parang, badik, golok, panah bera-cun, ketapel dan bom molotov menjadi alat dalam —meminjam istilah Eric J. Hobsboum— primitive rebel yang telah diperankan secara sukses oleh jama’ah Warsidi. Bagaimana pun peristiwa ini haruslah dilihat sebagai sebuah perang (yang dalam istilah Islamnya qital ) atau setidak-tidaknya sebuah pertempuran (yang dalam istilah Islam adalah ghazwah). Segala sesuatunya haruslah dilihat dari kacamata hukum perang. Primitive rebel ini dilakukan hanya untuk to stand against terhadap aparat pemerintah. Pihak tentara dan Brimob tidak menduga akan terjadinya peperangan.

Di tengah situasi yang represif di bawah sistem Orde Baru —dan pertumbuhan ekonomi yang cukup menggairahkan— orang lebih banyak berpikir tentang bagaimana hidup makmur, sejahtera dan bahagia. Maka pihak tentara dan Brimob pun seakan tidak siap menghadapi serangan yang cukup dahsyat ini. Pihak jama’ah Warsidi bahkan sudah memper-siapkannya jauh-jauh hari sebelumnya. Mereka sudah membangun lubang-lubang persembunyian di tanah seluas 5 hektar tersebut. Bahkan senjata-senjata pun sudah dibuat sebulan sebelumnya. Yang paling menarik dari persiapan ini adalah keterkejutan Muhdi dan Isnan yang merasa curiga dengan kedatangan tiga orang dari Jakarta (Nur Hidayat, Sudarsono dan Fauzi Isman). Kedatangan tiga orang ini adalah untuk membuat senjata panah beracun dari jari-jari sepeda motor. Muhdi dan Isnan mempertanyakan untuk apa senjata–senjata ini? Apakah kita akan berperang? Siapa musuh yang akan kita serang? Namun semua perta-nyaan ini tak terjawab, dan menimbulkan kecurigaan mendalam atas semua intervensi-intervensi itu. Meskipun tak terungkapkan, rasa curiga ini demikian besar setelah melihat proses radikalisasi yang dilakukan oleh orang-orang dari Jakarta terhadap diri Warsidi yang tadinya tampak begitu kalem, santun dan lembut.

Sementara peristiwa di Sidorejo terjadi pada tanggal 7 Februari 1989 pada saat Arifin Santoso, lurah Sidorejo dan Serma Sudargo memperluas extensi konflik di Cihideung dengan jama’ah pengajian masjid Al Barokah. Maka dikejarlah tiga orang jama’ah tersebut dan salah seorangnya mati ditembak. Maka kemudian Zamzuri sebagai imam di mushola tersebut bangkit dan menyerang kepala desa yang tengah berada di atas sepeda motornya, di tengah jalan dan langsung mengayunkan parang ke batang leher kepala desa itu. Pihak jama’ah yang lain kemudian mengejar Serma Sudargo dan membunuhnya serta mengambil senjata pistol. Peristiwa ini berlanjut dengan pembajakan angkutan desa Wasis L300 dan menewaskan seorang Pratu Budi Waluyo. Kemudian berlanjut hingga penyerangan terhadap kantor Korem 043/Garuda Hitam dan melem-parkan bom molotov.

Kedua peristiwa ini begitu sederhana. Namun untuk meneliti dan merekonstruksi peristiwa tersebut dan berusaha menganalisis pihak-pihak yang harus bertanggung jawab sangat sulit. Hal ini dikarenakan oleh keterangan yang kabur dari para pelaku saksi dan korban. Sehingga penulis dan tim peneliti merasa kesulitan dalam menuliskan peristiwa ini. Namun satu temuan yang sudah sangat meyakinkan adalah terlibat-nya para intelijen dan aktivis Islam dalam merekayasa sebuah kompres politik . Kompres politik ini dilakukan seperti sebuah konspirasi antara pelaku, pihak intelijen dan aparat pemerintahan sipil. Masing-masing pihak ada yang sadar dan tidak sadar dengan rekayasa pemanfaatan kompres politik ini. Yang menarik dari kasus Lampung ini adalah terlibat-nya warga sipil dalam peristiwa pembakaran di tengah-tengah berkeca-muknya perang.

Dari semua kasus-kasus yang melatarbelakangi terjadinya peristiwa Lampung, kita melihat peran intelijen yang begitu besar dalam membuat eksperimentasi-eksperimentasi politik yang membahayakan jiwa rakyat dan merepotkan aparat polisi dan militer. Dibandingkan dengan peristiwa pembantaian umat Islam Tanjung Priok, Komando Jihad, Aceh, Kedung Ombo, Sampang dan Woyla, peristiwa Lampung bukanlah sebentuk pembantaian umat Islam. Peristiwa Lampung adalah sebuah setting sejarah perang yang sudah terbiasa dihadapi umat Islam semenjak berdirinya Negara Islam Indonesia tahun 1949. Dan umat Islam secara kesatria tidak pernah mempermasalahkan peristiwa-peristiwa pepera-ngan tersebut karena kedewasaan berfikir dan beraksi serta siap menerima segala resiko apapun, Yuqtal au yaghlib (membunuh atau terbunuh).

Namun semua peristiwa itu, ternyata tidak begitu saja terjadi, melainkan direkayasa oleh intelijen-intelijen Melayu yang berhati busuk. Semua yang dilakukan oleh jaringan intelijen Indonesia pada akhirnya menghasilkan suatu out-put berupa musibah-musibah politik serta kecelakan-kecelakaan politik yang sulit dihindari, bahkan oleh organ kekuasaan sekalipun. Lebih jauh lagi, organ kekuasaan seperti militer (TNI atau ABRI di masa lalu) tak terhindarkan —nyaris menyerupai historical inevitability— menjadi korban dari musibah-musibah politik yang telah di- invented oleh jaringan intelijen nasional. Dari kasus Lampung, kita dapat melihat wajah negara Orde Baru Soeharto sebagai negara intelijen. Dalam negara intelijen, aktor-aktor intelijen adalah penguasa sebenarnya. Selain Soeharto, Pangdam Jaya Try Sutrisno dan Pangab LB. Moerdany serta Kepala BAIS, adalah pihak-pihak yang harus bertanggung-jawab atas peristiwa tersebut. Sementara para aparat di tingkat bawah, setidaknya menurut penelitian ini, adalah korban dari rekayasa intelijen dan kompres politik.

Korban peristiwa Talangsari berkisar tak dapat dipastikan, ada yang menyebut antara 27 hingga 31 korban tewas. Sementara dari pihak pemerintah menyebutkan jumlah korban 9 orang. Namun dari pihak para mantan pelaku peristiwa tersebut menyatakan jumlahnya 280 jiwa. Sementara dari pihak LSM, panitia SMALAM berjumlah 246 jiwa. Menurut majalah Tempo, Editor, Suara Pembaruan, Pelita dan Kompas jumlah korban 31 jiwa. Sementara itu korban dari pihak militer tersebut angka 3 orang, sedangkan menurut Nur Hidayat, pelaku kasus Lampung yang tidak berada di lokasi kejadian, pihak militer tewas sebanyak 50 orang. Berapapun jumlahnya, peristiwa Talangsari telah memberikan sebuah corengan pada wajah umat Islam dan pemerintah. Dan apapun yang terjadi setelah peristiwa tersebut, para korban telah memperlihatkan tekadnya untuk membela kebenaran yang ia yakini. Semoga pengorba-nan mereka terhitung sebagai syahid dengan mendapatkan surga Allah, dan para mantan pelaku yang masih hidup agar tetap istiqamah, dengan tidak menukar kesyahidan mereka dengan harga yang sedikit yang bersifat duniawi, seperti menjadikan kasus ini sebagai komoditas politik.

Banyak pelajaran penting dari peristiwa Lampung berdarah ini. Sebuah perang yang dilewati dengan penuh kesatria di antara kedua belah pihak. “Peperangan” berikutnya yang kini sedang dijalani oleh para korban kedua belah pihak itulah yang pantas kita sesalkan. Upaya mengungkit kembali kasus Lampung dengan cara-cara teror mental dan pembunuhan karakter pribadi adalah sangat tidak berkesan. Kita berha-rap semua pihak berlapang dada dan saling tolong-menolong dalam “perang psikis” yang tidak perlu sekarang ini. Dalam konsep Islam untuk kasus kriminal pembunuhan saja ada mekanisme maaf-memaafkan selain pelaksanaan hukum qishas. Pihak tentara dan jama’ah Warsidi sama-sama telah menjadi korban, dan jangan menjadikan korban yang sudah syahid itu sebagai komoditas ekonomi dan politik.

Ada hal lain yang mesti dicermati, mengapa musibah Lampung Berdarah mengundang korban demikian banyak dari kalangan ummat Islam. Bahwa terjadinya peristiwa Talangsari adalah sebuah perluasan gerakan protes di Jawa. Tesis ini setidaknya didukung oleh beberapa kenyataan tentang kemiripan imitatif Lampung dan Jawa. Maka dari sini pula, sebuah kesimpulan penting harus ditarik, bahwa Lampung secara kultural adalah Jawa. Di mana-mana orang berbicara

bahasa Jawa. 1 Bukan hanya orang Jawa yang eks-transmigran atau transmigran yang menghuni pelosok-pelosok hutan belukar, tapi juga mereka yang berasal dari Jawa Barat, Bali, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, bahkan juga mereka yang dilahirkan di Lampung.

Oleh karena itu dengan mengandalkan bahasa Jawa, aman sudah ke luar masuk pelosok Lampung. Tapi, kata “aman sudah” di pertengahan Februari 1989 yang lalu, ternyata butuh catatan kaki. Menyapa atau bertanya, bahkan dengan bahasa Jawa kromo sekalipun mengundang

prasangka. Kasus Way Jepara, 2 dengan puncaknya tanggal 7 Februari 1989, rupanya masih membekas dalam. Kepada semua “orang asing” mereka taruh sak wasangka, apalagi terhadap orang Jawa yang baru saja datang. Sebab, seakan sudah menjadi pendapat umum di sana, pada pertengahan bulan Februari itu, “Yang berontak di Talangsari adalah orang Jawa bukan Lampung, bukan Bugis bukan Bali”. Secara sosial, peristiwa ini juga merupakan sebuah indikasi bahwa resistensi orang-orang Jawa sangat luar biasa, jauh dari apa yang selama ini dikonsepsikan bahwa Jawa lebih lunak dalam hal pemberontakan. Karena peristiwa ini, secara horizontal, situasi

Lampung yang mayoritas didominasi orang-orang Jawa, menjadi sangat sepi. 3 Terungkap di sana, ceritera tentang Lampung sebagai wilayah ber-masa depan yang sudah sarat beban, tentang perambah hutan yang terombang-ambing antara jadi pergi (pindah) atau tidak, tentang pemilikan tanah oleh “orang-orang Jakarta”, tentang petani singkong yang menangis berkepanjangan, tentang penderitaan bekas transmigran yang kehilangan tanah. Tetapi, selain kisah sedih, kesan menonjol menjelajah pelosok Lampung adalah jalan-jalan aspal mulus Lampung yang mayoritas didominasi orang-orang Jawa, menjadi sangat sepi. 3 Terungkap di sana, ceritera tentang Lampung sebagai wilayah ber-masa depan yang sudah sarat beban, tentang perambah hutan yang terombang-ambing antara jadi pergi (pindah) atau tidak, tentang pemilikan tanah oleh “orang-orang Jakarta”, tentang petani singkong yang menangis berkepanjangan, tentang penderitaan bekas transmigran yang kehilangan tanah. Tetapi, selain kisah sedih, kesan menonjol menjelajah pelosok Lampung adalah jalan-jalan aspal mulus

Maka, bukan hanya diperbaiki sarana jalan di lokasi-lokasi eks-trans-migrasi, tetapi juga terlalu terlambat direncanakan membuat jalan tembus di bagian barat dan timur Lampung. Dua jalan tembus itu mungkin bisa sekaligus mengurangi beban jalur Lintas Sumatera yang sekarang ini menjadi jalan darat satu-satunya menuju Aceh, Sumut, Jambi, Sumsel, Sumbar, Bengkulu. Begitu beratnya beban, sampai-sampai berbagai ruas jalan memperlihatkan tak layak lagi sebagai jalan lintas Sumatera. Rupanya kemudahan prasarana juga mengundang spekulan tanah ikut masuk Lampung bahkan jauh sebelum jalah-jalan itu dibuat. Artinya yang merambah hutan bukan hanya mereka yang mencari lahan untuk berkebun, tapi juga mereka yang ingin memiliki lahan

untuk investasi. 5 Penduduk pun melihat inkonsistensi kebijakan pemerintah. Suatu saat tanah itu boleh ditempati, di saat lain harus dikosongkan. Hakikatnya tanah lokasi tak boleh diperjualbelikan, kenyataannya orang non transmigran bisa membeli.

Kasus pembakaran hutan kawasan Gunung Balak barangkali contoh menarik. Kawasan yang memanjang mulai dari Lampung Utara sampai Lampung Tengah ini, termasuk yang berdekatan dengan Talangsari (Way Jepara, Lampung Tengah) sejak tahun 1935 sudah dinyatakan sebagai hutan lindung. Luasnya 19.680 hektar. Ironisnya pernah sejumlah oknum Dinas Kehutanan justru “mengundang” penduduk untuk menggarap daerah yang subur itu sebagai lahan pertanian produktif dan permukim- an. Mereka jelas perambah liar. Oleh Pemda Lampung -yang mengadakan penertiban penduduk- dalam tahun 1976 mereka diberi status perwakilan kecamatan di Gunung Balak yang mencakup 13 desa definitif. Penduduk merasa kehadiran mereka

disetujui. 6 Keengganan mereka pindah juga disebabkan inkonsistensi aparat pemerintah. Mereka melihat, yang pernah dipindahkan pada tahun 1980 kembali lagi tetapi tidak diapa-apakan. Lantas ada kesan, pengosongan kawasan dibatalkan. Sebaliknya pemerintah tak tinggal diam. Pengosong- an terus dilakukan, bukan hanya ditranslokkan ke Lampung Utara tapi juga ditransmigrasikan lewat program PIR-bun ke Riau. Sekarang masih terdapat sekitar 34 KK atau 170.000 jiwa menghuni kawasan hutan lindung, dan semua harus dikeluarkan dari sana paling lambat akhir Pelita V nanti.

Dari kasus hutan Gunung Balak kelihatan betapa semakin kompleksnya soal Lampung. Entah soal petani entah soal penguasaan tanah berlebihan oleh oknum-oknum tertentu. Peristiwa Warsidi Lampung adalah sekaligus peristiwa penting tentang politik agraria. 7 “Kegiatan protes mereka sudah berjalan lama Kami sudah melaporkan ke pihak berwajib dua minggu sebelum kejadian,” kata Amir Puspamega yang kelihatannya tidak sabar lagi dengan kelambatan pihak

aparat keamanan (tentara) dalam bertindak. 8 Mereka tak mau bayar PBB, tak mau gotong royong, dan melarang penduduk ke luar malam. Bahkan di sebelah utara didirikan pondok-pondok baru untuk pengajian. Maunya memberi penyuluhan, tanggal 6 Februari 1989, malah aparat pemerintah dilawan dengan panah dan pedang, dengan kelanjutan operasi militer tanggal 7

Februari 1989. 9

Analisis para ahli sedikit banyaknya telah bisa memastikan latar belakang atau “bongkah es” yang ada di bawah permukaan. Soal tanah dan korelasinya dengan munculnya gerakan protes semacam itu pun belum pasti satu-satunya sebab. Tetapi setidaknya pandangan-pandangan itu memberi gambaran kemungkinan analogis yang bisa ditarik. Ditambah kenyataan pengalaman penduduk adanya inkonsistensi aparat pemerin-tah, sehingga barangkali faktor tanah dan rasa ketidakpuasan memang dominan.

Tetapi apabila dikaitkan dengan ceritera penduduk di sana tentang kegiatan kelompok Anwar Warsidi dan pengikutnya di Talangsari, maka faktor kecurigaan penyalahgunaan ajaran agama (Islam) memang ikut ambil bagian selain adanya “bongkah es” yang lebih besar, yakni rekayasa

intelijen dari pemerintah. 10 Bahkan dengan latihan-latihan bela diri seakan-akan sebagai bagian dari kegiatan pengajian, orang mengira adanya sebuah rencana besar. Lantas kalau benar keluar masuknya pen-datang di Talanggsari tak bisa dikontrol oleh aparat paling bawah (kelurahan). 11 Yang menarik untuk dikaji adalah soal lemahnya pengawa-san di sana sehingga masuk akal kemudian, kesempatan untuk berakti-vitas politik semakin terbuka.