Tardi Nurdiansyah

3. Tardi Nurdiansyah

Tardi Nurdiansyah lahir di Karanganyar, 9 November 1977, Solo, Jawa Tengah. Pendidikan terakhirnya di Pondok Pesantren Ngruki Solo Jawa Tengah. Menurut penilaiannya, “Ada yang mengatakan bahwa gerakan Lampung ini adalah gerakan orang yang tidak mengenal Islam. Baginya sebagai muslim, tuduhan Jaksa itu sangat hina sekali, tapi kami di Lampung padahal

sangat tulus dan ikhlas melakukan bakti karena Allah SWT sesuai dengan pola pikir ketika itu”. 71 Dia berkenalan dengan tokoh-tokoh yang terkait Gerakan Lampung semasa di Jakarta Utara dan di Lampung. Bahkan dia sudah saling mengenal dengan baik dan akrab pada Pak Warsidi. Kemudian memu-tuskan untuk menetap di Lampung. Tardi berdiam di rumah kakaknya di Cihideung, Talangsari. Dengan berbekal ilmu dari pesantren dia mengajar mengaji di daerah tersebut. Dia merasakan senang tinggal di sana, karena suasana Islami seperti di Pesantren Ngruki Solo.

Gerakan keagamaan yang dilakukan Warsidi itu menurutnya adalah gerakan untuk membangun masyarakat dengan suasana Islam, tidak ada tujuan untuk memberontak terhadap pemerintah. Yang jelas menu-rutnya, bahwa gerakan pengajian itu untuk menuju mardhatillah 72 , walau-pun tidak ditunjang penuh oleh kemampuan agama Warsidi yang tidak sehebat ulama di Solo. Tapi tujuannya sudah baik, Warsidi ingin menegak-kan syariat Islam. Namun karena sifat pengajiannya yang agak eksklusif mengakibatkan aparat menduga bahwa gerakan itu adalah gerakan perlawanan terhadap pemerintah.

Menurut Tardi, dalam kasus Talangsari ini sebenarnya tidak diren-canakan sebagaimana pernyataan pemerintah. Kasus ini sifatnya insiden atau musibah saja, karena ada miskomunikasi maka terjadilah tragedi Talangsari tersebut. Padahal masyarakat setempat tidak ada niat sedikitpun hendak melawan pemerintah. Pada saat kejadian, sebenarnya Tardi kebe-tulan tidak ada di tempat. Dia sedang berada di Rajabasa dan dalam perjalanan pulang ke Cihideung menemui kakaknya. Namun kenapa ketika sampai di daerah Talangsari dia ditangkap oleh aparat keamanan. Maka pada waktu penangkapan terjadilah insiden kekerasan itu. Tardi mengalami perlakuan yang tidak sesuai dengan hukum. Padahal dirinya tidak tahu menahu tentang perlawanan rakyat itu, dan dirinya langsung dibawa ke Kodim.

Sesampai di Kodim, Tardi diinterogasi oleh tentara Kodim. Selanjutnya setelah beberapa lama dalam sel dibawa ke Korem Gatam. Selama di Korem, Tardi ditanyai banyak oleh tentara tentang kakaknya. Ada terbetik kabar bahwa kakaknya telah meninggal tertembak di lokasi kejadian Cihideung pada waktu operasi penggerebekan. Berdasarkan kedekatan-nya dengan pengajian Warsidi itulah maka oleh aparat Tardi diperkirakan sebagai aktivis Islam gerakan Lampung. Uniknya dalam penangkapan itu tidak diberitahu dasar hukum apa sehingga ditahan selama itu. Dalam proses pemeriksaan di Rajabasa itu kurang lebih selama 1 (satu) bulan di Korem.

Selanjutnya perkara tentang dirinya di limpahkan ke pengadilan. Pada saat sidang di Tanjung Karang yang tanpa pembela itu dia meng-hadapi tuntutan hukuman mati dan penjara hukuman seumur hidup. Tardi dituduh merongrong pemerintah yang sah dan menghina aparatur negara dan dipojokkan secara politik., bersama dengan 17 orang lainnya dari Lampung dan Jakarta ditahan di Nusakambangan.

Waktu mengalami pemeriksaan verbal di Lampung, Tardi sempat bertemu dengan aparat keamanan. Dalam perjumpaan itu ada proses dialog yang menanyakan perihal kejadian Talangsari. Karena jawaban-nya tidak tahu, akhirnya dkembalikan ke sel kembali. Namun selama proses tersebut tidak ada tindak kekerasan. Dalam perkembangan lebih lanjut, tatkala bertemu dengan oknum aparat yang lain, Tardi mengalami berbagai penghinaan/penyiksaan yang luar biasa, sampai badan tidak merasakan lagi bagaimana sakitnya dan darah berceceran akibat penyik-saan.

Tardi merasakan bahwa ada kalanya proses tindakan penyidikan itu betul-betul terlalu mengabaikan hak asasi manusia (HAM). Padahal kalau dilihat dalam status hukumnya haruslah mengacu kepada proses hukum praduga tak bersalah. Pada waktu penangkapan, tidak ada surat penangkapan. Malah yang ada penggebukkan dan tindakan kekerasan. Jadi yang Tardi alami hanya itu, di luar dari aturan hukum yang berlaku. Yang jelas negara ini adalah negara hukum, apakah hukum itu berlaku? “Yang pada kenyataanya hukum telah tercampakkan oleh aparat yang

tidak manusiawi.” 73 Terhadap perlakuan aparat keamanan yang semena-mena itu, Tardi tidak memiliki rasa dendam. Menurutnya, “kita tahu, aparat militer itu apa kata pimpinan dan saya lihat Pak Hendro dan kami memiliki kemau-an untuk ishlah. Pak Hendro ada kemauan untuk ishlah.” Ditambahkan-nya, karena kedua belah pihak telah mendapatkan korban, ia secara pribadi tidak ada perasaan dendam, tapi tidak menutup kemungkinan kalau dari yang lain untuk menuntut itu tidak manusiawi.” 73 Terhadap perlakuan aparat keamanan yang semena-mena itu, Tardi tidak memiliki rasa dendam. Menurutnya, “kita tahu, aparat militer itu apa kata pimpinan dan saya lihat Pak Hendro dan kami memiliki kemau-an untuk ishlah. Pak Hendro ada kemauan untuk ishlah.” Ditambahkan-nya, karena kedua belah pihak telah mendapatkan korban, ia secara pribadi tidak ada perasaan dendam, tapi tidak menutup kemungkinan kalau dari yang lain untuk menuntut itu

dijerat dalam kasus subversif.” 74