Ibu Munjiatun

8. Ibu Munjiatun

Ibu Munjiatun yang bersuamikan Bapak Ahmad Zaini adalah keluar-ga korban dari Talangsari. Yang pertama, Siti Khairiyah berusia 18 tahun dan Siti Mutmainah berusia 17 tahun pada waktu kejadian itu. 82 Mereka pindah ke Talangsari karena ikut bersama suaminya masing- masing. Kedua-duanya tidak tahu apa-apa, hanya karena ikut menyertai suami-nya masing- masing. Pernah ditanya Bapaknya, untuk menghindari ikut suami. “Apakah sudah ikhlas?”, tanya Bapak Ahmad Zaini melepas anaknya untuk selamanya. “Ya sudah ikhlas,” jawab mereka.

Nama suami Siti Khairiyah adalah Sofyan dan suami Siti Maimunah adalah Fahruddin. Siti Khairiyah dan suaminya dulu tinggal di Cempaka Putih, sedangkan Maimunah masih sekolah, tinggal tunggu ujian selesai sekolah Tsanawiyah, dia sudah ambil keputusan nggak ngurusi sekolah juga tidak apa-apa. Bapaknya cuma bilang, “Terserah kamu.” Sebuah kepasrahan keluarga muslim Jawa puritan melihat dinamika anaknya berpindah ke suatu tempat yang naif.

Ibu Munjiatun dan Bapak Ahmad Zaini mendengar tentang kejadian Lampung, dari orang yang pulang dari Lampung. Orang yang memberi-tahukan kepadanya tentang kejadian itu adalah Sopan (Sofyan) 83 yang mampir datang ke Jakarta. Sesampainya di Jakarta memberitahukan tentang kabar bahwa di Lampung telah terjadi pembunuhan Kapten Sutiman. Dan meminta orang- orang Jakarta untuk pergi ke Lampung. Dan memang benar, situasi tengah terjadi penyusuran dan pembakaran serta penembakan. Melihat gelagat ini, Bapak Ahmad Zaini tidak men-capai tempat kejadian, ia balik kembali ke Jakarta. Sementara itu Sofyan sendiri telah balik pergi kembali ke Lampung dan kemudian balik kembali ke Jakarta hingga Sofyan tertangkap pihak keamanan di tengah perjala-nan. Bapak Ahmad Zaini langsung pulang ke Jawa (Solo). Tetapi di Solo ia gelisah, lalu ke Jakarta lagi, ke Solo lagi, jadi buron-buronan dan tidak menentu karena perasaan yang tidak enak, pikiran tidak tenang, makan tidak doyan.

Yang menarik dari perjalanan Ibu Munjiatun ini adalah bahwa sela-ma kejadian Tragedi Talangsari tersebut, petugas keamanan tidak ada yang datang, tapi kalau mata-mata ada. Ia dan suaminya merasa selalu diawasi mata-mata intel. Negara Orde Baru benar-benar sebuah “Negara Intelejen”. Jika Wet Wet Wet menyebut “Love is all around”, maka di Indonesia “Intel melayu is all around”. Mereka tidak menggangu tetapi Cuma mengawasi saja. Demikian tenangnya rakyat cilik menghadapi mata-mata negara intelejen ini.

Setelah merasa diawasi itu, suaminya pergi, tidak ada di rumah. Sebuah perlawanan halus yang bisa diberikan oleh seorang mukmin Jawa sejati. Sementara sang istri tetap di rumah bersama anak-anak yang masih kecil-kecil, sedangkan anak-anak yang besar-besar sudah pergi, walau mereka akhirnya tewas. Para tetangga itu tadinya tidak tahu, tapi lama-lama pada tahu tentang keluarga ibu yang meninggal karena karena peristiwa Lampung. Namun, sikap mereka di luarnya terlihat baik-baik saja atau pura-pura tidak tahu padahal tahu, tidak tahu di dalam batin, ya benci.

Kalau ngobrol-ngobrol dengan warga tetangga biasa biasa saja. Mereka tidak pernah menyinggung-nyinggung tentang peristiwa tersebut. “Mereka pada takut sendiri-sendiri dan diam-diam saja. Sama saya juga diam,” papar Ibu Munjiatun. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat memahami dunia intelejen yang menakutkan ini sehingga untuk berbicara pun dia sudah sangat takut. Fir’aun terbesar yang berada di balik semua penyebab ketakutan rakyat adalah Soeharto.

Selama dalam buron Bapak Ahmad Zaini mondar-mandir Jakarta Solo. Begitu saja mereka menjalani kehidupannya. Dan Bapak Zaini tidak pernah ke tempat lain. Tidak ke mana-mana. Hanya Jakarta-Solo saja. Mundar-mandir. Sebuah dunia yang dipersempit. Tida ada upaya untuk bertanya ke pada pihak-pihak lain tentang kematian anaknya. Ia mene-rima kenyataan bahwa anaknya telah meninggal. “Kalau meninggal karena Allah, saya merasa ikhlas saja. Tetapi kalau dibunuh dan ditembak itu saya tidak ikhlas,” katanya dengan nada perlawanan. Ia jelas ingin menuntut keadilan, “Saya menuntut keadilan pemerintah.”

Pihak pemerintah menyebutkan bahwa ada 30 korban yang mening-gal di sana, tetapi pihak pemerintah tidak menunjukkan di mana kuburan anaknya. Tentu saja ia dan suaminya ingin tahu di mana kuburan kedua orang anaknya yang sangat ia cintai itu. Dan usahanya dua tahun terakhir ini, telah melapor tentang itu. Kalau kasus ini dibuka lagi, ia siap untuk memberikan kesaksian tentang anaknya yang meninggal di sana. Sebelum meninggal kedua anaknya itu, ia menyimpan foto mereka. Tetapi sejak mereka meninggal, ia menjadi tidak tahan untuk menyimpannya. “Kok foto-fotonya ada tetapi orangnya tidak ada. Saya jadi tertekan…..”

Ia tidak ikhlas mendengar kematian anak-anaknya itu, karena mereka telah pamit dari rumah masih sehat, masih segar bugar. Ketika sampai tempat yang dituju katanya cari ilmu, tetapi lain kejadiannya, kok ada sebuah persiapan perang di sana. “Saya tidak ikhlas. Tidak terima. Kalau ingat itu, saya merasa tidur tidak nyenyak, makan tidak enak.” Anaknya tidak mencuri apa-apa. Orangnya baik-baik semua. Mereka Cuma mau cari ilmu. Cari kebenaran. Nggak nyolong atau ngambil-ngambil apa. Mereka mencari ilmu yang benar untuk dunia akhirat. Sebuah keihklasan manusia Jawa untuk menerima kenyataan luhur dari pencarian ilmu agama.

Maimunah, pendidikan terakhirnya adalah Tsanawiyah Negeri Kaca-ngan Solo, Kabupaten Boyolali, tidak sampai tamat. Tentang peristiwa lampung ini tetangga-tetangganya di Boyolali, orang sekampung sudah pada tahu semua. Itu anaknya Pak Zaini dianu, ditembak atau dibakar itu semua orang sudah pada tahu. Cuma mereka diam-diam saja. Ia sendiri tidak mengerti aliran sesat itu apa. Baginya, tidak ada aliran sesat. Padahal mereka itu berpedoman kepada Al Qur’an. Itu yang mereka cari. Karena keadian itu sudah berlangsung lama, tentu ibu ini punya harapan. Harapan ibu ini hanyalah sebuah kepasrahan biasa, kalau mereka itu sudah mati, ia mengharapkan ditunjukkan kubur-nya. Ia ingin tahu dan berziarah ke tempat anak-anaknya itu. Dari delapan orang anaknya, yang meninggal tiga orang. Dua orang meninggal di Lampung. Yang satu meninggal sewaktu masih kecil, sedang yang enam masih hidup sampai sekarang.

Sekarang kegiatannya adalah berdagang sayur, untuk menutupi nafkah sehari-hari walau masih terasa kurang mencukupi. Sebuah pengharapan ekonomi dari semakin terjepitnya seorang rakyat kecil yang naif di tengah-tengah negara inetelejen yang kejam q