03 Persiapan-persiapan di Lampung

Bab 10-03 Persiapan-persiapan di Lampung

Cihideung—satu lokasi yang dulunya dibuka orang-orang Sunda— merupakan Pedukuhan 49 Talangsari III desa Rajabasa Lama Kecamatan Way Jepara Kabupaten Lampung Tengah yang berjarak 90 Km dari Bandar Lampung. Pedukuhan seluas 1,5 Ha itu dikelilingi oleh kali beringin mirip sebuah semenanjung pulau. Sebelah utara berbatasan dengan Pakuan Aji, sebelah selatan berbatasan dengan Kelahang dan sebelah barat berbatasan dengan pusat Desa Rajabasa Lama.

Di daerah Talangsari itu, sedang disusun sebuah komunitas muslim jama’ah Warsidi terdiri dari para pendatang dari pulau Jawa dan hanya beberapa orang yang berasal dari penduduk setempat. Pada awalnya, Jama’ah Warsidi sangat santun dan baik dan tidak ada sedikitpun dari praktek keagamaannya yang ekstrim atau menyimpang. Meski jama’ah ini baru saja memulai sebuah “pesantren” ala kadarnya, namun kegiatan penggarapan tanahnya berjalan intensif. Beberapa anggota jama’ah bekerja di perkebunan Warsidi dengan upah yang layak.

Sebagaimana lazimnya di tempat merantau, di samping menggarap tanah untuk mata pencaharian, penduduk yang kebanyakan perantau itu pagi hingga siang harinya mengadakan rutinitas bercocok tanam. Dalam menjalankan aktifitas bercocok tanam di lokasi pertanian itu,

Warsidi mengadakan koordinasi dengan seorang guru ngaji bernama Abdullah dari Sidorejo. 50 Radikalisme Warsidi mulai terbentuk dan secara tiba-tiba, dalam waktu yang relatif singkat, ia berubah menjadi tokoh radikal setelah bertemu dengan beberapa jama’ah yang datang dari Jakarta

dengan semangat Islam yang membara. 51 Mereka berusaha mengamalkan ilmunya dengan membuat perkampungan muslim (Islamic village) yang ada di pedukuhan Cihideung. Namun, anehnya apa yang diharapkan untuk menjadi “Perkampungan Muslim” ternyata, pengajian yang masih baru itu sudah langsung diarahkan belajar latihan memanah dan silat. Sebuah persiapan untuk perang, a prelude to “revolution” sedang terjadi di sana.

Keberadaan Warsidi sendiri di Cihideung bermula pada tahun 1987. Warsidi memperoleh hibah tanah seluas 1,5 Ha dari seorang penduduk bernama Jayus yang kemudian di atas tanah tersebut didirikan Mushalla berukuran 6 x 9 meter yang dinamakannya Mujahidin. Disekitar Mushalla didirikan beberapa rumah gubuk dan rencananya di lokasi itu pengajian-pengajian mulai dirintis. Warsidi yang dibantu oleh Imam Bakri dalam memberi materi pengajiannya baru sebatas penjelasan berupa doktrin untuk jama’ahnya saja.

Memasuki akhir tahun 1988, perkembangan pondok tersebut secara fisik dilakukan—di antaranya pembenahan pondok semi permanen (papan) dengan luas masing-masing 8x16 meter dengan jumlah 4 buah. Jama’ah Warsidi secara tiba-tiba pada bulan Januari 1989 bertambah dengan banyaknya pendatang yang dikirim dari Jawa. Jumlahnya mendekati 400 orang. Sehingga sampai awal tahun 1989 itu, jumlah jama’ah diperkirakan mencapai 550 orang yang terdiri dari laki-laki dewasa dengan keluarganya.

Pada hari Jum’at, 20 Januari 1989, ketika sepucuk surat dari Camat Way Jepara yang isinya mengundang Warsidi untuk datang ke kecama-tan. Anwar Warsidi, sebagai pemimpin jama’ah mengirimkan surat balasan kepada Camat Way Jepara yang isinya keberatan untuk meme-nuhi undangan camat. Alasan penolakan tersebut dikarenakan pihak Anwar Warsidi berpegangan pada hadist yang berbunyi: “Sebaik-baiknya Umaro adalah yang dekat dengan ulama dan sejelek- jeleknya ulama adalah yang dekat dengan umaro”.

Ketegangan terus menerus berlangsung sampai menjelang akhir Januari 1989, suasana ketegangan yang ada belum menunjukkan tanda-tanda reda. Sinyalemen kelompok pengajian Warsidi menyimpang dari ajaran agama terjadi di kalangan masyarakat dan diperkuat oleh tokoh- tokoh Agama yang ada saat itu. Di antara sinyalemen-sinyalemen terda-pat dugaan antara lain bahwa di desa Talangsari ada beberapa orang yang melakukan kegiatan mencurigakan dengan berkedok agama. Mereka (kelompok Anwar Warsidi) sering memberikan khotbah yang bernada ekstrim, menghasut masyarakat untuk menentang Pemerintah dan anti-Pancasila, mengumpulkan botol-botol kosong untuk dibuat bom molotov dan membuat panah-panah beracun, dan

melakukan latihan kegiatan beladiri. 52

Beberapa kali panggilan dari pemerintah setempat tidak dituruti Warsidi, padahal jama’ah dan akhirnya Nurhidayat sendiri minta Warsidi agar segera saja membuka komunikasi dengan lingkungan dan lapor kepada aparat setempat. Pada akhirnya tragedi yang sama-sama tidak

diinginkan pun terjadi. 53

Pada bulan Desember 1988, 54 terjadi peristiwa awal yakni kunjungan pertama seorang Camat beserta dua orang pamongpraja, Kepala Dusun, Kepala Desa Rajabasa Lama, Kepala Desa Labuhan Ratu. Disambut oleh Warsidi dengan ramah tamah dan disertai dengan diskusi serta perde-batan soal Islam. Sepulangnya rombongan itu disertai dengan sorakan dan sentilan warga yang memanas-manasi, dengan rasa tidak senang. Malamnya ada kegiatan ramai. Mereka mengumpulkan botol-botol, bambu hitam, golok, senjata tajam, dan mempersiapkan berbagai jenis senjata. Semakin lama semakin banyak jumlahnya.

Kemudian pada Kamis, 2 Februari 1989, Sukidi dan Dahlan yang meronda mendatangi mushala kecil di ujung Dusun Talangsari III perba-tasan tempat Jamaah Warsidi. Di tempat itu telah berkumpul beberapa orang yang oleh warga Dusun Talangsari III belum dikenal. Satu persatu orang itu ditanyai. Mereka berasal dari dusun Meranding, dusun Proyek Pancasila, Lampung Utara, dan Jakarta. Tetapi mereka berada di wilayah dusun Talangsari III, tak ada laporan, tak ada KTP. Saat itu Warsidi tidak muncul karena sedang sibuk. Setelah itu Sukidi dan Dahlan hendak pergi dari tempat itu, tetapi orang-orang itu agak berkeberatan. Ketika hendak mengambil motornya, Sukidi melihat motor de Lux 76 itu sudah tidak berada di tempatnya. Ternyata motor itu sudah pindah ke pinggir kali. Kemudian motor itu dikembalikan. Dahlan agak tersinggung dikentuti keras-keras, ketika Sukidi dan Dahlan hendak pergi dari tempat itu dengan motornya. Di tengah jalan itu mereka sempat dihadang oleh enam orang tetapi diterobos saja.

Sempat mendengar komentar, “Jangan dua orang, tanggung!” Setelah itu menjauhi tempat 55 itu, Dahlan mengambil arah ke selatan dan Sukidi ke arah Timur. Dalam perkembangan berikutnya, Jum’at, 3 Februari 1989 pagi harinya, Sukidi lapor ke Kepala Desa Rajabasa Lama Amir Puspamega tentang peristiwa yang dialaminya pada malam itu. Dan kemudian lapo-ran ini disampaikan ke kecamatan Way Jepara. Hingga Sukidi diminta datang memenuhi panggilan Camat Drs. Zulkifli. Oleh Camat, Sukidi diminta kembali mengecek jamaah Warsidi kembali. Malamnya Sukidi mengecek sendiri, tetapi ia ketahuan, ia menghindari hingga tercebur ke kali. Dan besoknya melaporkan kembali ke Camat. Sejak saat itu, Sukidi tak berani

terang-terangan menampakkan dirinya. Ia selalu sembunyi-sembunyi untuk mencapai rumah. 56 Berikutnya, Sukidi dipanggil oleh Danramil Kapt Inf. Sutiman. Sebelumnya Sukidi tidak pernah bertemu dengan Danramil. Di depan Danramil, Sukidi menceritakan apa adanya tentang keberadaan jamaah Warsidi itu. Bahwa sudah lima kali cek positif tentang jamaah Warsidi.

Selanjutnya, Danramil mengawal Pak Sukidi dan berserta dua orang ikut meronda dan seorang Babinsa, dan seorang Batu Ut (wakil Danramil). Sebelumnya Sukidi diperingatkan oleh warga supaya tidak datang, mengingat situasi yang genting, karena rumah Pak Sukidi didata-ngi

oleh lima belas orang 57 berpakaian hitam-hitam mencari Sukidi.

Tanggal 5 Feb.1989. Patroli memantau kegiatan Warsidi, ramai-ramai jalan kaki. Sesampainya di Cakruk (pos ronda) sudah ditunggui oleh banyak orang jamaah Warsidi yang memegang senjata. Sebelumnya cakruk itu milik warga Sukidi, tetapi kini sudah ditinggalkan sejak kedata-ngan orang-orangnya Warsidi. Di pos ronda itu pada jam 11:30 wib. Gelap gulita. Senter Babinsa sempat beradu tatapan dalam jarak teramat dekat. Orang-orang itu dilucuti senjatanya. Empat orang ditangkap, sedang satunya melarikan diri. Dikumpulkan senjat-senjata yang terdiri dari botol-botol bom molotov, parang, dan ketapel-ketapel dan anak-anak panah yang terbuat dari jari-jari kendaraan sepeda dan motor dalam karung goni. Agar tidak diketahui oleh jamaah Warsidi, mereka mengam-bil jalan menerabas belukar.

Dengan barang bukti ini melaporkan ke Kepala Desa Rajabasa Lama Amir Puspamega yang kemudian dikirim ke Way Jepara. Sukidi dan warga juga melaporkan adanya konflik lokal antara warga Talangsari dengan anggota jamaah Warsidi. Menurut Riyanto, 58 mulai terjadi konflik ceritanya berawal. Sejak Sukidi (Kepala Dusun Talangsari III) memberikan laporan kepada Amir Puspamega (Kepala Desa) dan kemudian naik ke kecamatan bahwa ada banyak penduduk asing di tempat Warsidi yang tidak lapor dalam jumlah yang sangat banyak. Sukidi dan Amir Puspa- mega curiga. Waktu itu memang banyak pendatang baru berkumpul di tempat Warsidi yang luas tanahnya cuma 1 hektar persegi. tapi belum ada acara pengajian. Juga belum ada kurikulum. Cuma baris berbaris, latihan memanah. Jadi masyarakat bertanya-tanya.

Itu terjadi pada bulan Januari-Februari 1989. Jadi persiapan perang sudah dijalankan karena pengaruh dari para pendatang terhadap daerah pemukiman Warsidi. Dijanjikan pula kepada jamaah Warsidi di Lampung bahwa mereka nanti akan mendapat senjata sebanyak satu kapal melalui pelabuhan Bakauhuni. Dan pelabuhan Bakauhuni di Lampung akan ditutup nanti apabila Jakarta telah dikuasai. Menurut Riyanto yang men-dengar penuturan langsung dari Warsidi, bahwa orang Jakarta mengata-kan bahwa ia nanti akan mendapatkan senjata sebanyak satu kapal. Cerita ini dituturkan juga oleh Sugeng Julianto (sekarang berdomisili di Solo) di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Rajabasa Lama. Dikatakan juga untuk menghadapi Kodim cukup dilaksanakan oleh 5 (lima) orang jamaah saja, 5 (lima) Kodim cukup 25 (duapuluh lima) orang. Tentang itu semua termakan oleh orang Lampung. Pembawaan Warsidi yang sebelumnya tidak tegang, sejak kedatangan orang-orang Jakarta menjadi tegang, semangat dan emosi jihad

Tanah wakaf dari saudara Jayus warisan bapaknya dulu seluas sekitar satu hektar di seberang kali. Tetapi karena tidak ada perhitungan, logistik tidak ada, di sana orang-orang pendatang dari Jakarta kesulitan. Maka mereka mencari dalil, bahwa semua milik Allah untuk membenarkan melakukan tindakan mengatasi ancaman kelaparan. Jagung-jagung peta-ni dicabut karena milik Allah. Hingga mereka bentrok dengan para petani Talangsari dan menimbulkan ketegangan serta persoalan lokal..

Para jamaah Warsidi membayangkan daerah Cihideng sebagai suffah (markas pendidikan), dan menganggap Talangsari sebagai Madinah yang harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan. 59 Sewaktu Camat sempat datang beserta rombongan menemui jemaah Warsidi untuk menyerahkan surat panggilan pertama. Warsidi menerima surat panggilan kedua dari Camat untuk datang menghadap. Tadinya Warsidi mau datang, mengingat keputusan musyawarah Para jamaah Warsidi membayangkan daerah Cihideng sebagai suffah (markas pendidikan), dan menganggap Talangsari sebagai Madinah yang harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan. 59 Sewaktu Camat sempat datang beserta rombongan menemui jemaah Warsidi untuk menyerahkan surat panggilan pertama. Warsidi menerima surat panggilan kedua dari Camat untuk datang menghadap. Tadinya Warsidi mau datang, mengingat keputusan musyawarah

sejelek-jeleknya Ulama, Umara yang sebaik-baiknya menghadap Ulama. 60

Rupanya ini dituruti, camat yang waktu itu datang ke sana menghadap, tetapi kemudian disorak-sorakin dan tidak dijawab atas pertanyaannya, sehingga camat pulang kembali. Dan kembali lagi ke Warsidi untuk yang kedua kalinya sudah dengan bersama-sama staf Kodim. 61 Dari sini, situasi krusial menuju konflik dan bentrokan nampaknya kian sukar dielakkan karena proses dialogis tak bisa dilakukan dengan baik

Tidak lama setelah adanya penangkapan kelima orang jamaah Warsidi oleh orang-orangnya kepala desa pada waktu malam, tiada yang tahu. Menurut Riyanto, seminggu sebelumnya Warsidi telah mempersiap siagakan jamaahnya untuk mengantisipasi kemungkinan buruk terhadap kedatangan pihak aparat. “Siaga satu” kata mereka. Ia telah memberikan beberapa komando khusus kepada beberapa kelompok jamaahnya, setelah mendapatkan kabar lima orang jamaahnya ditahan di Kodim. Dalam situasi yang tegang, mendapat bocoran bahwa suatu saat lokasi akan didatangi aparat. Mereka jaga malam, kalau masuk ke dalam lokasi tertentu menggunakan kata- kata sandi seperti ‘amit’ dan ‘syahid’, kalau nggak jawab ‘syahid’ langsung bunuh, siapapun dia berarti musuh. Ia dan kawan-kawan anggota Kelompok Warsidi telah mengangkat sumpah di markas.

Menurut Danrem Hendro Priyono waktu itu sepulangnya dari Palembang dari rapat AMD (ABRI Masuk Desa), ia mendapatkan kabar telephone dari Mayor Abdul Aziz malam sebelumnya bahwa Sutiman disandera. Hendro segera mengadakan pengecekan. Ditanyakan kepada Mayor

Abdul Aziz tentang rombongan siapa saja sampai Sutiman ditangkap. 62 Hendro menyampaikan demikian: ‘’Saya pulang dari rapat AMD di Palembang, saya tiba di Bandar Lampung, saya dapat laporan dari staf saya, Mayor Abdul Aziz. Bahwa salah seorang anak buah saya, Komandan Koramil, Kapten Inf. Sutiman itu disandera, menurut laporan itu disandera oleh satu kelompok misterius yang kita tidak tahu kelompok apa. Tetapi, ketika bertemu masyarakat, kelompok itu pemimpinnya Anwar alias Warsidi. Saya bilang Anwar Warsidi siapa? Tak seorang pun bisa menjelaskan. Lalu saya bilang, di mana persisnya lokasi itu, katanya di Way Jepara berjarak 1,5 km ke lokasi itu. Karena saya sudah lama sekali meninggalkan Bandarlampung, selama 6 bulan di Seskoad. Selama saya bertugas sebagai Danrem di Lampung, saya belum sempat pergi mengunjungi ke daerah-daerah. Kabarnya 3 jam pergi ke Way Jepara. Lalu saya melaporkan kepada Panglima Kodam Sriwijaya, yaitu Mayor Jenderal TNI Sunardi, yaitu tentang apa yang saya dengar dari staf saya tersebut.’’

Hendro mendapat laporan dari pejabat Muspida/Muspika, kepala desa dan kepala dusun bahwa tanggal 6 Februari 1989. Menurut Sukidi, sebagaimana yang dilaporkan juga kepada Camat dan pejabat Muspida, pukul 11.00 WIB rombongan aparat lokal datang ke kediaman Warsidi. Rombongan terdiri dari:

1. Olan Sinaga (Kasdim). 63

2. Kapten Sutiman (Danramil Way Jepara)

3. Dulbakar (Kapolsek Way Jepara)

4. Amir Puspamega (Kepala Desa Rajabasa Lama)

5. Sarnubi (Kepala Desa Pakuan Haji)

6. Sukidi (Kepala Dusun Talangsari III)

7. Dahlan (Kepala Tata Usaha Koramil), satu-satunya tentara.

8. Drs Zulkifli (Camat Way Jepara)

9. Polisi Pamong Praja Berjumlah sembilan orang dengan menggunakan kendaraan 2 (dua) mobil Jeep Jimny dan

satu sepeda motor yang dinaiki oleh Sutiman. Rupa-nya, begitu datang langsung disambut oleh serangan, dan Kapt Inf. Suti-man langsung meninggal. Tidak disandera sebetulnya. Kehadiran mereka ini untuk berdialog dengan Warsidi, bukan untuk menyerang sebagai-mana yang dituduhkan oleh beberapa pihak yang tidak mengetahui duduk perkara sebenarnya..

Setelah mendapat laporan lanjut, Hendro lalu mengadakan briefing untuk mendapatkan suatu masukan baru dari seluruh staf. Di tengah-tengah briefing menjelang usai, mendapatkan suatu masukan baru, laporan dari aparat keamanan Sidorejo bahwa Pratu Budi Waluyo dibunuh, dan seorang rakyat bernama Agus Santoso. Terjadi perampasan mobil Kop Angkutan umum. Pada

hari itu juga, ada pelemparan bom molotov ke kantor harian Lampung Post. 64 Ini jelas bukan gerakan main-main. Sasaran aksi jemaah Warsidi tidak terbatas. Menurut teori politik, sasaran yang tidak terbatas dilakukan oleh suatu kelompok bisa dinamakan teror. Terorisme. Maka itu,

Hendro sendiri diminta jajaran dan kepala desa untuk datang. Dan ia tidak memerintahkan bawahan lagi. Kedatangan ini, disertai 3 peleton tentara dan Brimob ke desa Talangsari III. 65 Di lokasi, ternyata sudah disiapkan parit-parit setinggi dada. Dipersiapkan sistem tentara oleh jemaah Warsidi. Sehingga ada kesan bahwa berarti ini bukan tempat pengajian, tetapi basis untuk perjuangan. Oleh karena itu, tidak terlalu mudah, dan mau tidak mau membuka peluang untuk bentrok. Ada sejumlah anggota aparat keamanan kena panah. Hendro Priyono menggunakan megaphone untuk meminta kaum jemaah GPK Warsidi agar menyerahkan diri dan menyelesaikan masalah tanpa kekerasan. Para aparat Muspika dan desa juga berbuat hal yang

sama, memina mereka menyerahkan diri dan jangan melawan petugas. 66

Sebetulnya, sehari sebelum 7 Februari 1989 rombongan Muspida mendatangi dan mengikuti apa yang disampaikan oleh Sukidi (Kepala Dusun Talangsari III), “Sejelek-jeleknya Ulama, sebaik-baiknya Umara mesti menghadap Ulama” . Melihat komposisi ini, rombongan tersebut sudah mengalah dengan mendatangi kelompok Warsidi. Semua ini Muspika kecamatan yang datang. Komposisi tersebut jelas terlihat para pejabat itu beragama Islam, kecuali satu Olan Sinaga yang mengganti Nusbasyah yang tidak ada (Dandim yang orang Aceh, Islam juga). Jadi tidak ada cerita bahwa mereka rombongan yang membenci Islam seperti yang dilansir beberapa media massa. Mungkin kenyataannya akan bercerita lain, jika Warsidi dahulu memenuhi panggilan kecamatan, karena rapat yang diadakan oleh kelompok Warsidi yang melakukan voting memutuskan untuk tidak menghadap.

Mereka berkendaraan dua kendaraan Jeep Jimny dan sebuah sepeda motor yang dipakai oleh Kapten Sutiman. Olan Sinaga menembakan tembakan secara spontan yang membuat seseorang anggota jamaah Warsidi terkena peluru nyasar di bagian kakinya. Peristiwa penembakan itu yang menyebabkan jamaah menyerbu. Rombongan pejabat itu melarikan diri, tetapi Kapten Sutiman tertinggal di belakang dengan motornya yang dibacok oleh Marsudi abang kandung Warsidi dan sebuah senjatanya dirampas.

Sementara itu di tempat lain di Siderejo tanggal 6 Februari 1989, pukul 23.00 wib, dari penuturan yang disampaikan oleh Riyanto 67 , misi ini dipimpin oleh Riyanto sendiri yang mendapat perintah dari Umar, mantunya pak Warsidi beberapa hari sebelumnya. Misi ini untuk mencari senjata dan membuat kekacauan di Tanjung Karang. Terjadi perampasan secara diam- diam kendaraan Angkutan Umum di Sidorejo. Dua orang terbunuh dua orang penumpang kendaraan tersebut, yaitu: (1) Pratu Budi Waluyo yang tidak menyangka masuk ke dalam kendaraan yang dikira mobil angkutan, tadinya Pratu Budi Waluyo diminta untuk turun, tetapi Budi tidak mau. Di tengah perjalanan ia disikat habis, (2) seorang kenek angkutan umum Wasis L-300 bernama Agus Santoso.

Kemudian Riyanto cs menyerbu kantor Lampung Post di kota Bandar Lampung, karena telah memuat berita yang menyudutkan jamaah Warsidi. Jendela kaca Kantor Lampung Post itu pecah dilempari sebuah bom Molotov, tetapi bom itu tidak sempat meledak. Sewaktu dikejar-kejar oleh polisi lalu lintas, mobil itu menabrak polisi lalu lintas yang terpental, mobil kemudian dibawa ke dalam hutan, tetapi sebelum masuk hutan mobil itu rusak masuk parit, lalu meninggalkan mobil rusak itu, Riyanto cs lari masuk ke dalam hutan dan bersembunyi selama beberapa hari dalam hutan.

Tanggal 7 Februari 1989, Hendro Prijono dan timnya berjumlah 3 peleton masuk ke Cihideung pukul 05.30 wib untuk mengejar Riyanto Cs. Pada tanggal yang sama, (1) Serma Polisi Sudargo yang telah tewas sewaktu mengejar Riyanto Cs. dan senjatanya diambil oleh jamaah Warsidi, (2) Sersan Sembiring juga dibacok, senjatanya diambil, (3) Santoso Arifin (Luruh Sidoredjo tewas dibacok). Kejadian ini mereka berhasil merampas dua pucuk senjata api. Dua senjata tersebut yang dirampas kemudian direbut kembali oleh Hendro Prijono setelah terjadi

baku tembak di Gunung Balak, juga senjata lainnya. 68 Dengan beberapa senjata yang telah terampas, artinya ini sudah terdesak, sebagai penanggung jawab keamanan, itu pun Amir Puspamega dan Sukidi mengatakan kepada Hendro Prijono dengan menilainya terlalu hati-hati dan penuh perhitu-ngan sehingga terkesan lamban, padahal kehati-hatian pihak aparat sangat

diperlukan untuk tidak menambah jumlah korban. 69

Hendro tidak dikasih tahu oleh para intelijen tentang latar belakang kejadian itu yang dikatakan bahwa kelompok Warsidi akan melawan pemerintah, yang ia tahu hanya dikabarkan

bahwa Kapten Sutiman ditawan. 70

Setelah itu, ia juga mendapat berita bahwa kantor Kodim diserbu oleh kelompoknya Benny. Berawal dari Lima orang pemuda jamaah ditangkap oleh para penduduk dusun ketika mereka sedang ronda, lalu dibawa ke Kodim. Esoknya datang lima orang yang menyerbu Kantor Kodim yang berhasil menikam seorang penjaga pos Kodim dan merampas sebuah senjata M16 yang tidak bisa mereka gunakan karena tidak tahu, tak lama kemudian lima orang pemuda jemaah yang menyerbu itu tewas semua tertembak di bagian kepalanya, menurut keterangan orang-orang Kodim mereka berlima tidak mempan peluru di tubuhnya, tetapi mempan di bagian kepalanya.