Korban Ditembak, Lalu Dipotong Tangan

37. Korban Ditembak, Lalu Dipotong Tangan

Forum Peduli Hak Azasi Manusia (FP-HAM) Aceh bersama para sukarelawannya akan menelusuri desa-desa pedalaman di Aceh untuk menampung pengaduan masyarakat terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM, sekaligus melakukan investigasi secara objektif, yang berkaitan

dengan operasi militer selama beberapa tahun terakhir, kata Ir. H. Abdul Gani Nurdin. 16 Ketua Pelaksana Harian FP-HAM Aceh menjelaskan, kegiatan pendataan yang dilakukan 27-30 Juli 1998 di Ulee Gle (Pidie), Pantonlabu (Aceh Utara), dan Peureulak (Aceh Timur) baru merupakan langkah awal. Abdul Gani menjelaskan itu karena menilai masih banyak korban atau keluarganya—terutama dari desa-desa pedalaman—yang belum berkesempatan mengadu.

Pengaduan pelanggaran HAM yang sempat tertampung pada “pos” FP- HAM di Masjid Raya Pase, Pantonlabu, adalah 80 persen datang dari desa pedalaman. Mereka memberitahukan pada tim FP-HAM bahwa masih banyak keluarga korban belum sempat datang, karena kesulitan dana transportasi. Padahal, mereka ingin mengadukan suami dan anaknya yang hilang. Selain laporan keluarga korban, FP-HAM Aceh banyak juga menerima masukan dari tokoh ulama dan masyarakat di berbagai kecamatan menyangkut sikap oknum aparat yang bertindak di luar aturan hukum yang berlaku. Bahkan, polisi terkesan tidak berfungsi lagi.

Ketua FP-HAM Aceh Ir H Abdul Gani Nurdin mengatakan, kala timnya berada di Masjid Raya Pase, beberapa tokoh daerah itu melaporkan pula peristiwa mengerikan di Desa Lueng Sa, Kecamatan Simpang Ulim, Aceh Timur. Dua warga desa itu, yakni Sarjani Ibrahim (35) penduduk Lueng Sa dan Teungku Imum Budiman (50) penduduk Lueng Dua, dilaporkan Ketua FP-HAM Aceh Ir H Abdul Gani Nurdin mengatakan, kala timnya berada di Masjid Raya Pase, beberapa tokoh daerah itu melaporkan pula peristiwa mengerikan di Desa Lueng Sa, Kecamatan Simpang Ulim, Aceh Timur. Dua warga desa itu, yakni Sarjani Ibrahim (35) penduduk Lueng Sa dan Teungku Imum Budiman (50) penduduk Lueng Dua, dilaporkan

termasuk diantaranya Teungku Ibrahim, ayah Sarjani. 17 Setelah warga berkumpul sekitar 350 orang, dua korban yang sebelumnya telah disiksa, serta diikat pada tiang gawang dan kemudian dihukum dangan tembakan tanpa proses pengadilan. Sarjani yang saat itu baru lima bulan kawin dengan Mardiana—bahkan isterinya sedang hamil tiga bulan—“dihadiahkan” dua peluru yang bersarang di bagian kepala. Sedangkan Teungku Imam Budiman, dilapor-kan, hanya satu peluru juga bersarang di bagian kepala yang membuat kondisi fisik korban robek. Masyarakat dipaksa untuk melihat ketika korban ditembak. Kalau tidak, mereka kena pukul dari penculik. Sehingga semua warga jelas melihat kedua korban jatuh tersungkur serta darah segar membasahi tiang gawang.

Tindakan oknum penculik yang terlatih tersebut, menurut tokoh tadi, tidak hanya sesadis itu. Tapi, Sarjani—kiper Poraja Pantonlabu yang pernah mewakili Aceh ke Jambi tahun 1980-an—itu setelah ditembak dua peluru, kedua tangannya dipotong supaya bisa melepaskan borgol di tangannya. Kemudian oknum itu menyuruh warga menanam mayat Sarjani tanpa dimandikan. Dilaporkan, beberapa tokoh di sana merenca-nakan kedua jenazah korban akan dimandikan sesuai dengan ajaran Islam. Namun, penculik yang bersikap kasar itu membentak masyarakat agar tidak perlu dimandikan. “Tanam saja bangkai itu. Untuk apa dimandikan,” ungkap tokoh pelapor itu kepada tim FP-HAM mengutip ucapan sang oknum pada waktu itu.

Dengan adanya masukan tersebut, tim FP-HAM akan turun ke berba-gai desa termasuk ke kawasan Lueng Sa, di mana kedua korban itu diekse-kusi di lapangan bola serta disaksikan ayahnya dan masyarakat lain. Berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh pihak FP-HAM, sebagian besar para korban penculikan dan pembunuhan diyakini bukanlah orang yang bersalah. Buktinya, para korban kebanyakan dijemput di rumah. Bahkan ada yang sedang makan dengan keluarganya. Berani karena benar, takut karena salah. Kalau korban orang yang bersalah tidak akan berani berkumpul dengan keluarga, apalagi duduk di warung kopi dan di pos siskamling. Apalagi korbannya ada yang berumur 50 s/d 70 tahun ikut diculik. Padahal fisik mereka sudah tidak berdaya lagi, apalagi ingin memberontak.