Wanita Aceh Diperkosa Tiga Tentara

1. Wanita Aceh Diperkosa Tiga Tentara

Sekitar 1.000-an masyarakat Pidie—terbanyak janda bersama anak kecil—yang duduk berdesakan di Gedung DPRD Pidie, menyambut kedatangan TPF dari DPR RI yang hari itu berkunjung ke Pidie. Ketika Ketua Tim Hari Sabarno menanyakan apakah masyarakat di daerah itu merasa “terganggu” dengan GPK, dan apakah GPK memang masih ada? Mereka serentak menjawab lantang, “Tidak. Tidak ada!” Bahkan dari kelompok janda yang duduk di sayap kanan gedung terdengar jeritan lemah (dalam bahasa Aceh), “Kami bukan takut GPK. Tapi takut pada tentara!” “Jika nanti muncul (GPK), apa yang dilakukan?” tanya ketua tim ini. “Hukum saja! Kami hukum pancung mereka!” teriak masyarakat serentak, spontan, dan tak ada unsur rekayasa. Karena memang sesung-guhnya GPK itu adalah rekayasa dari penguasa sendiri. Pertanyaan— tampaknya juga spontan—itu dilontarkan TPF setelah mendengar banyak laporan dari korban dan keluarga korban tentang kisah penculikan maupun tindak kekerasan selama operasi militer di Pidie. Dari sejumlah pelapor yang tampil, kisah tersadis dan sangat menggugah tim DPR RI adalah yang dialami CS (disingkat), 42 tahun, warga Ujong Leubat, Bandar Baru. “Saya diperkosa oleh tiga orang tentara di Pos Jiem-jiem, Pak. Setelah itu, saya pingsan. Paginya, saya disepak dan didorong ke sungai. Disuruh mandi,” ungkap CS (dalam bahasa Aceh yang diterje-

mahkan oleh wakil rakyat dari PPP dan tokoh pejuang HAM, Ghazali Abbas Adan). Yang mendengar, semua terkejut. Teganya, tiga tentara Republik memperkosa seorang wanita. Berapa lagi wanita Aceh yang diperkosa jika jumlah tentara itu mencapai angka 7000 orang? Berapa wanita Aceh diperkosa dalam sehari? Dalam Seminggu, dalam setahun? Dalam sembilan tahun masa DOM? Maka wajar jika terdengar umpatan caci-maki masyarakat lainnya. “Saya diperkosa bergiliran Pak. Tapi, hanya satu malam. Setelah tiga hari di situ, saya disuruh pulang,” kata CS, kaku, seakan menahan tangis. “Selanjutnya?” tanya anggota DPR RI. CS diam lama. “Tidak ada lagi,” katanya, singkat, lalu duduk. Ditanya kemudian, CS mengisahkan pada 1992 ia dan suaminya M. Yunus ditangkap oleh oknum dari Pos Jiem-jiem. Mereka ditempatkan di kamar terpisah. Pemerkosaan salah seorang pelaku dikenal CS bernama A— itu kemungkinan tak diketahui suaminya. Sebelum dibebaskan, CS sempat disiksa juga. Sejak pulang itu, ia mengaku tak pernah melihat lagi suami-nya. Belakangan dikabarkan orang kampung, bahwa M. Yunus ditembak dengan tangan diikat di atas pentas (dipertontonkan pada warga) di Desa Cibrek, Kembang Tanjong. Ditanya mengapa ia tak sampai menangis ketika bercerita di depan banyak orang? “Saya sudah capek menangis,” katanya. Karena, menurut CS, mereka sudah “terbiasa” men-dengar kisah sadis dan penyiksaan serupa itu. Lagipula, ia khawatir kalau terlalu banyak bicara nanti bakal diambil lagi oleh oknum. Kekhawatiran perempuan Aceh yang sangat luar biasa keteguhannya dalam membela kebenaran dan berani menghadang kedzaliman dengan mengatakan, “Kalau saya diambil, siapa yang mengurus anak-anak. Hidup kami sangat susah. Siapa ya yang mau bantu orang-orang seperti kami ini? ” tutur korban perkosaan ini, ditemani dua janda sekampungnya. Menjawab ketakutan para pelapor itu, seorang srikandi Aceh, Ir. Faridah Ariani, tokoh pejuang hak-hak azasi perempuan dari Forum Peduli HAM minta TPF DPR RI agar memberi “jaminan keamanan” sehingga masyarakat yang datang hari itu, terutama para pelapor yang telah memberi kesaksian, nantinya tidak “diapa-apakan” oleh oknum tentara. “Bagaimana, apakah di sini hadir dari unsur keamanan?” tanya Hari Sabarno. Cari sana, cari sini, muncul Pasi Intel Kodim 0102 Pidie Letda Inf Suyanto yang menyatakan ia—mewakili Dandim dapat memberikan “jaminan keamanan” yang sangat diharapkan itu.

Kisah Ramlah juga cukup menggugah. Ibu tua dari Simpang Jurong, Geumpang, mengatakan pada 1992 ia diambil oleh oknum tentara dan dibawa ke Pos. Konon karena tak ditemukan suami dan anaknya. Ramlah disiksa, ditelanjangi, digigitkan orang hutan, dibakar, bahkan dipatahkan tangannya. Tangan yang kini telah cacat itu diperlihatkan kepada semua yang hadir. Setelah suaminya ditemukan, baru Ramlah bebas. Tapi yang lebih menyakitkannya, suami berikut empat anaknya laki-laki dan perempuan dibunuh oleh oknum tersebut dan dikubur secara massal di Geumpang. Lain lagi cerita Umar Abubakar dari Desa Jiem-jiem, Bandar Baru. Pada 1995, ia ditembak oleh oknum tentara dan mengenai pahanya. Untunglah oknum itu “mau berbaik hati” membawanya ke Rumah Sakit Kesrem Lhokseumawe. Tapi, kakinya harus diamputasi. Kini Umar berjalan dengan dua tongkat. “Saya tak bisa bekerja lagi. Saya makan, dikasih-kasih orang,” ungkapnya. Akan halnya Khatijah dari Cot Baroh, Glumpang Tiga, diambil tentara setelah pulang mengunjungi anaknya di Malaysia pada Februari 1998. Ia dipukuli, ditelanjangi, dan siksaan lainnya di Rumoh Geudong selama 15 hari. April 1998, diambil lagi dengan tuduhan menyimpan senjata. Rumahnya hancur diobrak- abrik, tapi senjata tak ditemukan. Khatijah pun diangkut lagi ke Rumoh Geudong dan kembali menjalani siksaan, lalu dipindah ke Rancung, dan dibebaskan Juni 1998. Terakhir, ia didatangi oknum penyiksanya, meminta uang Rp 500.000 agar Khatijah tak diambil lagi. “Saya kasih terus uang itu. Memang, sampai sekarang saya tak diambil lagi,” ungkapnya, terus terang. Sementara, Nyak Ubit dan Aminah Ali, keduanya warga Kecama- tan Mutiara, mempertanyakan kemana suami mereka yang diculik tentara sekitar Maret 1998. “Suami saya diambil oleh Kupasui (Kopassus, maksudnya) hanya gara-gara di desa dia memegang dana IDT. Hanya karena IDT, Pak,” kata Nyak Ubit. Hari Subarno sering mempertanyakan darimana para pelapor tahu bahwa pelakunya itu adalah Kopassus. Para pelapor lancar menjawab. Keluarga korban, saksi (warga desa), bahkan korban penyiksaan umumnya cukup kenal siapa pelakunya. Penyiksaan korban umumnya berlangsung di Pos Sattis terdekat, ataupun di Rumoh Geudong. Jumlah masyarakat yang datang melapor ke DPRD Pidie sekitar 100-an orang (pelapor baru). Namun, karena diisi pertemuan dengan TPF DPR RI hari itu, para anggota Komisi A tak sempat mencatat. Mereka diminta kembali esok harinya. Di akhir pertemuan, DPRD Pidie menyerahkan sebagian laporan sementara masyarakat kepada tim TPF DPR RI. Sebagaimana aspirasi masyarakat, para wakil rakyat di DPRD Pidie dengan tanpa ragu-ragu juga sepakat meminta pemerintah menca-but DOM di daerah itu. Sebelumnya tim juga mengadakan pertemuan dengan Muspida Pidie di Pendopo. Malam harinya, TPF berdialog dengan LSM, tokoh masyarakat, dan akademisi dari perguruan tinggi setempat. Rencananya, TPF DPR RI yang berinti Hari Sabarno (ketua), DR Mochtar Azis, Ghazali Abbas Adan, Sedaryanto, Prof DR Endang Saefullah, Lukman R, Chairuddin Harahap, dan Drs Suyanto, akan mengunjungi Desa Cot Keng, Bandar Dua, Pidie yang dijuluki “kampung janda”. Selan-jutnya tim menuju Lhokseumawe. Saat ini, laporan yang tercatat di DPRD Pidie masih 440 kasus, mencakup “orang hilang”, kematian, penyiksaan, pembakaran rumah dan penjarahan harta/sepeda motor.

TPF DPR RI dalam peninjauan lapangan di Kabupaten Pidie, pada tanggal 29 Juli 1998 mengunjungi Desa Cot Keng di Bandar Dua yang beberapa tahun lalu pernah dijuluki “kampung janda”. Ketua TPF, Hari Sabarno berdialog dengan sejumlah janda Cot Keng maupun warga dari tiga kecamatan sekitarnya. Dialog yang berlangsung di meunasah setempat berlangsung dalam TPF DPR RI dalam peninjauan lapangan di Kabupaten Pidie, pada tanggal 29 Juli 1998 mengunjungi Desa Cot Keng di Bandar Dua yang beberapa tahun lalu pernah dijuluki “kampung janda”. Ketua TPF, Hari Sabarno berdialog dengan sejumlah janda Cot Keng maupun warga dari tiga kecamatan sekitarnya. Dialog yang berlangsung di meunasah setempat berlangsung dalam

oknum tentara. 45 Keduanya adalah S (32), warga Dayah Teumanah dan Sum (19) warga Tampui, Kecamatan Bandar Dua. Karena tanya-jawab yang simpang siur, akhirnya kasus dari keduanya tidak terangkat secara detail. Ketika keduanya mengaku diperkosa lalu melahirkan “anak haram” itu, Hari Sabarno bahkan menyimpulkan bahwa hal itu perlu ada bukti, semisal tes darah dan sebagainya. “Kalau ada wartawan di sini, tolong kasus perkosaan ini jangan dikutip dulu. Nanti bisa salah paham. Perkosaan perlu ada bukti-bukti,” kata Hari Sabarno. Mendengar itu, S maupun Sum (menggendong anak) terpaku dan tak mampu bertutur lagi. Kesedi-han ditelannya sendiri. Lalu mereka pun beringsut, pulang. TPF yang kemudian mencoba mencari kedua gadis itu, baru bertemu petang harinya di desa Dayah Teumanah (kediaman S). “Saya mampu menunjukkan buktinya, kalau ada yang tidak percaya,” tutur S, seorang gadis cacat, miskin, dan kini bertambah lagi status sebagai ibu dari “anak tanpa ayah”. Kisah S dan Sum ini bakal ditulis tersendiri. Tak kurang, Keuchiek Cot Keng, Salahuddin, sendiri kepada Serambi, usai dialog, mengaku ikut gugup menjawab. Karena kondisinya sangat tak mendukung keinginannya untuk mengungkap semua. Baru satu pertanyaan dijawabnya, para penanya baik dari DPR RI maupun dari penter- jemah sudah menyimpulkan versi masing-masing. Contoh, ditanya berapa jumlah janda di desa ini? Salahuddin menjawab tujuh orang. Jumlah KK-nya? Sekitar 40 KK. Maka Hari Sabarno pun menyimpulkan bahwa desa itu tak patut disebut “kampung janda” mengingat persentase jandanya sangat sedikit. Padahal, menurut Salahuddin juga dibenarkan oleh tokoh- tokoh masyarakat setempat umlah tujuh janda itu adalah kondisi sekarang. Sedangkan kekosongan laki-laki hanya 9 suami di tengah 40-an istri di desa itu terjadi antara tahun 1991-1996 hingga mendapat julukan “kampung janda”. Disebutkan, jumlah penduduk desa itu saat ini tercatat 168 jiwa. Mata pencaharian mereka umumnya bertani, dan memelihara itik (bantuan LSM Yadesa Aceh). Sebagian janda juga telah dilatih ketrampilan tangan oleh Yadesa. Ada pula warga yang bermata-pencaharian mencari kayu (balok tem) di hutan. Meski income dari hutan lebih besar, namun pengeluaran terutama untuk upeti aparat pun juga besar. “Kita yang capek cari kayu di hutan, oknum-oknum itu yang dapat uang banyak,” keluh seorang warga Cot Keng, di depan Pak Keuchiek. Ditanya tentang adanya “upeti kayu” untuk aparat itu, Salahuddin hanya diam. Ia tak membantah, tapi tak pula mengiyakan.