Implikasi Dinamika Sub Sistem Alam Bagi Pengembangan Kawasan Perikanan

memiliki penyebaran luas, oleh sebab itu pola menunjukkan konsentrasi DPI perairan teluk yang agak terbuka Gambar 30a. Berbeda dengan kawasan Tehoru, Nusalaut merupakan kawasan dengan luasan perairan yang sempit, sehingga memiliki pola akses yang padat dan menyebar luas. Eksistensinya sebagai kawasan pulau kecil dengan perairan sempit menjadi penyebab meluasnya DPI yang diakses. Sesuai dengan pola akses spasialnya, konsentrasi DPI menunjukkan empat pola: 1 perairan yang dekat dengan pulau, umumnya terkonsentrasi di sekitar pulau Nusalaut dan Saparua; 2 perairan dangkal di bagian Selatan kawaan Amahai;; 3 perairan terbuka di bagian Timur; serta 4 perairan terbuka di bagian Selatan yang berhadapan langsung dengan Laut Banda Gambar 30b. Dinamika akses DPI untuk kedua kawasan ini menunjukkan adanya pola yang berbeda, walaupun keduanya berhadapan langsung dengan perairan terbuka. Kawasan Tehoru dengan DPI yang terkonsentrasi di perairan teluk menunjukkan masih rendahnya akses, sedangkan kawasan Nusalaut dengan DPI yang padat dan menyebar luas menunjukkan tingginya akses. Kondisi tersebut sangat mungkin terjadi karena pola ketergantungan unit penangkapan ikan pelagis kecil terhadap DPI. Disamping itu, tingkat jelajah unit penangkapan sangat mempengaruhi aksesibilitas terhadap DPI. Kedua faktor ini menjadi penting untuk dicermati terkait dengan upaya pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil berbasis akses DPI. Dua kawasan perikanan pelagis kecil lainnya yang terdapat di pulau Ambon adalah Leihitu dan Salahutu. Kedua kawasan ini merupakan dua dari kawasan utama di Maluku Tengah yang memiliki produktivitas yang tinggi dalam perikanan pelagis kecil. Kedekatan kawasan ini dengan pusat wilayah Provinsi menyebabkan posisinya yang kuat untuk kepentingan pengembangan perikanan pelagis kecil berbasis kawasan di wilayah Selatan Maluku Tengah. Kawasan Leihitu memiliki dinamika akses DPI dengan pola yang padat dan terpusat pada perairan Utara Pulau Ambon. Walaupun terkosentrasi pada perairan yang sempit, namun kawasan ini memiliki intensitas yang tinggi dalam mengakses DPI. Sesuai dengan akses pola ini, kawasan ini memiliki konsentrasi DPI utama perairan dangkal di bagian Utara Pulau Ambon Gambar 31a. 148 Gambar 29 Dinamika aksesibilitas Daerah Penangkapan Ikan dari kawasan Saparua dan Haruku a Kawasan Saparua b Kawasan Pulau Haruku 149 b Kawasan Nusalaut Gambar 30 Dinamika aksesibilitas Daerah Penangkapan Ikan dari kawasan Tehoru dan Nusalaut a Kawasan Tehoru Berbeda dengan Leihitu, kawasan Salahutu memiliki pola konsentrasi padat dan menyebar jarang. Terdapat tiga pola konsentrasi DPI: 1 perairan Teluk Haruku dengan pola terpusat padat; 2 perairan Teluk Baguala dengan pola menyebar jarang; serta 3 perairan dangkal di antara Pulau Seram dan Pulau Haruku dengan pola menyebar jarang Gambar 31b. Dinamika akses DPI untuk kedua kawasan ini terkait dengan eksistensi perairan sekitar kawasan yang tidak terlalu luas. Pola spasial yang terjadi di kawasan Lehitu menunjukkan adanya akses apasial yang sempit. Sempitnya akses spasial ini dipengaruhi oleh eksistensi perairan yang cukup produktif sepanjang tahun terkait dengan produksi yang dihasilkan. Pola akses spasial yang terjadi di kawasan Salahutu menunjukkan adanya akses spasial yang sedikit lebih luas. Esksistensi perairan yang sempit untuk kawasan ini menyebabkan adanya upaya untuk menjangkau DPI yang lebih jauh. Namun demikian, pola ini menunjukkan bahwa akses yang berkembang masih menyebar dengan tingkat kontrasi DPI yang jarang. Seluruh hasil analisis terhadap dinamika spasial akses DPI ini menerangkan tentang adanya dinamika yang berbeda untuk tiap kawasan. Pola yang terbentuk ada yang padat atau jarang, menyebar luas atau sempit, dan alokasi perairan teluk, selat, dangkal dan terbuka. Dinamika akses DPI secara temporal ditunjukkan secara grafis Gambar 32 sesuai dengan distribusi jarak DPI musiman dari setiap basis perikanan pelagis kecil Lampiran 2. Sesuai dengan hasil perhitungan akses berbasis jarak fisik untuk setiap DPI, kawasan yang tidak mengakses DPI di musim Timur adalah Tehoru. Hal ini disebabkan posisinya yang agak terbuka, dan kondisi perairan saat itu menyebabkan nelayan sama sekali tidak mengakses DPI. Distribusi akses ke DPI, kawasan-kawasan di wilayah Selatan Maluku Tengah dapat dikelompokkan atas tiga tingkatan akses. Pertama, kawasan dengan tingkat akses DPI terdekat, dimana untuk: 1 musim Timur adalah Haruku dan Salahutu; 2 musim peralihan Timur ke Barat adalah Salahutu, Kota Masohi dan Tehoru; 3 musim Barat hampir pada semua kawasan, kecuali Tehoru; serta 4 musim peralihan Barat ke Timur adalah kawasan Kota Masohi, Salahutu, Saparua, Amahai dan Haruku. 151 b Kawasan Salahutu Gambar 31 Dinamika aksesibilitas Daerah Penangkapan Ikan dari kawasan Leihitu dan Salahutu a Kawasan Leihitu Gambar 32 Dinamika temporal akses DPI pelagis kecil di perairan Selatan Maluku Tengah Kedua, kawasan dengan tingkat akses DPI sedang, dimana untuk: 1 musim Timur adalah Leihitu, Saparua dan Amahai; 2 musim peralihan Timur ke Barat adalah Saparua, Leihitu dan Haruku; 3 musim Barat pada kawasan Tehoru; serta 4 musim peralihan Barat ke Timur adalah Tehoru. Ketiga, kawasan yang tingkat akses DPI-nya jauh, dimana untuk: 1 musim Timur adalah Musalaut dan Kota Masohi; 2 musim peralihan Timur ke Barat adalah Kota Masohi dan Amahai; 3 musim Barat tidak ada kawasan yang memiliki akses terjauh; serta 4 musim peralihan Barat ke Timur adalah Amahai dan Leihitu. Akses terdekat umumnya terjadi di musim Barat dan peralihan Barat ke Timur. Akses sedang dan terjauh terkonsentrasi pada musim Timur dan peralihan Timur ke Barat. Musim Barat dan peralihan Barat ke Timur merupakan musim- musim dimana peluang nelayan untuk mengeluarkan biaya operasi semakin kecil. Di sisi lain, musim Timur dan peralihan Timur ke Barat merupakan musim-musim dimana nelayan berpeluang mengeluarkan biaya operasional yang lebih besar. Studi Forcada et al. 2009 tentang struktur dan dinamika spasial-temporal perikanan artisanal menemukan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap aksesibilitas terhadap DPI, yaitu: musim, eksistensi armada penangkapan, ikan tujuan tangkap dan pilihan nelayan terhadap usaha penangkapan secara musiman. Terkait dengan dinamika akses terhadap DPI pada wilayah penelitian, dari empat Musim Ja ra k f is ik m il l au t faktor tersebut, dua di antaranya yang berkaitan dengan aksesibilitas terhadap DPI, yaitu: musim dan eksistensi armada yang dikembangkan oleh nelayan. Hutton et al. 2004 menyatakan bahwa masalah kompleksitas spasial seringkali tidak dijadikan dasar dalam perencanaan kawasan perikanan. Distribusi usaha penangkapan diasumsikan akan selalu bergerak mencari DPI yang terbaik Maury dan Gascuel, 1999 atau dengan tujuan mencapai tingkat tangkapan terbesar. Dalam konteks ini, faktor jarak atau akses dari basis penangkapan penting diperhatikan dengan tujuan mencapai keuntungan terbesar dengan alokasi biaya operasional yang efisien Chakravorty dan Nemato, 2001. Nelayan memaksimalkan keuntungan per trip karena penyesuaian terhadap distribusi DPI danatau kelimpahan SDI per musim penangkapan. Pilihan ini mencerminkan upaya menekan biaya operasional, sekaligus mencapai pendapatan yang optimum. Oleh karena itu, pilihan nelayan terhadap DPI memberikan pengaruh bagi dinamika usaha penangkapan ikan Chin dan Fu, 1999. Pemilihan DPI oleh nelayan dijelaskan secara kualitatif oleh Prellezo et al. 2009. Mereka mengembangkan model acak pemanfaatan SDI berbasis DPI untuk menetapkan faktor-faktor penentu yang paling penting dalam pemilihan DPI. Hasil yang ditemukan adalah terdapat empat variabel penentu yaitu: panjang kapal, hak penangkapan ikan, biaya bahan bakar dan risiko operasi penangkapan. Untuk kepentingan pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil di wilayah ini, dinamika spasial sub sistem alam ditunjukkan dengan beberapa faktor penentu. Pertama, kompleksitas spasial-temporal disebabkan faktor musim, penggunaan teknologi penangkapan, jarak dan aksesibilitas terhadap DPI. Kedua, dinamika spasial-temporal menyebabkan nelayan berupaya mencapai efisiensi biaya operasional dan meningkatkan keuntungan optimum usaha. Ketiga, dinamika spasial berkonsekuensi pada peningkatan kapasitas upaya penangkapan melalui kualitas teknologi penangkapan ikan, namun disertai pendekatan efisiensi biaya operasional secara bersamaan dengan reduksi resiko usaha. Ketiga rumusan ini juga menunjukkan bahwa dinamika sub sistem alam dalam sistem perikanan tangkap memberikan implikasi bagi pentingnya pengembangan sistem informasi DPI bagi nelayan. Hal ini sangat dibutuhkan nelayan untuk menetapkan pilihan terhadap teknologi penangkapan ikan yang dapat mereka kembangkan. Arti penting sistem informasi DPI juga pada upaya efisiensi dan efektivitas pembiayaan operasional penangkapan ikan. Dalam konteks pengembangan kawasan perikanan, kawasan-kawasan yang memiliki akses terdekat terhadap DPI seharusnya mendapat perhatian serius terkait dengan potensinya sebagai basis-basis perikanan pelagis kecil di Maluku Tengah. Jika kawasan-kawasan dengan akses tertinggi disepakati sebagai basis perikanan pelagis kecil, maka arahan pengembangannya juga diperuntukan untuk memperkuat kapasitas kawasan baik dari aspek infrastruktur maupun sumber daya manusia perikanan yang ada dalam kawasan.

5.8 Kesimpulan

Kajian dinamika sub sistem alam dalam sistem perikanan pelagis kecil di Kabupaten Maluku Tengah menghasilkan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Distribusi SPL dan klorofil-a secara musiman menunjukkan adanya variasi spasial-temporal, dan SPL bulan Maret dan Mei di perairan Selatan, bulan Juni sampai Agustus di perairan Tenggara serta konsentrasi klorofil-a di perairan teluk, selat dan bagian Selatan dalam bulan Mei sampai dengan Agustus merupakan aspek spasial-temporal yang berpeluang dimanfaatkan sebagai DPI pelagis kecil potensial; 2. Dinamika musiman DPI ditunjukkan dengan perubahan DPI potensial pada musim Barat dan peralihan Barat-Timur di perairan Leihitu dan Tehoru, musim Timur dan peralihan Timur Barat di perairan Leihitu dan Amahai; 3. Jumlah tangkapan SDI pelagis kecil yang diperbolehkan sesuai hasil estimasi dengan teknis akustik sebesar 54.761,84 dan konsentrasi densitas ikan tertinggi pada perairan Selatan kepulauan Lease, Utara Pulau Ambon dan Selat Seram; 4. Dinamika sub sistem alam berimplikasi pada perbedaan akses terhadap DPI, dengan akses temporal terdekat umumnya terjadi musim Barat dan peralihan Barat ke Timur, sedangkan akses sedang dan terjauh terkonsentrasi pada musim Timur dan peralihan Timur ke Barat menyebabkan adanya peluang yang berbeda antar kawasan dalam pengembangan basis-basis perikanan pelagis kecil. 155 6 DINAMIKA SPASIAL SUB SISTEM MANUSIA

6.1 Pendahuluan

Sub sistem manusia yang digambarkan oleh Charles 2001 sebagai bagian dari sistem perikanan berkelanjutan, meliputi: nelayan, komponen pelaku usaha pasca produksi, RTP dan lingkungan sosial ekonomi. Oleh sebab itu, diberikan gambaran tentang struktur sub sistem manusia yang dikelompok dalam tiga kelompok besar, meliputi: 1 nelayan yang dibagi atas dua komponen penting, masing-masing nelayan dan kelompok nelayan serta teknologi penangkapan ikan; 2 masyarakat dan rumah tangganya; serta 3 pasca penangkapan ikan yang mencakup pengolahan, distribusi, pasar sampai dengan konsumen. Untuk mencermati sub sistem manusia dalam suatu sistem perikanan, khususnya perikanan tangkap, Widodo dan Suadi 2006 menyatakan bahwa komponen manusia dalam perikanan laut perikanan tangkap secara sederhana dapat dikelompokkan menjadi nelayan rumah dan komunitasnya, pengolah pascapanen dan pedagang pemasaran, serta lingkungan sosial ekonomi. Komponen-komponen tersebut, menurut mereka, saling berinteraksi dalam mempengaruhi pola pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya ikan. Dalam rangka pengembangan analisis tentang sub sistem manusia terkait dengan model pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil ini, maka dielaborasi komponen-komponen yang meliputi: nelayan dan rumah tangga perikanan RTP, alat penangkapan ikan pelagis kecil dan upaya penangkapan, produksi ikan pelagis kecil, pengolahan hasil perikanan pelagis kecil, distribusi dan pemasaran hasil perikanan pelagis kecil, konsumen serta aspek finansial. Hal penting yang perlu mendapat perhatian dalam mengkaji dinamika sistem perikanan adalah dinamika nelayan dan komponen lainnya dalam sub sistem manusia Charles, 2001. Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam memahami perubahan sub sistem manusia dalam skala waktu, harus didiskusikan mengenai dinamika pada upaya penangkapan, tenaga kerja perikanan, teknologi, armada perikanan, komunitas perikanan dan lingkungan sosial ekonomi. Pandangan Charles 2001 ini menjadi dasar dalam pengkajian dinamika sub sistem manusia untuk mendukung pengembangan kawasan perikanan pelagis 156 kecil di Maluku. Oleh sebab itu, struktur yang dikaji dalam konteks dinamika sub sistem manusia pada perikanan pelagis kecil, meliputi dinamika: 1 nelayan dan rumah tangga perikanan; 2 alat penangkapan ikan dan upaya penangkapan; 3 produksi ikan pelagis kecil; 4 produksi hasil pengolahan ikan pelagis kecil; dan 5 infrastruktur pengembangan perikanan pelagis kecil. Kelima komponen dinamika pada sub sistem manusia ini menjadi dasar untuk mengkaji dampak dinamika sistem perikanan pelagis kecil di Maluku Tengah. Dampak yang dimaksudkan menunjukkan adanya implikasi bagi pengembangan kawasan perikanan, baik pada kapasitas dan upaya penangkapan standar, kelayakan usaha secara finansial, komoditas unggulan dan alat penangkapan ikan pilihan maupun alokasi spasial. Tujuan kajian dinamika sub sistem manusia pada sistem perikanan pelagis kecil di Maluku Tengah, adalah: 1 menganalisis dinamika nelayan dan RTP; 2 menganalisis dinamika alat penangkapan ikan dan upaya penangkapan; 3 menganalisis dinamika produksi ikan pelagis kecil; 4 menganalisis dinamika pengolahan hasil perikanan pelagis kecil; 5 menganalisis dinamika distribusi dan pemasaran hasil perikanan pelagis kecil; serta 6 menganalisis implikasi dinamika sub sistem manusia bagi pengembangan kawasan perikanan. 6.2 Metodologi 6.2.1 Analisis dinamika nelayan dan rumah tangga perikanan Analisis yang mengedepankan dinamika nelayan dan RTP menggunakan dua pendekatan: pertama, perhitungan nilai proporsi nelayan dan RTP di tiap kawasan, menggunakan formula: 100 1 ∑ = = n i i i N N N ; dan 100 1 ∑ = = n i i i RTP RTP RTP N i adalah jumlah nelayan di kawasan ke-i dan ∑ = n i N 1 merupakan total jumlah nelayan pada wilayah kajian. RTP i adalah jumlah rumah tangga perikanan di kawasan ke-i dan ∑ = n i RTP 1 merupakan total jumlah rumah tangga perikanan pada wilayah kajian. 157 Kedua, perhitungan tingkat pertumbuhan tahunan pada setiap kawasan, dengan formula: 100 1 1 − − − = t t t i N N N rN ; dan 100 1 1 − − − = t t t i RTP RTP RTP rRTP rN i merupakan nilai pertumbuhan nelayan tahunan di kawasan ke-i, N t dan N t-1 merupakan jumlah nelayan tahun t dan t-1. rRTP i adalah nilai pertumbuhan tahunan rumah tangga perikanan pada kawasan ke-i, sedangkan RTP t dan RTP t-1 masing-masing merupakan jumlah rumah tangga perikanan pada tahun t dan t-1 sebelum. Hasil pertumbuhan tahunan nelayan dan RTP diekspresikan secara grafis untuk menunjukkan dinamika tahunan di setiap kawasan.

6.2.2 Analisis dinamika alat penangkapan ikan dan upaya penangkapan

Analisis dinamika API menggunakan dua pendekatan: pertama, perhitungan nilai proporsi pada tiap kawasan, menggunakan formula: 100 1 ∑ = = n i i i API API API API i adalah jumlah alat penangkapan ikan di kawasan ke-i dan ∑ = n i API 1 merupakan total jumlah alat penangkapan ikan pada wilayah kajian. Kedua , analisis grafis dilakukan dengan memetakan jumlah API selama 10 tahun, sejak tahun 2001 sampai dengan 2010. Analisis grafis diperuntukan untuk menggambarkan dinamika pada setiap jenis API melalui perkembangan jumlahnya secara tahunan pada setiap kawasan. Analisis dinamika upaya penangkapan ikan atau effort E menggunakan dua pendekatan: pertama, perhitungan nilai proporsi per setiap kawasan, dengan formula: 100 1 ∑ = = n i i i E E E E i adalah jumlah upaya tangkap di kawasan ke-i dan ∑ = n i E 1 merupakan total jumlah upaya tangkap pada wilayah kajian. 158 Kedua, analisis perkembangan upaya tangkap untuk setiap jenis API pada tiap kawasan yang dinyatakan secara grafis, dan perkembangan total jumlah upaya tangkap setiap jenis API yang dinyatakan secara tabular.

6.2.3 Analisis dinamika produksi ikan pelagis kecil

Analisis dinamika volume produksi menggunakan dua pendekatan: pertama, perhitungan nilai proporsi per setiap kawasan, menggunakan formula: 100 1 ∑ = = n i i i VP VP VP VP i adalah volume produksi ikan di kawasan ke-i dan ∑ = n i VP 1 merupakan total jumlah volume produksi pada wilayah kajian. Kedua , analisis perkembangan total jumlah volume produksi setiap jenis API yang dinyatakan secara tabular dan perkembangan volume produksi untuk setiap jenis API pada tiap kawasan yang dinyatakan secara grafis.

6.2.4 Analisis dinamika pengolahan hasil perikanan pelagis kecil

Analisis dinamika pengolahan diarahkan pada pelaku usaha dan produksinya, menggunakan tiga pendekatan: pertama, perhitungan nilai proporsi pengolah dan rumah tangga pengolah di tiap kawasan, dengan formula: 100 1 ∑ = = n i i i Po Po Po ; dan 100 1 ∑ = = n i i i RTPo RTPo RTPo Po i adalah jumlah pengolah di kawasan ke-i dan ∑ = n i Po 1 merupakan total jumlah pengolah pada wilayah kajian. RTPo i adalah jumlah rumah tangga pengolah di kawasan ke-i dan o RTP n i ∑ = 1 merupakan total jumlah rumah tangga pengolah pada wilayah kajian. Kedua , analisis grafis terhadap perkembangan volume dan nilai produksi olahan ikan. Analisis ini menggunakan perkembangan data produksi dalam waktu lima tahun 2006 – 2010.