Dinamika Produksi Ikan Pelagis Kecil

185 menurun pada tahun terakhir menjadi acuan penting untuk meningkatkan pengaturan pemanfaatan sumber daya ikan pelagis kecil di Maluku Tengah, khususnya pada kawasan-kawasan pengembangan perikanan pelagis kecil di wilayah Selatan. Kedua, kontribusi produksi yang berbeda di tiap kawasan menunjukkan setiap kawasan memiliki kapasitas yang berbeda dalam melakukan kegiatan produksi ikan pelagis kecil. Demikian juga basis kegiatan penangkapan ikan pelagis kecil yang mengarah pada dominasi perikanan pukat cincin. Pembuktian terhadap kedua kondisi ini dapat dilakukan dengan mencermati perkembangan produksi per setiap API dominan pada setiap kawasan pengembangan perikanan pelagis kecil. Ekspresinya secara grafis menunjukkan bahwa setiap kawasan memiliki perkembangan produksi yang berbeda untuk setiap jenis API Gambar 37. Kawasan TNS dua jenis alat tangkap ikan pelagis kecil utama menunjukkan produksi tertinggi pada jaring insang, rata-rata 69,78 tontahun. Produksinya meningkat pada periode 2001- 2006, dan menurun pada periode 2007-2010. Perkembangan produksi pada pancing tegak menunjukkan adanya pola statis pada periode 2001- 2006, dan meningkat pada periode 2007-2010. Pada kawasan Saparua, produksi tertinggi pada pukat cincin, rata-rata 1.461,5 tontahun. Peningkatan terjadi pada periode 2001- 2006, dan menurun pada periode 2007-2010. Bagan apung yang memberikan kontribusi yang sedang menunjukkan pertumbuhan produksi yang fluktuatif dari waktu ke waktu. Dalam tahun terakhir, produksi bagan apung cenderung menurun. Pada kawasan Pulau Haruku, produksi tertinggi pada pukat cincin, rata- rata 816,7 tontahun, dengan pola pertumbuhan yang fluktuatif. Periode 2001- 2003 menunjukkan adanya peningkatan, namun turun lagi pada dua tahun sesudahnya 2004-2005. Dalam tahun 2006 terjadi peningkatan lagi, namun pergerakannya statis sampai tahun 2008, dan turun di tahun 2009-2010. Bagan apung memiliki dua periode perkembangan produksi, tahun 2001-2005 meningkat dan menurun lagi di tahun 2006-2010. 186 a TNS b Saparua c Pulau Haruku d Leihitu e Salahutu f Amahai g Tehoru h Nusalaut i Kota Masohi Gambar 37 Perkembangan produksi ikan pelagis kecil per kawasan pengembangan di wilayah Selatan Maluku Tengah, tahun 2001 - 2010 V o lu m e p ro d u k si to n V o lu m e p ro d u k si to n V o lu m e p ro d u k si to n V o lu m e p ro d u k si to n V o lu m e p ro d u k si to n V o lu m e p ro d u k si to n V o lu m e p ro d u k si to n V o lu m e p ro d u k si to n V o lu m e p ro d u k si to n Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun 187 Pukat cincin yang memberikan kontribusi produksi tertinggi di kawasan Leihitu, rata-rata 1.846,4 tontahun, yang berfluktuasi produksi selama 10 tahun. Peningkatan dari tahun 2001 ke 2002, diikuti dengan pola turun naik sampai dengan tahun 2010. Bagan apung yang juga memberikan kontribusi produksi yang di tinggi, terutama di tiga tahun terakhir menunjukkan peningkatan selama delapan tahun 2001-2008, namun terjadi penurunan produksi di dua tahun terahkhir. Kawasan Salahutu memiliki kontribusi produksi tertinggi pada perikanan pukat cincin, rata-rata 1.872,8 tontahun, yang menunjukkan adanya dua periode perubahan produksi. Periode pertama tahun 2001-2008 dengan pola peningkatan, dan kedua periode fluktuatif di dua tahun terakhir. Bagan apung bertumbuh secara fluktuatif, cenderung statis pada empat tahun pertama dan fluktuatif di enam tahun terakhir. Kawasan Amahai memiliki tiga jenis alat tangkap yang berkontribusi tinggi adalah pukat cincin rata-rata 976,0 tontahun dan bagan apung rata-rata 964,7 tontahun. Peningkatan tajam terjadi dari tahun 2002-2006 dan turun lagi di empat tahun terakhir. Bagan apung memberikan pola pertumbuhan yang fluktuatif, dan pukat pantai cenderung menurun dari tahun 2002 sampai dengan 2010. Kawasan Tehoru memiliki kontribusi produksi ikan pelagis kecil terbanyak juga dari pukat cincin rata-rata 754,5 tontahun, yang meningkat dari tahun 2001-2006, kemudian turun sampai dengan tahun 2010. Pancing tegak dan bagan apung di kawasan ini memiliki kontribusi produksi yang sedang, dengan pola perkembangan yang fkuktuatif. Kawasan Nusalaut juga mendapat kontribusi produksi tertinggi dari pukat cincin rata-rata 596,1 tontahun, yang menunjukkan peningkatan yang lambat di tahun 2004-2008, namun mengalami penurunan di dua tahun terakhir. Pukat pantai dan jaring insang dengan kontribusi produksi sedang menunjukkan penurunan yang lambat di empat tahun terakhir. Kawasan Kota Masohi termasuk salah satu basis perikanan pukat cincin dan bagan apung yang memberikan kontribusi terbesar bagi produksi ikan pelagis kecil, masing-masing memiliki rata-rata produksi sebesar 811,2 tontahun dan 188 rata-rata 833,0 tontahun. Keduanya memiliki perkembangan yang fluktuatif sepanjang 10 tahun. Tiga API lainnya memberikan kontribusi produksi yang sangat rendah dan memiliki pola perkembangan yang statis. Hasil ini memberikan gambaran tentang adanya pengelompokkan produksi berbasis API di tiap kawasan. Pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil berbasis API di wilayah Selatan Maluku Tengah menunjukkan: 1 basis perikanan pukat cincin terdistribusi di seluruh kawasan kecuali, kawasan TNS; 2 basis produksi perikanan bagan apung hanya di tiga kawasan, yaitu Leihitu, Amahai dan Kota Masohi; 3 kawasan TNS memiliki konsentrasi perikanan pelagis kecil berbasis jaring insang, namun demikian dari tingkat produksi, kawasan ini tidak dapat dipastikan sebagai basis perikanan jaring insang karena kawasan lain seperti Saparua, Leihitu, Tehoru dan Nusalaut memiliki tingkatan produksi yang lebih tinggi.

6.6 Dinamika Pengolahan Hasil Perikanan Pelagis Kecil

Pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil, tidak hanya berdasarkan pada kapasitas kawasan untuk menghasilkan produksi ikan mentah, namun juga perlu didukung dengan kemampuannya dalam melakukan produksi pasca penangkapan ikan melalui kegiatan pengolahan. Pengolahan ikan menurut KKP 2011 adalah semua hasil olahan dari hasil penangkapan ikan untuk semua jenis alat penangkapan ikan, baik hasil penangkapan ikan untuk perikanan industri maupun perikanan rakyat. Hasil identifikasi lapangan menunjukkan bahwa kegiatan pengolahan yang dilakukan di Maluku Tengah hanya melalui dua proses, yaitu: pengolahan ikan kering dan pengolahan ikan asap. Hasil memberikan gambaran bahwa kegiatan pengolahan untuk tujuan industri yang besar masih belum dikembangkan di Maluku Tengah, sehingga kegiatan pengolahan ikan hanya terbatas pada kegiatan pengolahan skala kecil. Gambaran tentang pengolahan hasil perikanan pelagis kecil di Maluku dimulai dengan potensi sumber daya manusia pengolah yang mendukung kegiatan pengolahan ikan tersebut. Jumlah pengolah ikan pelagis kecil di wilayah Selatan Maluku Tengah mencapai 1.250 orang Tabel 23. 189 Tabel 23 Distribusi jumlah pengolah dan rumah tangga pengolah ikan pelagis kecil per kawasan pengembangan di wilayah Selatan Kabupaten Maluku Tengah, Tahun 2010 No Kawasan Pengembangan Jumlah Pengolah Ikan orang Jumlah RT. Pengolah Ikan rumah tangga 1 TNS 66 3,07 22 2,56 2 Saparua 78 3,63 26 3,02 3 Pulau Haruku 147 6,84 64 7,43 4 Leihitu 312 14,51 179 20,79 5 Salahutu 231 10,74 77 8,94 6 Amahai 438 20,37 110 12,78 7 Tehoru 297 13,81 100 11,61 8 Nusalaut 476 22,14 238 27,64 9 Kota Masohi 105 4,88 45 5,23 Total 2.150 100,00 861 100,00 Sumber: DKP Kabupaten Maluku Tengah, 2011 diolah Secara spasial, distribusi jumlah pengolah ikan di wilayah Selatan Maluku Tengah tertinggi di kawasan Amahai dan Nusalaut, dengan kontribusi produksi di atas 20, dan kawasan yang kegiatan pengolahan ikan paling rendah adalah dari kawasan TNS, Saparua dan Kota Masohi, yakni di bawah 5. Dengan demikian, berdasarkan distribusi potensi sumber daya manusia, maka kawasan Amahai dan Nusalaut berpotensi menjasi basis kegiatan produksi di wilayah ini terkonsentrasi di. Namun demikian, hal ini juga harus dibuktikan dengan distribusi produksi hasil pengolahan ikan, baik dalam volume maupun nilai produksinya. Sebelum memberikan pembuktian terhadap perbedaan spasial distribusi produksi hasil olahan ikan, perlu juga diketahui potensi rumah tangga yang berorientasi kegiatan ekonomi produktif berbasis pada hasil pengolahan ikan pelagis kecil. Hasil perhitungan pada Tabel 23 menunjukkan jumlah total rumah tangga pengolah ikan pelagis kecil sebanyak 861 rumah tangga. Distribusinya secara spasial memberikan gambaran bahwa kawasan Nusalaut dan Leihitu memberikan kontribusi terbanyak terhadap distribusi jumlah rumah tangga pengolahan ikan, dengan kontribusi di atas 20. Hasil perhitungan lain tentang distribusi jumlah pengolah dalam tiap rumah tangga pengolah rata- rata tiga orang per rumah tangga pengolah. 190 Pembuktian tentang basis kegiatan pengolahan ikan pelagis kecil dapat dilakukan melalui pencermatan terhadap distribusi produksi hasil pengolahannya. Hasil penelusuran data produksi hasil pengolahan memberikan gambaran tentang perbedaan distribusi spasial hasil olahan ikan. Walaupun distribusi jumlah pengolah dan rumah tangga pengolah terkonsentrasi di Nusalaut, Amahai dan Leihitu, namun berdasarkan volume produksinya, kawasan-kawasan yang menjadi basis produksi pengolahan ikan adalah Saparua, Leihitu, Salahutu dan Kota Masohi dengan rata-rata produksi di atas 87 ton per tahun. Hal ini juga didukung distribusinya berdasarkan nilai produksi, dimana keempat kawasan cenderung menjadi basis pengolahan ikan pelagis kecil dengan rata-rata nilai produksi di atas Rp. 233 juta Gambar 38. Beberapa kondisi yang terkait dengan pengembangan berbasis komoditas, meliputi: 1 hasil pengolahan ikan layang berbasis di kawasan Saparua, Salahutu dan Kota Masohi; 2 olahan ikan selar berbasis di kawasan Leihitu; 3 olahan ikan kembung berbasis di kawasan Saparua dan Nusalaut; 4 olahan ikan sunglir berbasis di kawasan Leihitu dan Tehoru; serta 5 olahan ikan teri berbasis di kawasan kawasan Leihitu dan Kota Masohi. Analisis terhadap dinamika pengolahan hasil perikanan dikembangkan dari alokasi produksi hasil olahan ikan pelagis kecil yang dilakukan oleh masyarakat pengolah di wilayah Selatan Maluku Tengah. Kegiatan pengolahan ikan pelagis kecil utama yang dilakukan di wilayah ini dan tercatat sebagai salah pembentuk ekonomi masyarakat nelayan dan RTP adalah olahan kering dan asapan. Hasil perhitungan rata-rata perkembangan produksi olahan menunjukkan konsentrasi olahan di wilayah ini lebih diarahkan pada produk olahan kering. Hal ini ditunjukkan dari total volume produksinya sebesar 406,7 ton per tahun, sedangkan produk olahan asap hanya mencapai 201,6 ton per tahun Tabel 24. Basis pengolahan ikan pelagis kecil terkonsentrasi pada enam kawasan. Untuk produksi olahan kering, enam kawasan menunjukkan kontribusi di atas 50 ton per tahun, masing-masing Leihitu, Salahutu, Amahai, Tehoru, Nusalaut dan Kota Masohi. Untuk produksi olahan asap, lima kawasan memberikan kontribusi di atas 25 ton per tahun yang meliputi lima kawasan di atas, kecuali Kota Masohi yang memiliki tingkat produksi di bawah 17 ton per tahun. 191 a Volume produksi ton b Nilai produksi Rp. 000 Gambar 38 Distribusi spasial volume a dan nilai b produksi olahan ikan pelagis kecil di wilayah Selatan Maluku Tengah, 2010 Sesuai distribusi secara spasial, kawasan-kawasan yang memiliki produksi olahan tertinggi, baik untuk olahan kering maupun asapan adalah Amahai dan Leihitu yang memberikan kontribusi masing-masing 17,59 dan 16,58. Di sisi 192 lain, kawasan yang memberikan kontribusi paling kecil adalah TNS dengan rata- rata kontribusi 0,61 untuk olahan kering dan 1,62 untuk olahan asap. Tabel 24 Rata-rata tahunan volume produksi hasil olahan ikan pelagis kecil tiap kawasan pengembangan ton di wilayah Selatan Maluku Tengah No Kawasan Pengembangan Rata-Rata Tahunan Olahan Kering Rata-Rata Tahunan Olahan Asap Volume ton Volume ton 1 TNS 2,5 0,61 3,3 1,62 2 Saparua 36,4 8,94 16,5 8,17 3 Pulau Haruku 29,4 7,22 13,7 6,79 4 Leihitu 64,7 15,91 33,4 16,58 5 Salahutu 50,7 12,47 25,1 12,43 6 Amahai 66,0 16,21 35,5 17,59 7 Tehoru 49,2 12,11 28,0 13,88 8 Nusalaut 56,8 13,97 29,5 14,65 9 Kota Masohi 51,1 12,56 16,7 8,29 Total 406,7 100,0 201,6 100,0 Gambaran distribusi spasial juga menerangkan tentang adanya dinamika tahunan yang diberikan oleh setiap kawasan. Dinamika tahunan yang ditunjukkan dengan pemetaan distribusi produk olahan secara grafis menerangkan dinamika yang berbeda untuk kedua jenis produk olahan Gambar 39. Gambar ini memberikan dua pola dinamika yang berbeda untuk masing- masing produk olahan. Pertama, dinamika produk olahan kering menunjukkan adanya dua pola perkembangan. Periode pertama pada tahun 2001-2005 adalah periode dengan pola pertumbuhan positif, dan periode kedua pada tahun 2006- 2010 adalah periode dengan pola pertumbuhan negatif. Namun demikian, kondisi ini diberlaku untuk seluruh kawasan karena empat kawasan di antaranya menunjukkan pola perkembangan positif, yakni Leihitu, Kota Masohi, Tehoru dan Saparua. Identifikasi terhadap pola perkembangan negatif menghasilkan beberapa faktor penyebabnya, yaitu: perkembangan produksi ikan segar yang semakin menurun dan akses terhadap pasar yang sangat lemah. Sebaliknya untuk pola perkembangan positif disebabkan karena perkembangan produksi ikan segar yang