Indeks sentralitas sub sistem manusia

314 Dua kawasan yang memiliki sentralitas sub sistem pengelolaan dalam selang kelas sedang, masing-masing Saparua, Pulau Haruku, Nusalaut, dan Kota Masohi. Oleh sebab itu, keempat kawasan ini termasuk dalam kelompok kawasan yang memiliki status pengembangan sedang. TNS tetap memiliki sentralitas sub sistem pengelolaan dalam selang kelas rendah, sehingga tetap termasuk dalam kawasan yang memiliki status pengembangan lemah. Kebijakan dan strategi pengelolaan yang menyebabkan adanya dinamika pengelolaan menunjukkan kawasan dengan status pengembangan kuat merupakan kawasan dimana terkonsentrasi kebijakan pengelolaan. Dalam konteks keseimbangan kawasan yang terkait denganpengelolaan harus diarahkan pada distribusi kebijakan pengelolaan secara merata di seluruh kawasan. Namun demikian pilihan untuk implementasi kebijakan biasanya diarahkan kawasan yang berpotensi untuk dikembangkan. Kebijakan pengembangan armada penangkapan ikan dan infrastruktur perikanan merupakan pemicu dinamika pengelolaan di setiap kawasan. Demikian halnya dengan implementasi program dalam mendukung pengelolaan perikanan dan pengembangan kawasannya, menjadi bagian terpenting dalam menunjang dinamika sub sistem pengelolaan pada sistem perikanan pelagis kecil. Kawasan dengan status pengembangan sedang juga membutuhkan kebijakan pengelolaan untuk mendorong dinamika pengelolaannya. Eksistensi kawasan ini merupakan pendukung utama untuk menggerakkan pengelolaan kawasan perikanan. Di sisi lain kawasan dengan status pengembangan rendah menjadi perhatian serius untuk mendapat dukungan kebijakan pengelolaan.

8.3.2 Model Agregat: InSist_2

Hasil pada Lampiran 8 juga merepresentasikan analisis dengan menggunakan Model InSist_2. Hasil ini menunjukkan akumulasi nilai seluruh komponen sistem yang menunjukkan adanya perbedaan hirarki tiap kawasan, terkait dengan eksistensi dalam mendukung pengembangan perikanan pelagis kecil di Maluku Tengah. Distribusi nilai sentralitas menunjukkan: 1 kawasan TNS sebesar 3,05; 2 Saparua sebesar 9,76; 4 Pulau Haruku sebesar Leihitu; 5 Salahutu sebesar 315 12,03; 6 Mahai sebesar 14,71; 7 Tehoru sebesar 13,40; 8 Musalaut sebesar 11,83; dan 9 Kota Masohi sebesar 10,83. Hasil ini mebuktikan bahwa Leihitu dan Amahai secara agregat merupakan kawasan yang memiliki sentralitas paling tinggi, sementara TNS merupakan kawasan yang paling rendah indeks sentralitasnya Tabel 59. Dalam berbagai referensi tentang pengembangan wilayah, kawasan dengan tingkatan hirarki I, hirarki II dan hirarki III. Dengan pendekatan ini, maka setiap kawasan dapat dikelompokkan sesuai hirarki dan statusnya. Tabel 59 Pengelompokkan kawasan perikanan pelagis kecil di wilayah Selatan Maluku Tengah berdasarkan status sentralitas sub sistem pengelolaan Kawasan Perikanan InSist_2 Selang Kelas InSist_2 Hirarki TNS 3,05 3,05 - 7,03 III Saparua 7,76 7,04 - 11,01 II Pulau Haruku 9,41 7,04 - 11,01 I Leihitu 14,99 11,02 - 14,99 I Salahutu 12,03 11,02 - 14,99 I Amahai 14,71 11,02 - 14,99 I Tehoru 13,40 11,02 - 14,99 I Nusalaut 11,83 11,02 - 14,99 I Kota Masohi 10,83 11,02 - 14,99 I Secara agregat, tujuh kawasan utama menjadi pusat pengembangan pelagis kecil, yaitu Pulau Haruku, Leihitu, Salahutu, Amahai, Tehoru, Nusalaut dan Kota Masohi. Oleh sebab itu, kawasan-kawasan ini dalam konteks struktur ruang menjadi kawasan yang termasuk dalam hirarki I. Dua kawasan yang termasuk dalam kategori hirarki II adalah Saparua dan Pulau Haruku. Di sisi lain, TNS yang memiliki posisi yang sangat lemah merupakan satu-satunya kawasan yang termasuk dalam kawasan dengan hirarki III. Untuk kepentingan penataan ruang wilayah pengembangan perikanan, eksistensi kawasan dengan struktur atau hirarki yang jelas menjadi dasar untuk menentukan arahan pengembangan wilayah dan pengelolaan ruang. Kawasan- kawasan yang termasuk dalam hirarki I yang berpotensi menjadi pusat 316 pengembangan perikanan juga harus diuji dengan tipologi yang terpetakan untuk setiap kawasan, demikian halnya dengan kwasan hirarki II dan III. Kawasan dengan hirarki II merupakan hinterland aktif sedangkan kawasan dengan hirarki dua merupakan hinterland pasif. Pembedaan hirarki yang dihasilkan di atas, memperlihatkan adanya disparitas sistem perikanan. Hal ini mebuktikan terdapat kesenjangan spasial melakukan fungsi sistem perikanan, baik secara internal di tingkat lokal kawasan maupun secara agregat dengan pelayanan eksternal terhadap kawasan lain. Implikasi potensi peran dan fungsi setiap kawasan juga menjadi dasar` dalam pembagian kawasan atas tiga kelompok. Pertama, kawasan pertumbuhan terkonsentrasi pada hirarki I yang berfungsi sebagai pendukung pertumbuhan kawasan baik dari aspek produksi maupun kontribusi ekonomi bagi wilayah Maluku Tengah. Kedua, kawasan pengembangan yang terkonsentrasi pada hirarki II membutuhkan sentuhan kebijakan pengembangan karena eksistensinya dibutuhkan untuk mendukung kawasan hirarki I. Ketiga, kawasan perantara yang mengembangakan usaha perikanan skala kawasan, namun juga mendapat suplai produksi perikanan dari kawasan hirarki I dan II.

8.3.3 Aplikasi Model InSist bagi pengembangan kawasan perikanan

Kawasan dengan status pengembangan kuat berbasis sentralitas sub sistem alam merupakan kawasan yang membutuhkan pengembangan kapasitas akses dalam pemanfaatan SDI. Peningkatan akses ini tentunya dpat didukung dengan peningkatan kapasitas penangkapan agar dapat ditingkatkan upaya tangkapnya. Hal ini sangat dibutuhkan untuk mempertahankan kegiatan produktif yang terjadi akibat dampak pengenbangan kawasan sebagai pusat kegiatan industri perikanan. Terkait dengan eksistensi kawasan yang memiliki status pengembangan yang kuat berbasis sub sistem manusia, upaya penetapannya sebagai basis indutri perikanan juga diarahkan untuk penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat lokal. Pada kawasan ini juga kegiatan industri perikanan pelagis kecil diharpkan dapat dijalankan dengan baik karena dinamika pada sub sistem manusia bermanfaat untuk meningkatkan produksi komoditas pelagis kecil.