198
Dinamika yang ditunjukkan pada tingkatan perdagangan antara pulau, teridentifikasi dua pola perkembangan Gambar 41a. Pertama, pola
perkembangan positif, dimana peningkatan volume distribusi pada periode 2001- 2008 dengan peningkatan yang tajam pada tahun 2006. Kedua, pola
perkembangan negatif karena terjadi penurunan yang sangat tajam, terutama pada periode tahun 2009 dan 2010.
Dinamika distribusi dan pemasaran untuk orientasi ekspor menununjukkan tiga pola perkembangan Gambar 41b: 1 pola pertumbuhan positif yang lambat
pada periode 2001-2004; 2 pola pertumbuhan positif dengan cepat di tahun 2005-2007; serta 3 sama sekali tidak ada volume ekspor yang dintunjukkan pada
periode 2009-2010. Dinamika yang ditunjukkan pada pola pertama dikondisikan dengan faktor
ketersediaan pasar dengan permintaan yang meningkat lambat. Selama empat tahun pertama peninngkatan yang terjadi karena adanya perkembangan ekspor ke
Jepang dan China. Pola kedua didukung dengan kondisi wilayah yang sangat kondusif pasca konflik sosial untuk megakomodasi permintaan pasar ekspor
sehingga terjadi peningkatan permintaan. Peningkatan yang tajam pada pola kedua ini juga didukung bertambahnya satu negara tujuan ekspor yakni Thailand.
Pola ketiga merupakan kondisi di mana kegiatan ekspor sama sekali tidak dilakukan. Hasil identifikasi lapangan menunjukkan bahwa tidak adanya aktivitas
ekspor terkait dengan dua faktor utama, yaitu: 1 tidak adanya kelanjutan permintaan ikan pelagis kecil dari ketiga negara tujuan ekspor; dan 2 aktivitas
perusahaan asing yang melakukan kegiatan pengapalan ikan di ketiga kawasan telah menghentikan aktivitas mereka sejak awal tahun 2009.
Dinamika distribusi dan pemasaran di wilayah ini, pada tingkat lokal dan antar kawasan, antar pulau serta ekspor, berkaitan erat dengan kapasitas wilayah
dalam mengakomodasi prosesnya. Pertama, produksi yang tinggi akan menuntut pelaku usaha perikanan ekpansi dalam distribusi dan pemasaran produknya.
Kedua, dukungan investasi terkait dengan penyiapan infrastruktur perikanan yang mendukung proses penampungan dan penyimpanan produk.
199
a Volume pemasaran antar Pulau kg
a Volume ekspor kg Gambar 41. Perkembangan pemasaran produksi ikan pelagis kecil per
kawasan pengembangan di wilayah Selatan Maluku Tengah, tahun 2001 - 2010
Ketiga, kemampuan menarik investasi ke dalam wilayah untuk penyiapan infrastruktur perikanan yang dikembangkan swasta sebagai media dalam
menjembatani hasil produksi dari nelayan ke eksportir. Keempat, kebijakan
200
pemerintah dalam mengakomodasi kerjasama ekspor dan pengembangan infrastruktur perikanan internal wilayah.
Beberapa pandangan berikut memberikan pembenaran dinamika distribusi dan pemasaran produk perikanan yang terjadi di Maluku Tengah. Studi Infofish
2008 pada tiga negara di Asia menemukan dua tingkatan tujuan distribusi dan pemasaran, pasar lokal dan ekspor. Pasar tingkat lokal akan cenderung
mengakomodasi produk dari seluruh kawasan perikanan yang dengan berbagai kapasitasnya, sedangkan tingkatan ekspor mengakomodasi produk dari kawasan
yang memiliki kapasitas produksi yang tinggi. Dinamika distribusi dan pemasaran produk perikanan ditentukan oleh
batasan-batasan ruang yang dapat dijangkau oleh suatu kawasan perikanan. Jaringan pemasaran menjadi syarat berkembang tidaknya suatu proses distribusi
produk perikanan. Penguasaan terhadap jalur dan akses yang terbuka terhadap pemasaran menjadi penentu naik turunnya distribusi Diei-Ouadi, 2005.
Dukungan pemerintah melalui kebijakan pengembangan infrastruktur perikanan seperti pelabuhan perikanan dan coldstorage serta sistem perizinan
perdagangan produk perikanan, menjadi basis untuk meningkatkan dinamika distribusi dan pemasarannya. Implementasi kebijakan dan pengawasan intensif
dalam mendukung aktivitas perikanan tangkap di tingkat basis merupakan hal mendasar untuk tetap mempertahankan keberlanjutan distribusi dan pemasaran
produk perikanan Diei-Ouadi, 2005; Mensah, 2005; dan Infofish, 2008.
6.8 Implikasi Dinamika Sub Sistem Manusia Bagi Pengembangan Kawasan Perikanan
Dinamika yang terjadi pada seluruh sub sistem manusia di Wilayah Selatan Maluku Tengah memberikan dampak terhadap seluruh kegiatannya di
wilayah ini. Penelitian ini mengemukakan beberapa kondisi penting yang dibutuhkan dalam perencanaan pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil.
Beberapa kondisi yang dimaksudkan terkait dengan implikasinya bagi pengembangan kawasan meliputi: 1 dampak terhadap kapasitas dan upaya
penangkapan; 2 kelayakan finansial; 3 pendapatan per kapita nelayan; 4 alat tangkap pilihan; dan 5 komoditas unggulan.
201
6.8.1 Kapasitas dan upaya penangkapan standar
Dinamika yang ditunjukkan baik pada perkembangan volume produksi maupun upaya penangkapan sangat berpengaruh terhadap pembentukan nilai
upaya tangkap per hasil penangkapan ikan pelagis kecil CPUE. Analisis terhadap perkembangan CPUE merupakan pengantar untuk menghitung indeks
kapasitas tangkap FPI dari setiap jenis unit penangkapan ikan dominan Lampiran 3.
Sesuai dengan hasil perhitungan CPUE, teridentifikasi CPUE tertinggi ialah pada pukat cincin dengan nilai rata-rata 0,4402 ton per trip, kategori sedang
pada unit penangkapan bagan apung dan pukat pantai dengan nilai rata-rata masing-masing 0,3833 tontrip dan 0,3241 tontrip, sementara kedua alat
penangkapan lainnya teridstribusi pada kategori rendah dengan nilai rata-rata masing-masing jaring insang 0,1038 dan pancing tegak 0,0711 tontrip.
Fluktuasi distribusi nilai CPUE yang ditunjukkan dalam Gambar 42 mengindikasikan dinamikanya secara temporal. Pertama, pukat cincin memiliki
pola perkembangan yang menurun secara lambat pada periode tahun 2001 - 2005, namun mengalami perkembangan relatif tetap tahun 2007 dan 2008, selanjutnya
pada dari tahun 2009 dan 2010. Kedua, bagan apung menunjukkan peningkatan nilai CPUE pada periode
tahun 2001 – 2005, namun pada tahun 2006 - 2008 mengalami fluktuasi yang tidak terlalu jauh, sedangkan pada periode selanjutnya menunjukkan penurunan.
Ketiga, pukat pantai menunjukkan fluktuasi pada periode tahun 2001 – 2005, berkembang sangat lambat pada periode 2006 – 2010. Keempat, pancing tegak
dan merupakan alat-alat penangkapan ikan yang menunjukkan perkembangan yang berbeda dengan ketiga alat tangkap dominan lainnya. Perkembangan sangat
datar sejak tahun 2001 – 2006, dan meningkat lambat pada periode 2007 -2010. Secara umum perkembangan yang ditunjukkan oleh kelima alat tangkap
mengalami perkembangan yang lambat di tahun 2001 – 2005. Hal ini sangat berkaitan dengan kondisi wilayah Maluku Tengah yang tidak akomodatif terhadap
kegiatan pemanfaatan sumber daya ikan pelagis kecil.
202
Gambar 42 Upaya tangkap per hasil penangkapan ikan pelagis kecil tiap alat tangkap dominan di perairan Selatan Maluku Tengah, tahun 2001 - 2010
Alat tangkap pukat cincin dan bagan mengalami penurunan pada tiga tahun terakhir 2008 – 2010. Kondisi ini disebabkan peningkatan jumlah alat
tangkap yang cepat, tidak diikuti dengan peningkatan produksi yang signifikan. Di sisi lain, alat tangkap pukat cincin, jaring insang dan pancing tegak menunjukkan
peningkatan pada tahun 2006 – 2010 karena ketiga alat penangkapan ini menjadi pilihan aletrnatif bagi nelayan miskin di wilayah Selatan Maluku Tengah.
Hasil perhitungan indeks kapasitas penangkapan FPI seperti pada menunjukkan pukat cincin merupakan alat tangkap dominan dengan nilai FPI
1,0000. Capaian nilai tersebut disebabkan karena alat tangkap ini memiliki nilai CPUE yang paling tinggi, sehingga menjadi alat tangkap standar untuk perikanan
pelagis kecil di Maluku Tengah. Di sisi lain, nilai FPI keempat alat tangkap lainnya masing-masing: pukat pantai 0,7363, jaring insang 0,2358, bagan 0,8707,
dan pancing tegak 0,1616. Berdasarkan capaian nilai FPI, ditentukan upaya standar yang hasilnya
dinyatakan pada Tabel 26, dimana terdapat beberapa perkembangan yang berbeda untuk setiap alat penangkapan ikan. Pertama, pukat pantai menunjukkan
C P
U E
ton t
ri p
Tahun
203
peningkatan upaya standar sampai tahun 2004 dan turun sejak tahun 2005 sampai 2010.
Tabel 26 Upaya penangkapan standar unit alat tangkap ikan pelagis kecil dominan di perairan Maluku Tengah tahun 2001 – 2010
Tahun Pukat pantai
trip Pukat cincin
trip Jaring
insang trip Bagan apung
trip Pancing
tegak trip 2001
4.302 20.743 2.613
13.206 1.990
2002 4.351 20.807
2.635 13.206
2.002 2003
4.394 20.891 2.660
13.243 2.016
2004 4.418 20.950
2.679 13.295
2.031 2005
4.371 20.888 2.661
13.221 2.017
2006 4.362 20.894
2.668 13.187
2.012 2007
4.338 20.878 2.658
13.156 1.987
2008 4.329 20.874
2.647 13.119
1.974 2009
4.295 20.270 2.620
13.070 1.962
2010 4.241 20.340
2.556 12.838
1.930
Kedua, pukat cincin menunjukkan peningkatan pada tahun 2001 – 2004, turun pada tahun 2005 – 2009, dan ditahun terakhir meningkat lambat. Ketiga,
jaring insang mengalami perkembangan yang fluktuatif dimana sejak tahun 2001 sampai 2005, dan menurun sampai dengan tahun 2010. Keempat, bagan
menunjukkan peningkatan pada tahun 2001 – 2004, turun lambat sampai dengan tahun 2009, dan meningkat lambat di tahun 2010. Sementara pancing tegak
menunjukkan perkembangan sangat flat pada tahun 2001- 2005, kemudian turun lambat tahun 2006 – 2009 dan meningkat lagi di tahun 2009.
Hasil standarisasi yang memberikan perubahan pada nilai CPUE dan upaya penangkapan, tentunya memberikan konsekuensi terhadap perubahan
hubungannya. Oleh sebab itu, analisis terhadap hubungan keduanya menjadi penting untuk dilakukan, dimana pendekatan OLS digunakan untuk menunjukkan
hubungan tersebut melalui analisis regresi. Hasil regresi menunjukkan nilai koefisien α sebesar 1,764 dan β sebesar
-3,09E-05. Dengan demikian persamaan regresi yang menyatakan hubungan CPUE dan upaya standar dapat ditulis dengan ht = 1,764 – 0,0000309Et.
204
Hubungan secara grafis ditunjukkan pada Gambar 43, yang menggambarkan terjadinya penurunan CPUE sepanjang peningkatan upaya penangkapan. Hasil ini
membuktikan bahwa CPUE yang menjadi indikator produktivitas unit penangkapan dipengaruhi oleh intensitas penangkapan yang bersifat negatif.
Gambar 43 Hubungan CPUE dan upaya standar ikan pelagis kecil di perairan Selatan Maluku Tengah, tahun 2001 - 2010
Kondisi yang ditemukan ini diduga kuat berhubungan dengan faktor lingkungan dan faktor eksternal lainnya. Faktor lingkungan yang dimaksudkan
adalah kondisi perairan yang tidak akomodatif karena musim ombak dan arus yang kuat, perkembangan produksi yang semakin menurun dan dukungan pasar
untuk mengakomodasi distribusi produk semakin kecil. Kondisi yang dikemukakan terakhir terkait dengan distribusi dan
pemasaran produk ikan pelagis kecil hanya terbatas pada perdagangan lokal dan antar pulau. Peluang distribusi dan pemasaran dalam lingkup ekspor sama sekali
tidak terakomodasi pada dua sampai dengan tahun terakhir.
6.8.2 Kelayakan usaha secara finansial
Analisis kelayakan finansial dilakukan terhadap kelima jenis unit penangkapan ikan dominan di wilayah Selatan Maluku Tengah, untuk mengetahui