16
c Dinamika produksi perikanan juga ditunjukkan dengan perkembangan
secara tahunan yang dinyatakan dengan distribusi 10 jenis komoditas pelagis kecil unggulan.
d Dinamika pengolahan hasil perikanan ditunjukan dengan adanya
perubahan-perubahan yang terjadi pada nilai produk nilai tambah. Tentunya eksistensi produk olahan sangat tergantung pada sumber daya
manusia pengolah yang dinyatakan dinamikanya secara spasial. e
Dinamika pemasaran dan distribusi hasil perikanan tergambar pada sistem pemasaran dan pola distribusi hasil perikanan, umumnya tidak statis,
namun dinamis lintas ruang spasial. 3
Sub sistem pengelolaan; dengan representasi dinamika kebijakan pemerintah pada level nasional, provinsi dan kabupaten yang berpengaruh terhadap
implementasi kebijakan, kinerja dan capaian tujuan pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil
Dinamika yang ditunjukan oleh seluruh sub sistem perikanan pelagis kecil mengandung unsur dinamika waktu pengelolaan dan dinamika ruang pengelolaan.
Hal inilah yang menjadi basis kajian tentang adanya dinamika spasial dalam sistem perikanan pelagis kecil. Dinamika seluruh sub sistem memberikan
implikasi yang berbeda dalam pengembangan tiap kawasan perikanan. Pertama, dinamika sub sistem alam berimplikasi pada aksesibilitas DPI.
Kedua, dinamika sub sistem manusia berimplikasi pada upaya tangkap standar, distribusi potensi SDI berbasis produksi, kelayakan finansial, komoditas unggulan
dan API pilihan. Ketiga, dinamika sub sistem pengelolaan berbasis kebijakan berimplikasi terhadap implementasi kebijakan pengelolaan dan dinamika
pengelolaannya yang dijustifikasi dengan pendekatan model persamaan struktural. Berdasarkan model yang terbentuk sebagai susunan dari akumulasi
dinamika spasial seluruh komponen sistem perikanan, maka pilihan-pilihan terhadap kawasan pengembangan perikanan pelagis kecil menjadi kuat melalui
pelingkupan kawasan-kawasan pengembangannya. Model pelingkupan kawasan pengembangan perikanan pelagis mengacu pada dua model dinamika spasial yang
dikembangkan secara bersama untuk pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil, meliputi: 1 Model Tipologi Kawasan Pengembangan berbasis dinamika
17
sistem perikanan pelagis kecil TipoSan; dan 2 Model Indeks Sentralitas Sistem Perikanan Pelagis Kecil InSist.
Secara parsial, Model TipoSan dielaborasi menjadi dua model turunan, yakni: TipoSan_1 untuk penentuan status tipologi kawasan, dan TipoSan_2 untuk
penentuan basis komoditas unggulan tiap kawasan. Model InSist juga dielaborasi menjadi dua model turunan, InSist_1 untuk penentuan sentralitas sub sistem
secara parsial yang menghasilkan status kekuatan pengembangan kawasan, dan InSist_2 untuk menjustifikasi sentralitas sistem perikanan secara agregat untuk
menentukan hirarki dalam rangka perencanaan pengembangan kawasan perikanan.
Integrasi Model TipoSan dan InSist merupakan tujuan umum penelitian, yang disebut sebagai Model Kembar atau Model Dinamika Spasial yang disingkat
MoDiS. Model ini dikembangkan untuk menentukan prioritas pengembangan
kawasan yang terbagi atas tiga tingkatan prioritas, masing-masing: primer, sekunder dan tersier.
1.7 Kebaharuan
Kebaharuan dari disertasi tentang Model Dinamika Spasial Sistem Perikanan: Kasus Pengembangan Kawasan Perikanan di Kabupaten Maluku
Tengah adalah: 1.
Pendekatan metodologis yang mengaplikasikan aspek spasial untuk kajian pengembangan kawasan perikanan melalui identifikasi dinamika spasial
sistem perikanan secara holistik. Integrasi komponen sub sistem alam, manusia dan pengelolaan berbasis kebijakan untuk mengkaji aspek dinamika
spasial bagi pengembangan kawasan merupakan pendekatan metodologis yang menjadi unsur kebaruan dalam penelitian ini.
2. Proses penggabungan metode yang menghasilkan tipologi kawasan dan indeks
sentralitas kawasan pengembangan perikanan. Oleh sebab itu, muncul dua metode baru: TipoSan dan InSist. Pertama, Model TipoSan dibagi menjadi
dua model, masing-masing TipoSan_1 untuk menentukan status kawasan pengembangan, dan TipoSan_2 untuk menentukan kawasan-kawasan basis
komoditas pelagis kecil unggulan sesuai tipologinya. Kedua, Model InSist
18
yang dikembangkan menjadi dua model, masing-masing InSist_1 untuk menentukan sentralitas setiap sub sistem perikanan, dan InSist_2 yang
digunakan untuk menentukan hirarki kawasan pengembangan perikanan. 3.
Metode analisis dinamika spasial sistem perikanan untuk kepentingan pengembangan kawasan perikanan yang disebut dengan MoDiS Model
Dinamika Spasial mengakomodasi integrasi dua variabel utama TipoSan dan Insist. MoDis merupakan model baru yang dikembangkan untuk menentukan
prioritas pengembangan kawasan.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistem Perikanan Berkelanjutan
Tinjauan teoritis tentang sistem perikanan berkelanjutan banyak mengacu pada pikiran-pikiran Charles 2001 dalam bukunya tentang Sustainable Fisheries
System. Pikiran-pikiran ini juga dilengkapi dengan berbagai tinjauan tentang pendapat ilmiah dari beberapa penulis danatau peneliti yang mengembangkan
tulisan dan penelitiannya untuk kepentingan pengelolaan perikanan. Dalam tinjauan ini, sistem perikanan difokuskan pada sistem perikanan pelagis kecil.
2.1.1 Sub sistem alam dalam sistem perikanan pelagis kecil 2.1.1.1 Faktor-faktor lingkungan oseanografi
1 Suhu permukaan laut Ilahude 1999 menjelaskan bahwa salah satu parameter oseanografi yang
mencirikan massa air laut di lautan ialah suhu. Massa air yang terdapat di laut berbeda–beda karakteristiknya dari suatu tempat ke tempat yang lain. Untuk
menandai berbagai macam karateristik massa air laut tersebut dipakai parameter suhu sebagai indikator, karena itu karakter sebaran suhu dipakai untuk mengetahui
adanya sebaran massa air. Sebaran suhu di perairan Indonesia menurut Nontji 1993, pada dasarnya
dapat dibedakan menjadi menjadi tiga lapisan yaitu: 1.
Lapisan hangat homogenous layer di lapisan atas merupakan lapisan yang memiliki suhu hangat sekitar 18
° C yang homogen pada lapisan teratas
sampai kedalaman 50-70 m. 2.
Lapisan termoklin discontinuity layer di lapisan tengah merupakan lapisan dimana suhu menurun dengan cepat dan terdapat pada kedalaman 100-200
meter. 3.
Lapisan dingin deep layer di lapisan dalam merupakan lapisan dengan suhu dingin, biasanya kurang dari 5
° C pada kedalaman lebih dari 100 meter.
Hela dan Laevastu 1970 menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi suhu permukaan laut SPL adalah kondisi meteorologi, arus
permukaan, ombak, upwelling, divergensi, konvergensi dan perubahan bentuk es
20
di daerah kutub. Faktor-faktor meteorologi yang mempunyai peranan dalam hal ini adalah curah hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan
angin dan intensitas matahari. Dengan demikian, suhu permukaan laut biasanya mengikuti pola musiman.
Suhu perairan sangat mempengaruhi pertumbuhan ikan, aktivitas dan mobilitas gerakan, ruaya, penyebaran, kelimpahan penggerombolan, maturasi,
fekunditas, pemijahan, masa inkubasi dan penetasan telur serta kelulusan hidup larva ikan. Perubahan suhu perairan di bawah suhu normal atau suhu optimal
menyebabkan penurunan aktivitas gerak dan aktivitas makan serta menghambat berlangsungnya proses pemijahan. Pada umumnya semakin bertambah besar
ukuran dan semakin tua ikan, ada kecenderungan menyukai dan mencari perairan dengan suhu yang lebih rendah di perairan yang lebih dalam. Menurut Gunarso
1985 fluktuasi suhu dan perubahan geografis merupakan faktor paling penting dalam penentuan daerah penangkapan ikan.
Laevastu dan Hayes 1981 mempelajari pengaruh faktor oseanografi terhadap sebaran ikan pelagis dari berbagai daerah penangkapan yang
menunjukkan bahwa parameter utama yang sangat mempengaruhi sebaran ikan pelagis ialah suhu dan arus. Selanjutnya dikemukakan bahwa banyaknya hasil
tangkapan dan melimpahnya populasi ikan pelagis sangat terkait dengan perubahan suhu perairan.
Menurut Hela dan Laevastu 1970, untuk meramalkan berhasil tidaknya suatu penangkapan ikan harus memperhatikan:
1. Suhu optimum dari semua jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan;
2. Pengamatan hidrografi dan meteorologi untuk memberikan keterangan
mengenai isotermal permukaan; 3.
Perubahan keadaan hidrografi harus dapat diramalkan; Lebih lanjut dikemukakan, suhu perairan berpengaruh secara langsung terhadap
kehidupan laut. Pengaruh tersebut meliputi laju fotosintesis tumbuh-tumbuhan dan proses fisiologis hewan, khususnya metabolisme dan siklus reproduksi ikan
yangmempunyai kisaran suhu optimum untuk hidupnya. Pengetahuan tentang suhu optimum ini akan bermanfaat dalam peramalan keberadaan kelompok ikan,
sehingga dapat dengan mudah dilakukan penangkapan.
21
Untuk kepentingan analisis daerah penangkapan ikan, Harsanugraha dan Parwati 1996 menyatakan data SPL dapat diperoleh melalui dua metode, yaitu:
1. Metode konvensional, dengan melakukan pengukuran secara langsung di
lokasi pengamatan menggunakan alat-alat pengukur suhu di permukaan laut; 2.
Metode estimasi data SPL, dengan cara memanfaatkan potensi dan kemampuan wahana satelit penginderaan jauh.
Terkait dengan keterkaitan distribusi ikan pelagis kecil dengan SPL, Indrawatit 2000 menyatakan bahwa ikan pelagis kecil dari jenis lemuru
Sardinella lemuru yang tertangkap di perairan Selat Bali berada pada kisaran suhu permukaan laut 25,01
o
C – 29,00
o
C. Nurdin et al. 2012 dalam penelitiannya menemukan bahwa salah satu ikan jenis pelagis kecil, kembung R. kanagurta
memiliki kisaran SPL yang disukai antara 29,94 ± 0,230
o
C.
2 Klorofil-a Klorofil-a adalah salah satu pigmen fotosintesis yang paling penting bagi
organisme yang ada di perairan. Ada tiga macam klorofil yang dikenali hingga saat ini dan dimiliki fitoplankton yaitu, klorofil-a, klorofil-b, dan klorofil-c. Di
samping itu ada beberapa jenis pigmen yang paling umum terdapat pada fitoplankton, oleh karena itu konsentrasi fitoplankton sering dinyatakan dalam
konsentrasi klorofil-a Parson et al., 1984.
Kecepatan pembentukan bahan organik dalam proses fotosintesis pada satu luasan tertentu dari perairan dikenal dengan produktivitas primer perairan. Di
lautan fitoplankton memegang peranan penting sebagai produsen primer. Oleh karena itu klorofil-a fitoplankton sering dinyatakan sebagai indeks produktivitas
biologi di lingkungan oseanik yang dikaitkan dengan produksi ikan. Konsentrasi klorofil yang tinggi lebih dari 2.0 mgm
3
dapat menopang perkembangan perikanan komersial.
Konsentrasi klorofil-a di lautan memiliki nilai yang berbeda secara vertikal, dimana hal ini dipengaruhi oleh faktor-faktor oseanografi seperti suhu
permukaan laut, angin, arus dan lain-lain. Fluktuasi nilai tersebut bisa diamati dengan melakukan pengukuran secara langsung atau dengan menggunakan
teknologi inderaja. Konsentrasi klorofil-a di suatu perairan dapat memberikan