168
Tengah, meliputi kawasan Leihitu dan Amahai. Kedua kawasan ini merupakan kawasan dengan basis kegiatan ekonomi produktif pada perikanan tangkap,
khussusnya perikanan pelagis kecil. Kawasan lain seperti Salahutu dan Pulau Haruku yang memiliki
pertumbuhan tinggi pada periode 2008-2009 merupakan dampak dari adanya kebijakan Pemerintah Maluku Tengah dalam rangka pengembangan sumberdaya
manusia perikanan tangkap. Dalam tataran implementasi, program yang dikembangkan adalah mengupayakan peningkatan jumlah dan mutu nelayan,
pengolah ikan, pelaku pasar ikan dan buruh nelayan. Kondisi demikian juga terjadi pada dinamika yang ditunjukkan oleh
perkembangan rumah tangga perikanan RTP. Dinamika RTP yang ditunjukkan selama enam tahun pembangunan perikanan di Maluku Tengah menggambarkan
adanya perbedaan laju perubahan pada setiap kawasan Gambar 34.
Gambar 34 Dinamika pertumbuhan rumah tangga perikanan tahunan di wilayah Selatan Maluku Tengah
Hasil analisis menunjukkan hampir seluruh kawasan memiliki pertumbuhan RTP yang juga seragam dari tahun ke tahun, yakni antara 0,00 –
4,00. Perkembangannya secara tahunan menunjukkan dinamika RTP pada tiap
Periode perkembangan tahun T
ingka t pe
rt um
b uha
n
169
kawasan sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 38. Pertama, pada periode 2005- 2006, pertumbuhan RTP paling tinggi terjadi pada kawasan Nusalaut 2,46.
Kedua, pada periode 2006-2007, pertumbuhan nelayan paling tinggi adalah Amahai 3,97. Ketiga, pada periode 2007-2008, pertumbuhan yang tinggi juga
terjadi pada kawasan Tehoru 3,12 dan Nusalaut 3,01. Keempat, periode 2008-2009, pertumbuhan yang tinggi adalah kawasan Pulau Haruku 4,68, dan
Salahutu 4,65. Kelima, pada periode 2009-2010 pertumbuhan paling tinggi adalah kawasan Kota Masohi dengan pertumbuhan 2,50.
Secara umum, dinamika yang ditunjukkan oleh perubahan jumlah nelayan dan RTP tahunan di setiap kawasan pengembangan perikanan pelagis kecil pada
wilayah Selatan Maluku Tengah menunjukkan adanya perkembangan kebutuhan tenaga kerja pada usaha perikanan pelagis kecil. Kebijakan pemerintah Maluku
Tengah yang memihak pada peningkatan jumlah nelayan juga berdampak pada perkembangan nelayan. Di sisi lain, perkembangan yang ditunjukkan pada RTP,
memiliki keterkaitan dengan perkembangan umur anggota keluarga nelayan, sehingga terjadi pembentukan RTP baru.
Hasil wawancara lapangan menemukan adanya pertumbuhan positif pada jumlah nelayan juga disebabkan karena pilihan masyarakat pulau kecil dan pesisir
terhadap mata pencaharian di sektor perikanan. Variasi pilihan mata pencaharian yang sempit sesuai dengan ketersediaan sumberdaya di sekitar kawasan pesisir
dan pulau-pulau kecil menyebabkan masyarakat di kawasan ini terkonsentrasi pada pengembangan usaha perikanan pelagis kecil.
Stevenson et al. 2011 dalam kajiannya tentang pengaruh perilaku nelayan terhadap produktivitas usaha penangkapan menerangkan perkembangan
jumlah nelayan terjadi ketika kepuasan nelayan untuk memasuki sektor perikanan dan mengembangkan usaha perikanannya karena ketersediaan sumberdaya
perikanan untuk dimanfaatkan. Perkembangan jumlah nelayan dan RTP juga disebabkan masyarakat pesisir dan pulau kecil mempertahankan dan
mengembangkan usaha perikanannya karena mata pencaharian sebagai nelayan memberikan manfaat ekonomi. Nelayan di sekitarnya akan mengembangkan
usaha perikanan karena keberhasilan nelayan lain dalam meningkatkan pendapatan mereka dari sektor perikanan Pollnac and Poggie, 2006; 2008.
170
6.4 Dinamika Alat Penangkapan Ikan dan Upaya Penangkapan 6.4.1 Dinamika perkembangan alat penangkapan ikan pelagis kecil
Sebagai dampak dari perbedaan jumlah nelayan dan RTP, distribusi jumlah alat penangkapan ikan pelagis kecil di Maluku Tengah juga berbeda untuk
tiap kawasan pengembangan perikanan pelagis kecil. Sesuai dengan hasil identifikasi terhadap alat tangkap yang diperuntukan untuk penangkapan ikan
pelagis kecil, ditemukan lima jenis alat tangkap utama, masing-masing: pukat pantai, pukat cincin, jaring insang, bagan perahu dan pancing tegak Tabel 18.
Tabel 18 Distribusi alat penangkapan ikan pelagis kecil unit per kawasan pengembangan di wilayah Selatan Kabupaten Maluku Tengah, Tahun 2010
No Kawasan
Pengembangan Pukat
Pantai Pukat
Cincin Jaring
Insang Bagan
Perahu Pancing
Tegak Jumlah
1 TNS
19 17
36 0,79
2 Saparua
25 15
461 26
408 935
20,56 3
Pulau Haruku 3
20 149
8 272
452 9,94
4 Leihitu
15 16
121 10
374 536
11,79 5
Salahutu 8
11 103
15 184
321 7,06
6 Amahai
33 4
146 9
127 319
7,02 7
Tehoru 3
9 188
2 986
1.188 26,13
8 Nusalaut
54 7
317 149
527 11,59
9 Kota Masohi
2 20
71 15
125 233
5,12 Total
143 102
1.575 85
2.642 4.547
100,00 tiap alat
3,14 2,24
34,64 1,87
58,10 100,00
Sumber: DKP Kabupaten Maluku Tengah, 2011 diolah
Penggunaan alat tangkap untuk kepentingan penangkapan ikan pelagis kecil di Maluku Tengah masih tergolong tradisional sampai dengan semi
moderen. Hal ini tergambar dari distribusi jumlah untuk tiap jenis alat tangkap, dimana proporsi tertinggi adalah pada alat tangkap pancing tegak 58,10. Jenis
alat tangkap lainnya hanya memiliki proporsi di bawah 5 , kecuali jaring insang yang mencapai proporsi 34,64 .
Distribusi spasial jumlah total seluruh jenis alat tangkap utama memperlihatkan kawasan Tehoru memiliki proporsi yang paling tinggi 26,13
171
dengan kontribusi tertinggi pada alat tangkap pancing tegak. Di sisi lain, kawasan lain yang memberikan kontribusi cukup tinggi adalah Saparua, Leihitu dan
Nusalaut. Walaupun masih didominasi oleh alat tangkap tradisional seperti pancing tegak, namun pada kawasan-kawasan ini telah berkembang jenis alat
tangkap semi moderen seperti pukat cincin dan bagan perahu. Dinamika alat penangkapan ikan API yang dikaji dalam penelitian ini
adalah perkembangan jumlahnya pada tiap kawasan pengembangan perikanan pelagis kecil. Alat penangkapan ikan yang digunakan dalam analisis ini meliputi
lima jenis alat penangkapan ikan pelagis kecil yang dominan di wilayah Selatan Maluku Tengah, masing-masing: pukat pantai, pukat cincin, jaring insang, bagan
apung dan pancing tegak. Kriteria analisis untuk menentukan kelima API ini adalah: 1 memiliki distribusi jumlah yang dominan; dan 2 memberikan
kontribusi yang cukup besar dalam produksi ikan pelagis kecil. Pada tahap ini dilakukan koreksi terhadap data yang tersedia, baik dari identifikasi lapangan
maupun melalui kajian kontribusi setiap jenis alat tangkap. Analisis ini dilakukan dengan pendekatan ekspresi grafis dari
perkembangan jumlah kelima API secara parsial sebagaimana dipetakan pada Gambar 35. Hasil pemetaan perkembangan API menunjukkan adanya dua gejala
utama, yaitu 1 peningkatan jumlah; 2 tidak terjadi peningkatan statis; dan 3 penurunan jumlah.
Secara total, dalam kurun waktu tahun 2001 sampai dengan 2010, terjadi peningkatan pukat pantai sebanyak 19,17, pukat cincin 50,00, jaring insang
79,79, bagan apung 84,78, dan pancing tegak 1,11. Hasil ini menunjukkan bahwa selama 10 tahun pembangunan perikanan Maluku Tengah, terjadi
peningkatan jumlah API. Namun demikian, jika dipelajari perkembangan secara parsial dan tahunan, terdapat dinamika yang sangat tinggi terkait dengan
perubahan jumlah API.
172
a Pukat pantai b Pukat cincin
c Jaring insang d Bagan apung
e Pancing tegak Gambar 35 Perkembangan alat tangkap ikan pelagis kecil dominan di wilayah Selatan
Maluku Tengah, tahun 2001 - 2010
Analisis secara parsial menunjukkan perkembangan yang berbeda untuk kelima jenis API. Pertama, perkembangan pukat pantai menunjukkan adanya pola
Ju m
la h
A P
I u
n it
Ju m
la h
A P
I u
n it
Ju m
la h
A P
I u
n it
Ju m
la h
A P
I u
n it
Ju m
la h
A P
I u
n it
173
perubahan tidak terlalu dinamis karena umunnya menunjukkan pola yang statis, kecuali untuk kawasan Nusalaut yang menunjukkan peningkatan, kemudian
terjadi penurunan mulai tahun 2007 sampai dengan 2010. Pola lain yang ditunjukkan untuk kawasan Tehoru dimana selama lima tahun pertama terjadi
penurunan jumlah, yang diikuti dengan pola statis pada periode 2006-2010. Pola perkembangan jenis API pukat pantai yang cenderung statis dan pada
beberapa kawasan terjadi penurunan, menunjukkan tidak ada upaya nelayan untuk pengembangan usaha perikanan pukat pantai. Hasil lapangan memberikan
justifikasi tentang kondisi ini yang sangat terjadi akibat beberapa hal sebagai berikut: 1 tingginya biaya operasional yang tidak diikuti dengan tingkat
keuntungan yang baik; 2 kondisi pada butir 1 terjadi karena produksi yang didapatkan semakin menurun dalam kurun waktu 10 tahun terakhir; yang
disebabkan oleh 3 berkurangnya stok ikan di perairan. Ketiga kondisi ini diduga merupakan dampak dari penggunaan ukuran
mata jaring yang relatif kecil, sehingga ikan-ikan berumur muda dari kelompok ikan yang menjadi tujuan tangkap tidak memiliki peluang untuk beregenerasi.
Oleh sebab itu, sejak tahun 2008, DKP Kabupaten Maluku Tengah tidak lagi mengakomodasi perizinan terkait pengembangan perikanan pukat pantai.
Kedua, perkembangan pukat cincin yang menunjukkan pola yang sangat dinamis, dan secara total terjadi peningkatan yang signifikan untuk kawasan Kota
Masohi, Pulau Haruku, Saparua, Tehoru, Salahutu dan Nusalaut. Namun demikian, Kawasan Leihitu dan Amahai cenderung menunjukkan pola yang
statis, terutama untuk lima tahun terakhir. Pola peningkatan yang terjadi untuk pukat cincin disebabkan karena: 1
meningkatnya investasi yang dilakukan oleh nelayan untuk pengembangan usaha; 2 adanya dukungan kebijakan pemerintah dalam pengembangan usaha melalui
peningkatan jumlah armada. Khusus untuk kawasan Leihitu, pada tiga tahun awal sempat terjadi penurunan jumlah, hal ini disebabkan oleh kondisi keamanan yang
tidak terjamin untuk pengoperasian, sehingga beberapa unit dijual kepada nelayan-nelayan di luar Maluku Tengah.
Kawasan Amahai memiliki perkembangan yang sangat lambat dan dominan statis sepanjang sembilan tahun terakhir. Pola perkembangan ini terjadi
174
karena: 1 tidak berkembangnya investasi oleh nelayan dalam kawasan untuk pengembangan usaha pukat cincin; 2 jumlah nelayan yang memiliki ketrampilan
dalam pengoperasian pukat cincin sangat terbatas; sehingga 3 terjadi pembatasan alokasi bantuan alat tangkap oleh pemerintah.
Ketiga, perkembangan untuk jaring insang maupun bagan apung pola peningkatan yang lambat. Kawasan Tehoru menunjukkan peningkatan yang
signifikan pada tahun 2008 karena dukungan kebijakan peningkatan jumlah jaring insang oleh pemerintah.
Kawasan Tehoru juga menunjukkan perkembangan jumlah bagan apung yang menurun dengan cepat. Hasil lapangan memberikan justifikasi tentang
kondisi ini, dimana penurunan jumlahnya disebabkan perubahan orientasi nelayan dari perikanan bagan apung ke perikanan pukat cincin dan jaring insang. Faktor
yang paling berpengaruh terhadap perubahan orientasi ini adalah kondisi musim yang tidak menjamin pengoperasian bagan apung. Letak geografis kawasan yang
berhadapan langsung dengan perairan terbuka Laut Banda menyebabkan bagan apung dewasa ini hanya dapat dioperasikan dengan baik selama tiga sampai
empat bulan. Keempat, pola perkembangan API pancing tegak cenderung statis untuk
seluruh kawasan pengembangan perikanan pelagis kecil. Pola ini sangat didkung dengan tidak adanya upaya pengembangan usaha dengan skala yang lebih besar di
kalangan pelaku usaha perikanan pancing tegak. Dewasa ini, pola operasional pancing tegak cenderung mengikuti penyebaran rumpon dan bagan apung.
Sementara untuk setiap kawasan hanya bulan-bulan tertentu saja yang menunjukkan adanya peningkatan produksi ikan pelagis kecil.
Charles 2001 dalam tulisannya tentang dinamika kapital terkait dengan dinamika pada sub sistem manusia, menjelaskan bahwa API sebagai salah satu
input manusia pada usaha perikanan akan mengalami perubahan. Perubahan ini mencerminkan dua hal: keputusan nelayan untuk berinvestasi dan perubahan
danatau peningkatan pengetahuan tentang teknologi penangkapan ikan. Lebih lanjut dijelaskan perubahan-perubahan yang menunjukkan dinamika
pada API, selain dipengaruhi oleh perilaku investasi oleh nelayan, juga karena implementasi kebijakan danatau regulasi oleh pemerintah. Dinamika pada API
175
juga disebabkan karena nelayan berupaya untuk meningkatan upaya penangkapan. Oleh sebab itu, analisis tentang dinamika API juga perlu disesuaikan dengan
dinamika upaya tangkap.
6.4.2 Dinamika perkembangan upaya penangkapan ikan pelagis kecil
Perbedaan distribusi jumlah jenis alat tangkap juga memberikan pengaruh terhadap besaran jumlah upaya trip penangkapan ikan pelagis kecil yang
dilakukan oleh nelayan Maluku Tengah. Distribusinya untuk kelima alat tangkap utama menunjukkan bahwa jumlah upaya penangkapan yang cukup tinggi adalah
pada alat tangkap pancing tegak, 15.957 trip. Namun demikian, walaupun hanya memberikan kontribusi jumlah sebesar 2,24, pukat cincin memiliki upaya
penangkapan yang tinggi untuk wilayah Selatan Maluku Tengah, 17.466 trip. Dstribusi trip secara spasial untuk setiap alat tangkap menunjukkan
perbedaan, masing-masing: 1 untuk pukat pantai jumlah tertinggi pada kawasan Nusalaut 2.373 trip dan terendah di Kota Masohi sebanyak 88 trip; 2 jumlah
trip tertinggi untuk pukat cincin di kawasan Pulau Haruku dan Kota Masohi sebanyak 3,425 trip dan terendah pada kawasan Amahai 685 trip; 3 untuk
jaring insang jumlah tertinggi pada kawasan Leihitu 2.652 trip dan terendah pada kawasan Kota Masohi 148 trip; 4 alat tangkap bagan perahu, jumlah
terbanyak pada kawasan Saparua dan paling sedikit pada kawasan Tehoru; serta 5 untuk alat tangkap pancing tegak, jumlah paling banyak pada kawasan Tehoru
dan terendah pada kawasan TNS Tabel 19. Perbedaan spasial distribusi upaya penangkapan yang ditunjukkan di
wilayah Selatan Maluku Tengah ini, sangat dipengaruhi oleh dua faktor penentu. Pertama, perbedaan distribusi jumlah alat tangkap. Semakin tinggi jumlah alat
berkontribusi pada tingginya upaya penangkapan, demikian sebaliknya. Kedua, peluang setiap jenis alat tangkap untuk mengakses DPI sepanjang tahun. Semakin
tinggi aksesibilitas terhadap DPI dan kurang dipengaruhi oleh faktor musim, maka setiap jenis alat tangkap memiliki peluang yang tinggi untuk melakukan operasi
penangkapan ikan.
176
Tabel 19 Distribusi upaya penangkapan ikan pelagis kecil trip per kawasan pengembangan di wilayah Selatan Kabupaten Maluku Tengah, Tahun 2010
No Kawasan
Pengembangan Pukat
Pantai Pukat
Cincin Jaring
Insang Bagan
Perahu Pancing
Tegak Jumlah
1 TNS
- -
1.260 -
103 1.363
2,63 2
Saparua 1.098
2.569 1.922
503 2.464
8.556 16,48
3 Pulau Haruku
132 3.425
729 155
1.643 6.084
11,72 4
Leihitu 659
2.740 2.652
194 2.259
8.504 16,38
5 Salahutu
351 1.884
928 290
1.111 4.564
8,79 6
Amahai 1.450
685 597
174 767
3.673 7,08
7 Tehoru
132 1.541
1.657 39
5.955 9.324
17,96 8
Nusalaut 2.373
1.199 663
- 900
5.135 9,89
9 Kota Masohi
88 3.425
148 290
755 4.706
9,07 Total
6.283 17.466 10.556
1.645 15.957
51.909 100,00 tiap alat
12,10 33,65
20,34 3,17
30,74 Sumber: DKP Kabupaten Maluku Tengah, 2011 diolah
Hasil ini juga memberikan justifikasi bahwa berdasarkan jumlah upaya penangkapan, basis kegiatan perikanan pukat pantai adalah kawasan Nusalaut,
pukat cincin di kawasan Kota Masohi dan Pulau Haruku, jaring insang di kawasan Lehitu, bagan perahu di kawasan Saparua, serta pancing tegak di kawasan Tehoru.
Masing-masing kawasan pengembangan memiliki spesifikasi dan konsentrasi kegiatan penankapan ikan pelagis kecil. Sesuai dengan justifikasi ini, identifikasi
awal menunjukkan bahwa kawasan-kawasan utama pengembangan perikanan pelagis di wilayah Selatan Maluku Tengah adalah Nusalaut, Kota Masohi, Pulau
Haruku, Leihitu, Saparua, dan Tehoru. Masing-masing kawasan pengembangan memiliki spesifikasi dan konsentrasi kegiatan penankapan ikan pelagis kecil.
Hasil identifikasi ini masih harus dibuktikan dengan analisis terhadap distribusi produksi ikan pelagis secara spasial untuk tiap kawasan pengembangan.
Bila identifikasi awal yang dilakukan di atas menggunakan pendekatan input produksi, analisis ini diarahkan untuk menggunakan hasil produksi sebagai output
dari seluruh upaya yang ada, sebagaimana dianalisis pada bagian berikut ini. Dinamika upaya penangkapan ikan ditunjukkan dengan perkembangan
jumlahnya trip penangkapan untuk lima jenis API dominan di wilayah ini. pada
177
tiap kawasan pengembangan perikanan pelagis kecil. Alat penangkapan ikan yang digunakan dalam analisis ini meliputi lima jenis alat penangkapan ikan pelagis
kecil yang dominan di wilayah Selatan Maluku Tengah, masing-masing: pukat pantai, pukat cincin, jaring insang, bagan apung dan pancing tegak. Basis analisis
untuk kelima API ini adalah: 1 memiliki distribusi jumlah yang dominan; dan 2 memberikan kontribusi yang cukup besar dalam produksi ikan pelagis kecil.
Pemetaan perkembangan upaya penangkapan ikan pelagis kecil di perairan Selatan Maluku Tengah dikespresikan secara grafis pada Gambar 36. Hasil ini
menerangkan adanya trend menurun untuk setiap jenis API, terutama pada dua tahun terakhir. Khusus untuk kawasan TNS, hanya dua jenis API saja yang
dikembangkan sehingga tampilan grafis hanya menunjukkan trend untuk jaring insang dan pancing tegak. Sementara itu, di kawasan Nusalaut, jenis API yang
tidak dikembangkan adalah bagan apung. Perkembangan yang ditunjukkan oleh seluruh kawasan memberikan
gambaran tentang adanya penurunan kegiatan penangkapan oleh nelayan di wilayah Selatan Maluku Tengah. Hasil wawancara lapangan memberikan jawaban
tentang beberapa hal yang memberikan pengaruh terhadap jumlah trip penangkapan ikan pelagis kecil, antara lain: 1 kondisi perairan yang tidak
menentu untuk setiap musim; 2 DPI yang mulai bergeser menyebabkan nelayan harus memiliki kepastian DPI untuk melalukan kegiatan penangkapan; 3
beberapa jenis API yang menunjukkan penurunan trip penangkapan berpengaruh terhadap upaya tangkap; dan 4 perbedaan perubahan antar kawasan perikanan
merupakan dampak dari adanya persaingan antar kawasan dalam pengembangan unit-unit penangkapan ikan pelagis.
Pergeseran daerah penangkapan ikan danatau stok ikan dari suatu perairan menyebabkan perubahan pada upaya penangkapan ikan. Hal ini menyebabkan
peluang interaksi alat tangkap dibaca: operasionalisasi alat tangkap semakin kecil, dan sangat mempengaruhi produktivitas dari setiap unit penangkapan
Maunder et al., 2006; McCluskey and Lewison, 2008.
178
a TNS b Saparua
c Pulau Haruku d Leihitu
e Salahutu f Amahai
g Tehoru h Nusalaut
i Kota Masohi
Gambar 36 Perkembangan upaya tangkap ikan pelagis kecil per kawasan pengembangan di wilayah Selatan Maluku Tengah, tahun 2001 - 2010
U p
ay a
ta n
g k
ap tr
ip
U p
ay a
ta n
g k
ap tr
ip
U p
ay a
ta n
g k
ap tr
ip
U p
ay a
ta n
g k
ap tr
ip
U p
ay a
ta n
g k
ap tr
ip
U p
ay a
ta n
g k
ap tr
ip
U p
ay a
ta n
g k
ap tr
ip
U p
ay a
ta n
g k
ap tr
ip
U p
ay a
ta n
g k
ap tr
ip
Tahun Tahun
Tahun Tahun
Tahun Tahun
Tahun Tahun
Tahun
179
Quirijns et al. 2008 menjelaskan bahwa dinamika yang ditunjukkan akibat perubahan upaya penangkapan, terkait dengan perbedaannya secara spasial
untuk tiap kawasan, memberikan justifikasi tentang adanya dominasi dari unit penangkapan ikan tertentu dan menjadi bukti dari adanya persaingan.
Secara total, perkembangan upaya tangkap untuk seluruh jenis API menunjukkan trend menurun dengan tingkat penurunan yang lambat. Pada dua
terakhir hampir seluruh jenis API menunjukkan adanya penurunan upaya penangkapan, kecuali pukat cincin Tabel 20. Distribusinya secara tahunan
menunjukkan nilai rata-rata upaya tangkap dari tahun 2001 sampai dengan 2010 tertinggi pada pukat cincin dan terendah pada pukat pantai. Kondisi ini
menerangkan bahwa pukat cincin merupakan jenis API yang memiliki tingkat operasional yang tinggi dibandingkan API lainnya.
Tabel 20 Perkembangan upaya tangkap trip per jenis alat penangkapan ikan
dominan di wilayah Selatan Maluku Tengah, Tahun 2001-2010
Tahun Pukat
Pantai Pukat
Cincin Jaring
Insang Bagan
apung Pancing
Tegak 2001
5.843 20743
11085 15.168
12315 2002
5.909 20807
11176 15.168
12389 2003
5.967 20891
11281 15.210
12476 2004
6.000 20950
11364 15.270
12567 2005
5.936 20888
11286 15.185
12482 2006
5.924 20894
11318 15.146
12447 2007
5.891 20878
11274 15.110
12297 2008
5.879 20874
11227 15.068
12214 2009
5.833 20270
11113 15.012
12138 2010
5.760 20340
10840 14.745
11940
Hasil lain yang dapat diekstraksi dari dinamika upaya penangkapan ikan ini adalah perikanan pelagis kecil di wilayah Selatan Maluku Tengah
terkonsentrasi pada perikanan pukat cincin, jaring insang, bagan apung dan pancing tegak. Hal tersebut dibuktikan dari distribusi upaya penangkapan yang
tinggi dari ketiga jenis perikanan ini, dengan nilai rata-rata di atas 10.000 trip per tahun.
180
Poos et al. 2010 menerangkan tentang terjadinya penurunan upaya tangkap yang ditunjukkan oleh penurunan trip penangkapan disebabkan: 1
pilihan nelayan untuk melakukan operasi penangkapan karena pengaruh faktor kehadiran stok ikan di perairan secara musiman; 2 perbedaan secara spasial
untuk kawasan-kawasan pengembangan perikanan akibat kesempatan untuk melakukan operasi penangkapan; 3 penurunan upaya penangkapan pada jenis-
jenis alat penangkapan tertentu; disamping 4 perubahan biaya operasional. Kondisi ini memberikan pembenaran tentang perkembangan di wilayah penelitian,
dimana perbedaan spasial akan cenderung terjadi karena persoalan kesempatan yang tidak sama dalam melakukan operasi penangkapan ikan.
Yew and Heaps 1996 menjelaskan tentang dinamika upaya penangkapan ikan cenderung menurun pada perikanan tertentu, sementara untuk perikanan lain
terjadi peningkatan. Penjelasannya tentang dinamika upaya penangkapan ikan memiliki empat substansi penting. Pertama, nelayan berupaya meningkatkan
upaya tangkap ketika terjadi penurunan produksi. Produksi yang cenderung menurunkan menyebabkan nelayan berinisiatif meningkatkan produksinya
melalui peningkatan upaya penangkapan dengan langkah strategis peningkatan jumlah alat tangkap. Kedua, nelayan mengalihkan kegiatan perikanannya berbasis
pada unit penangkapan yang lebih menguntungkan, terutama dalam konteks peningkatan produksi. Ketiga, nelayan meningkatkan jumlah hari operasi
penangkapan sebagai bentuk peningkatan upaya dari aspek trip penangkapan. Keempat, sebagai dampak dari ketiga substansi ini, nelayan berupaya melakukan
investasi untuk pengembangan usaha mereka. Beberapa komponen penting yang dikemukakan Poos et al. 2010 dan
Yew and Heaps 1996 juga ditemukan pada wilayah penelitian. Faktor-faktor yang memberikan pengaruh terhadap dinamika upaya penangkapan ikan intra dan
antar kawasan, antara lain: 1 peningkatan upaya penangkapan untuk jenis API pukat cincin merupakan dampak dari adanya inisiatif nelayan untuk berinvestasi
terhadap unit penangkapan yang menjamin peningkatan produksi; 2 peralihan ke kegiatan perikanan yang lebih menguntungkan menyebabkan nelayan
meninggalkan usaha yang sebelumnya dikembangkan; 3 pengaruh faktor musim yang menyebabkan nelayan tidak dapat melakukan aktivitas penangkapan ikan,
181
sehingga menurunkan jumlah upaya tangkap secara tahunan; serta 4 adanya dukungan pemerintah terhadap peningkatan kapasitas produksi nelayan melalui
subtitusi alat tangkap baru dan dukungan pembiayaan operasional penangkapan untuk tahap awal pengoperasian.
6.5 Dinamika Produksi Ikan Pelagis Kecil
Produksi perikanan tangkap yang didefinisikan oleh KKP 2011 adalah semua hasil penangkapan ikanbinatang air lainnyatanaman air yang ditangkap
dari sumber perikanan alami baik yang diusahakan oleh perusahaan perikanan maupun rumah tangga perikanan. Sesuai dengan definisi ini, gambaran tentang
distribusi produksi ikan pelagis kecil didasarkan pada statistik perikanan tangkap Kabupaten Maluku Tengah.
Distribusi produksi perikanan yang dianalisis berbasis pada tingkat produksi 10 jenis ikan pelagis kecil ekonomis penting, baik untuk volume
produksi maupun nilai produksinya. Sepuluh jenis ikan pelagis kecil yang dimaksudkan meliputi: layang, selar, kembung,julung-julung, terbang, sunglir,
tembang, teri, lemuru dan japuh. Total volume produksi ikan pelagis kecil di wilayah Selatan Maluku
Tengah sebesar 22.145,79 ton. Distribusinya per jenis menunjukkan Layang, Selar, Sunglir, Tembang dan Teri merupakan jenis-jenis ikan pelagis kecil yang
memiliki volume produksi paling tinggi, yakni di atas 1.000 ton per tahun. Layang merupakan jenis yang memberikan kontribusi tertinggi 38,49, sementara
lemuru dan japuh memberikan kontribusi terendah sekitar 0,7 Tabel 21. Distribusi produksi secara spasial menunjukkan setiap kawasan memiliki
spesialisasi per jenis ikan pelagis kecil, sebagai berikut: 1
Produksi ikan layang tertinggi di kawasan Saparua, Leihitu, Salahutu, Tehoru dan Kota Masohi dengan kisaran produksi antara 1.200 – 1.600 ton per tahun;
2 Produksi ikan selar tertinggi di kawasan Leihitu dengan tingkat produksi
535,7 ton per tahun; 3
Produksi ikan kembung tertinggi di kawasan Saparua dengan tingkat produksi 95,2 ton per tahun;
Tabel 21 Distribusi Volume Produksi Ikan Pelagis Kecil per Kawasan Pengembangan di Wilayah Selatan Kabupaten Maluku Tengah, Tahun 2010
No Kawasan
Pengembangan Volume produksi ton
Layang Selar
Kembung Julung-
Julung Terbang
Sunglir Tembang
Teri Lemuru
Japuh Jumlah
1 TNS
6,9 1,5
6,0 -
53,7 0,7
26,9 -
0,2 -
95,9 0,39
2 Saparua
1.516,4 229,1
95,2 123,3
118,6 49,8
456,2 32,3
30,6 37,4
2.688,8 10,97
3 Pulau Haruku
462,7 115,7
34,9 32,9
36,2 101,3
442,2 20,1
13,3 8,6
1.268,0 5,17
4 Leihitu
1.255,0 535,7
59,9 9,1
134,1 439,8
1.124,1 1.266,0
19,3 17,6
4.860,7 14,28
5 Salahutu
1.604,0 261,7
47,4 1,5
52,3 89,6
957,4 690,1
15,0 17,7
3.736,7 15,25
6 Amahai
646,9 230,1
58,2 -
69,8 107,9
827,9 415,2
20,6 27,7
2.404,4 6,51
7 Tehoru
1.203,6 143,2
35,4 115,7
74,8 225,4
161,7 139,3
15,2 3,5
2.117,9 8,64
8 Nusalaut
320,1 62,9
67,6 24,6
98,5 1,2
151,7 22,9
26,9 32,8
809,2 3,30
9 Kota Masohi
1.507,6 313,8
40,1 5,0
1,9 1.075,1
1.192,4 14,3
14,0 4.164,2
16,99 Total
8.523,20 1.893,70
444,65 307,10
643,07 1.017,60
5.223,20 3.778,30
155,54 159,44
22.145,79 100,00
Sumber: DKP Kabupaten Maluku Tengah, 2011 diolah
183
4 Produksi ikan julung-julung tertinggi di kawasan Saparua dan Tehoru dengan
tingkat produksi di atas 115 ton per tahun; 5
Produksi ikan terbang tertinggi di kawasan Saparua dan Leihitu dengan tingkat produksi di atas 118 ton per tahun;
6 Produksi ikan sunglir tertinggi di kawasan Leihitu dengan tingkat produksi
439,8 ton per tahun; 7
Produksi ikan tembang tertinggi di kawasan Leihitu dan Kota Masohi dengan tingkat produksi di atas 1.000 ton per tahun;
8 Produksi ikan teri tertinggi di Leihitu dan Kota Masohi dengan tingkat
produksi di atas 1.100 ton per tahun. Jenis ikan lemuru dan japuh memiiki tingkat produksi yang sangat kecil, rata-rata
di bawah 40 ton per tahun. Hal ini menunjukkkan bahwa kawasan-kawasan pengembangan perikanan pelagis kecil di Maluku Tengah tidak dapat
mengandalkan kedua jenis ini sebagai basis komoditas utama. Distribusi spasial produksi ikan pelagis kecil membuktikan bahwa
Saparua, Leihitu, Salahutu, Tehoru dan Kota Masohi merupakan kawasan- kawasan pengembangan perikanan pelagis utama di wilayah Maluku Tengah,
dengan spesialisasi komoditas masing-masing. Hal ini juga ditunjukkan dengan kontribusi total produksi, dimana seluruh kawasan memberikan kontribusi di atas
10 terhadap produksi ikan pelagis kecil di Maluku Tengah, kecuali kawasan Tehoru yang memberikan kontribusi 8,64.
Analisis terhadap tingkat produksi ini memberikan masukan penting terhadap tingkat pemanfaatan ikan pelagis kecil pada wilayah penelitian. Jika
pemanfaatan ikan existing di perairan Selatan Maluku Tengah sebesar 22.145,79 tontahun dibandingkan batasan nilai jumlah tangkapan yang dibolehkan JTB,
maka tingkat pemanfaatan ikan pelagis kecil existing di perairan ini mencapai 40,44. Hasil ini menunjukkan bahwa potensi sumber daya ikan pelagis yang
belum termanfaatkan di perairan Selatan Maluku Tengah sampai saat ini sebesar 59,56 atau 32.616,05 tontahun, atau dapat dikatakan bahwa potensi sumber
yang masih dapat dimanfaatkan secara optimal sebesar 59,56 dari total JTB. Analisis dinamika produksi ikan pelagis kecil untuk setiap API dominan di
Maluku Tengah didasarkan perkembangan volume produksinya dari tahun 2001
184
sampai dengan 2010. Secara agregat, perkembangan volume produksi API dominan pada periode tersebut menunjukkan adanya dinamika produktivitas. Hal
ini ditunjukkan dengan perkembangan produksi dari waktu ke waktu yang tidak selalu meningkat, kecuali pukat cincin yang meningkat volume produksinya dari
tahun 2001 sampai dengan 2006, sedangkan volume produksi bagan apung meningkat pada tahun 2001 sampai dengan 2004 Tabel 22.
Tabel 22 Perkembangan volume produksi ikan pelagis kecil tiap alat tangkap dominan ton di wilayah Selatan Maluku Tengah tahun 2001–2010
Tahun Pukat Pantai
Pukat Cincin Jaring
Insang Bagan
apung Pancing
Tegak 2001
1.725,8 6.062,3
1.119,3 4.457,0
674,6 2002
2.049,4 7.198,7
911,4 5.067,6
657,2 2003
1.866,6 8.428,5
933,2 5.776,4
546,9 2004
2.016,1 8.750,0
973,2 6.152,8
661,3 2005
1.810,5 9.713,8
1.029,3 6.017,8
799,2 2006
1.860,7 10.821,5
771,5 6.432,3
573,6 2007
1.900,0 10.670,8
1.188,9 6.064,3
1.024,1 2008
1.953,5 10.939,9
1.509,4 6.334,9
1.101,0 2009
1.959,6 9.703,4
1.651,2 6.058,1
1.179,8 2010
1.959,6 9.064,3
1.507,2 5.537,5
1.509,3
Hasil perhitungan rata-rata pertumbuhan volume produksi menunjukkan dinamika yang positif, namun terdapat perbedaan untuk setiap jenis API. Pukat
pantai memiliki rata-rata pertumbuhan 1,74, pukat cincin 5,03, jaring insang 5,62, bagan apung 2,74 dan pancing tegak 12,81.
Walaupun distribusi seperti ini, rata-rata tingkat produksi menunjukkan dinamika yang berbeda. Sesuai dengan distribusi nilai rata-rata volume produksi,
pukat pantai memberikan kontribusi rata-rata 10,12 1.910,2 tontahun, pukat cincin 48,42 9.135,3 tontahun, jaring insang 6,15 1159,4 tontahun, bagan
apung 30,69 5.789,9 tontahun dan pancing tegak 4,63 872,7 tontahun. Pertumbuhan dan kontribusi yang diberikan ini membuktikan adanya
dinamika pada level perkembangan produksi dan dinamika pada kontribusi volumen produksi. Pertama, Pertumbuhan produksi yang lambat dan cenderung
185
menurun pada tahun terakhir menjadi acuan penting untuk meningkatkan pengaturan pemanfaatan sumber daya ikan pelagis kecil di Maluku Tengah,
khususnya pada kawasan-kawasan pengembangan perikanan pelagis kecil di wilayah Selatan. Kedua, kontribusi produksi yang berbeda di tiap kawasan
menunjukkan setiap kawasan memiliki kapasitas yang berbeda dalam melakukan kegiatan produksi ikan pelagis kecil. Demikian juga basis kegiatan penangkapan
ikan pelagis kecil yang mengarah pada dominasi perikanan pukat cincin. Pembuktian terhadap kedua kondisi ini dapat dilakukan dengan
mencermati perkembangan produksi per setiap API dominan pada setiap kawasan pengembangan perikanan pelagis kecil. Ekspresinya secara grafis menunjukkan
bahwa setiap kawasan memiliki perkembangan produksi yang berbeda untuk setiap jenis API Gambar 37.
Kawasan TNS dua jenis alat tangkap ikan pelagis kecil utama menunjukkan produksi tertinggi pada jaring insang, rata-rata 69,78 tontahun.
Produksinya meningkat pada periode 2001- 2006, dan menurun pada periode 2007-2010. Perkembangan produksi pada pancing tegak menunjukkan adanya
pola statis pada periode 2001- 2006, dan meningkat pada periode 2007-2010. Pada kawasan Saparua, produksi tertinggi pada pukat cincin, rata-rata
1.461,5 tontahun. Peningkatan terjadi pada periode 2001- 2006, dan menurun pada periode 2007-2010. Bagan apung yang memberikan kontribusi yang sedang
menunjukkan pertumbuhan produksi yang fluktuatif dari waktu ke waktu. Dalam tahun terakhir, produksi bagan apung cenderung menurun.
Pada kawasan Pulau Haruku, produksi tertinggi pada pukat cincin, rata- rata 816,7 tontahun, dengan pola pertumbuhan yang fluktuatif. Periode 2001-
2003 menunjukkan adanya peningkatan, namun turun lagi pada dua tahun sesudahnya 2004-2005. Dalam tahun 2006 terjadi peningkatan lagi, namun
pergerakannya statis sampai tahun 2008, dan turun di tahun 2009-2010. Bagan apung memiliki dua periode perkembangan produksi, tahun 2001-2005 meningkat
dan menurun lagi di tahun 2006-2010.