Rancangan Bangun Model .1 Rancangan bangun Model

288 analisis, masing-masing aksesibilitas terhadap daerah penangkapan ikan DPI dan jumlah tangkap ikan pelagis kecil yang diperbolehkan JTB. Oleh sebab itu, Model InSist_1untuk sub sistem alam dinyatakan sebagai berikut:             = ∑ = K x A Eks A Eks m InSist m i ij ij A 1 _ _ 1 1 _ Kedua , untuk sub sistem manusia terdapat 10 variabel, masing-masing: 1 potensi nelayan optimal N opt ; 2 proporsi RTP terhadap rumah tangga total di tiap kawasan RTP ; 3 proporsi API terhadap API total API ; 4 upaya penangkapan ikan standar U ; 5 volume produksi tangkap V t ; 6 proporsi jumlah pengolah terhadap nelayan O ; 7 proporsi rumah tangga pengolah terhadap RTP RT o ; 8 volume produksi olah V o ; 9 pelaku usaha pemasaran dan distribusi PD ; dan 10 produktivitas produksi dan pemasaran Prod PD . Formulasi Model InSist_1 untuk sub sistem manusia, sebagai berikut:             = ∑ = K x M Eks M Eks n InSist n i ij ij M 1 _ _ 1 1 _ Ketiga , untuk sub sistem pengelolaan terdapat empat variabel analisis, masing-masing: 1 kebijakan realisasi permohonan nelayan KR ; 2 kebijakan pengembangan armada perikanan KP ar ; 3 nilai relatif pengembangan infrastruktur KP infra ; dan 4 rata-rata alokasi pembiayaan program per kawasan KP prog . Formulasi Model InSist_1 untuk sub sistem pengelolaan, adalah:             = ∑ = K x P Eks P Eks o InSist o i ij ij P 1 _ _ 1 1 _ InSist_1 = Indeks Sentralitas Sistem Perikanan Parsial Eks = eksistensi sub sistem pada setiap kawasan pengembangan perikanan A,M,P = komponen sistem perikanan A adalah sub sistem alam; M adalah sub sistem manusia; P adalah sub sistem pengelolaan 289 i,j = variabel sub sistem dalam sistem perikanan ke-i untuk kawasan ke-j m.n.o = jumlah variabel pada setiap sub sistem m untuk sub sistem alam sebanyak dua variabel; n untuk sub sistem manusia sebanyak 10 variabel; dan o untuk sub sistem pengelolaan sebanyak empat variabel K = konstanta sentralitas sistem yang memiliki nilai 100 Model InSist_2 merupakan akumulasi dari seluruh komponen sistem yang ada pada InSist_1 A , InSist_1 M , dan InSist_1 P . Dengan demikian jumlah variabel sistem adalah sebanyak 16 variabel. Oleh sebab itu, Model InSist_2 sebagai model agregat untuk sistem perikanan pelagis kecil dapat dinyatakan sebagai berikut:             = ∑ = K x A Eks SP p InSist p i ij ij 1 _ 1 2 _ InSist_2 = Indeks Sentralitas Sistem Perikanan Agregat p = jumlah variabel pada setiap sub sistem m untuk sub sistem alam; n untuk sub sistem manusia; dan o untuk sub sistem pengelolaan

8.1.3 Rancangan bangun model dinamika spasial sistem perikanan: MoDiS

Aplikasi model kembar pengenbangan kawasan yang disebut dengan Model Dinamika Spasial atau disingkat MoDis , dengan model umum sebagai berikut: ∑ ∑ = = = 9 1 10 1 j ij i ij B S MoDiS MoDiS ij merupakan nilai komposit indikator prioritas pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil untuk indikator ke-i pada kawasan ke-j, dan dihasilkan dari perkalian skor S dan bobot B pada setiap indikator. Nilai i dari 1 sampai dengan 10 menunjukkan jumlah IPP yang dianalisis, dan nilai j dari 1 sampai dengan 9 menunjukkan jumlah kawasan yang dianalisis. Analisis ini dikembangkan untuk menentukan prioritas kawasan pengembangan perikanan pelagis kecil di Maluku Tengah. Penelitian ini membagi tingkat prioritas atas tiga status, yaitu: prioritas primer, sekunder dan tersier. Oleh 290 sebab itu, penentuan prioritas didasarkan pada n selang kelas dimana Nilai Selang Kelas Nsk dihitung dengan formula sebagai berikut: min max 1 MoDiS MoDiS n Nsk − = Jumlah selang kelas dinotasikan dengan n, dalam penelitian ini n = 3. MoDiS max dan MoDiS min masing-masing adalah nilai komposit maksimum dan minimum. Dengan demikian persamaan Nsk di atas dapat diperluas menjadi: min max 1 B S B S n Nsk − = Nilai S untuk indikator TipoSan meliputi: S=1 untuk periferi netral, S=2 untuk periferi pasif, S=3 untuk periferi aktif, dan S=4 untuk inti. Nilai S untuk indikator InSist meliputi: S=1 untuk kategori lemah, S=2 untuk kategori sedang, S=3 untuk kuat. Nilai B sebesar 8,75 yang terdistribusi sama untuk setiap indikator, kecuali pada indikator TipoSan_1 dan InSist_2 dengan nilai B sebesar 15. Nilai B yang besar untuk kedua indikator ini disebabkan karena pembentukannya merupakan agregasi dari seluruh variabel yang digunakan untuk menganalisis tipologi kawasan maupun indeks sentralitas sistem perikanan. Hasil perhitungan nilai komposit Nk untuk setiap kawasan, kemudian dipetakan secara grafis dan tabular untuk menggambarkan posisi setiap kawasan dalam konteks prioritas: primer, sekunder dan tersier. Untuk kepentingan pemetaan prioritas, digunakan fungsi IF sebaga berikut: Pr ; ; ; 01 , 2 ; ; max min min imer MoDiS MoDiS IF Sekunder Nsk MoDiS MoDiS IF Tersier Nsk MoDiS MoDiS IF ij ij ij + + + =

8.2 TipoSan dan Aplikasi Bagi Pengembangan Kawasan Perikanan

8.2.1 Model TipoSan_1: Agregasi komponen sistem perikanan

Berdasarkan model konseptual ini, nilai RFN_K dapat dihitung menggunakan data-data komponen pembentuknya yang telah dianalisis pada bagian sebelum. Nilai RFN_K menunjukkan enam kawasan lebih dari nilai tengah 291 0,41, yaitu Leihitu, Amahai, Tehoru, Kota Masohi, Saparua dan Pulau Haruku. Kawasan yang memiliki nilai RFN_K terendah adalah TNS Tabel 49. Tabel 49 Rataan nilai fungsi kapasitas kawasan perikanan RFN_K di wilayah Selatan Maluku Tengah Kawasan Us FN N FN Po FN Pd FN Ptk FN RFN_K T N S 746 0,0000 138 0,0000 66 0,0000 12 0,0000 1,51 0,0000 0,0000 Saparua 4567 0,5696 2.939 0,4872 78 0,0293 86 0,6981 10,22 0,5263 0,4621 P. Haruku 7038 0,9380 3.611 0,6041 147 0,1976 49 0,3491 4,38 0,1737 0,4525 Leihitu 6504 0,8584 5.887 1,0000 312 0,6000 89 0,7264 17,25 0,9513 0,8272 Salahutu 3359 0,3895 1.361 0,2127 231 0,4024 96 0,7925 4,82 0,2002 0,3995 Amahai 4952 0,6270 2.369 0,3881 438 0,9073 85 0,6887 16,68 0,9168 0,7056 Tehoru 5479 0,7056 4.248 0,7149 297 0,5634 67 0,5189 18,06 1,0000 0,7006 Nusalaut 3953 0,4781 848 0,1235 476 1,0000 15 0,0283 4,17 0,2310 0,3582 K. Masohi 7454 1,0000 649 0,0889 105 0,0951 118 1,0000 5,28 0,2923 0,4824 Hasil ini telah memberikan gambaran awal tentang esksistensi kawasan dengan kapasitasnya dalam mendukung pembangunan perikanan di wilayah ini. Namun demikian, nilai ini belum dapat dijadikan dasar untuk memberikan justifikasi tentang kuatnya kapasitas kawasan. Oleh sebab itu, RFN_K harus dipetakan bersama dengan RFN_P yang menjadi indikator kekuatan suatu kawasan perikanan. Hasil perhitungan pada Tabel 48 menunjukkan bahwa nilai RFN_P tertinggi pada kawaan Leihitu dan terendah pada kawasan TNS. Kawasan- kawasam lain yang juga memiliki nilai RFN_P yang tinggi adalah Salahutu dan dan Amahai. Hal ini membuktikan bahwa kawasan Leihitu, Salahutu, Amahai dan Kota Masohi berpotensi menjadi kawasan yang bertipologi sebagai kawasan inti. Sesuai dengan distribusi nilai RFN_K dan RFN_P yang ada, maka pemetaan tipologi kawasan perikanan pelagis kecil dapat dilakukan dengan pendekatan grafis. Dengan demikian, model agregat untuk tipologi kawasan perikanan pelagis di Maluku Tengah dapat diekspresikan untuk membedakan kapasitas dan produktivitasnya. Hubungan kapasitas kawasan dan produktivitasnya Gambar 49 menunjukkan nilai Significance F p-value sebesar 0,01 dan R 2 koefisien determinasi sebesar 0,6636. Pada α = 0,05, kapasitas kawasan berpengaruh signifikan terhadap produktvitasnya. Nilai R 2 membuktikan secara agregat 292 Keterangan: TNS = Teon Nila Serua S = Saparua PH = Pulau Haruku L = Leihitu SL = Salahutu A = Amahai T = Tehoru N = Nusalaut KM = Kota Masohi determinasi variasi produktivitas kawasan dapat dijelaskan oleh kapasitasnya sebesar 66,36. Determinasi RFN_K terhadap RFN_P seperti ini menunjukkan tidak semua memiliki pola distribusi kapasitas yang berpengaruh terhadap terhadap produktivitas kawasan. Tabel 50 Rataan nilai fungsi produktivitas kawasan perikanan RFN_P di wilayah Selatan Maluku Tengah Kawasan Adpi FN Vp FN Vo FN Psr FN RFN_P T N S 1,20 0,0000 95,90 0,0000 5,8 0,0000 86,4 0,0000 0,0000 Saparua 7,45 0,4464 2688,80 0,5442 52,9 0,4922 2931,2 0,4197 0,4756 P. Haruku 6,67 0,3906 1268,00 0,2460 43,1 0,3898 1792,5 0,2517 0,3195 Leihitu 10,13 0,6383 4860,70 1,0000 98,1 0,9645 4678,1 0,6774 0,8201 Salahutu 4,36 0,2260 3736,70 0,7641 75,8 0,7315 6864,9 1,0000 0,6804 Amahai 10,97 0,6980 2404,40 0,4845 101,5 1,0000 5782,1 0,8403 0,7557 Tehoru 9,47 0,5907 2117,90 0,4244 77,2 0,7461 2878,6 0,4119 0,5433 Nusalaut 15,19 1,0000 809,20 0,1497 86,3 0,8412 1931,9 0,2723 0,5658 K. Masohi 8,08 0,4917 4164,20 0,8538 67,8 0,6479 4899,6 0,7101 0,6759 Gambar 49 Tipologi kawasan berbasis agregasi komponen sistem perikanan pelagis di wilayah Selatan Maluku Tengah Hasil analisis menunjukkan tidak semua kawasan memiliki pengaruh kapasitasnya yang kuat terhadap produktivitasnya. Nilai b koefisien regresi L A T KM S TNS PH SL N 293 sebesar 0,8448 yang menjelaskan tentang perananan kapasitas terhadap produktivitas kawasan, dimana setiap peningkatan kapasitas sebesar satu unit akan meningkatkan produktivitas sebesar 0,8448 unit. Prinsip dasar tipologi kawasan adalah: 1 kawasan dengan kapasitas tinggi menghasilkan produktivitas yang tinggi kawasan inti di kuadran kanan atas; 2 kawasan dengan kapasitas rendah namun menghasilkan produktivitas yang tinggi kawasan periferi aktif di kuadran kiri atas; 3 kawasan dengan kapasitas tinggi namun menghasilkan produktivitas yang rendah kawasan periferi pasif di kuadran kanan bawah; dan 4 kawasan dengan kapasitas rendah menghasilkan produktivitas yang rendah kawasan periferi netralstagnandi kuadran kiri bawah. Pertama, lima kawasan berada pada kuadran kanan atas, masing-masing Leihitu L, Tehoru T, Amahai A, Kota Masohi KM, dan Saparua S. Secara teoritis, kawasan yang terpetakan dalam kuadran kanan atas dinyatakan sebagai kawasan inti core region. Secara agregat, kelima kawasan memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai kawasan inti pengembangan perikanan pelagis kecil di Maluku Tengah. Kedua, kawasan Salahutu SL dan Nusalaut N merupakan kawasan- kawasan yang terpetakan dalam kuadran kiri atas. Eksistensi kedua kawasan ini menunjukkan keduanya cukup aktif melakukan kegiatan produktif di kawasan terkait dengan pemanfaatan SDI pelagis kecil, walaupun kapasitasnya tergolong rendah. Oleh sebab itu, kedua kawasan ini disebut sebagai kawasan periferi aktif. Stohr 1999 menyatakan kawasan periferi merupakan kawasan pendukung terhadap kawasan inti. Namun dengan eksistensi kawasan periferi aktif membuktikan dengan mengalokasikan kapasitas yang kecil, produktivitasnya cukup baik. Bila dicermati posisi kedua kawasan secara grafis, keduanya juga berpotensi untuk didorong sebagai kawasan inti. Hal ini akan mendapat pembuktian lebih lanjut tentang statusnya berdasarkan produktivitas yang berbasis pada pengelolaan dan pemanfaatan komoditas unggulan. Ketiga, kawasan Pulau Haruku sebagai periferi pasif, dimana walaupun memiliki kapasitas yang tinggi namun tidak diikuti dengan produktivitas yang tinggi. Keempat, kawasan TNS merupakan kawasan dengan kapasitas rendah dan 294 tingkat produktivitas yang rendah. Oleh sebab itu, TNS memiliki status sebagai kawasan periferi netral atau stagnan. Eksistensi kawasan periferi aktif dan periferi netral menunjukkan adanya kebutuhan dalam wilayah kajian untuk meningkatkan interaksi antar kawasan. Kawasan inti dan periferi aktif diharapkan memfasilitasi aliran inovasi teknologi dan pengetahuan ke kawasan periferi pasif dan periferi netral Borgatti and Everett, 1999; Muniz and Karvajal, 2006.

8.2.2 Model TipoSan_2: Basis pengembangan komoditas unggulan

Analisis ini dilakukan terhadap kapasitas dan produktivitas kawasan terkait dengan pemanfaatan teknologi pilihan dalam pemanfaatan komoditas pelagis kecil unggulan. Hasil perhitungan nilai K 2 dan P 2 untuk tiap kawasan menunjukkan adanya perbedaan kapasitas dan produktivitasnya Lampiran 7. Perbedaan antara kawasan yang terjadi menerangkan bahwa setiap kawasan pengembangan perikanan pelagis kecil di wilayah Selatan Maluku Tengah relatif berbeda sehingga berdampak pada produktivitasnya. Sesuai dengan hasil analisis pada Lampiran 7, dilakukan pemetaan tipologi yang dikelompokkan berdasarkan jenis komoditas pelagis kecil unggulan. Hasil pemetaan secara umum menunjukkan bahwa setiap jenis teknologi penangkapan ikan di seluruh kawasan memiliki kapasitas yang berbeda, demikian juga produktivitasnya. Hasil analisis menunjukkan distribusi nilai b dan R 2 berbeda pada setiap alat tangkap pilihan untuk masing-masing komoditas pelagis kecil unggulan. Tabel 51 memberikan gambaran secara menyeluruh tentang distribusi nilai b dan R 2 . Distribusi p-value signifikan pada α = 0,05, kecuali komoditas ikan layang dengan penggunaan alat tangkap bagan apung. Pengembangan perikanan pelagis kecil untuk komoditas ikan layang di wilayah ini tidak dapat mengandalkan sepenuhnya bagan apung. Sesuai distribusi nilai b, pancing tegak memiliki peningkatan produktivitas sangat cepat ketika terjadi kenaikan kapasitas. Pancing tegak dengan nilai investasi rendah, mampu memberikan kontribusi yang besar bagi peningkatan produktivitas, demikian juga distribusinya yang tinggi di setiap kawasan turut