Alokasi spatial-optimal unit penangkapan ikan pelagis kecil

Tabel 35 Alokasi Spasial-Optimal ASO alat penangkapan ikan pelagis kecil pilihan unit di wilayah Selatan Maluku Tengah Kawasan perikanan Pukat cincin X1 Bagan apung X2 Pancing tegak X3 Jaring insang hanyut X4 Ex Opt Ex Opt Ex Opt Ex Opt TNS 2 17 15 19 Saparua 15 19 26 408 178 461 Pulau Haruku 20 22 8 272 205 149 Leihitu 16 41 10 374 385 121 Salahutu 11 16 15 184 148 103 Amahai 4 34 9 126 316 146 Tehoru 9 27 2 986 251 188 Nusalaut 7 5 149 42 317 Kota Masohi 20 11 15 125 103 71 Keterangan: Ex adalah kondisi eksisting; Opt adalah kondisi optimal Hasil ini menunjukkan beberapa kondisi yang menarik untuk dikaji dan memberikan dukungan terhadap keputusan untuk pengembangan. Pertama, alokasi alat tangkap pukat cincin yang semakin meningkat memberikan konsekuensi pada peralihan usaha yang harus dilakukan nelayan yang dewasa ini mengembangkan usaha dengan ketiga alat tangkap yang lain. Kedua, hasil ini mendukung kebijakan pemerintah pusat tentang pengoperasian alat tangkap bagan apung yang cenderung memberikan dampak terhadap penurunan stok ikan di perairan karena penggunaan mata jaring yang berukuran kecil. Kebijakan pemerintah untuk menekan peningkatan penggunaan alat tangkap bagan apung bersesuaian dengan hasil analisis optimasi ini, dimana diupayakan adanya pengalihan usaha dari bagan apung menuju pukat cincin. Ketiga, tidak adanya alokasi pada alat tangkap jaring insang merupakan kesempatan bagi nelayan lokal untuk melakukan restrukturisasi armada penangkapannya, untuk mencapai peningkatan produksi yang tentunya akan berdampak pada peningkatan pendapatan. Namun demikian kondisi ini akan mendapat kesulitan dalam implementasi mengingat kapasitas ekonomi nelayan jaring insang hanyut yang relatif rendah. Oleh sebab itu, dukungan pemerintah terhadap pengembangan armada pukat cincin sangat dibutuhkan disamping penjaringan kerjasama dengan pihak swasta untuk kepentingan investasi pada usaha perikanan pukat cincin. Keempat, pancing tegak yang masih teralokasi melalui optimasi spasial ini membuktikan bahwa pemanfaatan SDI pelagis kecil dengan teknologi masih menjadi pertimbangan untuk mempertahankan keberlanjutannya, baik pada domain usaha ekonomi maupun pada domain SDI. Namun demikian, produktivitas alat tangkap ini yang rendah tidak menjamin bertahannya nelayan dalam mengembangkan usahanya. Diduga kondisi hanya akan bertahan pada nelayan yang memiliki kapasitas ekonomi yang lemah. Kondisi optimal yang juga terekam melalui ASO ini adalah alokasi optimal tenaga kerja pada tiap kawasan perikanan Tabel 36. Hasil ini menunjukkan bahwa untuk mencapai kondisi optimal dalam pengalokasian tenaga kerja pada usaha perikanan pelagis kecil, potensi penyerapan tenaga kerja di tiap kawasan mencapai 81,38. Tabel 36 Alokasi Spasial-Optimal ASO tenaga kerja perikanan pelagis kecil di wilayah Selatan Maluku Tengah Kawasan perikanan Potensi Tenaga Kerja Penambahan tenaga kerja optimal TNS 354 354 Saparua 4.166 4.166 Pulau Haruku 4.793 4.793 Leihitu 8.991 8.991 Salahutu 3.471 3.471 Amahai 7.377 7.377 Tehoru 5.860 5.860 Nusalaut 992 992 Kota Masohi 2.412 2.412 Nilai alat tangkap dan potensi tenaga optimal memberikan peluang bagi skenario pengembangan perikanan pelagis kecil di setiap kawasan perikanan yang ada di wilayah Selatan Maluku Tengah. Secara parsial beberapa skenario dapat dikembangkan pada setiap kawasan perikanan pelagis kecil, bila hasil optimasi ini menjadi basis kebijakan pengembangan perikanan pelagis kecil di Maluku Tengah. Pertama, untuk kawasan TNS, enam tenaga kerja pada usaha pancing tegak dapat diserap pada usaha jaring insang hanyut karena alokasi optimal usaha jaring insang hanyut 75 unit membutuhkan tenaga kerja sekitar 162 orang. Jumlah ini masih bisa mengakomodasi potensi tenaga yang bisa diserap sebanyak 100 orang. Hal ini membuktikan bahwa masih tersisa 62 tenaga yang harus diserap dalam usaha perikanan. Beberapa rekomendasi dapat diberikan terkait dengan kondisi ini, dimana potensi tenaga kerja ssebanyak 26 orang ini dapat terintegrasi usaha perikanan pelagis kecil, namun tidak dalam kegiatan penangkapan. Potensi tenaga kerja ini dapat diarahkan pada pengembangan usaha pengolahan hasil perikanan pelagis kecil. Kedua, kawasan Saparua dalam kondisi optimal dalam kondisi optimal hanya mampu mengakomodasi penambahan 500 tenaga sebagai dampak dari penambahan pukat cincin sebanyak 25 unit. Pengurangan jumlah tenaga kerja pada ketiga unit penangkapan ikan yang lain sebanyak 2307 orang, dan jika diakomodasi dalam usaha pukat cincin, masih tertinggal 1807 nelayan. Sebagai solusi alternatif terhadap kondisi ini, maka kebijakan yang harus diambil adalah redistribusi nelayan pada usaha lain di luar perikanan pelagis kecil. Untuk kawasan ini, usaha perikanan yang cukup baik untuk direkomendasikan adalah perikanan demersal yang belum banyak dikembangkan atau pengembangan usaha pengolahan hasil perikanan. Ketiga, untuk kawasan Pulau Haruku, dengan bertambahnya sembilan unit pukat cincin, hanya mampu mengakomodasi penambahan tenaga kerja sebanyak 180 orang, sementara masih tertinggal 999 tenaga kerja yang harus melakukan ekspansi pada usaha lain di luar perikanan pelagis kecil. Kawasan ini memiliki peluang yang kuat untuk mengembangkan usaha perikanan pelagis besar. Kawasan ini memiliki lokasi penangkapan ikan pelagis besar yang sangat potensial karena berhadapan langsung dengan perairan Laut Banda. Keempat, pada kawasan Leihitu, kondisi optimal menghendaki adanya penambahan pukat cincin sebanyak 11 unit. Hal ini berarti tenaga kerja yang bisa terakomodasi sebanyak 220 orang, sementara nelayan yang harus beralih usaha sebanyak 823 orang. Dengan demikian 603 orang nelayan masih harus diperhatikan pengembangan usahanya. Kawasan ini merupakan kawasan potensial bagi perikanan demersal dan pelagis besar. Oleh sebab itu, alokasi nelayan yang tersisa dapat diarahkan pada usaha perikanan demersal dan pelagis besar. Kelima, penambahan pukat cincin sebanyak 38 unit menyebabkan kawasan ini bisa mengakomodasi nelayan yang beralih dari perikanan bagan apung, pancing tegak dan jaring insang hanyut. Bahkan kuota tenaga kerja yang masih dibutuhkan sebanyak 233 orang. Hal ini berarti kawasan Salahutu masih mampu mengakomodasi kebutuhan tenaga kerja perikanan dari kawasan-kawasan perikanan yang ada di sekitarnya seperti Leihitu dan Pulau Haruku. Keenam, kawasan Amahai dengan peningkatan jumlah pukat cincin sebanyak 35 unit mampu mengakomodasi tenaga kerja sebanyak 700 orang. Pada kondisi optimal ini, sebanyak 638 nelayan dapat diakomodasi pada perikanan pukat cincin, bahkan masih ada peluang untuk menyerap tenaga kerja atau nelayan sebanyak 62 orang. Nelayan dari kawasan Kota Masohi dan Tehoru berpeluang memasuki usaha pukat cincin lintas kawasan. Ketujuh, walaupun terjadi alokasi optimal pukat cincin sebanyak 29 unit di kawasan Tehoru, namun belum mampu menampung nelayan yang harus memasuki usaha perikanan sebanyak 2506 orang. Hal ini berarti pemerintah Maluku Tengah masih mengembangkan kebijakan untuk mengakomodasi nelayan sebanyak 1926 orang. Sesuai dengan kondisi wilayah dan potensi perikanan yang berpeluang dikembangkan, maka kawasan ini direkomendasikan untuk mengembangkan perikanan pelagis besar. Hal ni sangat dibutuhkan dalam rangka mengakomodasi 1926 nelayan yang beralih dari perikanan pelagis kecil. Kedepan, kawasan Nusalaut yang memiliki alokasi optimal melalui penambahan pukat cincin sebanyak 20 unit. Denagn demikian sekitar 400 nelayan masih dapat diserap melalui usaha perikanan ini. Namun demikian, sebanyak 613 nelayan yang harus dialihkan usaha perikanannya. Kawasan yang berhadapan langsung dengan Laut Banda ini memiliki peluang untuk mengembangkan usaha perikanan pelagis besar. Oleh sebab itu, kebijakan yang harus diambil adalah mengakomodasi 613 nelayan Nusalaut pada usaha perikanan di luar perikanan pelagis kecil. Kesembilan, Kota Masohi merupakan kawasan yang dekat dengan pusat Kabupaten memiliki peluang untuk mengakomodasi nelayan sebanyak 613 orang sebagai dampak dari alokasi optimal unit penangkapan pukat cincin. Jumlah pukat cincin optimal yang harus ditambahkan pada kawasan ini hanya sebanyak sembilan unit. Dengan demikian hanya 180 nelayan masih bisa diserap, sementara 195 nelayan lainnya harus beralih pada usaha perikanan lain. Usaha pengolahan hasil perikanan merupakan jenis usaha yang penting mendapat perhatian masyarakat pesisir dan pulau-kecil serta pemerintah. Hal ini terkait posisi wilayah Selatan Maluku Tengah yang masih sangat lemah dalam berkontribusi terhadap produksi hasil olahan.

6.9 Kesimpulan

Kajian dinamika sub sistem manusia dalam sistem perikanan pelagis kecil di Kabupaten Maluku Tengah menghasilkan beberapa kesimpulan: 1. Perkembangan jumlah nelayan dan RTP membuktikan adanya dinamika secara spasial, pertama, distribusi jumlah nelayan dan RTP dan pertumbuhannya berbeda antar kawasan yang menunjukkan preferensi yang berbeda dalam usaha perikanan tangkap, serta kedua, kawasan dengan proporsi nelayan dan RTP tertinggi adalah Leihitu dan terendah di TNS; 2. Dinamika spasial API dan upaya penangkapan menunjukkan: pertama, distribusi API pelagis kecil terkonsentrasi pada jaring insang dan pancing tegak, kedua, terbanyak pada kawasan Tehoru dan Saparua, ketiga pertumbuhan cepat pada pukat cincin dan pertumbuhan lambat pada jaring insang dan bagan apung, serta keempat, distribusi upaya penangkapan terkonsentrasi perikanan pukat cincin, jaring insang, bagan apung dan pancing tegak; 3. Distribusi spasial produksi menunjukkan setiap kawasan memiliki spesialisasi per jenis, pertama, produksi ikan layang tertinggi di kawasan Saparua, Leihitu, Salahutu, Tehoru dan Kota Masohi 1.200 – 1.600 tontahun, selar di Leihitu 535,7 tontahun, kembung di Saparua 95,2 tontahun; julung-julung di Saparua dan Tehoru 115 tontahun, ikan terbang di Saparua dan Leihitu 118 tontahun, sunglir di Leihitu 439,8 tontahun, tembang di Leihitu dan Kota Masohi 1.000 tontahun, teri di Leihitu dan Kota Masohi 1.100 tontahun, serta kedua, rata-rata pertumbuhannya menurut jenis API dominan menunjukkan pukat pantai 1,74, pukat cincin 5,03, jaring insang 5,62, bagan apung 2,74 dan pancing tegak 12,81; 4. Dinamika spasial pengolahan hasil perikanan pelagis kecil ditunjukkan dengan, pertama, distribusi jumlah pengolah ikan tertinggi di Amahai dan Nusalaut kontribusi 20, dan terendah di TNS, Saparua dan Kota Masohi kontribusi 5, kedua, Nusalaut dan Leihitu memberikan kontribusi terbanyak jumlah rumah tangga pengolahan ikan 20, ketiga, basis produksi pengolahan ikan di Saparua, Leihitu, Salahutu dan Kota Masohi 87 tontahun, keempat, basis pengolahan ikan layang di Saparua, Salahutu dan Kota Masohi, olahan ikan selar berbasis di Leihitu, kembung berbasis di Saparua dan Nusalaut, sunglir di Leihitu dan Tehoru, dan teri di Leihitu dan Kota Masohi, kelima, dua jenis kegiatan olahan yang dikembangkan yakni olahan kering dan asapan; 5. Dinamika spasial distribusi dan pemasaran hasil perikanan pelagis kecil dipengaruhi oleh pelaku usaha dan tingkatan pemasarannya, pertama, kawasan Kota Masohi, Saparua, Leihitu, Salahutu dan Amahai merupakan basis pedagang ikan, kedua, terdapat tiga tingkatan distribusi dan pemasaran masing-masing lokalantar kawasan, antar pulau, dan ekspor, ketiga, terkonsentrasi pada tingkatan pasar lokalantar kawasan 71,92, antar pulau 15,47 dan ekspor 12,62, keempat, distribusi dan pemasaran lokalantar kawasan dilakukan seluruh kawasan, antar pulau oleh hampir semua kawasan kecuali TNS, dan ekspor oleh Salahutu, Amahai dan Tehoru; 6. Dinamika spasial sub sistem manusia berimplikasi bagi pengembangan kawasan perikanan, melalui: pertama, hubungan CPUE dan upaya standar adalah ht = 1,764 – 0,0000309Et artinya terjadinya penurunan CPUE sepanjang peningkatan upaya penangkapan, kedua, kelayakan finansial menunjukkan pukat pantai, pukat cincin, jaring insang hanyut, bagan apung dan pancing tegak layak dikembangkan, ketiga, lima jenis komoditas pelagis kecil unggulan adalah ikan layang, selar, kembung, sunglir dan teri, sedangkan API pilihan adalah pukat cincin, bagan apung, dan pancing tegak serta jaring insang hanyut sebagai alternatif bagi nelayan ekonomi lemah, keempat, alokasi optimal API pelagis kecil untuk pukat cincin sebanyak 175 unit dan pancing tegak 1643 unit, dengan alokasi tenaga kerja optimal sebanyak 31.263 orang. 7 DINAMIKA SPASIAL SUB SISTEM PENGELOLAAN

7.1 Pendahuluan

Sub sistem pengelolaan dalam sistem perikanan mencakup empat komponen utama yaitu: 1 kebijakan dan perencanaan perikanan; 2 pengelolaan perikanan; 3 pembangunan perikanan; dan 4 penelitian perikanan Charles, 2001. Kebijakan dan perencanaan perikanan yang dimaksudkan, lebih difokuskan dalam konteks konsep pengelolaan strategis, sedangkan pengelolaan perikanan lebih difokuskan dalam konteks konsep pengelolaan taktis dan operasional. Kebijakan dan perencanaan perikanan dalam konteks pengelolaan strategis mencakup: 1 seluruh tujuan yang dicapai dalam sistem perikanan; 2 arahan kebijakan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan; 3 legislasi yang berhubungan dengan pengelolaan dan regulasi perikanan; dan 4 keputusan tentang struktur sistem pengelolaan. Pembangunan perikanan yang termasuk dalam sub sistem pengelolaan perikanan ini meliputi beberapa faktor sebagai berikut: 1 ukuran-ukuran untuk meningkatkan infrastruktur fisik, kapabilitas kemampuan teknologi, produktivitas institusi danatau manusia, baik nelayan, pengolah, dan lain-lain; 2 ukuran-ukuran untuk meningkatkan aliran manfaat-manfaat yang berkelanjutan dari perikanan, termasuk pembangunan pasar, kontrol kualitas, dan peningkatan proses-proses distribusi; 3 pembangunan aktivitas perikanan baru, yang layak dan dibutuhkan. Untuk memberikan gambaran tentang keragaan pengelolaan perikanan di MalukuTengah, dikaji eksistensi pengelolaan yang berbasis pada kebijakan- kebijakan strategis pengembangan kawasan perikanan di wilayah ini. Dukungan kebijakan terhadap dinamika sub sistem pengelolaan perikanan di wilayah ini berasal dari tiga tingkatan kebijakan, yakni kebijakan Nasional, Provinsi Maluku dan daerah otonom Kabupaten Maluku Tengah. Sub sistem pengelolaan yang diarahkan untuk kepentingan pengembangan kapasitas masyarakat akan menjadi efektif ketika: 1 adanya perhatian berbagai pihak terhadap penerapan mata pencaharian secara praktis dalam konteks kapan dan di mana kegiatan penangkapan ikan dilakukan dan seberapa besar intensitas 230 upaya tangkapnya dapat dikendalikan; 2 isu-isu sosial, ekonomi dan politik haruslah menghindari adanya konflik antar regulasi dan teraksesnya kebijakan dan alokasi pengelolaan perikanan; serta 3 nilai dan etika yang menjadi dasar dalam pengembangan dan implementasi kebijakan Wiber et al., 2004 Dinamika sub sistem pengelolaan dalam suatu sistem perikanan tidak hanya meliputi keputusan-keputusan di tingkat nelayan, namun juga melingkupi aspek lingkungan perairan yang bersifat kompleks dan menjadi ukuran pengambilan keputusan pengelolaan. Para pengelola cenderung memperhatikan aspek ketersediaan SDI, namun perumusan bersama implementasi pengelolaan perikanan seringkali tidak melibatkan nelayan dan pihak pengambil kebijakan Dudley, 2008. Dampak yang terukur dari dinamika sub sistem pengelolaan menjadi dasar dalam mengidentifikasi kawasan-kawasan dimana perubahan kebijakan dan peningkatan pengelolaan dapat berjalan secara efektif Garitty, 2011. Referensi untuk membuat adanya perubahan dalam pengelolaan perikanan dibutuhkan untuk mengungkap hubungan-hubungan antar ilmu pengetahuan, pengambilan keputusan dan eksistensi masyarakat perikanan, terutama dalam konteks mendalami sistem-sistem perikanan yang kompleks, baik antar sistem maupun lingkup implementasi Garcia and Charles, 2007. Evolusi pada sistem perikanan secara global dan banyaknya masalah yang harus dihadapi dan diselesaikan terkait dengan upaya membangunan keterkaitan antar ilmu pengetahuan, tata kelola dan masyarakat perikanan, salah satunya disebabkan karena adanya perubahan pada dinamika sub sistem pengelolaan Wiber et al., 2004; Garcia and Charles, 2007; Garitty, 2011. Justifikasi tentang dinamika sub sistem pengelolaan dalam sistem perikanan di suatu wilayah seperti Maluku Tengah merupakan salah kebutuhan dalam memberikan dukungan terhadap pengembangan kawasan perikanan. Berbagai kebijakan pengelolaan dan pengembangan kawasan perikanan seperti penetapan Wilayah Pengelolaan Perikanan WPP, potensi SDI dan status pemanfaatannya, pemberdayaan masyarakat nelayan dan pengembangan infrastruktur perikanan merupakan wujud dari upaya peningkatan dinamika sistem perikanan. 231 Kajian tentang dinamika sub sistem pengelolaan perikanan pelagis kecil di Maluku Tengah diarahkan untuk menjawab persoalan-persoalan pengelolaan yang berbasis pada kebijakan pada setiap level pemerintahan. Oleh sebab itu, dalam penelitian diekspresikan dinamika pengelolaan berbasis pada kebijakan Nasional, provinsi dan wilayah otonom kabupaten, baik pada kebijakan umum maupun implementasinya. Implikasinya bagi pengembangan kawasan perikanan menjadi bagian penting untuk membuktikan efektivitas pengelolaan. Kajian ini bertujuan untuk: 1 menganalisis dinamika sub sistem pengelolaan berbasis kebijakan Nasional; 2 menganalisis dinamika sub sistem pengelolaan berbasis kebijakan Provinsi Maluku; 3 menganalisis dinamika sub sistem pengelolaan berbasis kebijakan daerah otonom kabupaten Maluku Tengah; dan 4 menganalisis implikasi dinamika sub sistem pengelolaan berbasis kebijakan bagi pengembangan kawasan perikanan. 7.2 Metodologi 7.2.1 Analisis dinamika sub sistem pengelolaan berbasis kebijakan Nasional Pendekatan analisis isi pada sub sistem pengelolaan berbasis kebijakan nasional yang digunakan diarahkan pada ekspresi deskpritif terhadap kebijakan umum pengelolaan perikanan, kebijakan status eksploitasi sumber daya ikan di wilayah penelitian, kebijakan WPP-RI dan alokasi alat penangkapan ikan di wilayah penelitian; serta roadmap implementasi kebijakan pengembangan perikanan di wilayah penelitian. Keempat kelompok kebijakan ini dikaji berdasarkan pada arahan kebijakan secara umum untuk nasional dan implementasi dalam konteks operasional di wilayah penelitian. Aspek dinamika yang dikaji dalam implementasi kebijakan nasional dikembangkan untuk satu periode perencanaan pembangunan lima tahun dengan pendekatan analisis tabular. Analisis ini dilakukan dalam rangka memetakan kebijakan dan bentuk pengelolaan perikanan. Dalam penelitian ini, analisis yang dikembangkan ini disebut sebagai kajian roadmap kebijakan pemerintah pusat terhadap pengelolaan perikanan di wilayah penelitian.