307
penting dalam memadukan pelaku dan instititusi yang berkepentingan dalam pemanfaatan dan pengelolaan perikanan pelagis kecil.
Peningkatan kapasitas terhadap teknologi penangkap ikan pelagis kecil pilihan, tidak hanya dilakukan melalui pendekatan teknis saja seperti CPUE,
produktivitas, dan akses penangkapan, juga membutuhkan pendekatan kelayakan finansial. Untuk mendukung keberlanjutan pemanfaatannya, pendekatan
lingkungan menjadi perhatian khusus baik pada selektivitas alat tangkap maupun minimalisasi dampak operasionalnya terhadap lingkungan perairan. Demikian
juga dalam pendekatan sosial melalui alokasi tenaga kerja perikanan, peningkatan penguasaan teknologi di tingkat nelayan dan penguatan positive backward
linkages terhadap kehidupan sosial masyarakat. Peningkatan kinerja ekonomi perikanan pelagis kecil berbasis komoditas
unggulan dilakukan dengan pendekatan peningkatan nilai produksi. Hal ini sangat mungkin terjadi ketika volume produksi dioptimalkan, pengendalian harga
komoditas yang berpihak pada nelayan, peningkatan akses pemasaran komoditas, dan peningkatan nilai tambah.
Kapasitas dan produktivitas tiap kawasan semakin diperkuat ketika interaksi antara inti dan periferi yang berbeda secara kapasitas dan produkstivitas
berjalan dengan baik Markey et al., 2000. Perbedaan ini disebut Rustiadi et al. 2011 sebagai disparitas antar kawasan yang terjadi karena: 1 perbedaan
kuantitas dan kualitas faktor produksi; 2 akumulasi berbagai faktor yang terkait; 3 kapasitas untuk memancarkan produk spread effect dan penarikan input
produksi backwash effect; serta 4 keterbatasan spesialisasi kawasan. Peningkatan integrasi sub sistem yang menjadi pembentuk kawasan
perikanan pelagis kecil dan optimalisasi pengembangan kawasan penting dilakukan guna membangun keterkaitan antara kawasan inti, periferi, aktif,
periferi pasif dan periferi netral. Integrasi kegiatan usaha penangkapan membutuhkan partisipasi institusi yang terkait dengan perikanan pelagis kecil.
Sedangkan untuk integrasi pelaku usaha, dibutuhkan keterkaitan masyarakat, pengusaha dan pemerintah.
Kementerian Kelautan
dan Perikanan
telah menyusun
tujuan pengembangan kawasan perikanan yaitu: 1 meningkatkan produktivitas dan
308
kualitas produksi perikanan; 2 meningkatkan pendapatan nelayan dan pelaku usaha yang adil dan merata; 3 meningkatkan kesempatan kerja; dan 4 kawasan
perikanan merupakan pusat pertumbuhan dan penggerak ekonomi Direktorat PUPI-KKP, 2010. Tujuan-tujuan tersebut telah dijawab secara makro melalui
penelitian ini, oleh sebab itu konsepsi model dasar pada penelitian ini dapat digunakan dalam penentuan kawasan perikanan berbasis komoditas.
8.3 InSist dan Aplikasi Bagi Pengembangan Kawasan Perikanan
8.3.1 Model Parsial: InSist_1
8.3.1.1 Indeks sentralitas sub sistem alam Hasil analisis menggunakan model Model InSist_1 untuk sub sistem alam
menunjukkan distribusi nilai yang berbeda pada tiap kawasan Lampiran 8 dan Tabel 53. Hasil ini memberikan gambaran bahwa kawasan yang memiliki indeks
sentralitas sub sistem alam yang paling tinggi adalah Leihitu dan terendah adalah TNS. Hasil ini menunjukkan kekuatan sentralitas yang tinggi berpoetnsi menjadi
basis pengembangan, sedangkan terendah tidak dapat digunakan.
Tabel 53 Distribusi indeks sentralitas sub sistem alam dalam sistem perikanan perikanan pelagis kecil di wilayah Selatan Maluku Tengah
Eks_Aij TNS
S PH
L SL
A T
N KM
DPI 1,63 10,13
9,07 13,78
5,93 14,92 12,88 20,67 10,99
JTB 1,08 12,85
9,41 16,96 16,19 12,64 12,23
9,09 9,55
InSist_1
A
1,36 11,49 9,24
15,37 11,06 13,78 12,55 14,88 10,27
Keterangan: TNS = Teons Nila Serua; S = Saparua; PH = Pulau Haruku; L = Leihitu; SL = Salahutu; A = Amahai; T = Tehoru; N = Nusalaut; KM = Kota Masohi.
Untuk penentuan status kawasan dalam mendukung pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil, ditentukan tiga status berdasarkan nilai interval
sebesar 4,67. Selang kelas indeks sentralitas kawasan berstatus pengembangan lemah adalah 1,36 - 6,03, kawasan berstatus pengembangan sedang adalah 6,04 -
10,70; dan status pengembangan kuat adalah 8,37 sampai dengan 13,22.
309
Pengelompokkan kawasan pengembangan perikanan perikanan kecil di Maluku Tengah berdasarkan sentralitas sub sistem alam menunjukkan terdapat
enam kawasan yang memiliki kekuatan sentralitas sub sistem alam dalam selang kelas tertinggi, masing-masing Saparua, Leihitu, Salahutu, Amahai, Tehoru dan
Nusalaut. Kekuatan sentralitas sub sistem alam pada keenam kawasan menunjukkan status pengembangan kuat Tabel 54.
Tabel 54 Pengelompokkan kawasan perikanan pelagis kecil di wilayah Selatan Maluku Tengah berdasarkan status sentralitas sub sistem alam
Kawasan Perikanan InSist_1
A
Selang Kelas InSist_1
A
Status pengembangan TNS
1,36 1,36 - 6,03
Lemah Saparua
11,49 10,71 - 15,37
Kuat Pulau Haruku
9,24 6,04 - 10,70
Sedang Leihitu
15,37 10,71 - 15,37
Kuat Salahutu
11,06 10,71 - 15,37
Kuat Amahai
13,78 10,71 - 15,37
Kuat Tehoru
12,55 10,71 - 15,37
Kuat Nusalaut
14,88 10,71 - 15,37
Kuat Kota Masohi
10,27 6,04 - 10,70
Sedang
Hasil ini juga menerangkan eksistensi dua kawasan yang memiliki sentralitas sub sistem alam dalam selang kelas sedang, masing-masing Pulau
Haruku dan Kota Masohi. Dengan demikian kedua kawasan ini termasuk dalam kelompok kawasan yang memiliki status pengembangan sedang.
Satu-satunya kawasan yang memiliki sentralitas sub sistem alam dalam selang kelas rendah adalah TNS. Eksistensi sentralitas ini menyebabkan TNS
termasuk dalam kawasan yang memiliki status pengembangan lemah. Dalam konteks dinamika sub sistem alam pada sistem perikanan pelagis
kecil di Maluku Tengah, kawasan dengan status pengembangan kuat memiliki potensi untuk menjadi pusat pengembangan perikanan. Aksesibilitas terhadap DPI
yang cukup kuat dengan potensi SDI pelagis yang tinggi menyebabkan kawasan- kawasan ini berpotensi menjadi pusat pengembangan industri perikanan pelagis
kecil di Maluku Tengah. Peluang untuk menjadi pusat industri perikanan pelagis
310
kecil perlu didukung dengan pengembangan infrastruktur pendukung yang mengarah pada industrialisasi perikanan pelagis kecil.
Kawasan dengan status pengembangan sedang merupakan kawasan pendukung untuk mengalirkan produksi perikanan pelagis kecil ke kawasan
dengan status pengembangan kuat. Dalam perspektif perencanaan pembangunan wilayah, kawasan ini menjadi hinterland utama dalam mensuplai produksi
perikanannya ke kawasan-kawasan pusat. Untuk kepentingan itu, maka setiap kawasan membutuhkan peningkatan aksesibilitas terhadap DPI. Peluang untuk
mendukung kegiatan perikanan pelagis kecil untuk meningkatkan ekonomi masyarakatnya perlu didukung dengan progam restruktrisasi armada danatau
pengembangan kapasitas penangkapan ikan. Kawasan dengan status pengembangan lemah tidak dapat dijadikan
pendukung bagi industri perikanan pelagis kecil yang berpotensi dikembangkan di kawasan-kawasan pusat. Produksi yang dilakukan hanya diarahkan pada
pemenuhan kebutuhan konsumsi lokal, bahkan pada kawasan ini peningkatan ekonomi masyarakat dapat diarahkan melalui pengembangan ekonomi perikanan
alternatif seperti pengolahan hasil perikanan yang memanfaatkan produksi dari kawasan pusat dan kawasan pendukung.
8.3.1.2 Indeks sentralitas sub sistem manusia
Analisis terhadap sentralitas sub sistem manusia menunjukkan bahwa kawasan yang memiliki indeks sentralitas sub sistem manusia yang paling tinggi
adalah: 1 Nusalaut yang memiliki keunggulan pada nilai sentralitas ekspansi potensi pengolahan dan rumah tangga pengolah; dan 2 Leihitu memiliki
keunggulan pada teknologi penangkapan ikan serta distribusi dan pemasaran. dan terendah adalah TNS Tabel 55.
Dalam penentuan status kawasan untuk mendukung pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil, maka dengan ditentukan tiga status berdasarkan
nilai interval sebesar 3,21. Selang kelas indeks sentralitas untuk kawasan berstatus pengembangan lemah adalah 4,78 - 7,99; kawasan dengan status pengembangan
sedang adalah 8,00 - 11,21; dan status pengembangan kuat adalah 11,22 - 14,42.
311
Tabel 55 Distribusi indeks sentralitas sub sistem manusia dalam sistem perikanan perikanan pelagis kecil di wilayah Selatan Maluku Tengah
Eks_M
ij
TNS S
PH L
SL A
T N
KM N
opt
0,47 12,90 9,23
27,66 7,14 17,52 18,39
2,11 4,57
RTP 1,65 12,84 16,82
13,41 4,41
9,65 13,37 25,88 1,98
API 0,79 20,56
9,94 11,79
7,06 7,02 26,13 11,59
5,12 U
1,55 10,55 15,14 14,77
7,83 11,42 12,45 9,07
17,21 V
t
0,43 12,14 5,73
21,95 16,87 10,86 9,56
3,65 18,80
O 27,39
1,52 2,33
3,04 9,72 10,59
4,00 32,15 9,27
RT
o
12,34 1,61
3,66 6,24 10,30
7,26 6,43 37,05
15,11 V
o
0,95 8,69
7,08 16,12 12,46 16,68 12,69 14,18
11,14 PD
1,94 13,94 7,94
14,42 15,56 13,78 10,86 2,43
19,12 Prod
PD
0,27 9,20
5,63 14,69 21,56 18,16
9,04 6,07
15,39 InSist_1
M
4,78 10,40 8,35
14,41 11,29 12,29 12,29 14,42 11,77
Keterangan: TNS = Teons Nila Serua; S = Saparua; PH = Pulau Haruku; L = Leihitu; SL = Salahutu; A = Amahai; T = Tehoru; N = Nusalaut; KM = Kota Masohi.
Pengelompokkan kawasan pengembangan perikanan perikanan kecil di Maluku Tengah berdasarkan sentralitas sub sistem manusia menunjukkan terdapat
enam kawasan yang memiliki kekuatan sentralitas sub sistem manusia dalam selang kelas tertinggi, masing-masing Leihitu, Salahutu, Amahai, Tehoru,
Nusalaut dan Kota Masohi. Kekuatan sentralitas sub sistem manusia pada keenam kawasan menunjukkan status pengembangan kuat Tabel 56.
Dua kawasan memiliki sentralitas sub sistem manusia dalam selang kelas sedang, masing-masing Saparua dan Pulau Haruku. Kedua kawasan ini termasuk
dalam kelompok kawasan yang memiliki status pengembangan sedang. TNS tetap memiliki sentralitas sub sistem manusia dalam selang kelas rendah, sehingga
masih termasuk dalam kawasan yang memiliki status pengembangan lemah. Dinamika sub sistem manusia pada sistem perikanan pelagis kecil di
Maluku Tengah menghendaki kawasan dengan status pengembangan kuat berpotensi sebagai pusat pengembangan perikanan. Potensi sumber daya manusia
perikanan, tingkatan produksi dan potensi distribusi dan pemasaran yang tinggi menyebabkan kawasan-kawasan ini berpotensi menjadi pusat pengembangan
industri perikanan pelagis kecil di Maluku Tengah. Peluang untuk menjadi pusat
312
industri perikanan pelagis kecil juga perlu didukung dengan pengembangan infrastruktur perikanan.
Tabel 56 Pengelompokkan kawasan perikanan pelagis kecil di wilayah Selatan Maluku Tengah berdasarkan status sentralitas sub sistem manusia
Kawasan Perikanan InSist_1
M
Selang Kelas InSist_1
M
Status pengembangan TNS
4,78 4,78 - 7,99
Lemah Saparua
10,40 8,00 - 11,21
Sedang Pulau Haruku
8,35 8,00 - 11,21
Sedang Leihitu
14,41 11,22 - 14,42
Kuat Salahutu
11,29 11,22 - 14,42
Kuat Amahai
12,29 11,22 - 14,42
Kuat Tehoru
12,29 11,22 - 14,42
Kuat Nusalaut
14,42 11,22 - 14,42
Kuat Kota Masohi
11,77 11,22 - 14,42
Kuat
Kawasan dengan status pengembangan sedang dipersiapkan untuk melayani kebutuhan produk perikanan di internal wilayah danatau antara
kawasan. Posisinya juga dapat didorong sebagai hinterland untuk kawasan pusat pengembangan perikanan. Di sisi lain, Kawasan dengan status pengembangan
rendah memiliki kapasitas sumber daya manusia dan kemampuan produksi yang kurang. Oleh sebab itu kawasan dengan kategori ini menjadi perhatian untuk
memenuhi kebutuhan lokal internal kawasan.
8.3.1.3 Indeks sentralitas sub sistem pengelolaan
Sentralitas sub sistem pengelolaan yang dihasilkan menunjukkan bahwa kawasan yang memiliki indeks sentralitas sub sistem pengelolaan yang paling
tinggi adalah: 1 Amahai yang memiliki keunggulan pada nilai sentralitas kebijakan pengembangan infrasttuktur; 2 Tehoru memiliki keunggulan pada
repson kebijakan terhadap pemberdayaan nelayan; dan 3 Leihitu yang memiliki keunggulan pada kebijakan pengembangan armada penangkapan ikan Tabel 57.
Status kawasan untuk mendukung pengembangan kawasan perikanan pelagis kecil ditentukan melalui penetapan tiga status berdasarkan nilai interval